aguspurnomosite.blogspot.com

aguspurnomosite.blogspot.com
Berpikir Luas Membuka Cakrawala Kehidupan! Berusaha Memberikan Yang Terbaik Untuk Masa Depan! Katakan "Go Go Go SEMANGAT" !!!

Jumat, 12 Juli 2013

Faktor Ambisi Menjadi Pemimpin

Memang tidak diragukan lagi, salah satu penyakit bagi seorang muslim dan penyebab terganggunya perjuangan islam adalah penyakit ambisi menjadi pemimpin, atau berusaha untuk diangkat jadi pemimpin, terinspirasi dari obrolan di warung kopi tersebut, maka kali ini aku mencoba membahas tentang bagaimana ambisi menjadi pemimpin dilihat dari kaca mata Islam.  

Tidak dipungkiri keinginan untuk jadi pemimpin dalam pandangan Islam adalah adalah sesuatu yang tercela dan dilarang, bahkan pelakunya mendapat ancaman yang cukup berat. Banyak dalil-dalil yang menggambarkan tercelanya meminta dijadikan pemimpin. 

Rasulullah Bersabda: "Demi Allah, saya tidak akan menyerahkan jabatan kepada orang yang meminta untuk diangkat dan tidak pula pada orang yang berharap-harap untuk diangkat" (HR. Bukhari & Muslim)


Rasulullah juga bersabda kepada Abdurahman bin Samurah ra.
"Wahai Abdurrahman, jangan engkau meminta diangkat menjadi pemimpin karena permintaanmu sendiri, tanggung-jawabnya akan besar sekali, dan jika engkau diangkat bukan karena permintaanmu sendiri, engkau akan mendapat pertolongan dalam melaksanakannya" (HR. Bukhari & Muslim) 


Mungkin akan muncul pertanyaan bagaimana dengan yang dlakukan Nabi Yusuf as yang meminta jabatannya? 

"Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan." (QS.Yusuf : 55) 

Juga bagaimana seorang muslim yang memohon kepada Allah menjadi terhormat dan menjadi cendekiawan terkenal atau menjadi imam bagi musllim lainnya, seperti Firman Allah:

"Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa." (QS Al Furqan : 77) 

Sekilas ada kontradiksi antara hadist Rasulullah dengan Firman Allah diatas, padahal jika dikaji lebih mendalam tidak ada kontradiksi sama sekali. Nabi Yusuf as. meminta dan menonjolkan dirinya untuk suatu jabatan karena beliau melihat tidak ada orang yang mau berkomitment memperjuangkan kebenaran dan mengajak umat pada kebenaran, karena beliau merasa mampu tapi belum dikenal masyarakat, maka perlu beliau meminta untuk menonjolkan dirinya. Jadi bila dalam keadaan darurah, karena orang tidak ada lagi yang berkomitment tentang kebenaran, bila diantara kita punya kemampuan lebih dalam suatu bidang, maka diperbolehkan untuk mengajukan diri untuk menjadi pemimpin, dengan catatan memang benar dalam keadaan darurah, artinya apabila dibiarkan akan berdampak yang lebih buruk, dan meminta menjadi pemimpin bisa mendatangkan manfaat dibanding mudharatnya, maka insya Allah diperbolehkan, tentunya dengan diniatkan semata-mata untuk Allah Ta'ala serta bersungguh-sungguh untuk menegakkan kebenaran dan menjaga amanah.

Demikian pula dengan permohonan si Muslim meminta untuk diangkat menjadi imam (pemimpin) bagi umat muslim yang lain (QS. Al Furqan : 77), ayat tersebut hakekatnya tidak bertentangan dengan sabda Rasul diatas, karena permohonan muslim untuk menjadi pemimpin merupakan permohonan sang hamba kepada Allah bukan kepada sesama manusia, sedangkan kita boleh memohon apapun kepada-Nya selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariat, jadi sebab-sebab antara hadist dengan Firman Allah, sangat berbeda dan tidak bisa dibenturkan. Sedangkan kontek asbab dari sabda Rasulullah kepada Abdurrahman bin Samurah adalah jika kita meminta untuk menjadi pemimpin, dengan cara tersamar maupun terus terang kepada orang lain, apalagi dengan niat untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun golongan, maka yang demikian dilarang keras oleh Islam.

