aguspurnomosite.blogspot.com

aguspurnomosite.blogspot.com
Berpikir Luas Membuka Cakrawala Kehidupan! Berusaha Memberikan Yang Terbaik Untuk Masa Depan! Katakan "Go Go Go SEMANGAT" !!!

Kamis, 22 Agustus 2013

Kejujuran Yang Terasing

Tak dapat dipungkiri, pendidikan adalah elemen yang sangat berperan dalam meningkatkan kualitas sebuah negara. Oleh karenanya, berbagai negara berlomba-lomba merumuskan sebuah sistem pendidikan yang paling efektif untuk negaranya.

Indonesia, dengan sistem pendidikannya, terus berupaya untuk menghasilkan sarjana-sarjana yang unggul di bidangnya masing-masing. Dengan begitu, Indonesia dapat bersaing di kancah internasional. Namun, dewasa ini, sebuah pertanyaan muncul: “Dalam setahun, Indonesia menghasilkan beratus ribu sarjana. Mengapa negara ini sangat lambat perkembangannya, padahal SDM (sarjana) yang tersedia begitu berlimpah?”

Apakah sebab fenomena tersebut? Jika direnungkan, sebabnya adalah kurang kompetennya sarjana yang dihasilkan Indonesia. Apa sebab kurang kompetennya sarjana Indonesia? Jawabannya sederhana: menyontek.

Menyontek kini telah menjamur di sekolah-sekolah Indonesia. Perbuatan terlarang yang sejatinya menuntun pada tindak korupsi tersebut, seolah menjadi legal karena dibiarkan saja oleh guru. Para siswa, sejak SD –atau bahkan TK- telah dibentuk pola pikir bahwa “Yang dapat nilai 90 lebih pintar dan akan lebih sukses dibandingkan yang dapat nilai 60”. Pendeknya, nilai adalah segalanya. Yang nilainya bagus, ia yang akan sukses.

Pola pikir inilah yang nantinya akan membuat siswa terus mengejar nilai tanpa memahami isi materi itu sendiri. Jika pesimis nilai KKM dapat tercapai, akhirnya menghalalkan segala cara. Dan, menyontek hanya salah satu dari cara-cara haram tersebut.

Nilai adalah segalanya. Motto inilah yang akhirnya hanya menghasilkan sarjana yang tidak kompeten, pemimpin yang gemar korupsi, wakil rakyat yang suka menipu, atau –dalam skala kecil- orang yang tidak jujur.

Kini, kejujuran hanya kata belaka. Terasing di bawah bayang-bayang kata “kelulusan”. Tak ada bukan, ketika akan masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sebuah tes kejujuran? Yang dilihat, sekali lagi, “nilai” tes masuknya, atau “lulus atau tidaknya” siswa tersebut. Tanpa memandang cara yang dipakai siswa dalam meraih nilainya.

Meski demikian, saya yakin, lumayan banyak orang-orang di luar sana yang jujur. Meski tersembunyi gemerlap semu orang-orang curang, ia tetap tegar, bersahaja, dan menjadi pelita bagi orang lain.

Pada akhirnya, fakta menunjukkan, kejujuran hanya pahit di awal. Sedangkan kecurangan, kebohongan, hanya manis di awal. Jika dikaitkan ke ajaran agama, Rasulullah adalah sosok ideal dari orang yang mengimplementasikan kejujuran dalam kesehariannya. Sukseskah ia? Sangat. Terasingkah ia? Ya, pada awalnya. Pada akhirnya, seluruh manusia menaruh hormat pada beliau.

Barangkali, kejujuran adalah hal yang sepele bagi sebagian orang, namun lihatlah, kejujuran adalah pondasi utama yang menopang manusia dalam mengarungi samudera kehidupannya. Oleh karena itu, mari, kita rawat kejujuran kita, demi eksistensi bangsa kita, dan demi kesuksesan kita serta orang lain.

Cucu Nabi Muhamad SAW : Imam Husain

Pada suatu hari Rasulullah SAW diundang makan ke rumah seorang Sahabat. Ketika beliau dan para Sahabat berjalan menuju rumah orang yang mengundang makan itu, beliau melihat Husain sedang bermain-main dengan anak-anak di tengah jalan. Beliau ingin bergurau dengan Husain, maka beliau berjalan lebih cepat sehingga beliau agak ke depan dibandingkan rombongannya. Ketika tiba dekat Husain, beliau membuka kedua tangannya sambil mengisyaratkan agar Husain melompat kepadanya. Lalu Husain melompat ke arah beliau dan beliau tersenyum sambil mendekap dan mencium Husain sambil bersabda: "Husain sebagian dari diriku, dan aku sebagian darinya. Allah mengasihi orang yang mengasihi Husain. " Demikian sepenggal kisah tentang sayangnya Rasulullah Saw, kepada cucunya Husain bin Ali bin Abi Thalib ra.

Husain bin Ali ra. dilahirkan pada bulan Sya'ban tahun ke-4 Hijriyah. Kemudian Rasulullah Saw men-tahnik (yakni mengunyahkan kurma kemudian dimasukkan ke mulut bayi dengan digosokkan ke langit-langitnya), mendoakan dan menamakannya Husain. Ia sangat dihormati oleh kaum syiah, karena termasuk Imam Syi’ah yang ke-3 setelah Ali bin Abi Thalib ra. (ayahnya) dan Hasan bin Ali ra. (kakaknya). Ia juga dihormati oleh Kaum Sunni, karena termasuk Ahlul Bait. Dan ia juga dihormati oleh para penganut aliran Tasawwuf salah satunya ialah Thariqat Qadariyah, karena merupakan sanad mursyid setelah Ali bin Abi Thalib.


Ia terbunuh sebagai syahid pada Pertempuran Karbala tahun 680 Masehi. Tepatnya Pada hari Jum’at, tanggal 10 Muharram 61 H / 10 Oktober 680, dalam usia 54 tahun 6 bulan. Wafatnya sangat tragis karena kepalanya dipenggal dan dibawa oleh pasukan Bani Umayah untuk diserahkan kepada Ubaidillah bin Ziyad sebagai gubernur Kufah. Perayaan kesyahidannya diperingati setiap Hari Asyura dan pada hari itu kaum Muslim Syi'ah bersedih, dan berkumpul di padang Karbala. Pada hari itu hampir semua sahabat Husain bin Ali ra. syahid terbunuh, kecuali pihak perempuan, serta anak Husain yang sakit bernama Ali bin Husain. Kemudian oleh Ibnu Ziyad mereka dibawa menghadap Khalifah Yazid di Damaskus, dan kemudian mereka dikembalikan ke Madinah.

