aguspurnomosite.blogspot.com

aguspurnomosite.blogspot.com
Berpikir Luas Membuka Cakrawala Kehidupan! Berusaha Memberikan Yang Terbaik Untuk Masa Depan! Katakan "Go Go Go SEMANGAT" !!!

Jumat, 15 Maret 2013

Kejujuran Seorang Muslim

Kejujuran adalah mutiara dalam diri seorang muslim, banyak orang yang mengaku muslim namun mereka adalah pendusta, padahal pendusta tidak akan berhenti dari kedustaanya sehingga dia akan terus menerus menambah kedustaanya sampai dia mati. Dalam al-quran Allah memerintahkan kita senantiasa berbuat jujur dan menjadi golongan orang – orang yang jujur. 

Artinya : Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.


Orang – orang yang jujur akan mendapat pangkat ahli jujur dan ke dalam masuk surga.
Artinya : Dari Abdullah bin Umar, dari Nabi Muhammad SAW bersabda , Sesungguhnya kejujuran itu menunjukan pada kebaikan dan kebaikan akan menunjukan pada surga, dan niscahya seorang laki-laki yang jujur sehingga di tulis Ahli jujur. Dan sesungguhnya dusta menunjukan pada keji, dan keji akan menunjukan pada neraka dan niscahya seorang laki-laki yang dusta di sisi allah di tulis Ahli dusta.

Macam-macam Kejujuran

Membahas tentang kejujuran (dalam bahasa arab disebut sebagai Ash-Shidqun), ada 5 macam kejujuran, yaitu: 


1. Shidq Al-Qalbi (jujur dalam berniat). 

Hati adalah poros anggota badan. Hati adalah barometer kehidupan. Hati adalah sumber dari seluruh gerak langkah manusia. Jika hatinya bersih, maka seluruh perilakunya akan mendatangkan manfaat. Tapi jika hatinya keruh, maka seluruh perilakunya akan mendatangkan bencana. Rasulullah Saw. bersabda, “Ingatlah, dalam tubuh itu ada segumpal daging. Bila ia baik, akan baiklah seluruh tubuh. Dan bila ia rusak, rusaklah ia seluruhnya. Itulah qalbu (hati).” (H.R. Bukhari).

Itulah hati dan kejujuran yang tertanam dalam hati akan membuahkan ketentraman, sebagaimana firman-Nya, 
Artinya : (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.

2. Shidq Al-Hadits (jujur saat berucap).

Jujur saat berkata adalah harga yang begitu mahal untuk mencapai kepercayaan orang lain. Orang yang dalam hidupnya selalu berkata jujur, maka dirinya akan dipercaya seumur hidup. Tetapi sebaliknya, jika sekali dusta, maka tak akan ada orang yang percaya padanya. Orang yang selalu berkata jujur, bukan hanya akan dihormati oleh manusia, tetapi juga akan dihormati oleh Allah Swt. sebagaimana firman-Nya, 


Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. 


Hidup dalam naungan kejujuran akan terasa nikmat dibandingkan hidup penuh dengan dusta. Rasulullah Saw. bahkan mengkatagorikan munafik kepada orang-orang yang selalu berkata dusta, sebagaimana sabdanya, “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; bila berucap dusta, kala berjanji ingkar dan saat dipercaya khianat.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

3. Shidq Al-’Amal (jujur kala berbuat).

Amal adalah hal terpenting untuk meraih posisi yang paling mulia di surga. Oleh karena itu, kita harus selalu mengikhlaskan setiap amal yang kita lakukan. Dalam berdakwah pun, kita harus menyesuaikan antara ungkapan yang kita sampaikan kepada umat dengan amal yang kita perbuat. Jangan sampai yang kita sampaikan kepada umat tidak sesuai dengan amal yang kita lakukan sebab Allah Swt. sangat membenci orang-orang yang banyak berbicara tetapi sedikit beramal. 


Artinya : Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan

Jadi, yang harus kita lakukan adalah banyak bicara dan juga beramal agar kita bisa meraih kenikmatan surga. 


