aguspurnomosite.blogspot.com

aguspurnomosite.blogspot.com
Berpikir Luas Membuka Cakrawala Kehidupan! Berusaha Memberikan Yang Terbaik Untuk Masa Depan! Katakan "Go Go Go SEMANGAT" !!!

Sabtu, 04 Mei 2013

Tiga Jurus Bahagia

Apa itu Bahagia? Setiap orang memiliki persepsi masing-masing mengenai arti kebahagiaan sesuai dengan pandangan hidupnya. Banyak pendapat saling berlainan dalam mendefinisikan makna kebahagiaan. Masing-masing memiliki pemahamannya tersendiri sesuai dengan keyakinan dan pandangannya terhadap kehidupan. Kebanyakan menyandarkannya kepada materi. Pendapat mereka mengenai kebahagiaan berkisar seputar kekayaan, harta yang melimpah, kenikmatan dan kesenangan, kemasyhuran, kecantikan dan wanita, kebebasan, kemenangan, kesuksesan, serta tuntutan-tuntutan hidup lainnya.

Berbeda dengan orang-orang mu’min. Sedangkan orang mu’min dan beramal shalih adalah sebaik-baik makhluk. Neraca timbangan mereka dalam mengukur kebahagiaan adalah syariat yang suci. Hujjah mereka adalah pedoman hidup sepanjang masa Al-Qur’an Karim. Dalil mereka adalah risalah rabbaniyahyang diemban oleh para Rasul dan dibawa para Nabi. Kebahagiaan menurut mereka, adalah "tauhid yang murni, yang tak tercampur noda syirik."

Kebagiaan mereka adalah IMAN. Tiga jurus bahagia adalah SABAR, SYUKUR dan AMPUNAN. Apabila memperoleh nikmat mereka bersyukur; apabila memperoleh musibah mereka bersabar; apabila berbuat dosa mereka memohon ampun.

Alangkah beruntungnya orang-orang mu’min, yang dapat merasakan kebagaiaan dalam setiap keadaan; suka maupun duka. Itulah barakah, kebaikan yang bertambah-tambah. Kebahagiaan mereka adalah kebaikan. Kesempitan dan kesusahan mereka pun kebaikan. Tatkala berbuat dosa pun menjadi kebaikan jika tertaubati dan menjadikannya insan yang lebih bertaqwa.

Alangkah bahagianya orang mu’min. Karena iman, tak ada kesedihan dan ketakutan. Sebab mereka ridha terhadap Rabbnya dan Rabbnya ridha terhadap mereka. Tiada kekhawatiran kehidupan mereka di dunia, sebab jika mereka menjadi orang yang dekat kepada-Nya, pasti akan ditolong, dilindungi, diayomi, diselamatkan oleh-Nya. Tiada kebahagiaan yang melebihi orang-orang yang dekat kepada Rabb-nya.

Sedangkan kebahagiaan puncak mereka ada di akhirat; ketika bertemu dengan-Nya, mendapatkan sambutan salam dari-Nya; mendapatkan ridha dan surga-Nya. Sedangkan kebahagiaan mereka di dunia merupakan ‘surga’ yang dicicipkan sebelum surga yang sebenarnya. Dengan rasa iman di dalam dada; mencakup syukur, sabar dan ampunan.

Alangkah bahagianya orang yang bersyukur, setiap kenikmatannya pasti akan ditambah. Ditambah dan ditambah. Sedangkan rasa syukur itu merupakan ni’mat tersendiri. Karena rasa syukur pula ia menjadi qanaah, merasa cukup. Sehingga lapanglah dadanya. Luaslah pandangannya.

Alangkah bahagianya orang yang bersabar; pasti mendapatkan rahmat-Nya, dosa-dosanya diampuni, diganjari kebaikan yang tak terbatas, dinaikkan derajat keimanannya. Serta kebahagiaan bagi orang-orang yang bertaubat; dosa-dosanya terampuni, kesalahannya diganti dengan kebaikan. Alangkah bahagianya… Alangkah beruntungnya…

Orangtua kita kerap mengajari kita untuk tidak merasa rugi dalam segala sesuatu; bahkan agar senantiasa merasa beruntung. Ketika brakk terjatuh dari kursi, “untung nggak patah tangannya, nduk.” Senantiasa ucapan ‘beruntung’ yang dilontarkan agar kita tidak merasa rugi dalam keadaan terburuk sekali pun. Agar kita bisa tetap bersyukur meski mendapat musibah sekali pun.