Ibnu Taimiyah berkata: "Husain terbunuh di Karbala di dekat Eufrat dan jasadnya dikubur di tempat terbunuhnya, sedangkan kepalanya dikirim ke hadapan Ubaidillah bin Ziyad di Kufah. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dan dari para imam yang lain. Kemudian disebutkan pula dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, Dia menyebutkan bahwa kepala Husain dibawa ke Madinah An-Nabawiyah dan dikuburkan di sana.


Adapun tentang dibawanya kepala beliau kepada Yazid telah diriwayatkan dalam beberapa jalan yang munqathi' (terputus) dan tidak benar sedikitpun tentangnya. Bahkan dalam riwayat-riwayat tampak sesuatu yang menunjukkan kedustaan ​​dan pengada-adaan riwayat tersebut.

Disebutkan padanya bahwa Yazid menusuk gigi taringnya dengan besi dan bahwasanya sebagian para shahabat yang hadir seperti Anas bin Malik, Abi Barzah dan lain-lain mengingkarinya. Hal ini adalah pengkaburan, karena sesungguhnya yang menusuk dengan besi adalah Ubaidilah bin Ziyad. Demikian pula dalam kitab-kitab shahih dan musnad, bahwasanya mereka menempatkan Yazid di tempat 'Ubaidilah bin Ziyad. Adapun 'Ubaidillah, tidak diragukan lagi bahwa dialah yang memerintahkan untuk membunuhnya (Husain) dan memerintahkan untuk membawa kepalanya ke hadapan dirinya. Dan akhirnya Ibnu Ziyad pun dibunuh karena itu. Dan lebih jelas lagi bahwasanya para shahabat yang tersebut tadi seperti Anas dan Abi Barzah tidak berada di Syam, melainkan berada di Irak ketika itu."


Husain tewas di Karbala, Irak, di tangan tim utusan gubernur Irak di bawah pemerintahan khalifah Yazid bin Muawiyah yang ia tentang. Bagi kaum Syi'ah, tewasnya Husain adalah sebuah martirdom, kesyahidan. Lantas sejarah bergulir, peristiwa Karbala menjadi semacam pemicu oposisi Syi'ah terhadap rezim Sunni berabad-abad setelahnya. Sementara itu mitos-mitos terus berkembang, Yazid bin Muawiyah sering digambar sebagai seorang diktator lalim, bengis dan suka mabuk. Bagaimana kita mendudukkan hal ini?

Pertanyaan seputar apakah penghadangan dan penyerangan terhadap Husain dapat dibenarkan menyeret kita pada catatan sejarah sebelum tragedi Karbala. Banyak versi seputar hal ini, namun mari kita sepakat pada fakta-fakta yang disepakati oleh semua versi itu. Husain dan para pendukungnya pergi ke Kuffah dari Mekkah karena dijanjikan dukungan baiat dari rakyat Irak. Sebelumnya, di Madinah Husain menolak ajakan gubernur untuk membaiat Yazid yang naik tahta kekhalifahan setelah ayahnya, Muawiyah, mangkat.


Sementara umat Islam yang lain sudah membaiat Yazid, beberapa sahabat Nabi saw seperti Husain dan Ibnu Zubair bersikap membangkang. Husain lalu hijrah ke Mekkah. Dua bulan setelah hijrah ia dikirimi ratusan surat dari penduduk Irak yang menyatakan siap membaiatnya. Artinya, Husain ingin diangkat menjadi khalifah guna mendeligitimasi kepemimpinan Yazid. Yazid mengintruksikan gubernur Irak, Ubaidullah bin Ziyad untuk mengirim pasukan menghadang laju Husain. Husain terhenti di tempat bernama Karbala, dan terjadilah tragedi itu.

Dalam kacamata hukum Islam, penghadangan seperti ini bisa dibenarkan karena konsep kepemimpinan dalam Islam menghendaki kesatuan khilafah. Nabi saw melarang berbilangnya khalifah lewat haditsnya yang dengan tegas memerintahkan membunuh khalifah yang kedua jika pada saat yang hampir bersamaan diangkat dua orang khalifah, Bila dibai'at dua orang khalifah, maka bunuhlah oleh kalian yang (dibai'at) terakhir dari keduanya (HR Muslim). Rasul saw juga bersabda, ".... Maka ketika ada orang lain yang ingin merampas (kekuasaan) darinya (imam yang dibai'at), maka penggallah oleh kalian leher orang tersebut."

Jika kita anggap Husain belum menjadi khalifah saat penyerangan itu terjadi, ia masih berlaku hukum bughat (tindak pembangkangan terhadap khilafah yang sah). Dalam hukum Islam, pelaku bughat diperangi sampai mereka mau tunduk lagi, sebagaimana Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah memerangi kelompok khawarij. Jadi penyerangan terhadap Husain dapat masuk dalam konteks ini.

Namun, orang-orang yang membela Husain mempertanyakan: apakah pemerintahan Yazid itu sendiri legal/absah sampai ia memperoleh legalitas untuk bertindak selaku kepala negara yang memadamkan pemberontakan? Untuk menjawab hal ini kita harus kembali ke belakang, ke masa di mana Muawiyah mengangkat Yazid kecil untuk dibaiat. Orang-orang menganggap Muawiyah telah memulai tradisi monarchi yang tidak diajarkan dalam politik Islam, atau merebut kekhalifahan dari"tangan yang sah", meski sejarah mencatat Hasan bin Ali, saudara Husain, menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah secara sukarela.

Namun, bagaimanapun Yazid mendapat baiat dari representasi umat, sedangkan bai'at adalah stempel legal seorang khalifah. Dhiyauddin ar Rais dalam Teori Politik Islam mengisahkan bahwa kala itu Muawiyah mengumpulkan para gubernur guna mendapatkan baiat untuk Yazid.

Meski baiat baru sah jika khalifah yang lama sudah lengser, namun "baiat putra mahkota" ini menunjukkan kesiapan mereka untuk membaiat (dalam makna sebetulnya) Yazid nantinya jika ayahnya sudah mangkat. Dan, benar, Yazid mendapat baiat sebagai khalifah usai mangkatnya sang ayah. Dengan logika seperti ini maka siapapun yang bughat terhadapnya dikenai sanksi berupa diperangi hingga kembali tunduk. Dalam kerangka inilah penyerangan terhadap Husain dapat dipahami.