Beberapa Faktor yang mendorong seseorang berambisi menjadi pemimpin.

1. Suka menguasai dan mengendalikan orang lain karena keegoannya, tidak mau di perintah dan patuh kepada orang lain, maka seseorang berambisi menjadi pemimpin agar orang mengagungkan dan memandang sebagai yang terhebat

2. Menginginkan materi duniawi, sebagian manusia ingin mendapatkan materi dengan mudah tanpa memperhatikan masalah halal dan haram, maka dengan menjadi pemimpin, akan menganggap setiap orang bersedia untuk membantu mendapatkan materi.

3. Tidak sadar akan resiko sebagai pemimpin, sesungguhnya resiko seorang pemimpin harus siap menanggung kesulitan rakyatnya disaat genting dan mementingkan kepentingan rakyat atas dirinya sendiri disaat normal, seperti yang disampaikan sahabat Ali bin Abi Thalib

"Apabila keadaan genting dan terjadi peperangan, maka kami berlindung kepada Rasulullah, tidak ada seorangpun diantara kami yang lebih dekat dengan musuh, dibanding Beliau" (HR Ahmad)

4. Tidak sadar akan konsekwensi kelengahan seorang pemimpin, kelengahan seorang pemimpin bisa membuka jalan kepada kebathilan, serta menjadikan pendukungnya sebagai alat untuk menebark`n kerusakan di muka bumi, maka pemimpin seperti itu diakhirat nanti akan diikat dengan rantai dan dilemparkan ke neraka.

"Seorang hamba yang dipercaya Allah untuk menjadi pemimpin rakyatnya, tetapi ia menipu rakyatnya, maka jika ia mati Allah mengharamkan surga baginya" (HR Bukhari dan Muslim)


5. Suka Merendahkan orang lain,
sebagian manusia ada yang menerima doktrin-doktrin dalam pendidikannya serta menanamkan dalam jiwanya kecintaan terhadap penguasaan dan merendahkan terhadap orang lain dan ia melihat dengan cara menjadi pemimpinlah ia bisa memenuhi ambisinya dan dapat terpuaskan nafsu-nafsu ambisinya.

Mungkin yang aku sebutkan diatas hanyalah sebagian kecil dari faktor pendorong seseorang berambisi menjadi pemimpin, jika diuraikan masih banyak lagi dan tidak akan ada habisnya, semoga tulisan ini sebagai pengingat untuk kita semua terutama diriku sendiri, agar lebih berhati-hati dalam bersikap dan bertindak khususnya tentang sikap ambisius kita untuk menjadi pemimpin.  

Hadits riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu: Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam bersabda:Ketahuilah! Masing-masing kamu adalah pemimpin
Dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin.Seorang raja yang memimpin rakyat adalah pemimpin
Dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya.
Seorang suami adalah pemimpin anggota keluarganya
dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka.Seorang istri juga pemimpin bagi rumah tangga serta anak suaminyaDan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya.Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya,dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya.Ingatlah! Masing-masing kamu adalah pemimpinDan masing-masing kamu akan dimintai pertanggung jawabanatas apa yang dipimpinnya 

Nabi Muhammad Dibenci Karena Aqidahnya

Setiap muslim meyakini bahwa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam merupakan sosok manusia paripurna. Beliau memiliki akhlak agung yang tiada tandingannya. Karena akhlaknya, Nabishollallahu ’alaih wa sallam dicintai dan dihormati segenap kalangan. Tua-muda, laki-perempuan semua sangat terkesan dengan pribadi agungnya. Kemuliaan kepribadian Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bukan baru hadir setelah beliau diangkat Allah menjadi Nabi. Bahkan sejak masa jahiliyah masyarakat musyrik Quraisy Mekkah menjuluki beliau dengan ”Al-Amin” (laki-laki terpercaya). Hal ini bahkan diabadikan di dalam firman Allah:

’Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS Al-Qolam ayat 4)

Namun siapapun yang mengenal sejarah hidup Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam pasti tahu bahwa dalam hidupnya beliau juga memiliki musuh. Dan tidak sedikit di antaranya yang sedemikian benci kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam sehingga berniat membunuh manusia mulia ini. Sehingga muncullah suatu pertanyaan di dalam benak fikiran kita. Jika akhlak Nabi shollallahu ’alaih wa sallam diakui sedemikian mulia, lalu mengapa beliau masih mempunyai musuh? Mengapa masih ada manusia yang berniat membunuhnya jika semua orang sepakat bahwa akhlak beliau sedemikian mengagumkan?

Saudaraku, hal ini hanya menggambarkan kepada kita bahwa sesungguhnya ada hal lain yang jauh lebih utama daripada perkara akhlak yang menyebabkan manusia menjadi siap bermusuhan dengan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Hal itulah yang dinamakan dengan ”Al-Aqidah” atau keimanan. Siapapun orang yang memusuhi Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam pastilah orang yang tidak suka dengan ajaran aqidah atau keimanan yang dibawakannya.

Mereka tidak bisa memungkiri kemuliaan akhlak Nabi shollallahu ’alaih wa sallam, namun mereka sangat tidak suka dengan ajaran aqidah Tauhid yang Nabi shollallahu ’alaih wa sallam da’wahkan kesana-kemari. Sebab menurut mereka, ajaran Tauhid mengancam eksistensi ajaran mereka.

Ajaran mereka, yaitu kemusyrikan, menyuarakan eksistensi banyak ilah (tuhan), sedangkan ajaran aqidah Tauhid menegaskan hanya ada satu ilah di muka bumi yaitu Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Lalu seseorang yang berikrar syahadat Tauhid diharuskan mengingkari eksistensi berbagai ilah lainnya untuk hanya menerima dan mengakui Satu ilah saja.

Sehingga dalam catatan Siroh Nabawiyyah (sejarah perjuangan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam) kita sempat menemukan bagaimana paman Nabi, yakni Abu Tholib, diminta oleh para pemuka Musyrik Quraisy untuk melobi Nabi shollallahu ’alaih wa sallam agar mau menghentikan seruan da’wah Tauhid-nya dengan imbalan apapun yang diinginkan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam. Tetapi apa jawaban Nabishollallahu ’alaih wa sallam terhadap permintaan mereka?

”Demi Allah, hai Pamanku…! Jika mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, dengan maksud agar aku meninggalkan urusan ini, maka saya tidak akan melakukannya, sampai Allah memenangkannya atau aku hancur dalam melaksanankannya…!”

Pada dasarnya seruan Tauhid inilah seruan abadi para Nabi dan Rasul utusan Allah. Umat manusia sepanjang zaman didatangi oleh para Nabi dan Rasul secara bergantian dengan membawa misi mengajak manusia agar menghamba semata kepada Allah dan menjauhi Thoghut.

’Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. (QS An-Nahl ayat 36)


Sebelum para Nabi dan Rasul mengajarkan apapun, mereka senantiasa mendahulukan pengajaran akan hakikat fundamental pengesaan Allah. Tiada gunanya segenap amal-sholeh dan amal-ibadah diajarkan kepada manusia jika tidak dilandasi sebuah pemahaman sekaligus keyakinan mendasar akan keesaan Allah. Bahkan Al-Qur’an menggambarkan bahwa hakikat kebencian kaum kafir hingga tega menyiksa sesama manusia lainnya ialah dikarenakan manusia lain itu memiliki keimanan akan keesaan Allah semata.

”Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mu’min itu melainkan karena orang-orang mu’min itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS Al-Buruuj ayat 8-9)


Inilah hakikat permusuhan dan konfrontasi di dunia. Permusuhan yang sesungguhnya ialah permusuhan karena pertentangan aqidah bukan yang lainnya. Seorang mu’min sepatutnya menyadari bahwa Nabi kita yang mulia akhlaknya itu tidak pernah dibenci lantaran akhlaknya. Namun setiap bentuk kebencian dan permusuhan yang diarahkan kepada beliau senantiasa bertolak dari ketidak-relaan manusia untuk menerima sekurang-kurangnya mentolerir keberadaan aqidah Tauhid yang diajarkan Nabi Muhammadshollallahu ’alaih wa sallam.

Maka sudah sepantasnya kita selalu introspeksi dan evaluasi diri. Jika dalam kehidupan ini kita ternyata dimusuhi manusia, maka jangan bersedih dulu. Sebab Nabipun pernah dimusuhi. Namun selanjutnya kita perlu lihat, apakah manusia memusuhi kita lantaran akhlak kita atau aqidah kita. Jika ternyata kita dibenci lantaran akhlak kita, maka sudah sepatutnya kita ber-istighfar dan memperbaiki diri. Karena Nabi shollallahu ’alaih wa sallam tidak pernah dibenci manusia lantaran akhlaknya. Namun jika kita dibenci lantaran aqidah kita, maka sepatutnya kita bersyukur dan bersabar. Sebab Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabatnya-pun dibenci karena aqidahnya. Itupun dengan satu catatan, yaitu kita selama ini memang sudahterus-menerus berusaha meluruskan dan mengokohkan aqidah Tauhid kita setiap hari. Semoga saudaraku…


”Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran ayat 139) 
Reff

Menyesal Tidak Menjadi Muslim

Kaum kafir alias non-muslim ketika sudah memasuki kehidupan di akhirat akan menyesal mengapa mereka tidak menjadi muslim sewaktu masih hidup di dunia. Suatu penyesalan yang tentunya tiada berguna. Ketika di dunia, mereka mengira bahwa menjadi muslim berarti harus menjadi terhina sebagaimana banyak dialami bangsa muslim dewasa ini. Mereka sangat bangga menjadi orang kafir sebab mereka melihat bahwa kebanyakan negeri-negeri maju dewasa ini justru dipimpin dan didominasi oleh kaum non-muslim alias kafir. Mereka sangat tersilaukan oleh berbagai kemajuan material yang diraih oleh negeri-negeri seperti Amerika, Inggris, Perancis, Jepang, Jerman bahkan Israel.

Sebaliknya mereka sangat kecewa bahkan jijik melihat kaum muslimin di negeri-negeri terbelakang seperti Bangladesh, Afghanistan, Nigeria dan Indonesia. Mereka mengira bahwa status formal keagamaan bangsa-bangsa tersebut-lah yang menyebabkan mereka menjadi terbelakang dan terhina di dunia. Mereka kaitkan antara dominasi agama yang dianut bangsa tersebut dengan ketertinggalan yang mereka alami. Sehingga mereka segera menyimpulkan bahwa Islam adalah agama yang menyebabkan keterbelakangan dan kehinaan sedangkan agama-agama di luar Islam, entah itu Nasrani, Yahudi bahkan Shinto merupakan agama yang menyebabkan kemajuan dan kemuliaan manusia di dunia.

Mengapa ini bisa terjadi? Karena kebanyakan manusia tidak mampu membedakan antara ajaran agama dengan penganut agama. Mereka terlalu mudah menilai dan memvonis suatu agama sebagai baik atau buruk hanya berdasarkan tampilan penganutnya. Jika penganutnya berpenampilan maju dan menarik (secara standar duniawi) mereka segera memvonis agama yang mereka anut itu pastilah baik, bahkan benar. Sementara bilamana penganutnya berpenampilan tertinggal dan lemah (secara standar duniawi) mereka segera memvonis bahwa agama yang mereka anut itu pastilah buruk, bahkan batil…!

Dan bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan negeri berpenduduk muslim dewasa ini dalam keadaan tertinggal dan lemah secara standar dunia. Sebaliknya, sebagian besar negeri-negeri yang disebut sebagai negara-negara maju justru terdiri dari kebanyakan penganut agama di luar Islam. Sungguh, sangat wajar bilamana orang kafir pada umumnya tidak bisa menghargai ajaran Islam di zaman di mana umat Islam sedang babak belur seperti keadaannya dewasa ini.