Sedangkan kesengsaraa bagi orang yang tak mampu bersyukur; sempit hatinya membuatnya selalu kurang; tak membuatnya nyaman meski dalam keadaan yang baik sekalipun. Orang yang sempit hati, tak akan merasakan kebahagiaan meski pun tinggal di dalam istana yang megah dan di tengah harta kekayaan yang melimpah. Serta kesengsaraan pun bagi orang-orang yang tak mampu bersabar. Kesempitan dan kesusahan mereka bertambah-tambah dengan kesengsaraan di dalam dada. Dan puncak kesengsaraan mereka adalah di akhirat; ketika mendapati adzab dan laknat-Nya. Na’udzubillah min dzalik…

Termasuk orang yang bahagiakah kita? Wallahu a’lam bish shiwab…

Anda Sebenarnya Berada dalam Nikmat yang tiada Terkira

Dalam menjalani hidup ini, lihatlah orang orang yang ada di bawah anda.

Kalaupun selama ini anda selalu merasa resah karena kemiskinan yang menimpa, anda pasti akan mendapati bahwa di sana masih banyak orang yang setiap harinya mengemis demi sesuap nasi atau meminta minta hanya untuk membeli obat.

Kalaupun selama ini anda resah dengan penyakit yang anda derita, cobalah lihat mereka yang sejak bertahun tahun tidak bisa bangun dari tempat tidurnya, mereka yang lumpuh, buta, dan busung lapar.

Kalaupun anda tidak bisa melanjutkan kuliah, itu tidak berarti harus membuat anda gelisah, karena di sana masih banyak orang yang buta huruf dan tidak bisa menulis sama sekali.

Kalaupun pekerjaan anda tidak begitu layak, itu bukan alasan untuk merasa gelisah, sebab di sana masih ada berjuta orang yang bahkan tidak mempunyai pekerjaan sama sekali…

Benar Ya Allah, ternyata hambamu ini berada pada nikmatMu yang tak terkira… 

Keputusan Allah Pasti Lebih Baik

Bagi orang yang mendapat cobaan yang sangat berat kemudian berdoa, janganlah sampai terlintas dalam hatinya bahwa jawaban-jawaban doanya ditunda atau malah tidak dikabulkan. Allah-lah Zat Yang wajib dimintai, Maharaja, dan Mahabijaksana. Andaikata Dia tak menjawab, Dia melakukan apa yang dikehendaki dalam kekuasan-Nya. Andaikata Dia mengakhirkan, maka Dia telah berbuat sesuai dengan kebijaksanaan dan hikmah-Nya.

Berangsiapa yang berpaling dari-Nya pada saat sendirian, ia pasti keluar dari sifat-sifat sebagai hamba, yang mendesak seakan-akan ialah pemilik alam ini. Hendaklah ia tahu bahwa Allah memilihkan yang terbaik bagi hamba-Nya. Mungkin saja ia meminta aliran air, namun siapa tahu jika ia malah hanyut terbawa arus itu.

Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa seseorang meminta kepada Allah agar dikaruniakan kepadanya kesempatan berjihad. Akan tetapi, saat itu ada suara yang berkata, “Sesungguhnya jika kamu berperang niscaya kamu akan tertawan dan jika engkau tertawan niscaya kamu akan dimurtadkan!”

Saat seorang hamba telah menyadari akan hikmah dan kebijaksanaan-Nya dan sangat yakin bahwa seluruh yang ada di dunia ini berada di bawah kekuasan-Nya, maka akan jernihlah hatinya, kendati apa yang diharapkannmya tidak terwujud.

Dalam sebuah hadits dikatakan, “Tak ada seorang muslim pun yang berdoa kecuali pasti akan dikabulkan oleh Allah. Mungkin akan disegerakan jawabannya, mungkin pula akan ditunda, ataupun akan menjadi simpanan di akhirat.”

Barangsiapa yang telah dikabulkan doanya di dunia, kelak di hari kiamat permintaan-permintaan yang telah dikabulkan akan hilang sirna, sementara yang belum terjawab masih tersisa pahalanya. Orang yang bersangkutan akan berkata,”Ya Allah, andaikan Engkau tak pernah menjawab doa-doaku di dunia dahulu”.

Pahamilah apa yang saya uraikan dan selamatkanlah kalbu Anda agar tidak meragukan terkabulnya doa Anda. Janganlah pernah pula Anda terburu-buru menanti jawaban doa itu.