4. Shidq Al-Wa’d (jujur bila berjanji).

Janji membuat diri kita selalu berharap. Janji yang benar membuat kita bahagia. Janji palsu membuat kita selalu was-was. Maka janganlah memperbanyak janji (namun tidak ditepati) karena Allah Swt. sangat membenci orang-orang yang selalu mengingkari janji sebagaimana dalam firman-Nya, 


Artinya : Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

Kita pun harus selalu membatasi janji yang kita ucapkan, baik kepada Allah maupun kepada manusia karena setiap janji yang kita ucapkan akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah Swt.
Artinya : Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.

5. Shidq Al-Haal (jujur dalam kenyataan).

Orang mukmin hidupnya selalu berada di atas kenyataan. Dia tidak akan menampilkan sesuatu yang bukan dirinya. Dia tidak pernah memaksa orang lain untuk masuk ke dalam jiwanya. Dengan kata lain, seorang mukmin tidak hidup berada di bawah bayang-bayang orang lain. Artinya, kita harus hidup sesuai dengan keadaan diri kita sendiri. Dengan bahasa yang sederhana, Rasulullah Saw. mengingatkan kita dengan ungkapan, “Orang yang merasa kenyang dengan apa yang tidak diterimanya sama seperti orang memakai dua pakaian palsu.” (H.R. Muslim). Dari ungkapan ini, Rasulullah Saw. menganjurkan kepada umatnya untuk selalu hidup di atas kenyataan dan bukan hidup dalam dunia yang semu.
Kejujuran Rasulullah

Dari buku sejarah kita membaca bahwa Nabi Muhammad di masa muda dan belum diutus menjadi Rasul dikenal sebagai sosok pemuda yang memiliki kredibilitas tinggi dankejujuran yang tak tertandingi.

Kejujuran beliau begitu terkenal di seantero Makkah waktu itu sehingga tak kala para kepala suku berselisih pendapat tentang siapa yang paling berhak meletakkan Hajar Aswad di tempat asalnya di salah satu sudut Ka’bah, mereka sepakat untuk menyerahkan permasalahan itu pada beliau. Mereka pasrah apapun keputusan Nabi akan mereka terima dengan sepenuh hati.

Nabi pun meletakkan Hajar Aswad pada sebuah selendang. Para kepala suku diminta untuk memegang ujung selendang dan membawa Hajar Aswad ke tempat asalnya secara bersama-sama. Setelah dekat, Nabi mengambil Hajar Aswad tersebut dan meletakkannya di tempat semula. Keputusan Nabi yang begitu tepat, cerdas dan bijaksana tersebut semakin melambungkan citra beliau dan dari peristiwa itu Nabi mendapat julukan baru “Al Amin”, yaitu pribadi yang dapat dipercaya.

Sedikitnya ada dua pelajaran yang dapat kita petik dari kisah tersebut:

Pertama, bahwa kejujuran sikap akan menuai kepercayaan dan penghargaan yang tinggi dari berbagai kalangan, tua dan muda, kaya dan miskin, muslim atau nonmuslim. Dengan kata lain, apapun tujuan hidup yang ingin dicapai, mulailah dengan kejujuran dan konsisten dengan kejujuran itu apapun resikonya.

Kedua, bahwa yang dimaksud dengan “jujur” hendaknya tidak hanya dimaknai secara sempit sebagai “keselarasan antara kata dan perbuatan, kesesuaian antara kata dan fakta.” Ia juga bermakna “adil dalam bertindak” dan bijaksana dalam mengambil sikap , sebagaimana dalam Al-Quran :

Artinya : Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. 


Adil dan bijaksana dalam bersikap identik dengan perilaku profesional dalam mengambil tindakan. Sikap profesional menuntut kita untuk bersikap jujur dan adil kepada siapapun, termasuk kepada diri sendiri, tanpa dipengaruhi oleh rasa suka atau benci, kawan atau lawan, kebenaran harus ditegakkan seperti dalam surat An-Nisa 135 : 


Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.

Apakah kejujuran ini masih ada pada generasi muda ?

