aguspurnomosite.blogspot.com

aguspurnomosite.blogspot.com
Berpikir Luas Membuka Cakrawala Kehidupan! Berusaha Memberikan Yang Terbaik Untuk Masa Depan! Katakan "Go Go Go SEMANGAT" !!!

Minggu, 09 Desember 2012

Apapun Kurikulumnya, Guru Tetap …

 
Kurikulum boleh berubah karena memang tidak sulit diubah-ubah dengan berbagai alasan. Guru sebagai guru biasa tidak akan mungkin bisa mengendalikan semua yang memang akan diubah. Pendidikan ini tidak akan bisa berjalan tanpa guru, tanpa menggunakan kurikulum sekalipun pendidikan dapat berjalan meskipun tidak jelas arah, terdengar ekstrem kan?! Begitulah faktanya. Lantas mengapa kita perlu hiruk pikuk memperdebatkan kurikulum.

Jaman kini kurikulum memang menjadi hal penting, makanya perlu diperdebatkan agar dihasilkan kurikulum yang benar-benar bagus, meskipun semua itu relatif. Kerelatifan berubah menjadi absolut ketika kita tahu persis apa yang melatarbelakangi perubahan kurikulum itu. Siapa yang ada di belakang perubahan kurikulum itu juga turut mempengaruhi relativitas yang ada.

Kadang kekonyolan bisa saja menjadi latar belakang terjadinya perubahan sesutau termasuk perubahan kurikulum itu. Meskipun dalam bahasa formalnya tentu saja hal konyol tidak akan digunakan. Tidak sulit untuk mencari pembenaran akan argumen yang letarbelakanginya. Kadang budaya juga tidak bisa membantu untuk membuat kekonyolan itu hilang menjadi hal yang logis. Terkait siapa yang memutuskan, kadang suatu kewenangan dapat dianulir begitu saja karena adanya tujuan tertentu yang tidak kalah konyolnya.

Itulah gambaran sekilas setelah saya simak berbagai informasi yang saya terima sehubungan dengan proses perubahan kurikulum kini. Kurikulum yang sedang diujipublikkan itu pun syarat kekonyolan dengan sesuatu yang tidak bisa dinalar sebagaimana apa yang pernah saya tulis pada tulisan sebelum ini. IPA dan IPS dilebur ke dalam bahasa, dan pendidikan kewarganegaraan, TIK yang tidak lagi jadi mata pelajaran, penjurusan di sma yang sejak dulu jadi isu, tidak jelasnya pengaluran antara sma dengan smk dan seterusnya. Bandingkan dengan negara tetangga yang jauh lebih matang dalam hal kurikulum. Berprinsip kuat. Kita? Sedikit-sedikit kurikulum dijadikan lahan untuk “bermain”.

Berdasarkan info terakhir dari berbagai pernyataan mendikbud dan wakilnya di media online bahwa pada kurikulum 2013 nanti banyak perangkat yang akan dan telah disiapkan seperti buku siswa, buku pedoman untuk guru, silabus, dan lain-lainnya. Meski begitu pihak sekolah boleh mengembangkan yang telah disiapkan itu sebab itu hanyalah perangkat minimal. Tentu saja kata minimal ini memiliki makna andai guru tidak bisa mengembangkan lagi harusnya itu sudah mencukupi walaupun itu minimal. Alasannya tidak lain adalah keraguan dengan bukti pada kurikulum sebelumnya banyak guru yang mengalami kesulitan dalam mengembangkan kurikulum di sekolahnya.

Kurikulum oleh pemerintah dalam hal ini kemdikbud dibuat secara terpusat dengan harapan akan dicapai hasil yang tidak terlalu heterogen. Suatu kenyataan di lapangan tentu tidak semudah itu untuk diaplikasi mengingat ke-divergen-an. Aslinya pemerintah sendiri harus membuat disparitas antar sekolah tidak jauh berbeda dalam segala hal jika menginginkan tujuan pendidikan itu tercapai. Nyatanya tidak juga begitu, secara fisik saja masih banyak gedung sekolah tak layak, perbandingan guru dengan murid tidak merata, belum lagi kualitas guru yang tak kunjung terdongkrak dengan berbagai kebijakan yang telah ditempuhnya. Terkesan tidak serius walau serius. Ada yang salah sepertinya, tapi entah di bagian mana.

Terkait kebijakan uji publik terhadap kurikulum 2013 itu pun terlontar banyak pernyataan yang membuat kemdikbud semakin terlihat belang-nya. Bagaimana tidak, uji publik belum usai wamendikbud sudah menyatakan walaupun banyak yang menentang kurikulum baru itu tetap akan dilanjutkan dan dilaksanakan. Apakah ini bukan kepongahan, untuk tidak mendengar berbagai pihak yang dengan argumennya mereka tidak setuju terhadap perubahan kurikulum itu.

Akhirnya, suara guru sebagai pengguna kurikulum yang sedianya akan tetap diterapkan di tahun ajaran 2013/2014 itu hanya bisa pasrah, menerima apa adanya. Banyak konsekwensi yang harus diterima terkait pemberlakuan kurikulum baru itu. Katanya sih kemdikbud menyatakan siap dan akan menyiapkan segala sesuatunya sehingga guru tidak dirugikan, tidak dibingungkan. Berdasarkan pengalaman selama ini mau kurikulumnya apa guru tetap pada padangannya bahwa dialah yang akan menentukan bahwa kurikulum itu nanti dipakai atau tidak, pakai metode yang disarankan atau tetap juga menggunakan metode yang mereka pakai selama ini. Meskipun dalam kurikulum 2013 itu semua pelajaran akan diterapkan dengan dukungan TIK. Padahal… kita tahu belum semua sekolah dapat menggunakan pendukung TIK itu. Yakin apapun kurikulumnya guru tetap akan menggunakan apapun yang dia bisa. Apapun kurikulumnya …
Source : urip.wordpress.com