–Oleh Ibnul Jauziy, dalam Shaidul Khatir– 

Kurang Minum Air, Mempengaruhi Daya Ingat

MUSA bukan dokter. Tapi pria 33 tahun ini telah melakukan penelitian kecil-kecilan tentang hubungan antara kurang minum air putih dan daya ingat siswa. Guru kelas satu di Sekolah Dasar Negeri Legundi II, Gunung Kidul, Yogyakarta, ini selama hampir tiga tahun mengamati perilaku murid-muridnya. Biasanya, setelah waktu istirahat pertama, sebagian siswa, terutama siswa laki-laki, sulit menangkap pelajaran. Banyak hafalan terlupa, konsentrasi mereka pun berkurang.

Setelah diamati lebih saksama, Musa menyimpulkan daya ingat melemah akibat siswa kurang cairan setelah mereka menghabiskan waktu istirahat dengan bermain bola atau beraktivitas fisik sampai peluh bercucuran. "Masuk kelas lagi memang keringat sudah kering, tapi para murid kelihatan loyo," katanya. Coba-coba, Musa mewajibkan para siswa minum air putih sebelum masuk kelas. Hasilnya, kemampuan mengingat mereka meningkat. Murid-murid pun menerima pelajaran yang dijelaskan Musa dengan lebih baik.

Ketua Umum Persatuan Peminat Gizi dan Pangan (PerGizi Pangan) Indonesia Hadiansyah punya penjelasan tentang kondisi yang dialami murid Musa. "Dehidrasi memang bisa mengakibatkan memory loss sementara," katanya dalam keterangan pers pembukaan Kongres Nasional Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) XI di Bandung, Senin dua pekan lalu. Perlu diketahui bahwa kehilangan hanya 2 persen cairan tubuh (60-70 persen dari bagian tubuh kita terdiri atas zat cair) bisa mengacaukan ingatan jangka pendek. Seseorang juga bisa mengalami kesulitan menghitung sederhana dan susah berkonsentrasi karena hal itu. "Pokoknya memperlambat ingatan," tutur Hadiansyah.

Kinerja otak yang terganggu karena kurangnya asupan air memang sangat masuk akal, karena proporsi air di dalam otak mencapai 80 persen. Sebagian besar dari bagian otak sangat bergantung pada air. "Jika kekurangan air, komunikasi di otak akan terganggu," ujar Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor itu. Ketika tubuh kekurangan air, jumlah cairan di otak akan menurun, sehingga asupan oksigen dan gizi ke otak pun berkurang. Akibatnya, sel-sel otak menjadi pasif, tidak berkembang, bahkan bisa menciut. Dalam kondisi itu otak tidak berfungsi baik, terutama fungsi kognitifnya.

Karena begitu pentingnya asupan air minum bagi kesehatan-namun sering disepelekan-Ikatan Ahli Kesehatan memperjuangkan untuk memasukkan air minum pada pedoman gizi seimbang, menambah patokan lama: empat sehat lima sempurna. Dengan demikian, pentingnya asupan air putih lebih diperhatikan si remaja, juga orang tua dan guru.

Menurut penelitian yang pernah dilakukan Hadiansyah pada 2008, kebiasaan minum air putih di kalangan remaja memang memprihatinkan. Dari 194 orang responden asal Bandung Barat dan 209 orang dari Jakarta Utara, hanya 21,4 persen yang mengetahui manfaat air bagi tubuh.

Lihat yang terjadi pada Zain Romanov, 13 tahun. Cairan yang masuk ke tubuhnya adalah teh kemasan dan minuman bersoda. Dia ogah minum air putih karena membuatnya mual. Namun, akibatnya, daya ingat dan kemampuan berpikirnya menurun dengan pasti. SMP idaman pun tak dapat dia raih.

Memang mungkin kekurangan cairan bukan satu-satunya penyebab penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir Zain. Namun kebiasaan ogah minum air putih pasti turut andil. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan di Inggris awal tahun ini, dehidrasi memang mempengaruhi ukuran otak dan cara kerjanya. "Ada pengerutan jaringan otak," kata peneliti Matthew Kempton dan Ulrich Ettinger dari Institute of Psychiatry di King's College London. Besar pengerutannya setara dengan penuaan selama 14 bulan, atau pada orang yang menderita alzheimer selama dua setengah bulan.

Gangguan kinerja otak berupa kehilangan ingatan sementara itu hanyalah satu dari sekian banyak dampak buruk dehidrasi di kalangan remaja. Sudah banyak penelitian yang membuktikan hal itu. Berbagai kerusakan pada organ tubuh dan fungsinya niscaya terjadi bila malas minum air putih dibiarkan terus-menerus. Padahal kebutuhan tubuh akan air putih adalah delapan gelas per hari.

