aguspurnomosite.blogspot.com

aguspurnomosite.blogspot.com
Berpikir Luas Membuka Cakrawala Kehidupan! Berusaha Memberikan Yang Terbaik Untuk Masa Depan! Katakan "Go Go Go SEMANGAT" !!!

Kamis, 13 Juni 2013

TIPE-TIPE ANAK DIDIK

Anak didik merupakan “bahan baku” pendidikan. Dialah yang menjadi bahan mentah untuk dikembangkan kompetensi emosional, intelektual dan keahliannya. 

Menjadikan mereka anak-anak yang sukses dalam belajar dan kehidupan merupakan tugas mulia guru. Agar usaha mencapai hasil optimal, setiap guru perlu memahami potensi yang dimiliki oleh anak didik. 

Sebagai manusia, setiap anak memiliki potensi belajar beragam. Ada yang mudah dan ada pula yang perlu usaha ekstra. Oleh karena itu, tipe-tipe anak didik berdasarkan potensinya perlu dikenali dengan baik.

Secara sederhana, potensi anak didik dapat dicermati berdasarkan dua aspek. Aspek tersebut adalah kesiapan mental dan kecerdasannya. Kesiapan mental biasanya tampak pada kemandirian anak. Sementara kecerdasan umumnya tampak pada daya serap anak terhadap suatu kompetensi. 

Atas dasar itu, tipe-tipe anak didik dapat dipetakan sebagaimana berikut :

1. Tipe Cerdas

Ini adalah tipe siswa yang paling mudah diajar. Mereka memiliki tingkat kemandirian dan sekaligus daya serap tinggi. 

Mendidik anak tipe ini sangat mudah bagi guru. Kemandirian dan kecerdasannya bahkan menjadikan guru tidak perlu mengajar, karena anak memiliki minat dan kemampuan belajar secara mandiri.

Tipe seperti ini kadang ada karena faktor bawaan, tetapi tidak jarang sebagai hasil bentukan lingkungan baik karena pola asuh orang tua maupun pembelajaran kepribadian di sekolah.

2. Tipe Pintar

Ini adalah tipe anak didik pada umumnya. Meski bukan anak cerdas secara kognitif, tetapi dia memiliki kesiapan mental, berupa kemandirian, dan minat belajar tinggi. 

Tipe ini umumnya menjadi siswa yang berhasil dalam belajar maupun dalam hidupnya. Modalitas mental dan kemandirian yang memadai menjadikan anak mampu mengatasi berbagai masalah belajar.

Pada anak seperti ini, tugas guru adalah membelajarkan mengenai cara belajar efektif dan berbagai trik pembelajaran. Meski tidak secepat anak cerdas, anak pintar sering kali dapat sesukses anak cerdas.

3. Tipe Aktif

Ini adalah tipe anak didik yang relatif membutuhkan keahlian dan tenaga ekstra dari guru. Anak seperti ini pada dasarnya cerdas, tetapi kurang memiliki kesiapan mental (kecerdasan emosi).

Anak tipe ini biasanya banyak ulah, banyak kemauan, dan agak egois. Ini terjadi karena ketidakseimbangan kecerdasan pikir dan emosinya, sehingga tersublimasikan ke dalam sikap dan perilaku aktif, atraktif dan semau gue.

Banyak guru dan orang tua salah mempersepsikan mereka sebagai anak nakal. Padahal sangat boleh jadi sebenarnya mereka anak yang terlalu cerdas daya pikirnya. Bahkan tokoh-tokoh besar yang terlahir dengan kondisi seperti mereka.

Anak seperti ini membutuhkan guru yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dan memiliki keahlian bidang pembinaan kecerdasan emosi. Keberhasilan membentuk kembali emosi anak merupakan kunci keberhasilan belajar.

4. Tipe Sulit

Ini adalah tipe anak didik yang membutuhkan guru berkeahlian ganda. Ini dikarenakan problem belajar anak terletak pada dua aspek fundamental, yakni kesiapan mental dan kecerdasan sekaligus.

Untungnya, anak tipe ini semakin jarang ditemukan saat ini. Kualitas gizi yang dikonsumsi orang tua saat hamil dan anak semasa kecil makin baik, hingga jumlah anak seperti ini semakin sedikit.

Guru berkeahlian khusus diperlukan agar minat anak terbangun seperti anak tipe pintar. Bila hasil pembelajaran kognitifnya tidak sebaik anak yang lain, maka peluang untuk membuatnya sukses harus digali dari potensi-potensinya yang lain.