Pantang Menyerah

  
Sahabat, camkan hal-hal dibawah ini :
  • Kalau Anda mempunyai kecendrungan mudah menyerah, maka langkah pertama pertama yg paling penting adalah mengakui kelemahannya itu. Dengan menyadarinya , Anda akan lebih siap untuk memperbaikinya.
  • Motivasikanlah diri Anda untuk mengembangkan sikap pantang menyerah. Sikap ini diperlukan untuk meraih keberhasilan dalam hidup. Perhatikanlah artis, atlit,karyawan dapat menajak karirnya karena berprestasi, mereka umumnya memperjuangkan apa yg ingin diraihnya dengan daya dan upaya yg optimal. Sebaliknya , orang2 yg mudah menyerah , frustasi dan mudah putus asa adalah orang2 yg gagal.
  • Berpikirlah bahwa Anda bisa dan akan berhasil meraih apa yg Anda inginkan. Keyakinan ini akan membuat Anda lebih efektif dibandingkan bila Anda terlalu mengantisipasi kemungkinan buruk. Menurut para ahli , orang yg optimis mempunyai kemungkinan yg lebih besar untuk berhasil dibanding orang yg pesimis. Mengapa ? Karena keyakinan yg positif akan mempengaruhi mental dan fisik secar signifikan untuk mendapatkan apa yg di yakininya.
  • Arahkan mata Anda pada tujuan , bukan pada hambatan . Bila Anda memandang pada tujuan , maka hambatan tidak akan menakutkan. Tapi sebaliknya , bila Anda terfokus pada hambatan , Anda akan mudah kehabisan daya juang.
  • Beranilah mengambil risiko namun dengan perhitungan yg mantap , Hadapi dan alamilah pengalaman dan petualangan baru. Keberanian yg benar bukan berarti seperti orang yg terjun bebas ke jurang, tapi seperti orang yg menuruninya setahap demi setahap dengan persiapan yg matang.Kalau Anda tidak berani mengambil resiko , tentu saja Anda berada pada tempat yg aman , namun Anda tidak akan berkembang.
  • Hadapilah semua tantangan dengan penuh keberanian .Anggaplah tantangan sebagai “Sparring Pathner” yg akan membuat Anda semakin kuat , bukan sebagai raksasa yg menelan Anda. Semakin banyak tantangan , semakin berani menghadapinya, maka semakin terbentuk karakter yg kuat.
  • Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa Anda tidak akan berhasil bila pada usaha Anda mengalami kegagalan. Belajarlah daridari kegagal itu agar didapat gambaran yg lebih baik lagi.
  • Teruslah berusaha, terkamlah segala kesempatan yg ada , karena kesempatan itu tak datang untuk kedua kalinya !, tidak ada pendobrak kegagalan yg sekuat nilai “kegigihan” . Ingatlah filsofi air yg bisa melubangi batu dengan tetesan yg terus terus-menerus.
  • Imbangi kegigihan Anda dengan pemikiran yg kreatif. Bila perjalanan Anda terhalang oleh batu cadas , Anda tidak perlu membenturkan kepala Anda untuk membuktikan bahwa Anda pantang Menyerah. Berhentilah sejenak dan pikirkanlah bagaiman cara mengatasinya. carilah jalur alternatif !
  • Jangan terpengaruh oleh kegagalan orang lain, tapi biarlah keberhasilan orang lain memotivasi kita. Belajarlah dari kegagalan dan kesalahan orang lain tanpa hrus mengalaminya sendiri. Dengan cara itru Anda menghemat banyak sekali waktu dan energi Anda yg sangat berharga.

Optimis itu ...

  
Optimis! …katakan kepada diri kita…“jika saya optimis…saya akan melakukan ini dan itu, saya optimis saya bisa”. Ingat! optimis tidak diperlukan pada saat kita bahagia tapi sangat diperlukan ketika kita mulai merasa kurang, kegagalan, hampa atau gak tahu mau ngapain lagi. Kayak ga ada arti. Padahal sebenarnya kita sangat berarti. Kita perlu optimis agar kita berarti. Jika ada tembok besar dengan duri-duri yang menancap bahkan udah berlumut banyak cacingnya pula…apa ga jijik….apalagi bau plus ada lintah..ihhh ngeriiiinya minta ampun. Jangan takut, disaat itu kita perlu sekali optimis. Sikap optimis kalau tembok plus-plus itu bukan sebuah penghalang kita. Ingatlah segala sesuatu yang dilakukan dengan positif hasilnya pasti positif. Jika kita optimis melakukan sikap negatif hasilnya negatif pula. Lihatlah betapa hebatnya optimis itu berlaku dalam hidup kita. tidak memandang bulu. Sekarang tergantung kita mau hidup dalam sika yang mana… 

Sikap optimis itu:
  • Tidak mengenal kata mundur demi sebuah kemajuan.
  • Percaya diri tinggi akan apa yang dipilih.
  • Tidak goyah pada hal-hal yang melemahkan hati.
  • Tidak takut akan apapun yang terjadi di kemudian hari.
  • Segala-galanya diserahkan kepada Tuhan.
  • Positif dan bertekun.
  • Tidak takut akan resiko.
  • Berani menepiskan rasa “aku tak akan bisa”.
  • Berani menghilangkan kata ” itu bukan takdirku”.
  • Berani berkata “saya bisa hanya saya perlu waktu lebih”.  
Nah ayo….kita tarik sebuah tali kehidupan kita. Tali itu tak pernah putus kecuali jika kita yang memutuskan tali itu. Jangan tarik ulur karna hanya akan membuang waktu. Ini bukan layang-layang yang tergantung pada kecepatan angin hingga kita perlu tarik ulur. Disini, angin itu adalah kita. Hanya kita yang bisa menentukan kecepatan angin itu. Optimis merupakan bahan bakar yang bisa kita gunakan untuk mempercepat kecepatan angin kita yang dapat menerbangkan harapan kita sejauh mungkin yang kita bisa. Sekarang adalah saatnya untuk terus bersikap optimis dalam hidup ini. Optimis….ayooooo optimis ….

FAKTA ILMIAH TENTANG BERSYUKUR

 
Dalam sebuah studi yang dilakukan Dr Blaire dan Rita Justice dari Universitas Texas, mereka menemukan bersyukur ternyata memberi manfaat bagi kesehatan psikologis dan fisik. 

Studi lain yang dilakukan oleh Robert A. Emmons dari Universitas of California dan rekannya Mike McCullough dari Universitas Miami, secara acak meminta orang untuk menjalani salah satu dari tiga tugas, yaitu menulis jurnal singkat. 

Satu kelompok harus menjelaskan lima hal yang mereka syukuri setiap hari. Kelompok kedua menulis lima masalah yang mereka alami dan kelompok netral yang diminta menulis lima hal yang memengaruhi mereka, terlepas dari hal yang negatif atau positif. 

Sepuluh minggu kemudian, peserta dalam kelompok yang selalu bersyukur merasa lebih baik mengenai kehidupan mereka. Sebanyak 25 persen mereka juga merasa bahagia daripada mereka yang selalu mengeluh. Orang yang menulis jurnal ‘bersyukur’ juga melaporkan mengalami keluhan kesehatan lebih sedikit daripada rata-rata kelompok lain yaitu 1,5 jam. 

Mereka yang bersyukur juga mampu memberi dukungan emosional kepada orang lain yang mengalami masalah. Rasa syukur secara teknis membuat mereka termotivasi sebagai seorang yang pro-sosial. 