Mengapa? Karena dampak dehidrasi langsung menyerang sel di tubuh kita. Airlah yang membuat sel tubuh solid dan bersatu, karena air membuat lapisan sel memproduksi ion hidronium, yang menjadikan air berfungsi seperti lem atau perekat antarsel. Dalam kondisi seperti ini, efisiensi protein dan enzim pun meningkat. Sebaliknya, bila sel mengalami dehidrasi, metabolisme pun terganggu. Dehidrasi berdampak buruk pada metabolisme gula, daya tahan tubuh, dan proses detoksifikasi.

Dehidrasi juga sangat mempenga-ruhi aliran getah bening (cairan limfa)-cairan interstitial, berupa plasma darah yang keluar dari pembuluh darah dan beredar sebagai cairan ekstraseluler. Bila asupan air kurang, arus getah bening pun terhambat, bahkan mogok. Padahal cairan limfa berfungsi mempermudah pertukaran nutrisi antara darah dan jaringan tubuh-jaringan inilah yang membentuk organ tubuh.

Jadi "empat sehat dan lima sempurna" saja tidaklah cukup, meskipun setengah dari kebutuhan air biasanya ada pada makanan kita. Kecukupan asupan air putih sangat perlu ditepati sejak anak-anak. Kecerewetan seperti yang dilakukan Nila Puspita, 38 tahun, terhadap Rani, anaknya yang berusia 15 tahun, perlu ditiru. Nila hafal benar, bila Rani mulai lambat berpikir, pasti dia kumat malas minum air putih. "Biasanya jadi lemas dan pemalas," kata Nila, yang yakin bahwa memaksa anak minum air putih itu wajib hukumnya.

Hati-Hati Siswa Anda Alami Burnout

John Dewey, seorang filsuf pendidikan menyatakan dengan tegas bahwa pengalaman apapun yang mempunyai pengaruh menghambat ataupun mendistorsi pertumbuhan pengalaman selanjutnya adalah salah didik (Dewey, 2004). Pengalaman dalam adegan pendidikan yang berwujud proses pembelajaran di sekolah sejatinya merangsang siswa untuk dapat mengembangkan potensi dirinya.

Sebuah kekeliruan jika akhirnya terdapat pengalaman dalam proses pembelajaran, yang menghambat tumbuhnya pengalaman-pengalaman selanjutnya dalam proses menjadi sosok manusia yang diharapkan pendidikan. Secara konseptual, definisi serta tujuan pendidikan secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 (1) yakni:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Tujuan pendidikan dalam konsep UU Sisdiknas diatas menekankan pada pengalaman proses pembelajaran serta membentuk suasana belajar yang menjadi sebuah sarana bagi siswa untuk mendapatkan kematangan perkembangan kognitif, afektif, spiritual dan kepribadian.

Namun pada implementasinya, terkadang proses pembelajaran hanya menekankan pada aspek intelektualitas serta pemenuhan standar yang diukur oleh nilai kualitatif semata. Kartadinata (2010) mengidentifikasi kekeliruan dalam pendidikan, dimana terjadi penetapan ukuran keberhasilan dan mutu pendidikan yang berhenti pada angka-angka ujian.

Ekspektasi standar serta ukuran kuantitatif dalam proses pembelajaran pada akhirnya memicu terjadinya simplifikasi proses pendidikan yang dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerawanan dan kerapuhan kehidupan bangsa (Kartadinata, 2010). Simplifikasi yang dimaksud adalah berupa pemusatan tujuan pada tujuan individual yang bersifat intelektual yang diukur melalui ujian. Sehingga, siswa di paksa untuk memenuhi harapan standar tersebut dan yang menjadikan pembelajaran menjadi sebuah proses linier, sebagai sebuah kontrak kerja antara guru dan peserta didik (Kartadinata, 2010).


Akibat yang muncul dari proses mekanisasi pembelajaran di sekolah menjadikan sebuah tekanan tersendiri bagi peserta didik. Tuntutan pemenuhan standar nilai, tugas yang sulit, metode pengajaran yang statis yang berorientasi pada standar nilai, hingga tuntutan citra nama baik sekolah menjadikan pengalaman stres siswa tak lagi dapat dielakkan. Bilimleri (2011) menyatakan dalam proses pembelajaran, stres muncul dari pelajaran di kelas, tugas matapelajaran, atau tekanan psikologis lainnya yang dapat menghantarkan pada kelelahan emosional, kecenderungan berkurangnya reaksi emosional dan fisik (desensitization), dan rasa berprestasi rendah.

Pendapat Bilimleri tersebut memberikan sinyal bahwa perlu ada perhatian lebih jika gejala stres mulai muncul dalam proses pembelajaran. Karena tekanan psikologis akan memunculkan akibat buruk bagi siswa seperti kelelahan emosi, desensitization, serta perasaan rendahnya prestasi.

