Tak jarang kita mendengar Hadits – Hadits Dha’if yang justru populer dan “RATINGNYA” naik disaat bulan suci ramadhan atau bila adanya panggilan Jihad, entah sengaja atau tidak, tapi kadang hadits seperti itu bisa mengembosi semangat Jihad para ikhwan..
Hadits ini misalnya, yang di gunakan oleh kaum yg seakan-akan menomor sekiankan Jihad Qital mereka ini (Kaum) yang menomor duakan jihad qital berargumen dengan hadits yang sangat masyhur.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda sewaktu pulang dari perang Tabuk,
“Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar.” Mereka berkata, “Apakah jihad yang lebih besar itu?” Beliau menjawab, “Jihad hati.” (HR. Al-Baihaqi dalam Az-Zuhd (384) dan Al Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (Bab Al-Wawi/Dzikr Al-Asma` Al Mufradah) dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhuma. Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal (biografi Ibrahim bin Abi Ablah Al-Adawi/210) dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (biografi Ibrahim bin Abi Ablah); dari Ibrahim bin Abi Ablah.
Imam As-Suyuthi mengatakan, “Diriwayatkan Ad-Dailami, Al-Baihaqi dalam Az-Zuhd, dan Al-Khathib.”[Jami’ Al-Ahadits (15164)]
Dalam riwayat Al-Khathib disebutkan, bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat baru saja dari suatu peperangan, beliau bersabda kepada mereka,
“Kalian telah kembali ke tempat kedatangan terbaik, dari jihad yang lebih kecil menuju jihad yang lebih besar.” Para sahabat berkata,“Apakah jihad yang lebih besar itu? Nabi bersabda, “Jihad seorang hamba melawan hawa nafsunya.”
Derajat Hadits tersebut adalah Dha’if.
Al-Baihaqi berkata, “Hadits ini sanadnya lemah.”
As-Suyuthi menukil dari Ibnu Hajar, “Hadits ini sangat terkenal dan sering diucapkan. Ia adalah perkataan Ibrahim bin Abi Ablah dalam Al-Kunanya An-Nasa`i.”[Ad-Durar Al-Muntatsarah fi Al-Ahadits Al-Musytaharah (1/11)]
Al-Iraqi mendha’ifkan hadits ini dalam Takhrij Ahadits Al-Ihya` (2567).
Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak ada dasarnya dan tidak seorang pun ahli yang meriwayatkannya sebagai perkataan dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Bagaimanapun, jihad melawan kaum kafir adalah termasuk amalan yang terbesar dan paling utama.”[ Majmu’ Al-Fatawa: 11/197, dan Al-Furqan Baina Awliya` Ar-Rahman wa Awliya` Asy-Syaithan: 46]
Dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (2460), Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits mungkar.” Dan dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir (8510), Al-Albani mendha’ifkannya.
Firman Allah Ta’ala,
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya satu derajat di atas orang-orang yang duduk. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS. Al-Nisa’: 95)
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Taubah: 20-22)
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dan lainnya, dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku pernah berada di sisi mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ada seorang laki-laki berkata, ‘Aku tidak peduli, aku tidak akan melakukan pekerjaan apapun sesudah (masuk) Islam kecuali memberi minum pada orang haji’. Lalu di jawab oleh yang lain, ‘Kalau aku tak peduli, aku tidak mengamalkan amalan apapaun setelah (masuk) Islam kecuali memakmurkan Masjidil Haram’. Lalu berkatalah Ali bin Abi Thalib, ‘Berjihad di jalan Allah lebih utama dari semua amal yang kalian katakan itu’,
Kemudian Umar bin Khattab melarang mereka, “Janganlah kalian berbicara keras di sisi mimbar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi jika sudah selesai shalat (Jum’at) saya akan menanyakannya. Maka bertanyalah Umar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat ini –QS. Al-Taubah: 19-.”
“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang dzalim.” (QS. Al-Taubah: 19)
Dalam Shahihain lainnya, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling utama di sisi Allah ‘Azza wa Jalla?” Beliau menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.” Aku bertanya, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Berjhad di jalan Allah.” Dia berkata,”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan semua itu kepadaku, dan kalau aku bertanya lagi pasti beliau menambahnya untukku.”