Pada studi lainnya, orang dewasa yang memiliki cacat bawaan sindrom pasca polio (PPS) yang menuliskan rasa syukur mereka setiap hari memiliki waktu tidur lebih berkualitas dan merasa lebih segar saat bangun. 

Kelompok yang bersyukur juga dilaporkan lebih puas dengan kehidupan mereka secara keseluruhan, optimis tentang masa depan, dan jauh lebih terhubung dengan orang lain dibandingkan kelompok kontrol. “Orang yang bersyukur tampaknya merasa lebih bahagia daripada kelompok kontrol,” kata peneliti seperti dikutip dari Huffington Post. 

Untuk itu, peneliti menyarankan untuk menuliskan rasa syukur dan perasaan bahagia yang dialami setiap hari. Ucapkan terimakasih kepada pasangan, anak, teman dan keluarga untuk mempertahankan kesehatan dan kebahagiaan. 

Bersyukur atau berterima kasih kepada Tuhan atas segala karunia-Nya merupakankomponen kunci untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan. Kemampuan tiap orang untuk bersyukur dapat dikembangkan dari waktu ke waktu. Seperti kemampuan lainnya, kemampuan untuk selalu bersyukur berkembang jika dilatih dan dibiasakan terus menerus. 

Sebuah cara yang dapat Anda gunakan untuk meningkatkan rasa syukur adalah menuliskan atau mengingat beberapa hal yang Anda syukuri setiap hari. Jurnal rasa syukur ini merupakan cara yang baik untuk memulai rasa syukur yang lebih besar dalam hidup Anda. Contoh hal kecil namun patut disyukuri adalah menikmati cuaca yang baik sehingga bisa jalan-jalan atau beraktifitas dengan lancar, tidak kesulitan mendapatkan makanan dan minuman, tidak kesulitan bernafas dan lain sebagainya. Jika terus dikumpulkan, suatu saat kita akan takjub karena demikian besar karunia Sang Pencipta yang telah kita terima dan nikmati. 

Keyakinan dan bekerja sebaik mungkin merupakan bentuk rasa syukur atas karunia Tuhan YME. Selain itu, wujudkan rasa syukur dengan berdoa dan beribadah. Rasa syukur juga dapat dilakukan dengan berbagi kepada orang lain, berupa ilmu, harta, kemampuan dan lain sebagainya. 

Upayakan untuk menghiasi pikiran dan sikap dengan rasa syukur kapanpun dan dimanapun. Hal itu dapat mempengaruhi sikap mental menjadi lebih positif. Dengan begitu Anda perlahan-lahan mulai menarik hal-hal positif ke dalam kehidupan Anda. 

Di balik segala sesuatu yang kita keluhkan pasti ada satu hal yang dapat kita syukuri. Bersyukurlah karena pada akhirnya Anda akan dapat melihat lebih banyak hal positif di dalam diri Anda. Beberapa kalimat inspiratif yang saya kutip dari sebuah media online berikut ini mudah-mudahan dapat senantiasa mengingatkan kita semua untuk selalu bersyukur.  
  • Hari ini sebelum engkau berpikir untuk mengucapkan kata-kata kasar – Ingatlah akan seseorang yang tidak bisa berbicara.
  • Sebelum engkau mengeluh mengenai cita rasa makananmu – Ingatlah akan seseorang yang tidak punya apapun untuk dimakan.
  • Sebelum engkau mengeluh tentang pacar, suami atau isterimu – Ingatlah akan seseorang yang menangis kepada Tuhan meminta pasangan hidup.
  • Hari ini sebelum engkau mengeluh tentang hidupmu – Ingatlah akan seseorang yang begitu cepat dipanggil Tuhan.
  • Sebelum engkau mengeluh tentang anak-anakmu – Ingatlah akan seseorang yang begitu mengharapkan kehadiran seorang anak, tetapi tidak mendapatnya.
  • Sebelum engkau bertengkar karena rumahmu yang kotor, dan tidak ada yang membersihkan atau menyapu lantai – Ingatlah akan orang gelandangan yang tinggal di jalanan.
  • Sebelum merengek karena harus menyopir terlalu jauh – Ingatlah akan sesorang yang harus berjalan kaki untuk menempuh jarak yang sama.
  • Dan ketika engkau lelah dan mengeluh tentang pekerjaanmu – Ingatlah akan para penganguran, orang cacat dan mereka yang menginginkan pekerjaanmu.
  • Sebelum engkau menuding atau menyalahkan orang lain – Ingatlah bahwa tidak ada seorang pun yang tidak berdosa dan kita harus menghadap pengadilan Tuhan.
  • Dan ketika beban hidup tampaknya akan menjatuhkanmu – Pasanglah senyuman di wajahmu dan berterima kasihlah pada Tuhan karena engkau masih hidup dan ada di dunia ini. Hidup adalah anugerah, jalanilah, nikmatilah, rayakan dan isilah dengan baik dan penuh rasa syukur. 

Nikmat Bersyukur

 
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِ الرحمن الرحيم  
Bersyukur dapat meningkatkan kesehatan fisik dan emosional. Memiliki gaya hidup penuh rasa syukur dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan  suplai darah ke hati kita.  

Jika kita melakukan dengan rutin hal ini, maka dapat meningkatkan kewaspadaan kita, antusiasme, energi dan juga meningkatkan kualitas tidur kita. Mereka yang menggambarkan dirinya sebagai orang yang penuh rasa syukur cenderung jarang stres dan depresi.

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”  (QS. Al Luqman : 31) 

Allah memberi pemisalan dan gambaran nyata bagi mereka yang ingin mendapatkan hidayah...
  • Bersyukurlah apabila kamu tidak tahu sesuatu. Karena itu memberimu kesempatan untuk belajar.
  • Bersyukurlah untuk masa-masa sulit. Di masa itulah kamu tumbuh.
  • Bersyukurlah untuk keterbatasanmu. Karena itu memberimu kesempatan untuk berkembang.
  • Bersyukurlah untuk setiap tantangan baru. Karena itu akan membangun kekuatan dan karaktermu.
  • Bersyukurlah untuk kesalahan yang kamu buat. Itu akan mengajarkan pelajaran yang berharga.
  • Bersyukurlah bila kamu lelah dan letih. Karena itu kamu telah membuat suatu perbedaan.
  • Mungkin mudah untuk kita bersyukur akan hal-hal yang baik. Hidup yang berkelimpahan datang pada mereka yang juga bersyukur akan masa surut.
  • Rasa syukur dapat mengubah hal yang negatif menjadi positif. Temukan cara bersyukur akan masalah-masalahmu dan semua itu akan menjadi berkah bagimu.  
Kewajiban Bersyukur :
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadaNya kamu menyembah.” (QS. Al Baqarah: 172). 

“Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu; maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan.” (QS. Al Ankabut : 17) 

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari-Ku.” (QS. Al Baqarah: 152)
“Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS. Az-Zumar: 66)


Mengapa Harus Bersyukur :
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An Nahl: 78) 

“Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.” (QS. Al Qashas : 73) 

“Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?” (QS. Yasien 33-35) 

“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim : 32-34) 

“Ini adalah anugerah dari Tuhanku, agar ia mencoba aku, apakah aku bersyukur ataukah aku kufur. Siapa yang bersyukur, sesungguhnya ia bersyukur kepada dirinya sendiri, dan siapa yang kufur, sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya dan Maha Mulia.” (QS. An Naml: 40) 

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (QS. An Nahl :16) 

“Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Al Qashash : 70) 

Manfaat Bersyukur :
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) 

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al Luqman : 31) 

“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nisaa’ : 147) 

“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran:145) 

“Bersyukur atas nikmat Allah akan melestarikan nikmat tersebut.” (HR. Ad Dailami)
Ibnu `Abbas menceritakan, Rasulullah bersabda, “Orang pertama yanag akan dipanggil untuk masuk surga adalah orang-orang yang senantiasa memanjatkan puji syukur kepada Allah, yaitu orang-orang yang senantiasa memuji Allah dalam keadaan lapang dan dalam keadaan sempit” (Tanbihul Ghafilin 197) 

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik hamba Allah adalah orang yang suka memanjatkan puji dan syukur kepada Allah” (Riyadhus Shalihin 27) 

Cara Bersyukur :
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: `Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?` Tentu mereka akan menjawab: `Allah.` Katakanlah : `Segala puji bagi Allah`; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. ” (QS Luqman : 25) 

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS. Al Kautsar : 1-2) 

“Bahwasanya Nabi SAW, apabila datang kepadanya suatu perkara yang menggembirakan atau mendapatkan kabar gembira, beliau langsung bersyukur sujud, bersyukur kepada Allah SWT.” (HR Abu Dawud) 

Ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam beribadah sampai beliau bengkak-bengkak, Sayidah Aisyah istrinya berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau beribadah sampai seperti itu, bukankah Allah telah mengampuni segala dosamu?” Rasulullah menjawab, “Tidakkah engkau suka aku menjadi hamba Allah yang bersyukur?” 

Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah berceritera, “Bahwasanya salah seorang hamba di antara hamba-hamba Allah mengucapkan, `Ya Rabbi, Lakal hamdu kamaa yanbaghii li jalaali wajhika wa azhiimi sulthaanika [ya Tuhanku, kepunyaan-Mulah segala puji sebagaimana yang layak bagi keluruhan-Mulah dan keagungan-Mu]`. Maka, ucapan ini menjadikan kedua malaikat bingung sehingga mereka tidak tahu bagaimana yang harus mereka tulis. Maka naiklah keduanya kepada Allah, lalu berkata, `Ya Tuhan kami, sesungguhnya seorang hamba telah mengucapkan suatu perkataan yang kami tidak tahu bagaimana kami harus menulisnya.` Allah bertanya – padahal Dia Maha Mengetahui apa yang diucapkan oleh hamba-Nya, `Apa yang diucapkan oleh hamba-Ku?` Mereka menjawab,`Ya Tuhan kami, sesungguhnya dia mengucapkan, Lakal hamdu kamaa yanbaghii li jalaali wajhika wa azhiimi sulthaanika.` Kemudian Allah berfirman kepada mereka, `Tulislah sebagaimana yang diucapkan hamba-Ku itu hingga dia bertemu Aku, maka Aku yang akan membalasnya” .(HR Ibnu Majjah)
“Siapa yang tidak berterimakasi kepada manusia, berarti tidak berterimakasih kepada Allah” (HR Abu Daud) 

Syaikh Ibnu Athaillah menuturkan “Seseorang mukmin itu suka menyibukkan diri menyanjung Allah, sehingga tidak sempat untuk memuji dirinya sendiri, dan ia sibuk menunaikan kewajiban kepada Allah sehingga ia lupa akan porsi untuk dirinya sendiri”. (Al-Hikam)
Syaikh Ibnu Athaillah menuturkan: “Siapa yang tidak mengetahui begitu berharganya nikmat, ketika kenikmatan itu bersertanya, maka barulah ia mengetahui betapa berartinya nikmat itu setelah nikmat itu pergi meninggalkannya.” (Al-Hikam) 

Kebanyakan Manusia Tidak Bersyukur :
“Iblis menjawab: Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al A’raf 16-17) 

“Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia yang dilimpahkan atas umat manusia, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukurinya.” (QS. Yunus: 60). 

“Katakanlah: ‘Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencara di darat dan di laut yang kamu berdo’a kepadaNya dengan berendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengetakan): ‘Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari bencana ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur’. Katakanlah: ‘Allah menyelamatkan kamu daripada bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukanNya.” (QS. Al An’am: 63-64). 

“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? Tidak ada Tuhan selain Dia; maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?” (QS. Al-Fathir: 3) 

“Dan ketika Kami (Allah) memberikan nikmat kepada manusia, ia memalingkan muka dan bersikap angkuh, dan ketika ia ditimpa keburukan ia berputus asa.” (QS. Al Isra’ : 83)
“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 243)

Sudahkah kita menjadi insan yang pandai mensyukuri kunia dari Rabb kita?

Puisi Kerinduanku Untuk Kelas 9F Tahun Pelajaran 2011 - 2012

  

Nak ...
Disini ... saat ini,
Sepiku mengingatkanku kembali pada 1 kenangan.
Tentang indahnya kebersamaan,
Tentang sedihnya perpisahan.


Nak ...
Tak terasa kini kita tlah jauh..!

