Untuk itulah, seyogyanya masyarakat warga Kota Pahlawan ini benar-benar menghayati arti dari julukan itu. Pengertian kepahlawanan di Kota Pahlawan Surabaya seharusnya tercermin dalam berbagai hal. Baik ciri, penampilan yang khas, serta watak dan wujud nyata dari kota ini. Artinya, saat memasuki Kota Surabaya, kesan pertama bagi orang yang belum pernah ke Surabaya, adalah adanya nuansa kepahlawanan itu.
Tetapi, melihat kenyataan yang ada sekarang ini, memang perlu dipertanyakan, “sudahkah penataan kota Surabaya ini sesuai dengan makna Kota Pahlawan?” Layak dipertanyakan “Kota Pahlawan-kah Surabaya”. Kalau memang demikian, mari kita wujudkan Surabaya benar-benar sebagai “Kota Pahlawan” yang bertaraf nasional dan internasional.
Perlu digarisbawahi dan dicamkan, kalau dilihat secara kasat mata, ciri khas kepahlawanan yang ada di Surabaya “belum” terlihat nyata. Baru bisa dirasakan dan dihayati, tetapi belum menjadi cermin yang nyata dalam pandangan masyarakat kepariwisataan. Seharusnya kekhasan itu bisa dilihat dengan banyaknya monumen kepahlawanan, nama-nama jalan, nama-nama taman, cagar budaya, gedung-gedung dan kawasan permukiman yang menggunakan nama pahlawan.
Sekarang coba lihat wajah kota Surabaya, coreng-moreng akibat pembiaran oleh keinginan para pengusaha yang abai terhadap arti dan makna kepahlawanan itu. Mereka tidak peduli terhadap predikat Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Kawasan permukiman, gedung-gedung, nama jalan, nama taman dan pertokoan diberi nama seenaknya sesuai selera mereka. Hampir seluruhnya kawasan permukiman baru di Surabaya, mengambil nama perusahaan pengembang. Boleh dikatakan tidak ada yang bermakna kepahlawanan.

Sebenarnya itulah hakekat yang diinginkan oleh Dwitunggal Proklamator Kemerdekaan Republik Indo-nesia, Soekarno-Hatta. Mereka berdua, sebagai saksi sejarah tentang semangat kepahlawanan Arek-arek Suroboyo (Putra-Putra Surabaya) dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945.
Bung Karno juga terkesan dengan peristiwa perobekan bendera di Hotel Orange atau Hotel Yamato di Jalan Tunjungan yang dikenal dengan “insiden bendera” tanggal 19 September 1945. Apalagi sejak saat itu, kegiatan perlawanan masyarakat Surabaya terhadap penjajah dan kaum kolonial semakin hebat dan gigih, maka tak pelak lagi Bung Karno dan Bung Hatta, langsung datang ke Surabaya. Hingga terjadi puncak perjuangan Arek Suroboyo, tanggal 10 November 1945.

Kamus Kepahlawanan
Julukan sebagai Kota Pahlawan, juga dikaitkan dengan sejarah Surabaya. Sewaktu tahun 1293, lebih 718 tahun atau tujuh abad yang silam, Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit berjuang mengusir Tentara Tartar yang dipimpin Khu Bilai Khan, tidak lepas dari peranserta rakyat Surabaya yang waktu itu masih bernama Hujunggaluh atau Junggaluh.
Nah, karena semangat kepahlawanan sudah menjadi ciri Kota Surabaya, perlu dilakukan koreksi total, sehingga julukan Kota Pahlawan bagi Surabaya tidak ditelan oleh kehidupan masyarakat modern. Peninggalan sejarah tentang kepahlawanan Arek Suroboyo ini patut dilestarikan.
Untuk itulah, layak pula Kota Surabaya dijadikan “Kamus Kepahlawanan”. Dengan berjuluk Kota Pahlawan, maka dunia dapat merujuk arti dan makna kepahlawanan dari Surabaya secara utuh. Misalnya, jika kita ingin mengetahui siapa-siapa saja Pahlawan Nasional, bahkan “pahlawan dunia”, maupun pahlawan lokal dan orang-orang yang berjasa, serta tokoh terkenal, maka nama itu ada dan diabadikan di Surabaya.