Lantas, apakah ini berarti Husain dapat disematkan status pemberontak? Kenyataannya tidak semudah dan sehitam putih itu. Konflik yang terjadi kala itu lebih luas dari kata "memberontak" dan melampaui konteks baiat rakyat Irak. Apa yang Husain lakukan berakar dari masa lalu, ia mempermasalahkan perlakuan Muawiyah terhadap ayahnya, Ali ra, dan penyelewengannya terhadap kaidah dalam Islam. Maka,"pemberontakan" Husain hanya dapat masuk akal jika kita menganggapnya sebagai sebuah respon moral atas penyimpangan yang ada. Tetapi, penyimpangan yang mana?

Seperti dikemukakan di atas, Muawiyah dianggap telah memulai tradisi monarki. Sebagian sahabat Nabi saw mempermasalahkan hal ini. Ketika Muawiyah meminta baiat untuk putranya, Abdurrahman putra Abu Bakar berkata, "Itu bukan sunnah Abu Bakar dan Umar, ini adalah sunnah kaisar! Karena Abu Bakar dan Umar tidak pernah mewariskan khilafah kepada anak-anaknya, bahkan tidak pula kepada salah seorang keluarganya. "

Abdullah putra Umar bin Khathab memiliki sikap yang sama. Begitu juga Abdullah bin Zubair. Jadi putra-putra dari para sahabat besar menyangkal tindakan Muawiyah ini. Sistem monarki yang dirintis Muawiyah bisa disebut bid'ah dalam kacamata politik Islam. Padahal, sejak pagi Islam mewariskan tradisi musyawarah, sebagaimana ketika umat memilih Abu Bakar sebagai khalifah setelah wafatnya Nabi saw.

Sejak era Muawiyah, khilafah menjadi milik satu dinasti. Teori politik Islam yang mengajarkan musyawarah ditambahkan keyakinan tentang keutamaan kepemimpinan ahlul bait (keluarga nabi, dan Abu Bakar dan Umar, serta anak-anak mereka masuk dalam keluarga Nabi), menyebabkan secara sederhana dikatakan bahwa Muawiyah, dan juga dinasti yang ia bangun, telah menyelewengkan dan merebut kekuasaan dari pihak yang seharunya. Dengan alasan moral untuk melakukan reformasi terhadap kesewenang-wenangan, bukan semata alasan kekuasaan, Husain bangkit melakukan perlawanan. 

Murtadha Muthahari, seorang ulama Syi'ah, secara ideologis menuturkan semangat reformis Husain "Berkenaan dengan penuntutan baiat yang sejak awal ditolak mentah-mentah oleh Imam Husain as., Faktor ini memberi bobot arti yang lebih besar pada kebangkitan Husaini ketimbang arti undangan" (baiat dari rakyat Irak). 

Karena, faktor ini telah muncul sejak awal, sebelum ada satu orangpun yang menyatakan dukungan dan kesiapannya untuk bangkit bersama beliau. Pemerintahan yang diktator, yang telah mengoptimalkan kekerasan selama dua puluh tahun di bawah kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan, sekarang menuntut baiat dari Husain bin Ali dalam situasi yang sangat sulit itu. Dari sudut pandang inilah kita menyaksikan bagaimana Imam Husain ra. seorang diri menentang tuntutan ilegal penguasa yang betul-betul dzalim dan sewenang-wenang, di saat belum ada satu nama pun yang bisa didaftar sebagai pendukungnya."

Meski, dalam pandangan Dhiayuddin ar-Rais, penunjukkan Muawiyah terhadap Yazid dapat dimaklumi, sebagai upaya stabilisasi politik. Muawiyah khawatir situasi politik akan kacau jika bola kekhalifahan dilempar begitu saja ke khalayak sepeninggalnya. Tanggal Daulah Umawiyah terbitan Jami'atul Imam Muhammad bin Su'ud Al-Islamiyah menuturkan bahwa Muawiyah khawatir fitnah akan terulang dan babak baru pertumpahan darah akan terjadi. Maka, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Muawiyah pernah berdoa ... "Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku mengangkatnya sebagai penguasa berdasarkan pengetahuanku bahwa dia (Yazid) adalah orang yang pantas memimpin, maka luluskanlah pengangkatan ini. Dan apabila Engkau mengetahui bahwa aku mengangkatnya berdasarkan kecintaanku kepadanya, maka jangan Engkau luluskan ... "

Memang, di kemudian hari lembaran sejarah kepemimpinan Yazid banyak diwarnai konflik. Di antaranya, ketika penduduk Madinah melepaskan baiat terhadap Yazid dan Ibnu Zubair mengklaim sebagai khalifah, pasukan Yazid diutus untuk memadamkan pemberontakan dan terjadilah pertumpahan darah di Tanah Suci.

Namun, kalangan ahlus sunnah tidak lantas menganggap peristiwa ini sebagai delegitimasi Yazid sebagai khalifah. Dalam Majmu 'Fatawa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan sikap ahlus sunnah terhadap Yazid bin Mu’awiyah, "....Mereka (para imam ahlus sunnah) tidak mengkhususkan kecintaan kepadanya dan tidak pula melaknatnya. Di samping itu kalaupun dia sebagai orang yang fasiq atau dhalim, Allah masih mungkin mengampuni orang fasiq dan dhalim. Lebih-lebih lagi kalau dia memiliki kebaikan-kebaikan yang besar. Artinya, dapat diakui bahwa Yazid telah menyesal, namun di mata Sunni Yazid sah dan legal sebagai khalifah".

Jika demikian adanya, Absahkah Pembunuhan Terhadap Husain? Sampai titik ini, kita menemukan kenyataan bahwa tidak ada status tegas tentang aksi politis Husain ini yang dapat memuaskan kedua pihak. Baik yang bersikap mengizinkan penyerangan terhadap Husain maupun yang mengizinkan pemberontakannya memiliki landasan berdasar sudut pandang masing-masing.

Secara hukum, Husain memang dapat dikenai pasal bughat, oleh karenanya harus diperangi. Namun secara moral, pemberontakan Husain adalah sebuah upaya perbaikan terhadap situasi dan perlawanan terhadap kezaliman. Kedua sikap ini memiliki dasar dalam agama. Jadi, untuk menentukan apakah Husain bin Ali itu pahlawan atau pemberontak, semua tergantung asumsi. Maksudnya, apa yang terjadi seandainya Husain berhasil dibaiat sebagai khalifah dan mendelegitimasi Yazid? Jika ia kelak sebagai khalifah berhasil mengembalikan kekhalifahan pada tradisi musyawarah, alih-alih monarki, maka Husain dapat dianggap sebagai pahlawan. 