Setiap anak memiliki potensi kecerdasannya sendiri. Anak pasti memiliki kelebihan (kecerdasan) di bidang tertentu. Untuk itu, diperlukan kerja sama antara guru dan wali murid agar potensi anak dapat digali dan dikembangkan lebih optimal.

Dengan Keterbatasan Fisik Mampu Meraih Sukses, Usaha dan Restu Sang Ibu Kuncinya

usaha sabarKeterbatasan fisik bukan penghalang meraih kesuksesan. Paling tidak itulah yang tercermin pada Sugimun, pemilik tiga unit toko elektronik “Cahaya Baru”

Suatu ketika Sugimun pergi ke solo untuk membeli mobil. Ketika akan masuk ke sebuah show room mobil, seorang karyawan menghampirinya dan mengulurkan uang recehan kepadanya. Diperlakukan seperti itu Sugimun segera menukas, “Oh, saya bukan pengemis, Mas. Saya cari mobil.”

Tentu saja si karyawan tersebut kaget dan cepat-cepat masuk ke dalam sambil menanggung malu.

Menurut Sugimun, si karyawan mengira dirinya seorang pengemis karena menggunakan kursi roda, “Waktu itu sopir saya sudah duluan masuk show room,” kenang Sugimun tersenyum.

Lelaki yang lahir tahu 1970, di dusun Mojopuro, Magetan, Jawa Timur ini adalah pemilik toko elektronik “Cahaya Baru” di kota trenggalek dan Magetan, Jawa Timur.

Bagi orang Trenggalek , Magetan dan sekitarnya, nama toko itu sudah tidak asing lagi. “Cahaya Baru” dikenal sebagai toko elektronik yang cukup besar. Omzetnya sudah mencapai 150 juta per bulan.

Sugimun memberi nama tokonya dengan “Cahaya Baru”, dengan dimaksudkan untuk mewakili sebuah harapan baru bagi diri dan keluarganya,

Keberhasilan Sugimun seperti sekarang tidak lepas dari usaha dan doa ibunya. Maklum, selain sejak kecil cacat, Sugimun juga lahir dari keluarga miskin. Saking miskin nya, ia tidak sempat mengenyam pendidikan formal. “Sekolah TK saja enggak pernah,” kenang nya.

Perubahan kehidupan Sugimun berawal pada usia 19 tahun. Ketika itu, seorang aparat desa beberapa orang dari Dinas Sosial datang ke rumahnya. Mereka mengajak Sugimun mengikuti program penyantunan dan rehabilitasi sosial dan penyandang cacat di Panti Sosial Bina Daksa (PSDB) “Suryatama” di kota Bangil, Jawa Timur. Ditempat tersebut Sugimun mengikuti bimbingan fisik, mental, serta pendidikan kejar Paket A.

“Pada awalnya, saya merasa rendah diri karena semua teman saya penyandang cacat memiliki pendidikan formal mulai dari SD, SMP bahkan ada yang lulusan SMA,” kenang nya. Sedangkan dirinya belum mengenal baca tulis.

Namun karena tekadnya untuk bangkit dan tidak ingin bergantung pada orang lain, rasa rendah diri itu dibuangnya jauh-jauh. Di Suryatama, ia belajar keterampilan elektronik seperti radio, sound system, kipas angin, televise, dan lain sebagainya..

Setelah dua tahun mengikuti program pelatihan, Sugimun kembali pulang kampung. Namun ia tidak punya aktivitas di desanya. Akhirnya ia mencoba mencari kerja di tempat usaha servis elektronik. Sayangnya, kebanyakan berujung pada penolakan. “Mungkin mereka menilai saya tidak cukup mampu bekerja dengan baik karena kondisi fisik seperti ini,” kenang nya,

Yang menyedihkan, seringkali ia disangka pengemis saat melamar pekerjaan. Ia baru bisa bekerja tatkala seorang teman di Kediri menerimanya sebagai karyawan sebuah bengkel elektronik. Namun karena suatu alasan, tidak sampai satu tahun, ia memutuskan untuk pulang kampung.

Ia pun mencoba melamar pekerjaan di kota kelahirannya. Lagi-lagi ia kembali mendapatkan penolakan, “Hal ini membawa saya pada kesimpulan bahwa saya harus membuka lapangan pekerjaan untuk bisa bekerja,” katanya.