Rasanya baru kemarin kita berbagi ilmu, canda dan tawa
Tapi kini?
Hanya berupa segenggam debu penuh makna.
Ku rindu dengan senyummu nak,
Tawa tawa riangmu, tatapan mata polosmu

Nak ...
Ku rindu dengan keakraban saat kita bersama..
Maafkan aku yang kiranya tak sengaja tlah menyayat hatimu.
Memberikan pendidikan sedikit keras kepadamu
Namun semua kulakukan demi kebaikanmu
Dan sekarang?
Kalian tersenyumlah seindah senyum yang pernah kau tebarkan.
Seindah kebersamaan kita

Nak ...
Bila rasa rindu hadir menyergapmu
Kenang lagi saat-saat kita bersama dalam majelis ilmu
Karena disana selaksa kisah tlah kita ukir bersama
Berbagi bersama dalam kebahagiaan bertabur ketulusan
Karena rasa itu kan selalu ada
Tertancap dalam dihening jiwa kita

Nak ... 
Kamu tetaplah buah hatiku, pelita jiwaku
Semoga karakter yang kusemaikan dulu
Semakin mekar seiring waktu 
Temani ayunan langkah-langkah kecilmu
Menembus dinding-dinding terjal kehidupanmu

Nak ...
Selamat menggapai  masa depanmu
Ayunkan langkah-langkah pasti raih mimpi mimpi indahmu
Semoga kelak tercapai cita cintamu
Hanya Doa tulusku yang mampu iringimu
Meski kadang airmata menemaniku
Selamat berjuang nak, genggam asamu!



Kenanglah aku, Walikelasmu 9F  
Yang selalu menyayangimu!
Agus Purnomo

Keimanan Lahirkan Keteladanan

 
Inilah Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu. Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini suatu ketika bertutur, “Tidak ada satu orang pun yang lebih para sahabat cintai daripada Rasulullah SAW. Namun jika mereka melihat beliau, mereka tidak berdiri untuk menyambutnya, karena mereka mengetahui ketidaksukaan beliau terhadap hal itu.” (Riwayat At-Tirmidzi dalam Kitab Al-Adab dan dia berkata, “Ini adalah Hadits hasan shahih gharib dari jalur ini.”) 

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang menyukai manusia berdiri memberi penghormatan kepadanya, hendaknya mengambil tempat duduknya di neraka.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud & At-Tirmidzi) 

Di negeri tempat kita berpijak ini, sulit membayangkan ada seorang pemimpin yang kuat pengaruhnya, besar wibawanya, ditaati perintahnya dengan ringan hati, dan dinanti tutur katanya. Aparat negara hingga pimpinan sekolah banyak yang justru secara sengaja menciptakan budaya penghormatan demi terbentuknya apa yang diangankan sebagai karakter dan patriotisme. Hari ini anak-anak kita dididik untuk berdiri menghormat kepada orang-orang yang disebut pemimpin; inspektur upacara bendera dan bahkan kepada kepala desa yang datang menghadiri sebuah perhelatan. Tetapi hari ini kita melihat, tak ada ketaatan –apalagi kecintaan—yang tumbuh dengan kuat dalam diri anak-anak kita kepada para pemimpin. 

Lalu apa yang melahirkan kecintaan besar dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in kepada Rasulullah? Kita bisa menjawab keteladanan. Tetapi keteladanan seperti apa yang melahirkan kecintaan begitu besar dan ketaatan yang sedemikian kuat?  

Mari kita simak firman Allah Ta’ala berikut ini, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas-kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah [9]: 128) 

Apa yang bisa kita petik dari pribadi Rasulullah? Bukan sekedar manusia yang memiliki budi pekerti luhur. Pada dirinya ada kecintaan dan empati yang luar biasa, sedemikian besarnya kecintaan itu sehingga penderitaan kita adalah penderitaannya. Ia turut merasakan penderitaan kita yang banyak. Ada keinginan yang sangat kuat untuk mengantarkan kita pada keselamatan, dan tidak ada keselamatan tanpa iman. Dan tidak bernilai iman jika tidak berpijak pada aqidah yang lurus dan agama yang benar sehingga tidaklah kita berserah diri kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Amat besar keinginannya agar kita meraih keselamatan dan kemuliaan, bahkan meskipun untuk itu ia dimusuhi dan disakiti. 

Ia melakukan semua itu bukan untuk meraih dunia –yang ia tidak perlu berlelah-lelah untuk meraihnya, andaikata ia menghendaki. Ia juga bukan mengejar kekuasaan dan mahkota. Tetapi ia berbuat dengan tulus, melayani, penuh kecintaan, berjuang dengan sungguh-sungguh demi membaguskan kita. Bukan meninggikan kedudukannya. Dan justru karena itulah, kita merasakan keagungannya. Dunia mengakui kemuliaannya. Bahkan Allah Ta’ala dan para malaikat pun bershalawat untuknya. 

Terasa betul betapa berbedanya dengan apa yang kita jumpai hari ini. Atas nama dakwah dan muru’ah (kehormatan), banyak orang yang berburu gelar ustadz dan menyandangi dirinya dengan berbagai kemewahan. Kenapa? Karena ada persangkaan bahwa dengan itu kita akan dihormati, dengan kekayaan itu kita dimuliakan dan nasehatnya didengar. Tetapi tidak. Mereka berceramah, manusia tertawa dan mengelu-elukan, sesudah itu tak ada lagi yang berbekas. 

Jika agama hanya menjadi penghibur jiwa, maka sulit membayangkan terjadi perubahan mendasar pada mereka yang mendengar dan belajar. Jika para penyeru agama telah silau hatinya kepada kedudukan, gelar yang berderet, sebutan yang terucap, maka nyaris tak mungkin rasanya budaya karakter akan tumbuh. Kebanggaan pada sebutan, simbol, dan yang semacamnya lahir dari budaya prestasi dimana prestise lebih berharga daripada keringat dan kesungguhan. Sementara budaya karakter menyibukkan diri dengan sikap, usaha dan perjuangan, kejujuran, pelayanan kepada orang lain, ketulusan, dan yang serupa dengan itu. Tatkala karakter yang menjadi kegelisahan utama, prestasi akan menyertai. Prestasi muncul sebagai akibat. Bukan tujuan.  

Sehingga tak berharga sebuah prestasi, yang paling memukau sekalipun, jika diraih dengan menciderai keyakinan, keimanan, dan kejujuran. 

Khusus mengenai budaya prestasi dan budaya karakter, saya berharap dapat membahas lebih lanjut pada lain kesempatan. Kali ini saya ingin mengajak Anda untuk kembali melihat betapa berbedanya antara apa yang kita sebut sebagai pendidikan karakter dengan apa yang terjadi di masa Rasulullah SAW sehingga melahirkan manusia-manusia dengan karakter mulia yang luar biasa. 

Sesungguhnya, tidaklah Rasulullah SAW diutus kecuali untuk membentuk akhlak mulia (akhlaqul kariimah). Tetapi mari kita periksa perjalanan sejarah Nabi SAW? Apakah yang beliau lakukan di awal-awal masa kenabian? Apakah beliau melakukan serangkaian pembiasaan berkait dengan budi pekerti? Sepanjang yang saya pahami, bukan itu yang dilakukan oleh Nabi SAW. Masa-masa awal dakwah, titik tekan utamanya adalah pada penanaman keyakinan yang kuat kepada Allah Ta’ala dan tidak mempersekutukan-Nya, membangun aqidah yang lurus, menempa mereka untuk memiliki ketundukan yang total kepada Allah Ta’ala melalui qiyamul-lail yang panjang dan menafikan sesembahan selain Allah Ta’ala. Ketika itu, jilbab belum diperintahkan, minum khamr belum dicegah dan banyak hal lainnya yang masih dibiarkan. 

