aguspurnomosite.blogspot.com

aguspurnomosite.blogspot.com
Berpikir Luas Membuka Cakrawala Kehidupan! Berusaha Memberikan Yang Terbaik Untuk Masa Depan! Katakan "Go Go Go SEMANGAT" !!!

Senin, 22 April 2013

Hukum Aksi Reaksi dan Kecurangan UN

Di pelajaran Fisika, kita mengenal hukum Newton III, yang disebut Hukum Aksi Reaksi. Hukum Aksi Reaksi Berbunyi "Apabila sebuah benda memberikan gaya kepada benda lain, maka benda kedua memberikan gaya kepada benda yang pertama. Kedua gaya tersebut memiliki besar yang sama tetapi berlawanan arah."

Lalu apa hubungan Hukum Aksi Reaksi dengan kecurangan UN yang setiap tahun terjadi dan modusnya semakin canggih. Pada awal UN digelar, soal hanya terdiri 1 paket, kemudian 2 paket, berlanjut menjadi 5 paket, dan UN tahun ini 2013 terdiri dari 30 paket (30 variasi soal) ditambah dengan barcode. Penambahan jumlah paket tentu ada alasannya, yaitu untuk mengurangi kecurangan yang setiap tahun terjadi. Entah berkurang apa tidak, yang jelas kecurangan selalu saja terjadi.

Peningkatan jumlah paket tiap tahun ditingkatkan. Namun seiring dengan itu modus (cara atau tehnik) untuk melakukan kecurangan juga meningkat, dengan kata lain berbanding lurus, bukan berbanding terbalik. Oleh karena itulah kecurangan UN itu mirip sekali dengan Hukum Aksi Reaksi.

Lalu mengapa kecenderungan kecurangan UN tetap saja ada bahkan dengan modus yang selalu meningkat? Saya mempunyai analisa yang mungkin bisa menjawab pertanyaan tersebut, yang tentu ini hanya opini saya yang boleh Anda setuju atau tidak.

Siswa sudah menempuh proses pembelajaran yang cukup lama, yaitu 3 tahun, tentu semua siswa ingin lulus. Mereka tidak ingin dengan belajar 3 tahun gagal hanya dengan beberapa hari . Walaupun sebenarnya kriteria kelulusan siswa dari satuan pendidikan tidak semata lulus UN saja. Lulus UN itu adalah salah satu syarat saja. Syarat-syarat kelulusan siswa dari satuan pendidikan ada 4. Tapi faktanya hanya Lulus UN saja yang jadi pusat perhatian. Jadi boleh dikatakan bahwa LULUS UN PASTI LULUS DARI SATUAN PENDIDIKAN.

Karena tidak ingin menjadi “korban” maka sebagian (entah sedikit atau banyak) menempuh segala cara, yang penting LULUS UN, termasuk mencontek saat UN, memburu bocoran soal UN, dan lain sebagainya. Ketika “kekekatan” pelaksanaan UN ditingkatkan, tentu kekhawatiran TIDAK LULUS juga meningkat. Jadi sebelum UN digelar siswa sudah khawatir terlebih dahulu. Hal ini dapat kita saksikan berita di TV, siswa menempuh cara yang aneh-aneh agar tidak menjadi “korban” (tidak lulus UN), misal melakukan ritual “dilangkahi oleh ibu”, pensil diberi mantra, bahkan ada yang ke kuburan. Ini menunjukkan bahwa siswa khawatir tidak lulus. Semakin ditingkatkan “keketatan UN” maka kekhawatiran tidak lulus juga meningkat, akibatnya keinginan berbuat curang juga semakin besar (tidak semua sih). Itulah makanya saya mengibaratkan Kecurangan UN itu mirip dengan Hukum Aksi Reaksi. Jadi peningkatan “keketatan UN” yang salah satunya dengan meningkatkan jumlah paket UN tidak akan mengurangi “keinginan” untuk berbuat curang bahkan modusnya pun semakin meningkat.

Walaupun sebenarnya lulus UN itu mudah, tetapi tetap saja siswa (bahkan guru) khawatir tidak lulus UN. Sudah waktunya pelaksanaan UN dievaluasi.