Namun, jika dengan diangkatnya ia sebagai khalifah mengakibatkan instabilitas dan kekacauan yang akan mengguncang dunia Islam dari Afrika Utara sampai perbatasan India, karena adanya dualisme kepemimpinan, maka tidak berlebihan jika status "pemberontakan yang membahayakan stabilitas negara" disematkan pada gerakan Husain.

Hanya saja, kita tidak tahu, andai kata pun Husain menjadi khalifah, akankah pengikutnya mendesak agar sepeninggalnya putranyalah yang menggantinya sebagai khalifah sampai membentuk dinasti tersendiri (sebutlah Dinasti Hussaini atau Alawiyah-karena keluarga Ali)? Berikut ini sebuah pertanyaan yang masuk akal.

Yang pasti, pada kedua pihak yang berhadap-hadapan itu, tidak ada kesalahan yang murni kejahatan. Yang tersisa tinggalah kasus pembunuhan, karena jelas membunuh Husain bukanlah agenda Yazid. Tanggal Daulah Umawiyah mengisahkan bahwa ketika Husain dan pengikutnya dihadang oleh pasukan Umar bin Sa'd bin Abi Waqash, utusan gubernur Irak Ubaidullah bin Ziyad, Husain mengajukan perdamaian. Ia mengatakan, "Pilihlah salah satu dari tiga pilihan yang aku ajukan: aku kembali ke tempat aku datang darinya, atau aku meletakkan tanganku (baiat) terhadap Yazid lalu ia akan menentukan pendapatnya, atau kalian menempatkan aku di perbatasan kaum muslimin yang kalian inginkan (untuk berjihad di bawah komando Yazid). Aku menjadi bagian umat Islam di sana dan memiliki hak dan kewajiban yang sama."


Baik Umar bin Sa'd maupun Ibnu Ziyad senang dengan opsi ini. Bahkan Umar bin Sa'd shalat di belakang Husain. Perang nyaris berhenti kalau saja tidak ada bisikan dari seorang provokator bernama Syamr bin Dzil Jusyan yang menghasut Ibnu Ziyad untuk menghabisi Husain. 


Syaikh Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa menuturkan kisah yang sama namun menyebutkan nama Samardzi Al-Juyush sebagai provokatornya. Singkat cerita, Husain dibunuh dan kepalanya dibawa ke hadapan Yazid. Seketika Yazid menangis sedih sambil berkata, "Sebenarnya aku telah senang terhadap ketaatan kalian tanpa pembunuhan terhadap Husain. Akan tetapi semoga Allah melaknat Ibnu Sumayyah (Ibnu Ziyad). Demi Allah, kalau saja aku yang menghadapinya (Husain), maka sungguh aku akan memaafkan mereka. "

Kebaikan Yazid ditampilkan dengan merawat wanita dan anak-anak dari rombongan Husain. Bahkan Yazid memberi mereka harta dan mengembalikan mereka ke Madinah. Memang, tidak ada catatan bahwa Yazid kemudian menghukum si pembunuh, sebagai bentuk ketidak setujuannya pada pembunuhan Husain. Hal ini menjadi pertanyaan tersendiri.


Adapun pelajaran yang kita dapat dari Tragedi Karbala, ialah bahwa hal itu merupakan sebuah takdir dari Allah Swt, kejadian Karbala bukanlah bahan kutukan atau persetujuan. Sebagai umat, yang dapat kita lakukan adalah mengambil pelajaran dari peristiwa itu. Drama Karbala mengingatkan kita sikap yang tegas dalam menjaga kesatuan khilafah. Hatta pedang harus siap terhunus untuk membela kesatuan khilafah.

Drama ini juga menunjukkan berjalannya tata politik Islam, ketika sang khalifah menjalankan kebijakan yang benar terhadap pembughat, yaitu dengan memeranginya. Hukum bughat menjadi penjaga kesatuan khilafah di masa lalu, dan akan terus terjadi di masa depan.


Di sisi lain, Husain bin Ali memperlihatkan keberanian seorang muslim melawan apa yang dianggapnya salah. Penyelewengan Bani Umayah ia hadapi secara berani walau harus membuat hilangnya nyawa sebagai resikonya. Ini juga membuktikan bahwa sebuah tradisi yang salah akan menjalarkan fitnahnya ke banyak hal: monarkisme khilafah adalah sesuatu yang sejatinya tidak bisa terulang di masa depan.'Ala kulli hal, penyimpangan dan penyelewengan adalah hal yang inheren pada manusia. Bagaimanapun, negara Islam adalah negara manusiawi, bukan negara Ilahi. Di wilayah inilah kita memahami makna amar ma'ruf Nahyi munkar dan muhasabah lil hukam (mengoreksi penguasa). Sistem Islam membuka ruang aspirasi yang luas untuk koreksi, melembagakan musyawarah dan memberlakukan egalitarianisme pada seluruh rakyat. Penyimpangan dalam terjadinya kaidah-kaidah ini adalah juga "PR abadi" umat Islam, agar kita terus belajar dan dikuatkan dengan cobaan-cobaan itu. Wallahu a'lam.

Pengkhianatan Syiah Sepanjang Sejarah

 Pengkhianatan Syiah Kepada Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu 

Sebagian besar syi’ah (pendukung) Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah penduduk Iraq, terutama penduduk Kufah dan Bashrah. Ketika Ali berkeinginan untuk pergi berperang bersama mereka ke Syam, setelah berhasil meredam fitnah kaum khawarij (salah satu sekte pecahan syi’ah Ali sendiri yang malah mengkafirkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu), mereka malah meninggalkan beliau radhiyallahu ‘anhu. Padahal sebelumnya mereka telah berjanji untuk membantunya dan pergi bersamanya, tetapi dalam kenyataannya mereka semua membiarkannya dan mereka mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, anak panah kami telah musnah, pedang-pedang dan tombak-tombak kami telah tumpul, maka kembalilah bersama kami, sehingga kami menyediakan peralatan yang lebih baik.”