Ini memberi pelajaran berharga bagi kita. Kelak kita tahu dalam sejarah betapa tinggi kemuliaan akhlak para sahabat Radhiyallahu ‘anhum ajma’in, tabi’in, tabi’it tabi’in, maupun para salafush-shalih. Tetapi kemuliaan akhlak itu bukan semata-mata akibat dari pembiasaan, melainkan tumbuh di atas keyakinan yang kuat dan keimanan yang benar. 

Sangat berbeda kebiasaan yang muncul semata-mata sebagai hasil pembiasaan dengan kebiasaan yang lahir dari keyakinan yang kuat. Yang pertama akan mudah luntur oleh situasi, sedangkan yang kedua cenderung mewarnai dan membawa pengaruh tatkala kita berada pada lingkungan yang sangat berbeda.  

Serupa dengan itu, sangat berbeda kaya sebagai tujuan dan kaya sebagai akibat. Berbeda juga kaya sebagai jalan. Kita kerahkan seluruh kemampuan untuk mengejar kekayaan, lalu menyiapkan sejumlah kemuliaan sebagai alasan. Bahwa jika kaya, kita mampu beramal, meniru para shahabat Radhiyallahu ‘anhum ajma’in dan alasan lain yang serupa. Tetapi tatkala kaya sebagai jalan, kita sangat berkeinginan untuk melakukan amal mulia dan untuk itu kita siapkan bekal. Kerinduannya terletak pada amal. Bukan kekayaan.  

Jika dunia yang menjadi tujuan, maka dien akan menjadi alat. Jika kaya yang menjadi impian, maka surga yang menjadi agunan. Jika menolong agama Allah yang menjadi kegelisahan dan tekad kuat kita, maka kita akan siap berletih-letih untuk berjuang, termasuk mengumpulkan harta yang banyak agar dapat mengongkosi perjuangan dan dakwah kita fillah, lillah, ilallah.
Reff : suarahidayatullah.com

Mendidik dengan Keteladanan

 
Sebagai agama yang ajarannya mencakup semua aspek kehidupan, Islam telah mengatur pula masalah pendidikan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi teladan, apa dan bagaimana memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak. Karenanya, adalah sebuah kemestian, seseorang yang menghendaki pendidikan anaknya membuahkan hasil terbaik untuk meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)

Pendidikan yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan dilandasi hawa nafsu. Tidak pula lantaran menjiplak model-model pendidikan yang berkembang di masa itu. Tapi, apa yang diajarkan benar-benar karena didasari wahyu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

Bagi seorang muslim wajib hukumnya meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk dalam masalah pendidikan. Islam tidak akan menolerir model-model pendidikan yang meracuni anak didik dengan nilai-nilai kesyirikan, kekufuran, dan kerusakan akhlak. Di tengah dahsyatnya gempuran berbagai model pendidikan yang dijejalkan kepada kaum muslimin, keharusan untuk merujuk kepada apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu yang sangat urgen (penting). Maka, tiada pilihan lain bagi seorang muslim kecuali menerapkan apa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)

Bagaimana model pendidikan yang diterapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Yang utama sekali ditanamkan adalah menyangkut masalah tauhid, mengenyahkan kesyirikan. Ajari dan pahamkan anak dengan masalah tauhid. Lantaran misi menanamkan tauhid dan memberantas kesyirikan inilah para rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala diutus kepada kaumnya. Nabi Nuh ‘alaihissalam diutus kepada kaumnya, misi utamanya adalah mendakwahkan dan mendidik kaumnya dengan tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: ‘Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada ilah bagimu selain-Nya.’ Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (Al-A’raf: 59)

Begitu pula yang diserukan para nabiyullah yang lainnya, seperti Nabi Hud ‘alaihissalam yang diutus kepada kaum ‘Ad, Nabi Shalih ‘alaihissalam yang diutus kepada kaum Tsamud, dan Nabi Syu’aib ‘alaihissalam yang berdakwah kepada penduduk Madyan. Semuanya mendakwahkan satu seruan, yaitu:

“Sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada ilah bagimu (yang berhak disembah) selain-Nya.” (Al-A’raf: 65, 78, 85)

Semua menyerukan kalimat yang sama: tauhid. Semua memberikan pendidikan dan pengajaran kepada umatnya dengan kalimat yang satu, yaitu tauhid. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan wejangan kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, yang kala itu hendak diutus berdakwah ke Yaman, juga agar mendidik penduduk Yaman dengan tauhid.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal kala dia hendak diutus ke Yaman:
“Sesungguhnya engkau akan tiba pada suatu kaum dari ahli kitab. Maka jika engkau datang kepada mereka, dakwahilah kepada persaksian bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah rasulullah.” (HR. Al-Bukhari no. 4347)

Tauhid menjadi awal dan dasar bagi pendidikan. Diungkapkan Ibnul Qayyim rahimahullahu, anak-anak yang telah mencapai kemampuan berbicara, ajarilah mereka (dengan menalqinkan) kalimat La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah. Jadikanlah apa yang diperdengarkan kepada mereka adalah tentang pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala (ma’rifatullah) dan mentauhidkan-Nya. Didik juga anak-anak bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya. Allah Maha Melihat terhadap mereka dan Maha Mendengar terhadap apa yang mereka perbincangkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa bersama mereka, di mana saja mereka berada. (Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud, hal. 389)

Segaris dengan hal di atas, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu pun menekankan pula, bahkan mewajibkan, untuk setiap muslim membekali diri dengan ilmu yang terkait dengan pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah, pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala meliputi perkara keberadaan-Nya, rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan asma wa shifat-Nya. (Ithaful ‘Uqul bi Syarhi Ats-Tsalatsatil Ushul, hal. 8)

Kenalkanlah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada anak-anak semenjak dini. Kenalkan melalui metode yang bersifat praktis dan mudah dipahami anak-anak. Satu di antara metode itu adalah dengan tanya jawab (di atas). Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak wanita. Hadits dari Mu’awiyah bin Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, menceritakan metode dialog (tanya jawab) tersebut.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Di mana Allah?’ Budak wanita itu menjawab: ‘Di (atas) langit.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kembali: ‘Siapa saya?’ Budak wanita itu menjawab: ‘Engkau adalah Rasulullah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Bebaskan dia, karena sesungguhnya dia adalah wanita yang beriman’.” (Sunan Abi Dawud no. 930, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu)

Demikian metode dialog yang mengalir lancar, ringan, menyentuh tanpa beban. Dialog yang lugas, tegas, menikam tajam ke dalam pusat kesadaran. Menggugah keyakinan, menumbuhkan keimanan nan makin kokoh.

Pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb bisa pula melalui metode pengenalan dengan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk-Nya. Disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, bahwa apabila engkau ditanya, dengan apa engkau mengetahui Rabbmu. Maka jawablah: dengan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk-Nya. Dari adanya ayat-ayat-Nya yang berupa malam dan siang, matahari dan bulan, para makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di langit yang tujuh dan di bumi yang berlapis tujuh, serta makhluk-makhluk Allah yang berada di antara keduanya. (Syarh Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 22)

Kata Asy-Syaikh Muhammad Aman Al-Jami rahimahullahu saat memberi penjelasan terhadap perkataan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu di atas, “Mengapa dalil, tanda-tanda dan ayat-ayat (dijadikan dasar) engkau mengetahui Rabbmu? Karena, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala terhijab di dunia ini dan Dia (Allah Subhanahu wa Ta’ala) tidak bisa dilihat. Ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Maka sungguh kalian tidak akan pernah bisa melihat Rabb kalian hingga kalian mati.” (Makna hadits ini terambil dari hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya no. 2931)

Dengan begitu, iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala termasuk iman terhadap yang gaib. Karena, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah gaib dari penglihatan dan pandanganmu. Namun Dia ada bersamamu, tidak gaib darimu dengan ilmu-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, maka Dia bersamamu. Inilah ma’iyyah khashshah atau ma’iyyah ma’nawiyah (kebersamaan secara maknawi), bukan hissiyah (inderawi). Adapun secara hissi (inderawi), Dia gaib dari dirimu. Karenanya, keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala termasuk iman pada hal yang gaib, yang membutuhkan tanda dan dalil yang menunjukkan atas wujudullah (keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala). (Syarhu Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad Aman Al-Jami rahimahullahu, hal. 45)

Hikmah dari mencermati dan mengamati segenap ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, selain bisa memicu rasa ingin tahu anak, juga bisa diarahkan untuk menumbuhkan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Membangun kesadaran bahwa di balik semua ciptaan ini, ada yang mengatur, menjaga, memelihara dan menghidupi, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Katakan pula kepada anak, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mencipta dan mengatur setiap orang berbeda-beda. Tunjukkan karunia dan nikmat yang telah dia rasakan. Ini sebagai upaya menumbuhsuburkan rasa syukur pada diri sang anak. Sikap syukur yang tertanam dalam diri anak diharapkan akan memupus sikap tamak, rakus. Memudahkan untuk menumbuhkan sikap mau berbagi, membantu dan menolong teman, dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan sikap syukur ini pula diharap makin mendekatkan anak kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memupuk jiwa tawadhu’ (rendah hati) dan tidak takabur.

Perlihatkan pula kepada anak sederetan pedagang yang menjual barang dagangan yang sama. Masing-masing pedagang tidak saling berebut pembeli dan tidak saling mematikan pesaing antara pedagang yang satu dengan yang lain. Mereka bersaing secara sehat. Masing-masing mereka mendapatkan rizki sesuai kadar yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan untuk mereka. Subhanallah! Sebuah fenomena yang memperkaya batin anak, mengasah kepekaannya dan menumbuhkan keimanan dalam aspek tauhid rububiyah. Yaitu, tauhid yang menumbuhkan keyakinan bahwa sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala itu Maha Pencipta, Maha Pemberi rizki, yang menghidupkan, yang mematikan dan mengatur alam semesta ini. Dengan keyakinan semacam ini, anak tak perlu lagi risau, hasad, iri atau benci bila melihat temannya mendapatkan sesuatu. Dia berkeyakinan bahwa segala sesuatu itu telah ditentukan rizkinya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, pupuslah segala macam hasad, iri, benci di dalam hatinya. Kemudian terpancarlah dari diri anak akhlak nan mulia. Semua ini didasari tauhid yang lurus, bersih dari segala noda kesyirikan. Ibarat pohon, akarnya menghunjam kokoh ke dasar bumi, cabangnya menjulang menggapai angkasa raya, daunnya rimbun lebat meneduhkan suasana, dan buahnya bermunculan di setiap musim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Ibrahim: 24-25)

Demikianlah pohon keimanan. Pokok akarnya kokoh di dalam hati seorang mukmin, secara ilmu dan i’tiqad (keyakinan). Cabangnya berupa ucapan yang baik, amal shalih, akhlak yang disukai, adab (kesantunan) yang baik (yang mengarah) pada langit, yang senantiasa menapak ketinggian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dari pohon itu mencuat amal-amal dan perkataan-perkataan yang membawa manfaat bagi seorang mukmin dan yang lainnya. Itulah syajaratul iman (pohon keimanan). Ini dinyatakan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu dalam Taisir Al-Karimirrahman (hal. 451).

Karenanya, pendidikan tauhid ini harus benar-benar mendapat perhatian. Nabi Ya’qub ‘alaihissalam saat menjelang ajal menjemput masih tetap memerhatikan masalah tauhid terhadap anak-anaknya. Ini dilukiskan dalam Al-Qur`an:
“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab: ‘Kami akan menyembah Ilahmu dan Ilah nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Ilah Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’.” (Al-Baqarah: 133)

Pendidikan anak lainnya yang ditekankan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah membaguskan semangat anak untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Anak dihasung untuk senantiasa melatih diri beribadah. Hingga pada masanya, anak tumbuh dewasa, dirinya telah memiliki kesadaran tinggi dalam menunaikan kewajiban ibadah. Di antara perintah yang mengharuskan anak dididik untuk menunaikan yang wajib, seperti hadits dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Suruhlah anak-anak kalian menunaikan shalat kala mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila meninggalkan shalat) kala usia mereka sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Sunan Abi Dawud no. 495. Asy-Syaikh Al-Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu menyatakan hadits ini hasan shahih.)

