A. Latar Belakang
Pada periode ini kesusastraan dipengaruhi oleh pendudukan Jepang di Indonesia. Secara politis Jepang tidak hanya mengatur urusan pemerintahan tetapi juga kebudayaan. Pada masa ini Jepang mewajibkan bahasa Indonesia sebagai pengantar sekaligus melarang penggunaan bahasa Belanda. Pelarangan ini memantapkan posisi bahasa Indonesia dalam masyarakat.
Keimin Bunka Shidosho adalah Kantor Pusat Kebudayaan yang didirikan jepang untuk mengumpulkan pengarang serta seniman lain. Maksud penyatuan ini berkenaan dengan kepentingan Jepang untuk menguasai Asia, yaitu memesan lagu-lagu, lukisan, lukisan, slogan-slogan, sajak-sajak, sandiwara-sandiwara, bahkan film untuk membangkitkan semangata dan menunjukkan keunggulan tentara Jepang. Ada beberapa pengarang yang masuk lembaga ini dan percaya dengan janji-janji jepang salah satunya Usmar Ismail dan Armijn Pane. Akan tetapi, lambat laun ia mulai curiga dan mulai meragukan janji jepang yang semakin lama semakin jelas tidak terbukti.
Selain sastrawan yang berkumpul dalam Kantor Pusat Kebudayaan, terdapat sastrawan-sastrawan yang dari awal sudah menaruh curiga pada jepang. Sastrawan-sastrawan ini, tentu saja, tidak bersedia mendukung lembaga tersebut. Mereka adalah Chairil Anwar, Amal Hamzah dan beberapa seniman lain. Mereka menyebut seniman-seniman yang masuk Kantor Pusat Kebudayaan sebagai ‘Seniman Pengkhianat’. Amal Hamzah misalnya menyindir Armijn Pane dengan menulis sebuah sandiwara berjudul ‘Tuan Amin’.
B. 42 Sebagai Nama Angkatan?
Sastra periode ini tidak pernah menjadi nama angkatan. Periode ini biasanya dimasukkan pada Angkatan 45 yang dibagi dua menjadi sebelum dan sesudah penjajahan Jepang. Pembahasan periode ini secara tersendiri dilakukan oleh dua penulis sejarah sastra yaitu Nugroho Notosusanto dan Ajip Rosidi. Perbedaan dengan sistem angkatan adalah pada pembabakan. Sistem angkatan tidak mengenal pembabakan. Pada sistem periode Angkatan 45 dipecah menjadi dua periode dan menjadi dua babak yaitu periode 42-45 yang masuk pada masa kelahiran dan periode 45-53 yang masuk pada masa perkembangan.
C. Karakteristik Sastra
1. Jenis Sastra (Genre)
Pada masa ini, dua jenis karya yang paling dominan tumbuh subur, yaitu cerpen dan drama. Pada masa ini hanya sedikit Roman yang terbit. Balai Pustaka, misalnya hanya menerbitkan dua roman yaitu Cinta Tanah Air karangan Nur Sutan Iskandar dan Palawija (1944) karangan Karim Halim. Selain itu, seperti masa sebelumnya puisi juga berkembang.
Jarangnya roman ditulis pada masa itu karena kondisi yang tidak memungkinkan. Keadaan perang menuntut pekerjaan dilakukan dengan serba cepat. Selain itu roman tidak praktis dilakukan untuk sebuah “propaganda” yang sedang digalakkan jepang. Kondisi ini berimplikasi pada sifat-sifat sastra pada masa ini.
2. Sifat
Sastra pada periode ini bersifat realistis. Sifat ini dibagi tiga yaitu realistis propaganda, realistis tersembunyi, dan realistis simbolis. Yang pertama dilakukan oleh orang-orang yang berkompul dalam Kantor Pusat Kebudayaan yang mendukung perjuangan Jepang. Yang kedua dilakukan oleh sastrawan yang menulis sesuai nurani. Mereka menulis secara rahasia dan tidak diterbitkan dalam masa penjajahan jepang. Yang ketiga merupakan ciri-ciri tulisan sastrawan yang dalam menyatakan idealismenya memadukan yang pertama dan kedua. Mereka menulis dengan menggunakan perlambang-perlambang untuk lolos dari sensor jepang.
D. Tokoh-Tokoh
Pada masa ini, dua jenis karya yang paling dominan tumbuh subur, yaitu cerpen dan drama. Pada masa ini hanya sedikit Roman yang terbit. Balai Pustaka, misalnya hanya menerbitkan dua roman yaitu Cinta Tanah Air karangan Nur Sutan Iskandar dan Palawija (1944) karangan Karim Halim. Selain itu, seperti masa sebelumnya puisi juga berkembang.
Jarangnya roman ditulis pada masa itu karena kondisi yang tidak memungkinkan. Keadaan perang menuntut pekerjaan dilakukan dengan serba cepat. Selain itu roman tidak praktis dilakukan untuk sebuah “propaganda” yang sedang digalakkan jepang. Kondisi ini berimplikasi pada sifat-sifat sastra pada masa ini.
2. Sifat
Sastra pada periode ini bersifat realistis. Sifat ini dibagi tiga yaitu realistis propaganda, realistis tersembunyi, dan realistis simbolis. Yang pertama dilakukan oleh orang-orang yang berkompul dalam Kantor Pusat Kebudayaan yang mendukung perjuangan Jepang. Yang kedua dilakukan oleh sastrawan yang menulis sesuai nurani. Mereka menulis secara rahasia dan tidak diterbitkan dalam masa penjajahan jepang. Yang ketiga merupakan ciri-ciri tulisan sastrawan yang dalam menyatakan idealismenya memadukan yang pertama dan kedua. Mereka menulis dengan menggunakan perlambang-perlambang untuk lolos dari sensor jepang.
D. Tokoh-Tokoh
Pada masa ini tokoh-tokohnya dirangkum sebagai berikut.
1. Usmar Ismail
2. El Hakim
3. Rosihan Anwar
4. Amal Hamzah
5. Maria Amin
6. Nur Syamsu
7. Marlupi
8. Munir Syamsul Ashar
Daftar Pustaka
- Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
- Rosidi, Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta
- Wirjosoedarmo, Soekono. 1990. Pengantar ke Arah Studi Sejarah Sastra II: Sartra Indonesia Modern. Surabaya: Sinar Wijaya.