Ketika kita berbicara tentang istilah ‘ummi’ yang disematkan kepada Rasulullah maka fokus perdebatan biasanya bermuara kepada beberapa hal. Umumnya pihak non-Muslim akan menyatakan dan mempertanyakan kebenaran seorang nabi Muhammad yang ‘ummi’, mereka mengartikan kata ini dengan ‘tidak bisa baca tulis’ alias ‘buta huruf’. Dilihat dari sejarah hidup beliau rasa-rasanya tidak mungkin nabi Muhammad merupakan orang yang buta huruf.
Beliau adalah‘manager’ yang sukses mengelola perusahaan milik Siti Khadijah, berinteraksi dengan masyarakat sampai ke negeri Syam, mosok tidak ada niat sedikitpun untuk membaca tulisan-tulisan yang ditemuinya dipasar-pasar..? Boleh jadi Rasulullah memang tidak bisa baca-tulis sampai usia tertentu, lalu koq bisa tetap ngotot untuk tidak belajar membaca dan menulis sampai akhir hayatnya..?, Lha..mbok-mbok pembantu rumah-tangga saja bisa melek huruf dengan mengikuti Kejar paket A atau B, bagaimana mungkin Rasulullah mau ‘memandegkan diri’ untuk tidak belajar sampai tua..?
Motivasi non-Muslim mengajukan hal ini setahu saya bertujuan untuk membuktikan bahwa dengan kemampuan Rasululah yang bisa membaca dan menulis, maka terbuka kemungkinan Al-Qur’an adalah merupakan karangan beliau, yang ditulis berdasarkan referensi yang pernah dibaca dari kitab-kitab yang ada. “Arahan moncong senjata’ selanjutnya bisa ditebak, akan ada ‘masukan-masukan’ tentang nabi Muhammad yang sering nongkrong di perpustakaan milik Waraqah bin Naufal, seorang Kristen yang hidup dijaman itu, yang dikatakan oleh hadist telah menerjemahkan kitab Injil kedalam bahasa Arab. Berdasarkan hasil kunjungan ke perpustakaan inilah Rasulullah kemudian memunculkan ide tentang ajaran Islam dan Al-Qur’an, begitu perkiraan ‘input’ yang akan diberikan.
Sebaliknya pihak Muslim menolak keras tuduhan ini, mereka bersikukuh menyatakan bahwa Rasulullah yang ‘ummi’ artinya tidak pernah sekalipun bersentuhan dengan tulisan ataupun bacaan, agar keyakinan tentang kemurnian Al-Qur’an sebagai wahyu Allah bisa dijaga.
Yang lebih hebat lagi, dikalangan Islam sendiri juga membantah kalau dikatakan Rasulullah adalah seorang yang buta huruf, alasannya karena ‘tidak rela’ beliau dianggap merupakan orang yang bodoh, tidak terpelajar, tidak ‘makan bangku sekolahan’. Ketika disebut tentang istilah ‘buta huruf’, yang terbayang adalah mbok atau pakde yang tinggal dikampung yang tidak beraspal dan zonder listrik, tidak ada buku dan sekolah, tiap hari hanya mengunyah sirih, idiot, moron, jalan pikiran nggak sinkron, omongan tidak lurus. Padahal kemampuan baca-tulis sama sekali tidak ada urusannya dengan kepintaran atau kebodohan. Thomas Alfa Edison ketika kecil diusir dari sekolah karena dianggap tidak mampu mengikuti materi pelajaran. Andreas Panayiotou, seorang milyarder pemilik usaha properti senilai 400 juta poundsterling adalah seorang buta huruf. Tidak usah jauh-jauh, berita di internet menyebutkan Haji Mustofa seorang pengusaha sukses menjual besi-tua di Surabaya, adalah seorang yang buta huruf. Jadi tidak ada urusannya soal buta huruf dengan kebodohan atau kepintaran seseorang.
Permasalahannya terkait dengan menerjemahkan kata ‘ummi’ dengan istilah bahasa Indonesia ‘buta huruf’, suatu keadaan seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk membaca dan menulis. Semua umat Islam sepakat bahwa Rasulullah adalah seorang yang ‘ummi’ karena jelas tercatat dalam Al-Qur’an dan hadits, namun mereka berselisih ketika mengartikan kata ini menjadi ‘buta huruf’. Dalam terjemahan Al-Qur’an bahasa Indonesia sendiri, kata ‘ummi’ umumnya tidak diterjemahkan. Penafsirannya memang terkait soal kemampuan baca-tulis ini. Sedangkan dalam terjemahan bahasa Inggeris, kata ini diterjemahkan dengan : who can neither read nor write (Pickthall), the Unlettered Prophet (Yusuf Ali) dan Shakir tetap mencantumkan bahasa aslinya ‘the Ummi Prophet'.
Dalam sumber-sumber Islam banyak penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan istilah ‘ummi’, baik berdasarkan Al-Qur’an maupun hadits, misalnya :
Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam.". (Ali Imran 20)
Kata ‘ummi’ diletakkan berseberangan dengan kata ‘orang yang telah diberi alkitab’. Pengertian ‘orang yang telah diberi alkitab’ bukanlah merujuk kepada pihak yang diberikan Allah sebuah buku tertulis untuk dibaca, yang memuat susunan huruf lalu dirangkai menjadi kata dan kalimat, melainkan maksudnya adalah ‘orang yang telah diberi pengetahuan dan referensi’ tentang ketuhanan. Maka ketika kata ‘ummi’ditempatkan sebagai lawannya, maksudnya adalah ‘orang yang tidak pernah diberi pengetahuan dan referensi’ tentang konsep ketuhanan. Ayat lain dalam Al-Qur’an lebih menjelaskan lagi makna kata ‘ummi’ ini:
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu). (Al-Ankabuut 48).