Masih dalam Shahihain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang amal yang paling utama? Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan berjihad di jalan-Nya.” Beliau ditanya lagi, “Lalu apa?” beliau menjawab, “Haji mabrur.”
Diriwayatkan juga dalam Shahihain bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku amal yang menyamai jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Engkau tak akan bisa melaksanakannya atau engkau tak akan kuat.” Dia berkata lagi, “Beritahukan aku tentangnya?” Beliau menjawab, “Apakah engkau mampu, jika seorang mujahid keluar berjihad, engkau berpuasa dan tidak berbuka, shalat dan tidak berhenti?”
Dan dalam Kutub Sunan, dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernahberkata kepadanya, “Maukah aku tunjukkan kepadamu akan pokok urusan, tiang dan puncaknya? Pokok urusan adalah Islam, tiangnya adalah jihad, sedangkan puncaknya adalah jihad fi sabilillah.”
Dalil-dalil tentang keutamaan jihad di atas disebutkan oleh Ibnu Taimiyah sesudah beliau mengomentari hadits yang menerangkan bahwa jihad terhadap orang kafir adalah jihad asghar (kecil). Beliau berkata, “Adapun hadits yang diriwayatkan oleh sebagian mereka bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda pada waktu Perak Tabuk,
“Kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar,” tidak ada dasarnya dan tidak seorang pun ahli ma’rifat yang meriwayatkannya sebagai perkataan dan perbuatan NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bagaimanapun, jihad melawan kaum kafir adalah termasuk amalan terbesar dan paling utama.” (Majmu’ Al-Fatawa 11/197, dan Al-Furqan Baina Awliya` Ar-Rahman wa Awliya` Asy-Syaithan: 46).
Pernyataan beliau ini, oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah Shahihah, seolah-olah menunjukkan bahwa beliau rahimahullaah mengingkari penamaan jihad (berperang melawan orang kafir) sebagai jihad asghar (jihad kecil).
Nampak dari lafadz hadits dhaif di atas bahwa yang dimaksud dari jihad kecil adalah jihad qital (perang) melawan orang-orang kafir pada perang Tabuk. Makna ini tertolak karena meremehkan kedudukan jihad fi sabilillah, merendahkan kemuliaannya dalam Islam dan perannya untuk membela eksistensi dan kemuliaan umat Islam ketika mendapat serangan musuh dan kezaliman penguasa tiran lagi sombong.
Nash-nash Al-Qur’an dan sunnah syarifah banyak menyebutkan tentang keutamaan jihad dan kedudukannya yang sangat mulia dalam Islam. Di antara dalil sudah disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam nukilan di atas. Karenanya tidak layak amal jihad yang sangat dimuliakan Islam disebut sebagai jihad kecil.
Na’udzubillah Tsumma Na’udzubillah min dzalik ...
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan jihad sebagai puncak amal dalam Islam. Shalawat dan salam semoga terlimpah panglima Mujahidin, Nabi kita Muhammad besera keluarga dan para sahabatnya.
Sesungguhnya pada jihad terdapat masa depan umat Islam. Tanpanya, kaum muslimin terhinakan. Musuh-musuh Islam menyadari hal ini, karenanya mereka senantiasa berusaha mematikan semangat jihad dengan berbagai cara.
Wallahu ‘alam…
Hadits ini misalnya, yang di gunakan oleh kaum yg seakan-akan menomor sekiankan Jihad Qital mereka ini (Kaum) yang menomor duakan jihad qital berargumen dengan hadits yang sangat masyhur.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda sewaktu pulang dari perang Tabuk,
“Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar.” Mereka berkata, “Apakah jihad yang lebih besar itu?” Beliau menjawab, “Jihad hati.” (HR. Al-Baihaqi dalam Az-Zuhd (384) dan Al Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (Bab Al-Wawi/Dzikr Al-Asma` Al Mufradah) dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhuma. Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal (biografi Ibrahim bin Abi Ablah Al-Adawi/210) dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (biografi Ibrahim bin Abi Ablah); dari Ibrahim bin Abi Ablah.