Yang dimaksud menyuruh anak-anak, meliputi anak laki-laki dan perempuan. Mereka hendaknya dididik bisa menegakkan shalat dengan memahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Jika hingga usia sepuluh tahun tak juga mau menegakkan shalat, maka pukullah dengan pukulan yang tidak keras dan tidak meninggalkan bekas, serta tidak diperkenankan memukul wajah. (Lihat ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 2/114)

Untuk mengarahkan anak tekun dalam beribadah memerlukan pola yang mendukung ke arah hal tersebut. Seperti, diperlukan keteladanan dari orangtua dan orang-orang di sekitar anak. Perilaku orangtua yang ‘berbicara’ itu lebih ampuh dari lisan yang berbicara. Anak akan melakukan proses imitasi (meniru) dari apa yang diperbuat orangtuanya. Syariat pun sangat tidak membuka peluang terhadap orang yang hanya bisa berbicara (menyuruh) namun dirinya tidak melakukan apa yang dikatakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Ash-Shaff: 2-3)

Dengan demikian, keteladanan sangat mengedepankan aspek perilaku dalam bentuk tindakan nyata. Bukan sekadar berbicara tanpa aksi.

Pendukung lainnya yang diperlukan agar anak tekun beribadah adalah mengondisikan lingkungan atau suasana ke arah hal itu. Manakala tiba waktu shalat, maka seluruh anggota keluarga menyiapkan diri untuk shalat. Tak ada satu orang pun yang masih santai dan tidak menghiraukan seruan untuk shalat. Kalau ada anggota keluarga yang tidak bisa memenuhi segera seruan tersebut atau berhalangan, maka hal itu harus dijelaskan kepada anak. Sehingga anak memahami sebagai hal yang dimaklumi secara syar’i.

Pendukung lainnya, seperti pemberian hadiah manakala mau beribadah secara tekun, memberikan sanksi atau hukuman yang mendidik dan menimbulkan efek jera bagi anak yang malas beribadah, menghilangkan hal-hal yang jadi penyebab anak malas ibadah, dan lain-lain.

Pendidikan penting lainnya bagi anak yaitu membentuk kepribadian anak yang beradab. Tahu etika, sopan santun. Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu, al-adab yaitu akhlak yang menjadikan manusia santun (beretika) karenanya. Seperti, kemuliaan, keberanian, bagus kepribadian, lapang dada, raut wajah yang berseri-seri, dan lain-lain. Jadi, al-adab adalah sebuah ungkapan tentang akhlak yang (bila) seseorang menghiasi dirinya dengan akhlak tersebut akan menjadi terpuji karenanya. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 2/979)

Saat seseorang berbicara tentang adab, maka sesungguhnya dia berbicara masalah akhlak. Adab dan akhlak, satu hal yang tidak ada perbedaan padanya. Akhlak terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Mentauhidkan-Nya dalam rububiyah, uluhiyah, dan asma wa shifat. Seseorang yang berbuat syirik, senyatanya dia berbuat zalim yang besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman: 13)

Akhlak seorang muslim terhadap Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak lancang terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 1-2)

Diungkapkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu bahwa ayat ini meliputi kandungan adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengagungkan, menghormati, dan memuliakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dengan perkara keimanan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu, menunaikan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi larangan-larangan-Nya.  

(Sehingga) menjadikannya berjalan di belakang perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh urusan mereka. Sikap mereka tidak mendahului Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak berkata sampai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata. Mereka tidak menyuruh sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan. Maka, sungguh inilah hakikat adab yang wajib terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang merupakan bentuk kebahagiaan seorang hamba dan keberuntungannya.(Sedangkan apabila) bersikap melancanginya, dirimu akan meninggalkan kebahagiaan yang abadi dan kenikmatan yang langgeng. Dalam ayat ini pun terkandung larangan yang keras mendahulukan perkataan (pendapat) selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, sesungguhnya tatkala telah terang Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, wajib untuk mengikuti dan mendahulukannya atas selainnya. (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 889)

Selain mendidik adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, anak mesti pula dididik untuk memiliki adab terhadap sesama manusia. Dalam hal ini yang utama sekali mendidik akhlak anak terhadap orangtuanya. Mendidik agar anak berbuat baik kepada kedua orangtuanya, tak semata dengan memberikan asupan ilmu. Lebih dari itu, hendaknya seorang anak diberi ruang yang bebas untuk membangun ikatan emosional dengan kedua orangtuanya, sekaligus sebagai media mempraktikkan ilmu yang didapatnya. Melalui interaksi dan komunikasi yang sehat, diharapkan ikatan itu terbentuk sehingga anak memiliki rasa kepedulian terhadap orangtuanya. Bisa saja seorang anak memiliki ilmu yang cukup dan paham tentang bagaimana harus birrul walidain (berbuat baik) kepada kedua orangtuanya.

Namun manakala ikatan emosional ini tidak dibangun dan dibentuk sejak dini, jalinan kedekatan dengan orangtua pun bisa mengalami hambatan. Anak akan merasa kesulitan mengamalkan ilmu dan pemahamannya. Kepekaannya menjadi tidak tajam. Kepeduliannya pun tumpul. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”(Luqman: 14)

Orangtua atau pendidik yang baik, akan senantiasa memerhatikan masalah interaksi dan komunikasi antara orangtua dan anaknya. Mendidik bukan semata mentransfer ilmu kepada anak. Lebih dari itu, bagaimana anak tersebut mengamalkan ilmunya secara benar dan berkesinambungan. Kerja sama dan komunikasi yang baik antara orangtua, anak, dan pendidik, di suatu lembaga pendidikan mutlak diperlukan. Karena anaknya sudah di pesantren, lantas orangtua tidak mau peduli kepada anaknya. Tak pernah berkomunikasi dan berinteraksi dengan sang anak. Ini adalah sikap tidak tepat. Begitu pula lembaga pendidikan di mana sang anak menimba ilmu, bisa menjadi jembatan komunikasi antara orangtua dan anak. Ini semua sebagai upaya menyongsong pendidikan anak yang lebih baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (Al-Ma`idah: 2)

Hikmah yang bisa dipetik dari perintah mendidik anak untuk shalat sejak usia tujuh tahun yaitu adanya penanaman ilmu tentang shalat itu sendiri, adanya proses pelatihan dan pengondisian yang terus-menerus sehingga ritual shalat menjadi proses ibadah yang melekat kokoh pada anak. Begitu pula aspek pengamalan dalam masalah birrul walidain, selain penanaman ilmu, perlu proses melatih, mengondisikan, mendekatkan, dan mengikatkan suasana emosional anak dengan orangtuanya. Kepedulian, perhatian dan kasih sayang orangtua kepada anak merupakan nutrisi bagi ‘kesehatan’ jiwa anak. Sehingga diharapkan anak mengalami tumbuh kembang jiwa ke arah yang lebih baik. Lebih stabil secara emosional. Matang dalam bersikap dan dewasa dalam menghadapi masalah. Tidak reaksioner, meletup-letup dan kekanak-kanakan sehingga memperkeruh masalah yang ada. Nas`alullah as-salamah wal ‘afiyah. Wallahu a’lam.
Sumber: www.asysyariah.com