Ujian Akhir Nasional Tidak Cocok untuk Indonesia

Ujian Akhir Nasional (UAN) setiap tahun menjadi momok yang menakutkan bagi semua orang, bukan hanya siswa namun orang tua murid, saudara, keluarga. Meski sebenarnya UAN bukanlah sesuatu yang seharusnya ditakuti namun yang patut menjadi perhatian ialah kekacauan penyelenggaraan UAN setiap tahunnya. Bukankah bukan pertama kalinya Indonesia melaksanakan UAN, tapi tetap saja terjadi kekacauan setiap tahunnya. Entah itu masalah teknis ataupun terkait pro dan kontra adanya UAN. Apa yang salah sebenarnya?  

Disini bukan salah siapa atau siapa yang patut dijadikan kambing hitam. Bukan pula menyalahkan Menteri Pendidikan. Kekacauan teknis seperti pendistribuan soal, kertas tipis, pelaksanaan UAN yang tak serentak nasional, tidak bisa kesalahan tersebut dilimpahkan pada Menteri Pendidikan kita, Muh. Nuh. Bukan salah beliau.

Ketika Pemerintah tetap teguh dengan pendiriannya perlunya UAN, sebetulnya ada banyak hal yang patutnya dikaji apakah UAN masih cocok diterapkaan di Indonesia. Ada banyak alasan UAN tidak lagi cocok dilaksanakan di Indonesia.

1. Alasan letak geografis Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.000 pulau tersebar diseluruh nusantara menjadi kendala tersendiri, terutama terkait pendidtribusian soal yang ramai dibicarakan pada kekacauan UAN tahun ini. Indonesia yang begitu luas, dimana setiap pulau terpisah oleh lautan mempersulit distribusi soal UAN, perlu perencanaan detail, tidak bisa sembarangan dan asal-asalan.

2. Pelajar itu subjek pendidikan bukan objek pendidikan

Keberadaan UAN justru menjadi alat coba-coba untuk pelajar. Setiap tahun aturan UAN terus berubah, mulai dari standar nilai, perubahan kurikulum, dan paket soal. Sistem yang tidak jelas seolah menjadi ajang coba-coba pemerintah untuk menerapkan suatu kebijakan. Padahal anak bukan ajang percobaan, mereka adalah anak yang seharusnya mendapatkan pelayanan pendidikan yang selayaknya. Mereka adalah subjek, pelaku pendidikan yang memiliki hak dasar mendapat pendidikan, bukan objek penelitian dan carut-marut kebijakan.

3. Kualitas pendidikan yang tidak merata

Kualitas pendidikan Indonesia yang tidak merata menyebabkan ketimpangan hasil UAN antara daerah kota dengan pendidikan maju dibanding daerah pinggiran dengan failitas pendidikan terbatas. Jika pada kenyataannya kulitas pendidikan di Indonesia belum merata, saya rasa UAN tidak layak dijadikan standarisasi penilaian nasional. Apalagi dijadikan syarat kelulusan, meski sekarang ini prosentasenya 60% dan 40% dari sekolah. Tapi tetap saja UAN masih menjadi standar. Standar nilai kelulusan UAN 5,5 sangat lah ringan untuk sekolah-sekolah maju dikota, tapi tidak untuk sekolah pinggriran. Membaca saja masih menjadi persoalan di pelosok-pelosok negeri ini.

4. Soal UAN tidak adil

Pembuatan soal UAN yang distandarkan untuk nasional menimbulkan ketidakadilan. Ketika pihak pembuat soal mempertimbangkan bahwa soal diperuntukkan bagi seluruh siswa di Indonesia, baik di daerah maupun kota, tentu pihak pembuat soal harus memperhitungkan apakah soal-soal tersebut memenuhi standar kelulusan untuk semua sekolah. Padahal kualitas sekolah sekali lagi berbeda. Bagi sekolah maju mungkin soal-soal UAN tidak sulit dibandingkan standar pendidikan disekolah mereka bahkan terlalu mudah. Tapi bagaimana dengan sekolah pinggiran, apakah soal-soal tersebut sesuai dengan starandar mereka? Terlalu sulit bisa jadi.