Imam As-Suyuthi mengatakan, “Diriwayatkan Ad-Dailami, Al-Baihaqi dalam Az-Zuhd, dan Al-Khathib.”[Jami’ Al-Ahadits (15164)]
Dalam riwayat Al-Khathib disebutkan, bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat baru saja dari suatu peperangan, beliau bersabda kepada mereka,
“Kalian telah kembali ke tempat kedatangan terbaik, dari jihad yang lebih kecil menuju jihad yang lebih besar.” Para sahabat berkata,“Apakah jihad yang lebih besar itu? Nabi bersabda, “Jihad seorang hamba melawan hawa nafsunya.”
Derajat Hadits tersebut adalah Dha’if.
Al-Baihaqi berkata, “Hadits ini sanadnya lemah.”
As-Suyuthi menukil dari Ibnu Hajar, “Hadits ini sangat terkenal dan sering diucapkan. Ia adalah perkataan Ibrahim bin Abi Ablah dalam Al-Kunanya An-Nasa`i.”[Ad-Durar Al-Muntatsarah fi Al-Ahadits Al-Musytaharah (1/11)]
Al-Iraqi mendha’ifkan hadits ini dalam Takhrij Ahadits Al-Ihya` (2567).
Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak ada dasarnya dan tidak seorang pun ahli yang meriwayatkannya sebagai perkataan dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Bagaimanapun, jihad melawan kaum kafir adalah termasuk amalan yang terbesar dan paling utama.”[ Majmu’ Al-Fatawa: 11/197, dan Al-Furqan Baina Awliya` Ar-Rahman wa Awliya` Asy-Syaithan: 46]
Dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (2460), Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits mungkar.” Dan dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir (8510), Al-Albani mendha’ifkannya.
Strategi Musuh Islam
Cara lain yang ditempuh musuh-musuh Islam dari kaum kafirin dan munafikin untuk melemahkan semangat jihad adalah dengan menghembuskan syubhat adanya amal lain dalam Islam yang lebih agung dari jihad. Tujuannya, agar umat berpaling dari jihad dan meninggalkannya karena ada yang lebih besar pahala dan keutamaannya. Jihad qital (berperang) melawan orang kafir dan munafik dikategorikan sebagai jihad kecil. Ada jihad yang lebih besar yang harus mendapat perhatian, yaitu jihad Akbar. Dan maksud dari jihad akbar adalah jihad melawan hawa nafsu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah dalam Majmu’ Fatawanya (Juz 11) mengingkari penamaan jihad qital (berperang) melawan orang kafir sebagai jihad kecil. Manurut beliau, jihad melawan orang kafir merupakan salah satu amal yang paling agung dalam Islam. Bahkan, jihad merupakan amal tathawu’ yang paling utama.
Beliau melandaskannya pada beberapa dalil dari Al-Qur’an dan hadits tentang keutamaan jihad :
Keutamaan Jihad
Cara lain yang ditempuh musuh-musuh Islam dari kaum kafirin dan munafikin untuk melemahkan semangat jihad adalah dengan menghembuskan syubhat adanya amal lain dalam Islam yang lebih agung dari jihad. Tujuannya, agar umat berpaling dari jihad dan meninggalkannya karena ada yang lebih besar pahala dan keutamaannya. Jihad qital (berperang) melawan orang kafir dan munafik dikategorikan sebagai jihad kecil. Ada jihad yang lebih besar yang harus mendapat perhatian, yaitu jihad Akbar. Dan maksud dari jihad akbar adalah jihad melawan hawa nafsu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah dalam Majmu’ Fatawanya (Juz 11) mengingkari penamaan jihad qital (berperang) melawan orang kafir sebagai jihad kecil. Manurut beliau, jihad melawan orang kafir merupakan salah satu amal yang paling agung dalam Islam. Bahkan, jihad merupakan amal tathawu’ yang paling utama.
Beliau melandaskannya pada beberapa dalil dari Al-Qur’an dan hadits tentang keutamaan jihad :
Keutamaan Jihad
Firman Allah Ta’ala,
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya satu derajat di atas orang-orang yang duduk. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS. Al-Nisa’: 95)
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Taubah: 20-22)
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dan lainnya, dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku pernah berada di sisi mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ada seorang laki-laki berkata, ‘Aku tidak peduli, aku tidak akan melakukan pekerjaan apapun sesudah (masuk) Islam kecuali memberi minum pada orang haji’. Lalu di jawab oleh yang lain, ‘Kalau aku tak peduli, aku tidak mengamalkan amalan apapaun setelah (masuk) Islam kecuali memakmurkan Masjidil Haram’. Lalu berkatalah Ali bin Abi Thalib, ‘Berjihad di jalan Allah lebih utama dari semua amal yang kalian katakan itu’,
Kemudian Umar bin Khattab melarang mereka, “Janganlah kalian berbicara keras di sisi mimbar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi jika sudah selesai shalat (Jum’at) saya akan menanyakannya. Maka bertanyalah Umar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat ini –QS. Al-Taubah: 19-.”