KEWAJIBAN ORANGTUA TERHADAP ANAKNYA

Ayah, Ibu, Jangan Murtadkan Anakmu! 

"Aku ingin anakku nantinya bisa jadi penyanyi terkenal," ujar seorang ibu muda kepada rekan pembicaraannya. "Kalo' aku sih, anakku ingin aku masukkan ke sekolah modelling biar bisa jadi peragawati terkenal," timpal ibu lainnya tak kalah sengit. "Kalo saya, ingin anak saya yang cantik menjadi bintang filmm atau arts sinetron yang bergaji tinggi." Obrolan seperti ini, sering kita dengarkan manakala ibu-ibu membicarakan obsesinya terhadap buah hatinya.

Obsesi orangtua terhadap anak, memang tak dilarang dalam Islam. Selama obsesi itu merupakan wujud kasih sayang orangtua terhadap anak-anak mereka. Agar anak-anak mereka menjadi orang yang berhasil dalam karir, mandiri (baik secara materi maupun sikap mental), mendapat pendamping hidup yang baik, terpandang di masyarakatnya, serta tetap berbakti pada orangtua. Bagaimana soal berbakti kepada Tuhan? Ini juga hal yang sering tak dilupakan sebagai bagian obsesi para ortu terhadap anak-anak mereka. Biasanya satu paket, agar anak berbakti kepada orangtua dan agamanya.

Namun sayangnya unsur terakhir ini, kerap cuma sebagai embel-embel formalitas dari bangunan obsesi para ortu yang diangankan pada anak-anak mereka. Tindak lanjut dari obsesi terakhir ini, sayangnya macet cuma sampai pada tataran angan-angan. Dalam bentuk implementasi, bak "jauh panggang dari api" alias berbanding terbalik.

Ilustrasi di awal tulisan ini, mungkin bisa jadi contoh. Bagaimana tergiurnya seorang ibu pada predikat sukses duniawi yang kelak bisa disandang anak, tanpa mempedulikan apakah itu selaras dengan harapan Tuhan? Padahal hakikatnya, kita bukanlah the real owner dari anak-anak yang kita miliki. Kita hanya ditugasi Allah 'Azza wa Jalla, Pemilik Sesungguhnya Seluruh Anak-Anak Manusia, cuma sebagai fasilitator yang harus bisa mengantarkan anak-anak kita kembali kepada Pemiliknya dalam keadaan orisinal (asli) sebagaimana dulu dia dilahirkan. Dalam bahasa imannya, anak itu lahir dalam keadaan fitrah (suci), karena itu ia harus kita kembalikan pada Pemiliknya juga dalam kondisi fitrah.

Al Qur'an menegaskan hal itu. "Dan (ingatlah) ketika Robb-mu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian atas jiwa-jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab; "Betul (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan; "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lupa terhadap kesaksian ini." (Surat Al A'raf 172).

Setiap anak Adam yang terdiri dari beragam warna, beragam bahasa, beragam kultur, dan akhirnya berhimpun dalam berbagai suku bangsa di dunia itu, hakikatnya lahir dalam keadaan fitrah (bertauhid kepada Allah 'Azza wa Jalla). Ini merupakan warisan Robbani sekaligus modal dasar yang paling kokoh yang akan menentukan eksistensi kemanusiaan setiap insan. Bagaimana nilai-nilai keyakinan yang diajarkan anak, miliu tempatnya hidup, serta sistem pembinaan karakter yang diterapkan terhadap dirinya, kelak yang akan menentukan akan menjadi seperti apa anak di kemudian hari. Apakah anak tetap dalam fitrahnya, atau apakah bahkan ia kelak menjadi penentang fitrah yang dimilikinya?

Karena itu Nabi mulia saw menegaskan, "Setiap bayi yang lahir dalam keadaan fitah. Maka orangtuanyalah yang kemudian berperan dalam merubah fitrahnya, apakah ia kelak menjadi Yahudi, menjadi Majusi, atau menjadi Nasrani." (hadits shahih).