5. Setiap daerah memiliki kebutuhan dan standar pendidikan tersendiri

Negara kita hampir mirip dengan Amerika yang multikultural, bedanya setiap pulau di Indonesia terpisah oleh lautan sedangkan Amerika hanya dibatasi daratan. Namun apa yang sama bahwa Amerika juga memiliki masyarakat yang beragam, bangsa imigran. Setiap daerah memiliki kebudayaan, kebutuhan, dan standar pendidikan tersendiri. Amerika dikenal dengan sistem pendidikannya yang maju dan dipandang di dunia. Dalam sistem pendidikan di negri Paman Sam tidak ada Ujian Nasional karena setiap negara bagian memiliki kebutuhan berbeda akan pendidikan. Mereka menyelenggarakan Ujian per negara bagian, soal yang dibuat dari negara bagian, bahkan jika memang tidak berkenan dengan soal-soal dari negara bagian mereka berhak menolak dan menyelenggarakan ujian mandiri. Tidak ada penyetandaran secara nasional. Lalu bagaimana mengukur kemmapuan siswa untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi? Kualitas individu menjadi faktor penentu, tidak menjadi soal ia berasal dari pinggiran maupun kota asalkan ia bisa bersaing untuk meneruskan pendidikan dan mengenyam pendidikan yang lebih baik.

6. UAN bukan penjamin kualitas pendidikan baik secara individu maupun nasional

Berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson, sistem pendidikan Indonesia berada di posisi terbawah bersama Meksiko dan Brasil. Peringkat disusun berdasarkan keberhasilan negara-negara memberikan status tinggi pada guru dan memiliki “budaya” pendidikan. Lima negara maju tidak menyelenggarakan UAN dengan sistempendidikan terbaik di dunia:

a. Finlandia

Finlandia sebagai negara dengan system pendidikan termaju di dunia tidak mengenal yang namanya Ujian Nasional. Evaluasi mutu pendidikan sepenuhnya dipercayakan kepada para guru sehingga negara berkewajiban melatih dan mendidik guru-guru agar bisa melaksanakan evaluasi yang berkualitas. Setiap akhir semester siswa menerima laporan pendidikan berdasarkan evaluasi yang sifatnya personal dengan tidak membandingkan atau melabel para siswa dengan peringkat juara seperti yang telah menjadi tradisi pendidikan kita. Mereka sangat meyakini bahwa setiap individu adalah unik dan memiliki kemampuan yang berbeda beda. Di Finlandia profesi guru adalah profesi yang paling terhormat. Dokter justru berada dibawah peringkat guru.

b. Amerika Serikat (USA)

Amerika yang terdiri dari banyak negara bagian ternyata tidak pernah menyelenggarakan UN atau ujian negara secara nasional. Walaupun ada ujian yang diselenggarakan oleh masing-masing state (negara bagian), namun tidak semua sekolah diwajibkan mengikuti ujian negara bagian. Tiap negara bagian juga mempunyai materi ujian masing-masing. Sekolah-sekolah tetap boleh menyelenggarakan ujian sendiri dan menentukan kelulusannya sendiri.

Semua lulusan, baik lulusan yang disenggarakan oleh sekolahnya sendiri atau lulus ujian yang diselenggarakan negara bagian, tetap boleh mengikuti ujian mauk ke college ataupun universitas asal memenuhi persyaratan dan lulus tes masuk. Logika pendidikan yang digunakan yaitu: Kualitas pendidikan ditentukan oleh individu masing-masing kelulusan. Walaupun Si A lulusan dari SMA pinggiran yang tidak terkenal, kalau dia lulus tes masuk ke Universitas Harvard, maka diapun akan diterima di universitas tersebut. Jadi masalah kualitas ditentukan oleh individu (individual quality). Pakar pendidikan dari Columbia University, Linda Hammond (1994) Berpendapat bahwa nasionalisasi ujian sekolah tidak bisa memberi kreativitas guru. Sekolah tidak bisa menciptakan strategi belajar sesuai dengan perbedaan kondisi sosial, ekonomi, budaya, serta kemajuan teknologi. Sistem pendidikan top down oriented, tak bisa menjawab masalah yang ada di daerah-daerah berbeda.

c. Jerman

Jerman tidak mengenal ujian nasional. Kebijaksanaan yang diutamakan adalah membantu setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan menyediakan guru yang profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik, menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru, menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik dapat secara terus-menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar, Evaluasi yang terus-menerus, komprehensif dan obyektif.