Mengenai fenomena stres dalam setting proses belajar,Penelitian Nurmalasari (2011) terhadap siswa kelas VII SMP Negeri 1 lembang menemukan bahwa 20,93% siswa mengalami stress kategori tinggi, 58,14% kategori sedang, serta 20,93% kategori rendah. Penelitian ini menggambarkan bahwa pengalaman stres siswa khususnya siswa sekolah menengah yang notabene berada pada masa remaja telah menjadi fenomena yang memerlukan perhatian.

Kondisi masa remaja yang menurut Hurlock (1980) dikenal dengan masa rentan “badai dan tekanan” (storm and stress), menambah keyakinan bahwa perlu adanya perhatian lebih terhadap stress yang dialami siswa. Hal ini akan menjadi bahaya karena tidak menutup kemungkinan, pengalaman stres di sekolah akan memicu munculnya dampak lain yang lebih parah. Misalnya Hiew & Glendon (Spielberger& Sarason, 2005) dalam penelitiannya ia menyatakan bahwa stres remaja yang disebabkan oleh sekolah menurunkan kemampuan untuk berkembang lebih sehat, berfungsi baik dan matang pada kedewasaan.

Namun, pada kenyataannya terkadang stres siswa dipandang sebagai hal yang biasa. Kelemahan dalam mengidentifikasi gejala stres, tak adanya pemberian keterampilan coping stress bagi siswa,  hingga tak dimilikinya kompetensi guru untuk memberikan penanganan, menjadikan stres siswa tak mendapatkan perhatian.

Sehingga, pengalaman stres siswa dibiarkan berkepanjangan hingga akhirnya memunculkan dampak baru seperti apa yang dinyatakan Slivar (2001) yang menyatakan bahwa “dalam efek jangka panjang, stres sekolah dapat menyebabkan gejala kejenuhan (burnout syndrom).” Sindrom kejenuhan (burnout) muncul akibat stress di sekolah yang berkepanjangan tidak ditangani.

Istilah burnout atau kejenuhan pada awalnya ditujukan pada kondisi stress di tempat kerja, terutama profesi yang berhubungan dengan tuntutan situasi yang melibatkan emosi (Slivar, 2001). Penyelidikan mengenaiburnout di sekolah atau dalam setting pendidikan relatif baru muncul. Burnout belajar diperkenalkan dan dikembangkan melalui penelitian Slivar (2001), Schaufeli et al (2002), Lightsey&Hulsey (2002), Jacobs et al (2003), Huei Jen Yang (2004), Noushad (2008) dan Agustin (2009) yang menemukan bahwa kejenuhan bukan hanya terjadi pada adegan pekerjaan tapi juga pada kegiatan belajar (Sugara, 2011).

Hal tersebut memang sangat memungkinkan terjadi, meski sekolah bukan merupakan tempat kerja, namun kadang identik karena proses pembelajaran seperti yang diungapkan Kartadinata (2010) kadang menjadi sebuah proses linier, sebagai sebuah kontrak kerja antara guru dan peserta didik. Pendapat ini diperkuat juga oleh Salmela-Aro (2008) yang menyatakan :

“...in the school-context: school is a context in which students work. Although students are neither employed nor hold jobs, from a psychological perspective their core activities can be considered ‘‘work’’. They attend classes and do assignments in order to pass exams and acquire a degree.”

Namun, kebanyakan studi mengenai kejenuhan belajar ini dilakukan dalam setting pendidikan tinggi (Aypay, 2011). Menurut Erturgut&Soysekerci (Aypay, 2011) masih sangat sedikit penelitian tentang kejenuhan pada adegan sekolah menengah. Padahal Grayson&Alvarez (Aypay, 2011) menegaskan bahwa sangat penting untuk melacak sumber-sumber, penguat serta dampak-dampak psikologis yang ada di kalangan siswa, bagi kesehatan serta keberfungsian dari sistem pendidikan. Maka dari itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mendalami lebih lanjut mengenai kejenuhan pada siswa di sekolah menengah.

Burnout menurut Pines&Aronson (Slivar, 2001) didefinisikan sebagai “state of physical, emotional and mental exhaustion that results from long-term involvement with people in situations that are emotionally demanding”. Secara definitif, dinamika psikologis yang muncul saat mengalami burnout adalah kelelahan pada area fisik, emosi dan mental. Maslach (Nurwangid,2010) mendefinisikan burnout sebagai sindrom psikologis yang terdiri dari tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, maupun low personal accomplishment.