Oleh karena itu, biasanya orang barat kafir yang akhirnya memperoleh hidayah Allah ta’aala dan memeluk agama Islam adalah mereka yang tidak terjebak pada stereotype negatif mengenai ajaran Islam. Mereka sanggup membedakan antara Islam sebagai ajaran yang datang dari Allah ta’aala Yang Maha Benar dengan umatnya yang seringkali tidak konsisten menjalankan ajaran mereka. Inilah orang yang potensial bersikap obyektif dan akhirnya menemukan hidayah kebenaran cahaya agama Allah ta’aala. Di antara mereka -misalnya- adalah mantan penyanyi terkenal Cat Stevens yang kemudian merubah namanya menjadi Yusuf Islam.

Pantas bilamana orang Barat yang akhirnya mendapat hidayah iman dan islam lewat mengkaji kitabullah Al-Qur’an sering berkata: ”Alhamdulillah saya berjumpa dengan Al-Qur’an sebelum berjumpa dengan ummat Islam. Andaikan saya berjumpa dengan ummat Islam sebelum membaca dan mempelajari Al-Qur’an barangkali saya tidak akan pernah tertarik akan ajaran Islam.”

Maka, saudaraku, marilah kita menjadi duta-duta agama Allah ta’aala yang mengkampanyekan kemuliaan dan kebenaran Al-Islam betapapun zaman yang sedang kita jalani dewasa ini tidak berfihak pada Islam dan ummat Islam. Marilah kita persiapkan alasan di hadapan Allah ta’aala kelak di hari berbangkit. Bila kita telah mengajak dengan gigih orang-orang kafir alias non-muslim untuk memeluk Islam, maka tentunya mereka tidak punya alasan untuk menyalahkan kita kelak di hadapan Allah ta’aala pada hari pengadilan. Seandainnya mereka mengetahui betapa besarnya ganjaran yang menunggu orang beriman di akhirat, niscaya mereka akan menyesal mengapa mereka tidak menjadi muslim sewaktu hidup di dunia.

“Alif, laam, raa. (Surat) ini adalah (sebagian dari) ayat-ayat Al-Kitab (yang sempurna), yaitu (ayat-ayat) Al Qur’an yang memberi penjelasan. Orang-orang yang kafir itu kadang-kadang (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (QS Al-Hijr ayat 1-3)

Saudaraku, marilah kita banyak berda’wah dan mengajak kaum kafir non-muslim untuk menjalani kehidupan Islami dan imani agar mereka selamat di dunia dan selamat pula di akhirat. Janganlah kita bersikap bakhil ingin masuk surga sendiri tanpa mengajak mereka berpeluang masuk surga bersama kita. Dan janganlah kita berlindung di balik alasan ”toleransi” padahal sejatinya kita tidak pernah peduli kemaslahatan mereka kelak dalam kehidupan hakiki di akhirat. Wallahu a’lam.

Keuntungan Memasuki Islam

Betapa beruntungnya seorang manusia yang memeluk agama Allah ta’aala, yaitu Al-Islam. Sebab semenjak ia masuk Islam maka semua perbuatan yang ia lakukan mulai mendapat perhitungan serta ganjaran kebaikan di sisi Allah ta’aala.

Adapun orang yang kafir, maka apapun yang ia kerjakan di dunia tidak akan memperoleh balasan kebaikan dari Allah ta’aala. Mengapa? Sebab mereka telah mengingkari perkara yang paling mendasar dalam kehidupan, yaitu ke-imanan kepada Allah ta’aala. Di dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa semua yang mereka kerjakan akan terhapus dari catatan rekening amal mereka. Bahkan ditegaskan bahwa mereka bakal menjadi orang-orang yang merugi kelak di akhirat.