Melalui model pembelajaran yang seperti inilah, yaitu peserta didik setiap saat dinilai tingkah lakunya, kesungguhan belajarnya, hasil belajarnya, kemampuan intelektual, partisipasinya dalam belajar yang menjadikan sekolah di Jerman mampu menghasilkan rakyat yang beretos kerja tinggi, peduli mutu, dan gemar belajar. Mereka setiap hari belajar selalu mendapat tugas dari semua mata pelajaran yang proses maupun hasilnya dinilai dan nilai-nilai ini memengaruhi nilai akhir semester dan seterusnya.

d. Kanada

Di Kanada tidak ada Ujian Nasional karena dianggap tak bermanfaat untuk kemajuan pendidikan di negara itu. Untuk kontrol kualitas di Kanada terdapat penjaminan mutu pendidikan yang kontrolnya sangat kuat. Lembaga penjamin mutu ini benar-benar bekerja secara ketat dari pendidikan dasar hingga menengah. Sehinga murid yang akan masuk ke perguruan tinggi cukup dengan rapor terakhir. Di Kanada, perguruan tinggi tidak sulit lagi untuk menerima murid darimana pun sekolahnya. Karena standar sekolah di sana sudah sesuai dengan standar perguruan tinggi yang akan dimasuki setiap lulusan sekolah.

Kebalikan dengan di Indonesia, perguruan tinggi banyak yang tidak percaya dengan lulusan sekolah menengah. Saling tidak percaya standar ini yang menyebabkan pemborosan keuangan negara karena harus menyelenggarakan UN dan ujian mandiri.

e. Australia

Di Negara Australia ini, ujian nasional tidak dilaksanakan bahkan tidak dikenal sama sekali, melainkan ujian state. Ujian ini tidak menentukan lulus tidaknya para peserta didik, namun untuk menentukan kemana siswa tersebut akan melanjutkan pendidikan. Berapapun nilai yang didapatkan oleh siswa dari ujian tersebut tetap dinyatakan lulus. Nilai nol pun tetap dinyatakan lulus, namun kelulusan tersebut tidak ada gunanya. Berarti siswa tersebut akan sangat sulit untuk melanjutkan pendidikannya. (sumber: www.unikbaca.com)

7. UAN hanya mengukur kemampuuan kognitifi siswa

Dalam dunia pendidikan, ranah kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa ada tiga yaitu kognitif, psikomotorik, afektif. Sedangkan UAN hanya mengukur kemampuan kognitif siswa, dimana afektif dan psikomotoriknya? Non sen, tidak ada!

Bukankah yang terpenting dari belajar ialah proses, jika UAN menjadi penentu kelulusan maka untuk apa belajar 6 tahun di Sd, 3 tahun di SMP dan SMA. Serasa perjuangan bertahun-tahun akan mati begitu saja jika 3 hari UAN itu gagal. Ketika M. Nuh menghadiri seminar UAN di sebuah SMA di Palangkaraya bersama Wakil Presiden, Budiono, seorang siswa kelas XI bertanya pada M. Nuh tentang kebijakan UAN yang menentukan kelulusan, bahwa proses belajar 3 tahun hanya ditentukan 3 hari UAN. Jawaban beliau sederhana, “UAN sama saaj dengan ulangan. Jika saya tanya kalian apakah mau ada ulangan atau tidak pasti jawabannya tidak”. Itu baru pendapat pribadi lho pak, apakah bapak sudah melakukan survey? Belum kan! Saya rasa jawabannya berbeda ketika konteks yang ditanyakan ulangan dan UAN. Karena 2 hal tersebut memang berbeda. Ulangan bukan UAN yang menentukan kelulusan belajar selama 3 tahun, tapi bagian dari proses belajar selama 3 tahun itu sendiri.
Source

UJIAN NASIONAL: ANTARA MANFAAT DAN MUDARATNYA

 Pelaksanaan ujian nasional tingkat SMA/SMK tahun ini mendadak menjadi topik pembicaraan yang luar biasa ramainya.   