Dari definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa burnout atau kejenuhan merupakan gejala psikologis yang merujuk pada munculnya kondisi kelelahan fisik, emosional, mental, depersonalisasi dan menurunnya kecakapan pribadi.

Dalam konteks belajar siswa, Schaufeli et al (2002) mendefinisikan “burnout among students refers to feeling exhausted because of study demands, having a cynical and detached attitude toward one’s study, and feeling incompetent as a student”. Definisi ini merujuk pada penyebab serta perilaku yang muncul saat siswa mengalami kejenuhan yakni kelelahan yang disebabkan oleh tuntutan belajar, berperilaku sinis dan meninggalkan pelajaran serta perasaan tak mampu sebagai pelajar.

Lebih lanjut, Aypay (2011) menghimpun dari berbagai pengertian mengenai burnout dalam setting sekolah yakni :

“School burnout refers to the burnout syndrome that stem from schools' and education's excessive demands on students. Student burnout paves the way to absenteism, low motivation to courses, high rate of drop-out. In learning process, stress resulted from lessons, high workload or other psychological pressure factors may lead to emotional burn-out, tendency to desensitization, and low feeling of success (Yang & Farn, 2005; McCarthy, Pretty & Catano, 1990).

Dalam himpunan pengertian ini, menekankan beberapa hal penting. Pertama, Burnout di sekolah diakibatkan oleh tingginya tuntutan sekolah dan pendidikan (belajar) pada siswa. Kedua,  Burnout siswa memicu keengganan untuk hadir, rendahnya motivasi belajar, hingga tingginya angka drop-out. Ketiga, dalam proses pembelajaran, stress dihasilkan dari pelajaran serta tekanan psikologis lainnya dalam belajar. Keempat, hal tersebut dapat menghantarkan siswa mengalami kejenuhan emosional, kecenderungan berkurangnya keaktifan fisik dan emosional, serta rendahnya rasa keinginan untuk sukses.

Dari berbagai pengertian serta dampak yang disebutkan, maka patutlah fenomena tentang burnout belajar menjadi titik perhatian dan perlu segera ditangani. Dalam konteks penelitian lokal, studi tentang burnoutbelajar telah terlebih dahulu dilakukan oleh Sugara pada tahun 2011 pada siswa SMA Angkasa Bandung yang menemukan bahwa sebanyak 15,32% intensitas kejenuhan belajar siswa berada dalam kategori tinggi, 72,97% dalam kategori sedang, serta 11,71% pada kategori rendah. Area kejenuhan belajar yang ditemukan dalam penelitian ini yakni 48,10% pada area keletihan emosi, 19,19% pada area depersonalisasi, serta 32,71% pada area menurunnya keyakinan akademis.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Firmansyah (2012) pada siswa kelas VIII SMPN 1 Lembang yang menemukan bahwa 14,6% siswa mengalami kejenuhan belajar kategori tinggi, 72,9% pada kategori sedang, serta 12,5% pada kategori rendah.

Merujuk pada fakta empirik diatas, terlihat bahwa fenomena kejenuhan di sekolah menengah perlu menjadi titik perhatian serius. Terutama pada sekolah yang memungkinkan untuk memberikan beban berlebih kepada siswa. Lebih jauh, spesifikasi suasana pembelajaran yang monoton, kondisi fasilitas belajar yang kurang menunjang, serta tuntutan sekolah yang cenderung memaksa siswa untuk bekerja berlebih.

Untuk menunjang keyakinan peneliti seperti yang disebutkan, menarik jika melihat fakta empirik lainnya yakni penelitian Salmela-Aro (2008) yang menemukan bahwa kejenuhan belajar siswa positif berhubungan dengan munculnya gejala depresi. Lebih jauh Salmela-Aro menyatakan “school burnout both during middle and late adolescent should be taken seriously as it can lead to depressive symptoms later on.”

Sebagai tindak lanjut dari hal tersebut, maka perlu dirumuskan sebuah penanganan yang serius agar situasi kejenuhan belajar siswa tidak menimbulkan dampak yang lebih parah. Agustin (2009) menyatakan bahwa kejenuhan belajar merupakan masalah yang harus segera ditangani dengan baik. Berbicara tentang penanganan kejenuhan belajar, Nurikhsan (2003:21) menyatakan :

“Salah satu upaya mengurangi kejenuhan belajar adalah konseling akademik, yaitu upaya membantu klien mengatasi kesulitan belajar, mengembangkan cara belajar yang efektif, membantu mereka supaya sukses dalam belajar dan agar mampu menyesuaikan diri terhadap semua tuntutan.”