Kemudian Ali mengetahui bahwa semangat merekalah yang sesungguhnya sudah tumpul dan melemah, bukan pedang-pedang mereka. Mulailah mereka pergi secara diam-diam dari tempat tentara Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan kembali ke rumah mereka tanpa sepengetahuan beliau, sehingga kamp-kamp militer tersebut menjadi kosong dan sepi. Ketika beliau melihat hal tersebut, beliau kembali ke Kufah dan mengurungkan niatnya untuk pergi. (Lihat Târikh ath-Thabarî: Târîkh al-Umam wal Mulûk 5/89–90 dan al-Kamil fit Tarikh oleh Ibnul Atsir 3/349)

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengetahui bahwa perkara apa pun tidak dapat mereka menangkan walaupun mereka telah berbuat adil dan beliau adalah seorang yang adil sekalipun kepada para pendukung beliau, beliau tidak dapat menyembunyikan kekesalannya dan persaksiannya terhadap para penipu ini kemudian berkata kepada mereka, “Kalian hanyalah pemberani-pemberani dalam kelemahan, serigala-serigala penipu ketika diajak bertempur, dan aku tidak percaya kepada kalian … kalian bukanlah kendaraan yang pantas ditunggangi dan bukan pula orang mulia yang layak dituju.

Demi Allah, sejelek-jelek provokator perang adalah kalian. Kalianlah yang akan tertipu dan tidak akan dapat merencanakan tipu daya jahat, kebaikan kalian akan lenyap, dan kalian tidak dapat menghindar.” (Târîkh ath-Thabarî 5/90 dan al-’Âlam al-Islâmi fil ’Ashri al-Umawî hlm. 91)

Yang anehnya lagi, para pendukung (syi’ah) Ali di Iraq ini tidak hanya mundur dari medan perang ke Syam bersama beliau, tetapi mereka juga takut dan keberatan untuk mempertahankan wilayah mereka sendiri, sementara pasukan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu telah menyerang Ain at-Tamr dan daerah-daerah Iraq yang lain. Mereka tidak tunduk kepada perintah Ali radhiyallahu ‘anhu untuk mempertahankannya, sampai-sampai Amirul Mukminin Ali berkata kepada mereka, “Wahai penduduk Kufah, setiap kali kalian mendengar kedatangan pasukan dari Syam, maka setiap orang dari kalian masuk ke dalam kamar rumahnya dan menutup pintunya seperti masuknya biawak ke persembunyiannya dan hyena ke dalam sarangnya … Orang yang tertipu adalah orang yang kalian bodohi, dan bagi yang menang bersama kalian, adalah menang dengan bagian yang nihil. Tidak ada orang-orang yang berangkat ketika dipanggil, dan tidak ada saudara-saudara yang dapat dipercaya ketika dibutuhkan. Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya kita kembali.” (Târîkh ath-Thabarî 5/135 dan al-’Âlam al-Islâmi fil ’Ashri al-Umawî hlm. 96)


Pengkhianatan Syiah Kepada Hasan Bin Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu 

Ketika Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dibunuh oleh Ibnu Muljam (seorang khawarij yang tadinya termasuk syi’ah Ali namun mengkafirkan beliau setelah itu), al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu dibai’at menjadi khalifah, dan beliau yakin tidak dapat berhasil perang melawan Mu’awiyah. Terutama setelah sebelumnya sebagian pengikutnya di Iraq telah meninggalkan ayahnya.

Akan tetapi, para pengikut mereka di Iraq kembali meminta al-Hasan untuk memerangi Mu’awiyah dan penduduk Syam. Padahal, jelas-jelas sebenarnya al-Hasan berkeinginan menyatukan kaum muslimin saat itu, karena beliau paham sekali tentang kelakuan orang-orang syi’ah di Iraq ini yang beliau sendiri membuktikan hal tersebut. Ketika beliau menyetujui mereka (orang-orang syi’ah di Iraq) dan beliau mengirimkan pasukannya serta mengirim Qais bin Ubadah di bagian terdepan untuk memimpin dua belas ribu tentaranya, dan singgah di Maskan, ketika al-Hasan sedang berada di al-Madain tiba-tiba salah seorang penduduk Iraq berteriak bahwa Qais telah terbunuh. Mulailah terjadi kekacauan di dalam pasukan, maka orang-orang syi’ah Iraq kembali para tabiat mereka yang asli (berkhianat), mereka tidak sabar dan mulai menyerang kemah al-Hasan serta merampas barang-barangnya, bahkan mereka sampai melepas karpet yang ada di bawahnya, mereka menikamnya dan melukainya. Dari sinilah salah seorang penduduk Syi’ah Iraq, Mukhtar bin Abi Ubaid ats-Tsaqafi merencanakan sesuatu yang jahat, yaitu mengikat al-Hasan bin Ali dan menyerahkan kepadanya, karena ketamakannya dalam harta dan kedudukan. Pamannya yang bernama Sa’ad bin Mas’ud ats-Tsaqafi telah datang, dia adalah salah seorang wali dari Madain dari kelompok Ali. Dia (Mukhtar bin Abi Ubaid) bertanya kepadanya, “Apakah engkau menginginkan harta dan kedudukan?” Dia berkata, “Apakah itu?” Dia menjawab, “Al-Hasan kamu ikat lalu kamu serahkan kepada Mu’awiyah.” Kemudian pamannya berkata, “Allah akan melaknatmu, berikan kepadaku anak putrinya Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Ia memperhatikannya lalu mengatakan, “Kamu adalah sejelek-jelek manusia.” (Târikh ath-Thabarî 5/195 dan al-’Âlam al-Islâmi fil ’Ashri al-Umawî hlm. 101)

Maka al-Hasan radhiyallahu ‘anhu sendiri berkata, “Aku memandang Mu’awiyah (bersikap) lebih baik terhadapku dibanding orang-orang yang mengaku mendukungku (Syi’ahku), mereka malah ingin membunuhku, mengambil hartaku. Demi Allah, saya dapat meminta dari Mu’awiyah untuk menjaga keluargaku dan melindungi keselamatan seluruh keluargaku, dan semua itu lebih baik daripada mereka membunuhku sehingga keluarga dan keturunanku menjadi punah. Demi Allah, jikalau aku berperang dengan Mu’awiyah niscaya mereka akan menyeret leherku dan menganjurkan untuk berdamai, demi Allah aku tetap mulia dengan melakukan perdamaian dengan Mu’awiyah dan itu lebih baik dibanding ia memerangiku dan aku menjadi tahanannya.” (al-Ihtijâj li ath-Thibrisî hlm.148)

Para pengkhianat ini sebenarnya amat benci terhadap al-Hasan bahkan keturunannya, namun mereka berusaha menutup-nutupinya. Karena itu, mereka (Syi’ah Rafidhah Imamiyyah) mengeluarkan keturunan al-Hasan dari silsilah para imam maksum versi mereka yang mereka mengangkat imam-imam mereka itu bahkan di atas kedudukan para nabi dan malaikat terdekat dengan Allah (tulisan Kumaini dalam al-Hukumah Islamiyah hlm.52), walaupun demikian agar tidak terbongkar kebencian mereka ini mereka tetap mencantumkan al-Hasan dalam deretan imam mereka. Itulah cara dan memang tabiat mereka untuk menipu kaum muslimin. Mengapa mereka tidak mencantumkan keturunan al-Hasan dalam imam-imam mereka? Apa keturunan al-Hasan bukan keturunan ahlul bait? Jawabnya adalah karena al-Hasan berdamai dengan Mu’awiyah dan menyatukan kaum muslimin saat itu, sehingga tercelalah keturunannya dan tidak layaklah mereka menjadi imam mereka, itulah hakikat tabiat sejati pengkhianat yang tidak pernah menginginkan perdamaian dan persatuan di antara kaum muslimin.