Hal itu berawal dari tertundanya pelaksanaan UN di 11 provinsi karena keterlambatan naskah soal, sementara keluhan bermunculan di sekolah-sekolah yang telah melaksanakan UN sejak tanggal 15 April 2013. Keluhan itu antara lain menyangkut rendahnya kualitas lembar jawaban UN (kertas terlalu tipis sehingga mudah robek), tertukarnya paket-paket soal, kurangnya naskah soal dan lembar jawaban UN, hingga indikasi kecurangan yang terjadi di lapangan.

Awalnya berbagai permasalahan diatas dianggap hanya sebagai masalah teknis sehingga pihak percetakan yang terlambat mendistribusikan soal-soal ujian sudah dipastikan akan menjadi kambing hitam. Namun apakah betul carut marutnya pelaksanaan UN ini hanya seputar masalah teknis belaka? Banyak kalangan, sejak praktisi pendidikan hingga orang tua murid menuding bahwa UN tidak lagi layak untuk dibiarkan tetap dijalankan karena merupakan pemborosan biaya besar setiap tahunnya tanpa manfaat signifikan bagi peningkatan mutu pendidikan di negeri tercinta ini.

Seorang guru besar pendidikan mengharapkan agar pemerintah melalui Mendikbud lebih baik mengalihkan biaya penyelenggaraan UN yang tahun ini mencapai Rp 600 miliar, memperbaiki sekolah yang rusak, laboratorium sekolah, perpustakaan sekolah, untuk pelatihan guru dan pembenahan sarana dan prasarana pendidikan lainnya. Belum lagi biaya-biaya terkait UN yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan orangtua murid.

Komentar yang lebih fundamental mengenai ujian nasional ini dikemukakan oleh pakar pendidikan Henry Alexis Rudolf Tilaar yang menyebut bahwa pemerintah saat ini tidak memiliki komitmen untuk memperbaiki mutu pendidikan. Bahkan mereka dinilai tidak memiliki konsep jelas dan menyeluruh soal pendidikan Indonesia ke depan. Lebih jauh Henry mempersoalkan, apa sebetulnya tujuan dari ujian nasional. Apakah menghakimi anak atau meningkatkan mutu pendidikan nasional. 

Beberapa tahun lalu hal ini menjadi polemik di surat kabar. Ujian nasional yang dikatakan dapat meningkatkan mutu pendidikan nasional justru memunculkan nilai-nilai negatif dalam pelaksanaan.

Ada banyak fenomena yang membuat miris terjadi di lapangan. Ada kasus dimana guru mau jujur dalam pelaksanaan ujian nasional malah dipecat. Di tahun lalu, ada anak mengajak temannya jujur malah dipermasalahkan sampai ibunya dikucilkan dari kampung. Inilah ekses-ekses ujian nasional menghakimi anak yang ingin jujur.

Ungkapan senada disampaikan oleh Praktisi Pendidikan dari Universitas Paramadina, Abduh Zein, yang mengatakan bahwa kebijakan UN yang diambil pemerintah ini justru membuat anak-anak belajar untuk menjadi pribadi yang manipulatif dan destruktif karena dihantui ketakutan tidak lulus ujian. Menurutnya, “Kebijakan UN ini tidak tepat karena destruktif dan menanamkan untuk manipulasi.” 

Tidak hanya sekadar itu, UN yang awalnya didesain untuk meningkatkan semangat belajar justru malah memunculkan semangat yang berkebalikan karena anak-anak menjadi berlomba untuk mencari bocoran jawaban agar UN yang dikerjakannya berjalan lancar.