Hadits di atas tidak menyebutkan, si anak bisa berubah menjadi Islam. Karena Islam (fitrah) itu sesungguhnya telah menyatu (inherent) dalam diri setiap anak yang lahir. Maka tugas para orangtua yang diamanati anak-anak yang fitrah itu oleh Allah swt, sesungguhnya adalah tetap mengasuh mereka dalam sistem dan pola yang fitrah. Dengan kata lain, anak-anak itu sebetulnya telah disediakan oleh Penciptanya suatu sistem pendidikan yang sesuai dengan fitrah mereka. Sehingga hanya dengan sistem itu anak-anak dijamin tak akan berubah fitrahnya hingga ia menghadap Tuhannya. Kita -para orangtua- yang seharusnya berperan mengarahkan, menempatkan, dan menjaga si anak agar tetap berada pada koridor sistem fitrah itu, yang tak lain adalah dienul Islam.

Hanya sistem (dien) Islam yang bisa mengakomadasi, menumbuhkan, mengembangkan, serta mengokohkan potensi fitrah setiap manusia. Karena Islam adalah agama yang diciptakan oleh Pencipta sekaligus Pemilik manusia itu sendiri. Perintah itu dengan gamblang dituangkan dalam firmanNya yang agung; "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia manusia tidak mengetahuinya." (Ar Ruum : 30) .

Lantaran itulah para orangtua berperan mengenalkan, menggiring, dan menempatkan anak-anak agar dia hidup dalam habitat sistem fitrah itu (dienul Islam) secara permanen. Anak tak boleh sedikitpun disusupkan nilai-nilai asing pada aspek manapun, yang dapat merusak potensi fitrahnya. Sebaliknya orangtua berkewajiban menempa kepribadian anak berdasarkan petunjuk sistem fitrah itu, agar potensi fitrah anak menjadi sesuatu yang dominan muncul ke permukaan kepribadiannya. Sebab hanya manusia yang memiliki kepribadian fitrah yang akan bisa memelihara eksistensi kehormatan dirinya.

Tentu saja keliru asumsi yang mengatakan, mengajarkan Islam pada anak, cuma urusan sholat, puasa, dan bersedekah. Namun dia tidak mendidiknya agar anak berpakaian sopan dan menutup aurat (bagi anak-anak perempuan). Dia tidak menciptakan atmosfer Islami di dalam rumah tangganya. Atau bahkan dia membiarkan anak-anaknya bebas mengikuti trend budaya Barat, baik dari segi pergaulan, selera hiburan, selera berpakaian, dan lain sebagainya. Atau juga dia membebaskan anaknya memilih jalan hidup yang bertentangan dengan Islam.

Akan lebih keliru lagi misalnya, jika ada orangtua menginginkan anak-anak mereka menjadi anak-anak yang sholeh dan sholihat, tapi menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah Kristen misalnya. Atau anak-anak kita biarkan bergaul dalam lingkungan komunitas atheistik/materialistik yang menganut paham pergaulan bebas. Komunitas yang menganggap semua agama sama, semua agama baik, surga tidak bisa diklaim hanya sebagai milik orang-orang Islam belaka. Jelas ini tidak kondusif bagi perkembangan fitrah anak. Bahkan sangat membahayakan fitrahnya.

Jika kita tidak asuh anak-anak kita dalam asuhan sistem dan nilai-nilai yang Islami, jangan salahkan jika mereka kelak di kemudian hari menjadi orang-orang nyeleneh. Orang-orang yang tidak tau malu mempertontonkan aurat, Orang-orang yang menjadi pemuja ideologi Barat. Orang-orang yang sesungguhnya telah menjadi murtad (keluar dari Islam), na'udzubillah min dzalik.

Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang mau mendengar suara fitrah anak-anak kita. Agar kita tidak memaksakan kehendak dan obsesi kita yang barangkali justru akan memurtadkan mereka. Coba dengar baik-baik suara fitrah mereka: "Ayah, ibu, jangan murtadkan anakmu!" Wallahu a'lam.