“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang dzalim.” (QS. Al-Taubah: 19)
Dalam Shahihain lainnya, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling utama di sisi Allah ‘Azza wa Jalla?” Beliau menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.” Aku bertanya, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Berjhad di jalan Allah.” Dia berkata,”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan semua itu kepadaku, dan kalau aku bertanya lagi pasti beliau menambahnya untukku.”
Masih dalam Shahihain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang amal yang paling utama? Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan berjihad di jalan-Nya.” Beliau ditanya lagi, “Lalu apa?” beliau menjawab, “Haji mabrur.”
Diriwayatkan juga dalam Shahihain bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku amal yang menyamai jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Engkau tak akan bisa melaksanakannya atau engkau tak akan kuat.” Dia berkata lagi, “Beritahukan aku tentangnya?” Beliau menjawab, “Apakah engkau mampu, jika seorang mujahid keluar berjihad, engkau berpuasa dan tidak berbuka, shalat dan tidak berhenti?”
Dan dalam Kutub Sunan, dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernahberkata kepadanya, “Maukah aku tunjukkan kepadamu akan pokok urusan, tiang dan puncaknya? Pokok urusan adalah Islam, tiangnya adalah jihad, sedangkan puncaknya adalah jihad fi sabilillah.”
Dalil-dalil tentang keutamaan jihad di atas disebutkan oleh Ibnu Taimiyah sesudah beliau mengomentari hadits yang menerangkan bahwa jihad terhadap orang kafir adalah jihad asghar (kecil). Beliau berkata, “Adapun hadits yang diriwayatkan oleh sebagian mereka bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda pada waktu Perak Tabuk,
“Kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar,” tidak ada dasarnya dan tidak seorang pun ahli ma’rifat yang meriwayatkannya sebagai perkataan dan perbuatan NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bagaimanapun, jihad melawan kaum kafir adalah termasuk amalan terbesar dan paling utama.” (Majmu’ Al-Fatawa 11/197, dan Al-Furqan Baina Awliya` Ar-Rahman wa Awliya` Asy-Syaithan: 46).
Pernyataan beliau ini, oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah Shahihah, seolah-olah menunjukkan bahwa beliau rahimahullaah mengingkari penamaan jihad (berperang melawan orang kafir) sebagai jihad asghar (jihad kecil).
Nampak dari lafadz hadits dhaif di atas bahwa yang dimaksud dari jihad kecil adalah jihad qital (perang) melawan orang-orang kafir pada perang Tabuk. Makna ini tertolak karena meremehkan kedudukan jihad fi sabilillah, merendahkan kemuliaannya dalam Islam dan perannya untuk membela eksistensi dan kemuliaan umat Islam ketika mendapat serangan musuh dan kezaliman penguasa tiran lagi sombong.
Nash-nash Al-Qur’an dan sunnah syarifah banyak menyebutkan tentang keutamaan jihad dan kedudukannya yang sangat mulia dalam Islam. Di antara dalil sudah disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam nukilan di atas. Karenanya tidak layak amal jihad yang sangat dimuliakan Islam disebut sebagai jihad kecil.
Na’udzubillah Tsumma Na’udzubillah min dzalik ...
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan jihad sebagai puncak amal dalam Islam. Shalawat dan salam semoga terlimpah panglima Mujahidin, Nabi kita Muhammad besera keluarga dan para sahabatnya.
Sesungguhnya pada jihad terdapat masa depan umat Islam. Tanpanya, kaum muslimin terhinakan. Musuh-musuh Islam menyadari hal ini, karenanya mereka senantiasa berusaha mematikan semangat jihad dengan berbagai cara.
Wallahu ‘alam…