Pengkhianatan Syiah Kepada Husain Bin Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu 

Setelah wafatnya Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu pada 60H yang sebelumnya beliau menunjuk Yazid bin Mu’awiyah untuk menjadi pemimpin yang niat beliau (dengan penunjukan tersebut) agar tidak terjadi lagi perpecahan di antara kaum muslimin dalam masalah kekuasaan. Maka berpalinglah para utusan ahli Iraq kepada Husain bin Ali radhiyallahu ’anhu dengan penuh antusias dan simpati. Lalu mereka berkata kepada Husain, “Kami telah menahan diri-diri kami demi engkau, dan kami juga tidak mengikuti shalat Jum’at bersama penguasa yang ada, maka datanglah engkau kepada kami.” (Târîkh ath-Thabarî 5/347)

Mereka juga berkata: “Bismillahirrahmanirrahim, untuk Husain bin Ali, dari syi›ah (pengikut) bapaknya Amirul Mukminin. Amma ba’du. Sesungguhnya orang-orang menunggumu dan tidak ada pendapat mereka kepada selainmu, maka bersegeralah! Bersegeralah!”

Penduduk Kufah menulis kepada Husain, mereka berkata: “Kami tidak memiliki imam, maka datanglah, semoga Allah akan mengumpulkan kami denganmu di atas al-haq.” (Lihat Târîkh ath-Thabarî 3/277–278)

Di bawah tekanan mereka, terpaksa Husain memutuskan untuk mengirim anak pamannya, Muslim bin Aqil, untuk mengetahui keadaan yang terjadi. Maka keluarlah Muslim pada bulan Syawal tahun 60H.

Tatkala penduduk Iraq mengetahui kedatangan Muslim bin Aqil maka mereka datang kepadanya. Mulailah mereka berbai’at kepada Husain. Disebutkan bahwa jumlah mereka yang berbai’at sebanyak dua belas ribu orang. Kemudian penduduk Kufah pun mengirim utusan untuk membai’at Husain dan semuanya berjalan dengan baik.

Akan tetapi, sayangnya, Husain radhiyallahu ’anhu tertipu oleh pengkhianatan mereka. Husain pergi menemui mereka walaupun sudah diperingatkan oleh para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan orang-orang yang terdekat dengan beliau agar tidak keluar menemui mereka; hal itu karena mereka telah mengetahui pengkhianatan yang selama ini telah dilakukan oleh kaum Syi’ah Iraq. Sampai-sampai Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuberkata kepada Husain, “Apakah engkau akan pergi ke kaum (golongan) yang telah membunuh pemimpin mereka, merampas negeri mereka, dan memusnahkan musuh mereka, jika mereka telah melakukan hal itu maka pergilah kepada mereka. Akan tetapi, jika mereka mengajakmu ke sana, sedang penguasa mereka berkuasa terhadap mereka, dan para pegawainya menguasai negeri mereka, maka mereka hanya mengajak Anda menuju medan perang dan peperangan, dan saya tidak merasa aman (kalau-kalau) mereka akan mengkhianati, menipu, membangkang, meninggalkan, dan berbalik memerangi kamu sehingga mereka menjadi orang yang paling keras permusuhannya kepadamu.” (al-Kâmil fit Târîkh 4/37)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Tatkala Husain radhiyallahu ‘anhu hendak keluar kepada penduduk Iraq tatkala mereka mereka mengirim surat yang banyak kepadanya, maka para pemuka ahli ilmu dan agama seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Bakar bin Abdurrahman bin Harits bin Hisyam mengisyaratkan kepadanya agar tidak keluar.” (Majmû’ Fatâwâ 4/316)

Dengan jelas tampaklah pengkhianatan Syi’ah ahli Kufah, walaupun mereka sendiri yang telah mengharapkan akan kedatangan Husain. Hal itu sebelum Husain sampai kepada mereka. Maka penguasa Bani Umayyah, Ubaidillah bin Ziyad, ketika mengetahui sepak terjang Muslim bin Aqil yang telah membai’at Husain dan sekarang berada di Kufah, ia segera mendatangi Muslim dan langsung membunuhnya, sekaligus terbunuh pula tuan rumah yang menjamunya, Hani bin Urwah al-Muradi. Dan kaum Syi’ah Kufah tidak memberikan bantuan apa-apa, bahkan mereka mengingkari janji mereka terhadap Husain radhiyallahu ‘anhu, hal itu mereka lakukan karena Ubaidillah bin Ziyad memberikan sejumlah uang kepada mereka.

Ketika Husain radhiyallahu ’anhu keluar bersama keluarga dan beberapa orang pengikutnya yang berjumlah sekitar 70 orang laki-laki dan langkah itu ditempuh setelah adanya perjanjian-perjanjian dan kesepakatan, kemudian masuklah Ibnu Ziyad untuk menghancurkannya di medan peperangan, maka terbunuhlah al-Husain radhiyallahu ‘anhu dan terbunuh pula semua sahabatnya, termasuk tiga saudara Husain sendiri: Abu Bakar bin Ali bin Abi Thalib, Umar bin Ali bin Abi Thalib, dan Utsman bin Ali bin Abi Thalib, ketiga anak Ali bin Abi Thalib selain Hasan, Husain, dan Muhammad bin Hanafiyyah.
.
Bahkan do’anya atas mereka (syi’ah) sangat terkenal, beliau mengatakan sebelum wafatnya, “Ya Allah, apabila engkau memberikan mereka kenikmatan, maka cerai-beraikanlah mereka, jadikanlah mereka menempuh jalan yang berbeda-beda, dan janganlah restui pemimpin mereka selamanya, karena mereka telah mengundang kami untuk menolong kami, namun ternyata kemudian memusuhi kami dan membunuh kami.” (al-Irsyâd hlm. 241 dan I’lâm al-Wara li ath Thibrisî hlm. 949)

Cucu Nabi Muhamad SAW : Imam Hasan

Imam Hasan a.s. adalah putra pertama pasangan Imam Ali a.s. dan Fathimah Az-Zahra` a.s. Ia dilahirkan di Madinah pada tanggal 15 Ramadhan 2 atau 3 H. Setelah sang ayah syahid, ia memegang tampuk pemerintahan Islam selama enam bulan. Ia syahid pada tahun 50 H. setelah meminum racun yang disuguhkan oleh istrinya sendiri, Ja’dah di usianya yang ke-48 tahun. Ia dikuburkan di Perkuburan Baqi’ di samping tiga imam ma’shum lainnya dan menjadi tempat ziarah para pencinta Ahlul Bayt a.s.

Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab Tarikhul Khulafa` bercerita: “Imam Hasan a.s. dilahirkan pada tahun 3 H. Ia adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah SAWW. Pada hari ketujuh dari kelahirannya, Rasulullah SAWW menyembelih kambing untuk akikahnya dan ia mencukur rambutnya. Rambut itu kemudian ditimbang dan sesuai dengan kadar timbangannya Rasulullah SAWW bersedekah perak. Ia adalah salah satu ahli kisa. Rasulullah SAWW bersabda: “Ya Allah, aku sangat mencintainya, oleh karena itu, cintailah dia”. Pada kesempatan yang lain ia bersabda: “Hasan dan Husein adalah dua penghulu penghuni surga”.

Ibnu Abbas berkata: “Suatu hari Hasan naik di atas pundak Rasulullah SAWW. Salah seorang sahabat berkata: “Wahai anak muda, engkau memiliki tunggangan yang sangat bagus!”. “Tidak begitu, ia adalah penunggang yang terbaik”, jawab Rasulullah SAWW menimpali. Ia memiliki jiwa yang tenang, berwibawa, tegar, pemaaf dan sangat disukai masyarakat. Ia sangat peduli terhadap orang-orang miskin. Ia sering membantu mereka melebihi kebutuhan mereka sehingga kehidupan mereka sedikit lebih makmur. Hal ini karena ia tidak ingin seorang peminta datang beberapa kali kepadanya untuk meminta sesuatu yang akhirnya ia merasa malu. Di sepanjang umurnya, ia telah menginfakkan seluruh kekayaannya sebanyak dua kali dan mewakafkan hartanya sebanyak tiga kali.

Ia adalah seorang pejuang pemberani. Selama menjadi anggota pasukan ayahnya, dalam setiap peperangan ia menjadi anggota pasukan terdepan. Pada peristiwa perang Jamal dan Shiffin, ia termasuk salah seorang pejuang berani mati.

Kondisi Negara pada Masa Keimamahannya

Imam Hasan a.s. ketika memegang tampuk kekuasaan, negara sedang mengalami kondisi kritis, serba tidak menentu dan didominasi oleh usaha-usaha merebut kekuasaan yang muncul setelah Imam Ali a.s. syahid. Kondisi serba ruwet yang dihadapinya memaksanya untuk memilih salah satu dari dua jalan yang harus ditempuh: pertama, berperang melawan musuh yang hasilnya adalah ia dan semua pengikutnya akan terbunuh dan kedua, mengadakan perdamaian dengan mereka sebagai salah satu pilihan yang lebih menguntungkan masyarakat Islam. Hal yang lumrah ketika masyarakat melihat bahwa berperang tidak akan memberikan hasil apa-apa, hal itu akan menjenuhkan dan tidak akan memberikan secuil pun harapan.

Terdapat banyak bukti-bukti sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Hasan a.s. sangat cerdik dalam membaca situasi masanya. Ia memahami bahwa berperang melawan Mu’awiyah dengan adanya keraguan yang menghantui mayoritas masyarakat kala itu tidak mungkin akan menghasilkan kemenangan.

Para pengikut Imam Hasan a.s. malah berani berkhianat. Karena tipuan gemerlapnya harta dunia dan kedudukan yang dijanjikan oleh Mu’awiyah mereka bergabung dengannya dan meninggalkan Imam Hasan a.s. sendirian.

Para pembesar Kufah telah tega menulis kepada Mu’awiyah sebuah surat yang berbunyi: “Kapan pun engkau mau, kami siap mengirimkan Imam Hasan a.s. kepadamu dengan tangan terikat”. Akan tetapi, ketika mereka berhadapan dengan Imam, mereka dengan pura-pura menampakkan ketaatan dan kecintaan kepadanya seraya berkata: “Engkau adalah pengganti dan washi ayahmu, dan kami siap melaksanakan setiap instruksimu. Jika ada perintah, silakan”.

Imam Hasan a.s. menjawab: “Demi Allah, kalian bohong. Demi Allah, kalian telah melakukan pengkhianatan kepada orang yang lebih baik dariku. Bagaimana mungkin kalian akan setia kepadaku? Bagaimana aku percaya kepada kalian? Jika kalian berkata benar, kita akan bertemu di Al-Mada`in. Pergilah ke sana”.

Imam Hasan a.s. pergi ke Al-Mada`in. Akan tetapi, mayoritas anggota pasukannya meninggalkannya pergi sendirian. Dengan kondisi semacam ini, bisakah Imam Hasan a.s. berperang melawan Mu’awiyah? Tentu tidak. Dengan demikian, karena tidak memiliki SDM yang cukup dan dapat dipercaya, Imam Hasan a.s. terpaksa harus menerima perdamaian yang dipaksakan.

Isi Surat Perdamaian antara Imam Hasan a.s. dan Mu’awiyah

Pertama, pemerintahan akan diserahkan kepada Mu’awiyah (laknat dan siksaan Allah semoga terus menimpanya, penulis) dengan syarat ia harus beramal sesuai dengan kitab Allah, sunnah Rasulullah SAWW dan para khalifah yang saleh.

Kedua, Setelah Mu’awiyah mati, urusan pemerintahan akan diserahkan kepada Imam Hasan a.s. Jika terjadi sesuatu atasnya, pemerintahan akan diserahkan kepada Imam Husein a.s. dan Mu’awiyah tidak dapat menyerahkannya kepada orang lain.

Ketiga, kebiasaan mencerca dan mencela Imam Ali a.s. ketika shalat harus dihapuskan dan ia tidak dikenang kecuali dengan nama baik.

