Disiplin kelas, tata tertib kelas, pengendalian kelas, manajemen kelas atau apapun namanya, merupakan hal yang amat krusial bagi seorang guru. Apabila seorang guru tidak mampu memelihara disiplin dalam kelas maka kemungkinan proses pembelajaran akan mengalami kegagalan. Kegiatan ini merupakan langkah awal untuk menciptakan sebuah lingkungan belajar yang kondusif.
Sebagai agen sosialisasi (socialization agent), guru hendaknya membelajarkan siswa tentang berbagai perilaku yang sesuai dengan tuntutan situasi. Dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan siswa, guru menyampaikan berbagai pesan kepada siswa agar dapat berperilaku sesuai dengan situasi yang diharapkan di kelas.
Terdapat 4 (empat) hal penting untuk mencapai kesuksesan di kelas:
- Guru perlu merencanakan secara matang pendekatan individual dalam mendisiplinkan siswa.
- Guru harus memahami secara baik berbagai teori disiplin, beserta asumsi yang mendasarinya.
- Guru memahami nilai-nilai dan filsafat pendidikan yang diyakininya.
- Guru harus mampu menentukan pendekatan disiplin yang sejalan dengan keyakinan siswanya, sehingga tidak menimbulkan kebingungan siswa dan konflik personal.
Sesungguhnya, banyak teori tentang disiplin yang bisa kita terapkan, salah-satunya adalah teoriInner Discipline yang digagas oleh Barbara Coloroso. Dalam upaya mendisiplinkan siswa di kelas (sekolah), Coloroso mengemukakan 3 (tiga) kategori guru (dalam tulisan ini saya menggunakan istilah tipe guru), yaitu: (1) Brickwall Teacher (Guru Tembok Bata); (2) Jellyfish Teacher (Guru Ubur-ubur); dan (3) Backbone Teacher (Guru Tulang Punggung). Berikut ini disampaikan penjelasan singkat dari ketiga tipe tersebut:
Guru Tembok Bata (Brickwall Teacher).
Guru tipe ini berusaha membatasi dan mengendalikan siswa secara ketat, menganggap siswa sebagai bawahan dan kerap menghina siswa. Disini tidak ada wilayah abu-abu, yang ada hanyalah dikhotomi antara hitam dan putih. Guru tipe ini mengoperasikan tugas dalam suasana ketakutan, melalui aturan tetap dan kaku, menekankan ketepatan waktu, kebersihan dan ketertiban. Dalam proses pembelajaran sering mematahkan kehendak siswa, menekankan ritual dan hafalan, lebih mengandalkan pada kompetisi dan mengajarkan tentang apa yang harus dipikirkan daripada bagaimana berpikir (what to think rather than how to think). Guru Tembok Bata (Brickwall Teacher) kurang memberi kepercayaan kepada siswa untuk mengembangkan Inner Discipline-nya.
Guru Ubur-ubur (Jellyfish Teacher).
Berbanding terbalik dengan Guru Tembok Bata, guru tipe yang kedua ini sama sekali tidak memiliki ketegasan dan cenderung lemah dalam mengelola kelas, sehingga memungkinkan terjadinya kekacauan dan anarki di kelas. Tidak memiliki aturan dan struktur yang jelas, serta seringkali menetapkan aturan dan hukuman yang tidak konsisten. Guru tipe ini cenderung menggunakan ancaman dan emosional serta meremehkan proses pembelajaran. Sama halnya dengan tipe guru Tembok Bata (Brickwall Teacher), guru tipe yang kedua ini juga tidak memperhatikan kebutuhan siswa akan pengembangan kemampuan Inner Discipline-nya.
Guru Tulang Punggung (Backbone Teacher).
Guru tipe ketiga ini adalah guru yang senantiasa berusaha memberikan dukungan dan menyediakan struktur yang diperlukan siswa untuk menyadari keunikan dan mengenal diri yang sejatinya. Proses pembelajaran berlangsung secara demokratis dengan aturan yang sederhana tetapi jelas. Guru tipe yang ketiga ini selalu berusaha mendukung siswa untuk melakukan kegiatan yang kreatif, konstruktif dan bertanggung jawab, memotivasi siswa agar dapat melakukan semua hal yang mereka miliki bisa. Guru Tulang Punggung (Backbone Teacher) berupaya membelajarkan siswa bagaimana berpikir dan memperoleh kepercayaan terhadap diri sendiri maupun orang lain. Pada Guru Tulang Punggung (Backbone Teacher) inilah memungkinkan terjadinya pengembangan Inner Discipline siswa.
Coloroso berkeyakinan bahwa dalam berhubungan dengan siswa, seorang guru seyogyanya dapat membantu siswa untuk mengembangkan Inner Discipline-nya. Dalam arti, membantu siswa agar mampu menunjukkan perilaku yang kreatif, konstruktif, kooperatif, dan bertanggung jawab, tanpa harus diatur dan dikendalikan orang lain. Siswa dibelajarkan untuk menerima masalah yang dimiikinya, mengambil tanggung jawab penuh atas masalah perilakunya dan dapat mengambil tindakan yang tepat untuk mengatasinya, bukan atas dasar rasa takut tetapi berdasarkan pemahaman dan kesadaran bahwa memang itulah hal yang benar untuk dilakukan (it is the right thing to do).
Teori Inner Discipline meyakini bahwa setiap siswa pada dasarnya terhormat, oleh karena itu sudah sepatutnya mereka menerima perlakuan secara terhormat dan setiap saat dapat diperlakukan dengan tanpa harus melukai kehormatan dirinya. Langkah-langkah penerapan Inner Discipline dikembangkan dalam 6 (enam) tahapan, yaitu: (1) identifikasi dan mendefinisikan masalah; (2) menentukan kemungkinan-kemungkinan pemecahannya; (3) mengevaluasi pilihan-pilihan yang tersedia; (4) memilih salah satu pilihan yang ada; (5) membuat sebuah rencana dan melaksanakannya; (6) melakukan retrospeksi, dengan mengevaluasi ulang masalah dan solusi yang dijalankan.
Menurut Coloso, keenam langkah ini telah mencakup 3 R tentang Disiplin, yaitu: (1) Restitusi: memperbaiki kerusakan perilaku dan kepribadian yang dialami siswa ; (2) Resolusi: menentukan cara untuk tidak membiarkan perilaku itu terjadi lagi atau dengan kata lain siswa dapat menerima apa yang yang telah dilakukannya dan memulai hal baru; dan (3) Rekonsiliasi: proses penyembuhan, siswa dibelajarkan untuk menghormati rencana restitusi yang telah disepakati, dan berkomitmen untuk berbuat sesuai dengan resolusi.
Menjadi Guru Tulang Punggung (Backbone Teacher) yang mampu mengimplementasikan Inner Discipline sebagaimana disarankan oleh Coloso tentu bukan hal yang mudah, apalagi bagi guru-guru yang sudah kadung menjadi menjadi Guru Tembok Bata atau Guru Ubur-ubur, tetapi barangkali itulah pilihan yang paling memungkinkan dalam konteks pendidikan saat ini, yang mengedepankan proses pemanusiaan manusia.