“Barangsiapa yang kafir terhadap keimanan, maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS Al-Maaidah ayat 5)

Ironisnya lagi, orang-orang kafir tersebut menyangka bahwa mereka telah berbuat kebaikan sewaktu di dunia sehingga mereka sudah berharap akan memperoleh surga di akhirat setelah mereka mati. Padahal justru ketika di akhirat itulah mereka baru sadar betapa celakanya mereka. Dan mereka baru sadar bahwa diri mereka sewaktu di dunia berada dalam kesesatan dan kekeliruan.

Katakanlah, “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. (QS Al-Kahfi ayat 105)

Semua itu terjadi lantaran orang kafir mengingkari tanda-tanda kekuasaan Allah ta’aala dan mereka tidak pernah secara sungguh-sungguh mempercayai akan datangnya hari perjumpaan dengan Allah ta’aala. Hari di mana manusia bakal mempertanggung-jawabkan segala apa yang telah dikerjakannya sewaktu di dunia. Bilamana ada orang yang mengajak mereka agar beriman kepada Allah ta’aala dan hari Akhir mereka kemudian mentertawakannya serta mendustakannya.

Maka pada hari Berbangkit kelak orang-orang kafir akan menyesali segala salah sikap yang mereka perlihatkan sewaktu di dunia dahulu. Bahkan mereka berkeinginan kuat untuk membayar apapun, seandainya mungkin, agar mereka dapat terlepas dari siksaan Allah ta’aala.

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir sekiranya mereka mempunyai apa yang di bumi ini seluruhnya dan mempunyai yang sebanyak itu (pula) untuk menebus diri mereka dengan itu dari azab hari kiamat, niscaya (tebusan itu) tidak akan diterima dari mereka, dan mereka beroleh azab yang pedih.” (QS Al-Maaidah ayat 36)

Penyesalan orang kafir sedemikian rupa pada hari itu sehingga mereka menuntut kepada Allah ta’aala agar dapat dikembalikan ke dunia agar mereka dapat meralat salah langkah mereka sewaktu di dunia. Bahkan mereka mengakui bahwa mereka telah keliru karena tidak mau meyakini kebenaran Allah ta’aala dan Rasul-Nya sewaktu di dunia. Suatu keyakinan yang munculnya sangat terlambat. Suatu keyakinan yang sudah tidak membawa manfaat apapun bagi mereka pada hari Berbangkit tersebut, kecuali azab Allah ta’aala.

Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata), “Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin.” (QS As-Sajdah ayat 12) 


Maka, saudaraku, alangkah beruntungnya manusia yang memperoleh hidayah iman dan Islam di dunia. Sebab apapun kebaikan yang ia kerjakan bakal mendatangkan balasan kebaikan dari Allah ta’aala yang berlipat kali. Sementara kejahatan yang ia kerjakan hanya dibalas Allah ta’aala setimpal dengan kejahatan tersebut.


“Apabila seseorang masuk Islam kemudian Islamnya menjadi baik, niscaya Allah akan menghapus segala kejahatan yang telah dilakukan. Setelah itu, ia akan diberi balasan yaitu setiap kebaikannya akan dibalas Allah sepuluh sampai tujuh ratus kali. Sedangkan kejahatannya dibalas (hanya) setimpal kejahatannya itu, kecuali jika Allah memaafkannya.” (HR Bukhary 1/72)

Maka sudah sepantasnya –sebagai ungkapan rasa syukur- kita ummat Islam berusaha keras mengajak siapapun ke jalan Allah ta’aala ini. Sampaikan kepada mereka: ”Aslim, taslam… Masuklah Islam-lah engkau, niscaya engkau bakal selamat di dunia dan di akhirat.” Jangan hendaknya kita biarkan teman kerja kita di kantor, atau tetangga kita di rumah atau bahkan saudara kita yang non-muslim hidup tanpa iman dan Islam. Mumpung mereka masih hidup, mumpung kita masih diberi umur oleh Allah ta’aala. Marilah, saudaraku, kita da’wahi mereka ke jalan hidup yang sungguh akan menghantarkan mereka dan kita bersama kepada keselamatan fid-dunya wal aakhirah.