Berbekal Restu sang Ibu

Dengan kondisi ekonomi yang serba sulit serta pengalaman yang ditolak berkali-kali membuat Sugimun nekad berusaha sendiri. Berbekal restu sang ibu, tahun 1992 ia menjual perhiasan emas milik ibunya senilai Rp. 15.000,-. Uang tersebut sebagian ia pakai untuk menyewa bidak emperan pasar sayur Magetan. Di tempat yang kecil itu, ia membuka usaha jasa servis elektronik dan menjual isi korek api. Dengan perlengkapan seadanya, setiap hari ia melayani pelanggan nya.

Untuk menjalankan usahanya, Sugimun harus berjuang keras. Betapa tidak, jarak perjalanan dari rumah ke tempat usahanya sangatlah jauh. Dari desanya yang terpencil, ia harus berjuang menempuh jarak satu kilometer untuk menuju ke tempat mangkal angkutan umum yang akan membawanya ke kios nya. Belum lagi jarak menuju pasar sayur. Ditambah lagi naik-turun angkutan umum. Bagi orang fisiknya normal, hal itu bukan masalah. Namun bagi Sugimun yang kakinya layuh (lumpuh) akibat polio, terasa berat.

Usahanya itu juga terkadang ramai, terkadang sepi. “Namun, saya tetap yakin Allah Maha Adil, Pengasih dan Pemurah,” katanya.

Dengan penuhketekunan dan kesungguhan, Sugimun berusaha meraih kepercayaan para pelanggan, terutama dalam menepati janji. Ia berusaha keras untuk menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Ia juga tidak pelit menjelaskan kepada pelanggan nya tentang kerusakan dan onderdil yang harus dibutuhkan, termasuk harga dan kualitas onderdil yang bervariasi. “Ternyata dengan cara seperti itu kepercayaan bisa didapatkan,” katanya.

Kiosn ya semakin sering dikunjungi orang. Berarti, kebutuhan akan onderdil elektronik juga meningkat.

Peluang inilah yang ia baca. Ia mulai menyisihkan uangnya untuk modal pembelian onderdil. sedikit demi sedikit ia juga melengkapi kios nya dengan barang elektronik. Karena semakin lama barangnya kian banyak, akhirnya ia memberanikan diri membeli toko. “Alhamdulillah ramai,” jelasnya. Kini ia telah memiliki tiga unit toko.

Meski kini menjadi orang sukses, Sugimun tidak lupa terhadap keluarganya. Sebagai anak tertua dari delapan saudara, ia merasa bertanggung jawab atas kkeberlangsungan pendidikan adik-adik nya. Oleh karenanya, sebagian rezkinya ia gunakan untuk membantu biaya pendidikan tiga orang adik nya, ia mengajak mereka untuk membantu menjalankan toko elektronik nya. Ia berharap agar kelak, saudara-saudaranya yang lain mampu mandiri. “Saya bahagia bisa menyekolahkan ketiga adik saya hingga tamat SMU,” katanya.

Kebahagiaannya semakin lengkap ketika ia menemukan jodoh nya bernama Nursiam. Perempuan yang ia nikahi itu kini memberinya tiga orang anak.

Selain itu, Sugimun juga membantu orang-orang di daerah sekitarnya. Ia tidak membantu dalam bentuk uang, melainkan berupa pemberian kesempatan pendidikan dan keterampilan. Ia membina beberapa yatim dan anak cacat agar memiliki berbagai keterampilan yang berguna bagi masa depan mereka kelak.

“Pengalaman masa lalu membuat saya sadar, bahwa pendidikan dan keterampilan sangat berguna bagi orang-orang seperti saya,” katanya sambil tersenyum. Ada tiga anak yatim cacat yang kini ia asuh. Tidak banyak memang, tetapi paling tidak, ia telah berbuat sesuatu untuk sesamanya.

Satu hal yang ia syukuri, ia hanya cacat fisik, bukan cacat rohani. Cacat fisik yang ia alami tidak membuatnya jatuh terpuruk mengharap belas kasih orang lain, melainkan sebagai pelecut semangat untuk menggapai cita-cita mandiri. Kini, meski ia secara fisik tidak sempurna, tetapi ia mampu berbuat lebih. Melebihi dari apa yang bisa dilakukan oleh orang normal. “Ini semua rahasia Allah, bahwa orang cacat seperti saya, diberi kemampuan untuk membantu orang lain,” katanya.
Sumber