Artinya, perlu dirumuskan suatu pendekatan yang tepat yakni melalui konseling dengan teknik yang dapat segera membantu siswa untuk dapat pulih dari kondisi kejenuhan belajar yang dialami. Prinsipnya, seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa kejenuhan belajar merupakan keadaan yang harus segera ditangani dengan pendekatan yang serius, maka pendekatan konseling yang dipilih juga harus bersifat segera dan cepat.
Reff 

Perkembangan Intelektual Anak ( Siswa )

Para ahli psikologi dan ahli pendidikan banyak yang telah melakukan penelitian tentang perkembangan intelektual/perkembangan kognitif/perkembangan mental anak. Jean Piaget adalah seorang ahli ilmu jiwa anak yang berkeyakinan bahwa dengan memahami proses berpikir yang terjadi pada anak, dia dapat menjawab pertanyaan, “Bagaimana memperoleh pengetahuan?” dan “Bagaimana kita tahu apa yang kita ketahui?

Tingkat perkembangan intelektual anak oleh Piaget dibedakan atas empat periode seperti di bawah ini :


1. Sensori-Motor (0-2) tahun
Sifat-sifat : Stimulus Bound, anak berinteraksi dengan stimuli dari luar. Lingkungan dan waktu terbatas, kemudian berkembang sampai dapat berimajinasi. Konsep tentang benda berkembang, mengembangkan tingkah laku baru, kemampuan untuk meniru. Ada usaha untuk berfikir.Perubahan yang terlihat : Gerakan tubuhnya merupakan aksi refleks, merupakan eksperimen dengan lingkungannya.

2. Pra Operasional (2-7) tahun
Sifat-sifat : Belum sanggup melakukan operasi mental. Belum dapat membedakan antara permainan dengan kenyataan atau belum dapat mengembangkan struktur rasional yang cukup. Masa transisi antara struktur sensori motor ke berpikir operasional.Perubahan yang terlihat : Sifat egosentris baru akan berkembang bila anak banyak berinteraksi sosial. Konsep tentang ruang dan waktu mulai bertambah. Bahasa mulai dikuasai. 

3. Operasional Konkret ( 7-11) tahun
Sifat-sifat : Berpikir konkret, karena daya otak terbatas pada obyek melalui pengamatan langsung. Dapat mengembangkan operasi mental, seperti menambah, mengurangi. Mulai mengembangkan struktur kognitif berupa ide atau konsep. Melakukan operasi logika dengan pola berpikir masih konkret.Perubahan yang terlihat : Tidak egosentris lagi. Berpikir tentang obyek yang berhubungan dengan berat, warna dan susunan. Melakukan aktivitas yang berhubungan dengan obyek. Membuat keputusan logis. 

4. Operasional Formal (11 tahun ke atas)
Sifat-sifat : Pola berpikir sistematis meliputi proses yang kompleks. Pola berpikir abstrak dengan mempergunakan logika matematika. Pengertian tentang konsep waktu dan ruang telah meningkat secara signifikan.Perubahan yang terlihat : Anak telah mengerti tentang pengertian tak terbatas, alam raya dan angkasa luar. 

Menurut Piaget ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat perkembangan intelektual/mental anak sebagai berikut : 

1. Kematangan (Maturation)
Perkembangan sistem saraf sentral, otak, koordinasi motorik dan proses perubahan fisiologis dan anatomis, akan mempengaruhi perkembangan kognitif. Faktor kedewasaan atau kematangan ini memang berpengaruh pada perkembangan intelektual tetapi tidak cukup menerangkan perkembangan intelektual. 

2. Pengalaman fisik (Physical Experience)
Pengalaman fisik terjadi jika anak berinteraksi dengan lingkungannya. Tindakan fisik ini memungkinkan anak dapat mengembangkan aktivitas dan gaya otak, sehingga mampu mentransfernya dalam bentuk gagasan atau ide. Dari pengalaman fisik yang diperoleh anak dapat dikembangkan menjadi matematika logika. Dari kegiatan meraba, memegang, melihat, berkembang menjadi kegiatan berbicara, membaca dan menghitung.

3. Pengalaman sosial (Social Experience)
Pengalaman sosial diperoleh anak melalui interaksi sosial dalam bentuk pertukaran pendapat dengan orang lain, percakapan dengan teman, perintah yang diberikan atasan, membaca dan bentuk lainnya. Dengan cara berinteraksi dengan orang lain lambat laun sifat egosentrisnya berkurang. Ia sadar bahwa gejala dapat didekati atau dimengerti dengan berbagai cara. Melalui kegiatan diskusi anak akan memperoleh pengalaman mental. Dengan pengalaman mental inilah, memungkinkan otak bekerja dan mengembangkan cara-cara baru untuk memecahkan persoalan. Disamping itu pengalaman sosial dijadikan landasan untuk mengembangkan konsep-konsep mental seperti kerendahan hati, kejujuran, etika, moral dan sebagainya. 