Ayat ini menyatakan kalau nabi Muhammad TIDAK PERNAH atau TIDAK ADA membaca kitab-kitab sebelumnya, dan TIDAK PERNAH menulis suatu kitab dengan tangan. Pernyataan ‘tidak pernah’ bisa disebabkan oleh 2 hal :
- Memang tidak bisa membaca dan menulis, atau
- Bisa membaca dan menulis tapi tidak pernah membaca kitab-kitab sebelumnya. Ayat ini menunjukkan bahwa Rasulullah TIDAK MEMILIKI REFERENSI DAN PENGETAHUAN tentang konsep ketuhanan sebelum Al-Qur’an diturunkan. Dalam hadits, Rasulullah menyatakan :
Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami Al Aswad bin Qais telah menceritakan kepada kami Sa'id bin 'Amru bahwa dia mendengar Ibnu'Umar radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kita ini adalah ummat yang ummi, yang tidak biasa menulis dan juga tidak menghitung satu bulan itu jumlah harinya segini dan segini, yaitu sekali berjumlah dua puluh sembilan dan sekali berikutnya tiga puluh hari". (HR Bukhari 1780)
Faktanya adalah umat dijaman Rasulullah bukanlah umat yang buta huruf, banyak dari mereka adalah intelektual yang mampu menciptakan syair-syair indah, mereka juga pedagang yang handal, tidak mungkin tidak bisa menulis dan menghitung. Maka maksud kata ‘umat yang ummi’ adalah terkait dengan pengetahuan dan referensi mereka tentang ilmu astronomi, menghitung penanggalan, hari, bulan dan tahun.
Dialah yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, (Al-Jumu'ah 2)
Tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan orang-orang Arab yang ada di Makkah semuanya atau mayoritas buta huruf, pemahaman istilah ini ketika dikaitkan dengan kalimat ‘membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah’ lalu dikaitkan dengan kondisi mereka sebelum itu yang berada dalam ‘kesesatan yang nyata’, maka pengertian ‘ummi’ adalah suatu kondisi ‘tidak adanya pengetahuan dan referensi yang benar tentang ketuhanan’.
Menurut saya, padanan kata ‘ummi’ tidak tepat kalau diartikan dengan ‘buta huruf’, saya sendiri tidak menemukan kata yang tepat dalam bahasa Indonesianya. Untuk terjemahan bahasa Inggeris kelihatannya ada kata yang lebih mewakili apa yang dimaksud, yaitu : INNOCENCE, suatu kata yang diartikan : lack of knowledge, kemurnian (orang‘innocence’ biasanya dianggap bersih dari dosa karena tidak tahu), namun ‘innocence’tidak bisa dikatakan suatu kondisi kebodohan atau ketidak-pintaran. Seorang profesor dibidang sejarah ataupun ekonomi bisa kebingungan ketika mau menyalakan komputer atau mesin mobilnya, atau seorang raja dan presiden tidak bisa membedakan mana yang panci mana yang kompor di dapurnya, mereka disebut ‘innocence’ karena tidak memiliki pengetahuan terkait tapi bukan orang bodoh, mosok profesor atau presiden dibilang bodoh..?
Fakta lain tentang sifat ‘ummi’ dari Rasulullah dijelaskan oleh ayat Al-Qur’an ini :
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. (Adh-Dhuhaa 7)
Kata ‘daallan’ diartikan dengan : bingung atau sesat. Disebut bingung karena tidak memahami namun petunjuk belum ada, disebut sesat karena tidak memahami sekalipun petunjuk sudah ada (lihat surat Al-Fatihah 7).
Ketika hidup ditengah-tengah masyarakatnya, Rasulullah melihat kenyataan kaumnya melakukan penyembahan berhala, beliau dalam kemurnian (innocence) terhadap konsep ketuhanan merasa ini adalah suatu kesalahan namun tidak mengerti mana yang benarnya karena petunjuk belum ada. Ketika manusia berada dalam kemurnian (innocence) spiritual, maka mereka otomatis akan kembali kepada fitrahnya sesuai apa yang dijelaskan Al-Qur’an :
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (Al-A'raaf: 172)
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (Ar-Ruum: 30)
Fitrah manusia adalah sebagai makhluk yang bertuhan, mengakui adanya ‘rabb’ – Tuhan yang Maha Pencipta, namun kondisi Rasulullah waktu itu belum diberi petunjuk tentang bagaimana cara penyembahan kepada ‘rabb’ tersebut, makanya beliau disebut sebagai ‘bingung’. Dalam mengatasi kebingungannya ini, Rasulullah tidak tercatat dalam sejarah sebagai seorang teolog yang memiliki segudang referensi yang dibacanya dari literatur yang tersedia waktu itu, beliau bukan orang yang rajin membaca filsafat Yunani atau bahkan membaca kitab-kitab Yahudi dan Kristen. karakter nabi Muhammad adalah seorang yang suka menyepi, menarik diri dari keramaian, merenung, bukan wara-wiri mencari referensi lalu membuat rumusan berdasarkan olah-pikirnya. maka ketika beliau menyampaikan petuntuk bagi pencerahan spiritual, menjelaskan eksistensi Tuhan yang seharusnya disembah, memberi contoh bagaimana tata-cara penyembahan kepada-Nya, itu semata-mata merupakan 'wahyu yang diwahyukan' kepadanya :
Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (An-Najm 2-4)
Jadi kalau dikatakan nabi Muhammad adalah seorang yang ‘ummi’, memang demikian adanya, tapi kalau dikatakan sebagai orang yang ‘buta huruf’, silahkan diperdebatkan...