“Sekarang dapat dilihat apakah semangat belajar meningkat karena UN? Tidak, karena yang ada justru sebaliknya anak-anak mencari jalan pintas untuk lulus UN,” ungkap Abduh.

“Akhirnya anak yang pintar jadi hilang semangat belajar karena tahu ada jalan pintas itu,” tandasnya. 

Apa yang dikemukakan masih belum cukup, ada ekses lain yang merembet ke sektor lain.
Karena tingkat kelulusan anak didik dipakai menjadi ukuran kesuksesan sekolah dan institusi pendidikan daerah, bahkan hingga ke tingkat Bupati.

Lho kok? Alasannya sangat logis. Sang Bupati bilang kalau tingkat kelulusan di wilayahnya rendah, maka ia akan dipindahkan. Maka Kepala Dinas yang berada dibawah jajaran Bupati akan menginstruksikan Kepala Sekolah untuk meluluskan seratus persen. Jadi ada target disitu. Dalam pembicaraan per telepon dengan seorang kerabat di Sumatera Utara beberapa hari yang lalu, ia mengatakan bahwa pelaksanaan UN tingkat SMA di daerahnya yang agak terpencil berjalan dengan ”aman terkendali.” Yang ia maksud, pelaksanaannya dijalankan dengan kolaborasi penuh dari kepala daerah, polisi yang bertugas hingga pengawas ujian. Tujuannya, anak didik harus lulus sebanyak mungkin. Alamak!

Mengapa Pemerintah Masih Mempertahankan UN?

Walaupun kritikan terhadap ujian nasional terus dilayangkan sejak beberapa tahun terakhir, dan Mahkamah Agung telah memenangi gugatan masyarakat lewat gugatan citizen lawsuit soal penyelenggaraan ujian nasional pada 2009, pemerintah tetap melaksanakan ujian nasional dengan alasan kebutuhan standardisasi. 

Secara legal, keputusan MA masih memberikan ruang bagi pemerintah untuk tetap menyelenggarakan ujian nasional dengan catatan pemerintah telah meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, serta mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologi dan mental peserta didik akibat penyelenggaraan ujian nasional.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh mengatakan tak mungkin menghapuskan Ujian Nasional (UN). Hal ini disampaikan Nuh menanggapi pernyataan anggota Komisi X DPR yang meminta Mendikbud untuk tidak memaksakan pelaksanaan UN ke depannya menyusul amburadulnya produksi dan distribusi naskah soal dan lembar jawaban yang berujung pada penundaan UN di 11 provinsi di Indonesia. Namun, menurut Menteri, UN merupakan penentu kelulusan para siswa dari sekolah.

“(Kalau tidak dilanjutkan) terus anak-anak mau ujian pakai apa? Kalau enggak ujian susulan, mereka mau lulus pakai apa?” tanya Nuh ketika diwawancara hari Kamis, 18 April 2013.
“Harus ujian, kalau enggak gimana? Ujian dong, ini diusahakan secepatnya,” lanjut M Nuh.

Apakah UN Merupakan Alat Ukur Kelulusan Yang Terbaik?

Elin Driana, Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka dalam tulisannya di kolom Opini harian Kompas beberapa hari lalu menyampaikan laporan tahunan terbaru (2012) dari Center on Education Policy — sebuah lembaga nirlaba yang didirikan di George Washington University, yang meneliti ujian kelulusan di sejumlah negara bagian di Amerika Serikat sejak tahun 2002. Lembaga ini menyimpulkan bahwa hingga saat ini keterkaitan antara ujian kelulusan dan peningkatan prestasi belajar siswa masih belum terbukti. Laporan tersebut juga merujuk pada beberapa penelitian lain, misalnya yang dilakukan Grodsky dkk (2009), Reardon dkk (2009), dan Holme dkk (2010), yang belum menemukan keterkaitan antara pelaksanaan ujian kelulusan dan peningkatan prestasi belajar siswa.

Menurut Elin, untuk menilai efektivitas pelaksanaan UN kita memang membutuhkan indikator. Salah satu indikator yang saat ini tersedia dan dapat digunakan adalah hasil-hasil survei internasional dalam TIMSS (untuk matematika), PIRLS (untuk kemampuan membaca), dan PISA (matematika, sanis, dan membaca). 