4. Keseimbangan (Equilibration)
Keseimbangan merupakan suatu proses untuk mencapai tingkat fungsi kognitif yang semakin tinggi. Keseimbangan dapat dicapai melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi menyangkut pemasukan informasi dari lingkungan dan menggabungkannya dalam bagan konsep struktur yang ada pada otak anak. Akomodasi menyangkut modifikasi bagan konsep untuk menerima bahan atau informasi baru.

Suatu stimulus dapat mengganggu keseimbangan, tetapi dengan suatu respon dia dapat mengembalikan diri pada keseimbangan. Piaget percaya bahwa manusia harus selalu dalam keadaan keseimbangan. Sebagai hasil adaptasi dengan lingkungan maka individu secara progresif menunjukkan interaksi dengan lingkungan secara lebih rasional.

Guru Sebagai Inspirasi Cita cita Siswa SMP

“Ayo anak anak ambillah secarik kertas lalu tuliskan cita citamu....” pesan guru kepada siswa SMP kelas VII.

Maka anak anak pun segera menuliskan cita cita nya dengan cepat lalu kertas dibalik menandakan bahwa ia sudah menuliskan,ada yang masih membayangkan apa yang harus dituliskan,ada yang bertanya kepada teman bahkan ada yang sama sekali tidak tahu apa yang harus ditulisnya. Itulah gambaran siswa usia SMP dalam memahami arti cita cita bagi dirinya.

Mungkin terlalu dini untuk “mendorong’ siswa SMP menentukan arah dari cita cita ,namun dengan siswa mengimajinasikan “mimpi” sejak dini akan mempermudah bagi guru memotivasi siswa untuk meraihnya. Sebagian besar siswa SMP sulit atau belum memiliki rencana aktivitas jangka panjang dalam jenjang karir pendidikannya atau bahkan mendeskripsikan dengan jelas apa cita citanya. Pandangan akan arah tujuan pendidikan yang dijalani siswa tidak bisa stabil dan logis. Mengingat wawasan dan pola pikirnya masih banyak dipengaruhi oleh teman sebaya,informasi dan lingkungan sekitar.

Meskipun demikian siswa SMP tidak ada salahnya mulai diberikan wawasan,kesempatan ,semangat ,pengalaman untuk menjelajahi berbagai peran,serta mengenal beragam profesi untuk memberikan wacana dan pengetahuan tentang masa depan .Sekaligus dapat memberikan inspirasi dan motivasi untuk belajar memilih cita cita dan memperjuangkannya dengan belajar bersungguh -sungguh.  


Inilah kiat Praktis yang semestinya dapat dilakukan guru memotivasi siswa:

  • Sebelum menjelaskan isi teori /konsep yang akan dijadikan materi pembelajaran, ajaklah siswa untuk mencari dan menemukan tokoh /sejarah penemuan konsep dan teori yang akan dipelajari .
  • Fokuskan pada perjuangan ,kerja keras,kreativitas,kegigihan ,semangat dan kepekaan terhadap lingkungan agar dapat mengenali dan menginternalisasi sistem “nilai” para tokoh tersebut untuk tokoh panutan bagi siswa.
  • Mintalah siswa untuk mengindentifikasi dan mendeskripsikan nilai nilai penting dan menuliskannya, sekaligus dorong siswa untuk memberikan pendapat atau kesan atas nilai nilai dari tokoh yang sudah diketahuinya.
  • Jangan paksa siswa untuk secara langsung meniru,bangga atau menginternalisasi nilai nilai para tokoh apalagi dengan membandingkan perilaku siswa dan para tokoh bersangkutan ,hal ini hanya akan membuat siswa tidak berempati terhadap materi yang dipelajarinya.
  • Minta siswa menuliskan apa yang mereka impikan di masa depan,lantas bagaimana mereka mencapainya..,,biarkan mereka menuliskan menurut pendapatnya sendiri jangan didikte atau dikomentari.
  • Motivasilah siswa untuk membaca dan mengambil referensi kesuksesan para tokoh sebagai sumber inspirasi meraih keberhasilan siswa meraih cita cita.  

" Seorang guru adalah sumber inspirasi untuk meningkatkan motivasi dan rasa percaya diri peserta didik dalam meraih cita citanya dimasa depan. "