Indonesia secara periodik telah mengikuti asesmen internasional tersebut dengan hasil yang memprihatinkan. Siswa Indonesia berada di peringkat bawah dalam ketiga asesmen tersebut. Bukan hanya peringkat yang mencemaskan, melainkan mayoritas siswa Indonesia ternyata baru mencapai level penalaran yang rendah. Bukankah ini sudah merupakan indikator kegagalan UN dalam meningkatkan prestasi belajar siswa?

Elin juga menambahkan sejumlah dampak negatif dari ujian kelulusan yang diambil dari penelitian lain seperti: (1) kesenjangan prestasi akademis berdasarkan status sosial ekonomi keluarga; (2) meningkatnya risiko putus sekolah bagi siswa tak mampu dan siswa dari kelompok minoritas; (3) penyempitan kurikulum, yaitu terfokusnya pembelajaran pada mata pelajaran yang diujikan sehingga yang tak diujikan terabaikan; (4) proses belajar yang berupaya menggali aspek kreativitas dan berpusat pada siswa cenderung terpinggirkan karena lebih memfokuskan pada latihan-latihan soal; (5) tekanan berlebihan yang dirasakan siswa; tekanan berlebihan yang dirasakan guru; dan (6) berbagai modus kecurangan.

Usulan kepada Pemerintah

Masukan ini bukan ibarat mengajar ikan berenang, sama sekali bukan untuk menggurui Pemerintah, khususnya Mendikbud, namun lebih merupakan himbauan sebagai masukan dalam membahas aspek standar kelulusan anak didik di Indonesia. 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hendaklah mencarikan solusi terbaik dalam persoalan standarisasi pendidikan khususnya SD hingga SMA. Jangan sampai solusi yang diterapkan dikorbankan demi kepentingan pribadi atau kelompok. 

Dalam mencari solusi yang ideal bagi negeri ini, sangat penting untuk juga mempertimbangkan faktor geografis negeri ini yang terdiri dari banyak kepulauan, ketimpangan kualitas guru antara daerah satu dengan lainnya dan fasilitas sekolah yang tidak merata. 

Jika Pemerintah tetap ngotot ingin menjalankan ujian nasional yang tersentralisasi, wajib hukumnya untuk memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi dan teknologi distribusi. Keterlambatan distribusi soal ujian yang terjadi beberapa hari lalu bisa menjadi tertawaan dunia. Di era informasi ini kita lihat betapa surat kabar telah memanfaatkan teknologi remote digital printing yang “secure” sehingga tidak lagi punya ketergantungan dengan transportasi fisik. Pendekatan ini jauh lebih praktis dan aman dibandingkan dengan pencetakan soal secara sentralisasi. Dan mengenai teknis pendistribusian soal ujian, mengapa pemerintah tidak mau belajar dari pihak swasta semisal Unilever atau Indofood yang mampu menyalurkan produk-produknya ke pelosok daerah secara cepat dengan harga yang sama? 

Namun andaikata Pemerintah legowo untuk meninjau ulang konsep “Ujian Nasional” yang diterapkan selama ini, mungkin mayoritas pakar pendidikan di negeri ini akan mendukung upaya ini. Dengan mengacu kepada poin nomor 2 diatas, tampaknya solusi yang ideal bagi bangsa ini adalah meniadakan UN untuk tingkat SD hingga SMA. Biarkanlah masing-masing provinsi untuk melaksanakan ujian lokal di daerah mereka. Ujian berskala nasional jika masih ingin dijalankan, cukup di tingkat universitas negeri (ujian saringan masuk perguruan tinggi).

Dengan dihapuskannya ujian nasional, pemborosan uang sebesar Rp 600 miliar yang disebut diatas bisa dialokasikan untuk hal yang jauh lebih bermanfaat seperti perbaikan sarana pendidikan (sekolah, laboratorium, perpustakaan) dan peningkatan kualitas guru.
Semoga menjadi bahan pemikiran bagi kita bersama.
Source