Keempat, semua yang ada di baitul mal Kufah (sebanyak lima juta Dirham atau Dinar) harus dikecualikan dari pengawasan negara. Mu’awiyah harus mengirimkan bantuan sebanyak dua juta Dirham kepada Husein a.s. setiap tahun. Berkenaan dengan hadiah dan segala pemberian yang dilakukan oleh negara, Bani Hasyim harus mendapat perlakuan yang lebih dari Bani Abdi Syams. Anak-anak para pengikut Amirul Mukminin Ali a.s. yang telah berperang bersamanya di perang Jamal dan Shiffin harus diberi bantuan sebesar satu juta Dirham. Dan bantuan ini harus diambil dari pajak kota Darab-gard (salah satu kota di Ahwaz, Iran–pen.).

Kelima, setiap orang di mana pun ia berada, baik di Syam, Irak, Hijaz maupun Yaman, baik ia berkulit putih maupun berkulit hitam harus dijamin keamanannya. Mu’awiyah harus menahan diri dan memaafkan segala kesalahan-kesalahan mereka. Ia tidak berhak menghukum perbuatan seseorang karena kesalahan-kesalahan masa lalunya dan tidak memperlakukan penduduk Irak dengan penuh permusuhan dan rasa dengki. Ia juga harus memberikan suaka politik kepada semua pengikut Imam Ali a.s. dan tidak mengganggu ketenteraman kehidupan mereka. Para pengikut Imam Ali a.s. harus hidup dengan aman, baik jiwa, harta, istri dan anak-anaknya. Tidak seorang pun berhak mengganggu mereka. Setiap orang yang memiliki hak, ia harus dapat menikmati haknya. Hasan bin Ali, saudaranya, Husein dan Ahlul Bayt Rasulullah SAWW tidak boleh dikenang kecuali dengan nama baik, baik di depan khalayak maupun di tempat sepi. Dan hal ini harus dijaga dan diperhatikan di setiap penjuru negara.

Taktik perdamaian yang dijalankan oleh Imam Hasan a.s. telah berhasil membongkar jati diri Mu’awiyah yang sebenarnya. Akhirnya, dengan taktik tersebut Mu’awiyah –pada sebuah kesempatan setelah memegang tampuk kekuasaan– berpidato di hadapan khalayak seraya berkata: “Demi Allah, aku berperang melawan kalian bukan supaya kalian mendirikan shalat, berpuasa, melaksanakan haji dan membayar zakat. Akan tetapi, aku berperang melawan kalian supaya aku dapat berkuasa dan memerintah. Allah telah memberikan kedudukan ini kepadaku ketika kalian tidak rela akan itu. Sesungguhnya aku telah memberikan harapan kepada Hasan (seperti yang telah tertulis dalam surat perdamaian di atas–-pen). Telah kuberikan segalanya kepadanya, dan sekarang semua itu berada di bawah telapak kakiku dan aku tidak akan melaksanakan semua kesepakatan yang telah disepakati”.

Selama dua puluh tahun memerintah Mu’awiyah selalu menyusun sebuah program untuk membungkam segala kemauan dan kehendak rakyat dengan tujuan supaya mereka tidak ikut campur dalam memikirkan problema besar sosial yang sedang menimpa negara. Dengan itu ia menginginkan supaya mereka hanya memikirkan problema-problema kecil yang menimpa mereka sehari-hari, lupa dari segala tujuan yang telah dicanangkan oleh Rasulullah SAWW, hanya memikirkan kepentingan individu dan segala jenis bantuan yang akan mereka terima dari baitul mal.

Sebagian pembesar-pembesar Kufah meskipun mereka adalah para pengikut Imam Ali a.s., akan tetapi mereka juga memerankan pemain sebagai antek-antek Mu’awiyah. Mereka melaporkan segala yang mereka lihat dan terjadi di kabilah mereka, dan tidak lama setelah itu pasukan kerajaan akan menangkap orang-orang yang angkat bicara menentang Mu’awiyah. Begitulah seterusnya khilafah menjadi sebuah alat permainan di tangan-tangan Bani Umaiyah.

Mu’awiyah memahami dengan baik bahwa Imam Hasan a.s. memiliki sebuah aliran pemikiran dan tujuan, dan ia –demi memperluas jangkauan risalahnya–, tidak akan pernah putus asa dalam berusaha. Ia akan menggunakan segala tenaga dan usahanya demi mengangkat martabat risalahnya yang bertujuan ingin mengadakan sebuah revolusi dalam diri umat manusia. Dengan ini, Mu’awiyah merasakan bahaya sedang mengancamnya. Ia mengadakan rencana untuk meneror Imam a.s. Akhirnya, ia mengambil keputusan untuk meracunnya. Melalui perantara istri Imam a.s. sendiri, Mu’awiyah berhasil membunuhnya dengan racun.
Abul Faraj Al-Ishfahani dalam bukunya Maqaatiluth Thaalibiyyiin menulis: “Mu’awiyah ingin mengambil bai’at untuk putranya, Yazid. Demi merealisasikan tujuannya ini ia tidak melihat penghalang yang besar melintang kecuali Imam Hasan a.s. dan Sa’d bin Abi Waqqash. Dengan demikian, ia membunuh mereka berdua secara diam-diam dengan racun”.

As-Sibth bin Jauzi meriwayatkan dari Ibnu Sa’d dalam kitab At-Thabaqaat dan ia meriwayatkan dari Al-Waqidi bahwa Imam Hasan bin Ali a.s. ketika sedang menghadapi sakaratul maut pernah berwaiat: “Kuburkanlah aku di samping kakekku Rasulullah SAW”. Akan tetapi, Bani Umaiyah, Marwan bin Hakam dan Sa’d bin Al-’Ash sebagai gubernur Madinah kala itu tidak mengizinkannya untuk dikuburkan sesuai dengan wasiatnya.
Ibnu Sa’d pengarang kitab At-Thabaqaat berkata: “Salah seorang sahabat yang menentang penguburan Imam Hasan a.s. di samping Rasulullah SAWW adalah A’isyah. Ia berkata: “Tidak ada seorang pun yang berhak dikubur di samping Rasulullah”.

Akhirnya, jenazah Imam Hasan a.s. diboyong menuju ke pekuburan Baqi’ dan dikuburkan di samping kuburan neneknya, Fathimah binti Asad.

Dalam kitab Al-Ishaabah, Al-Waqidi bercerita: “Pada hari (penguburan Imam Hasan a.s.) orang-orang yang menghadirinya sangat banyak sekiranya jarum dilemparkan di atas mereka, niscaya jarum tersebut akan jatuh di atas kepala mereka dan tidak akan menyentuh tanah”.
Semoga salam sejahtera selalu terlimpahkan atasnya pada hari ia dilahirkan, meneguk cawan syahadah dan dibangkitkan kelak.

Istri Nabi Muhamad SAW : Mariyah al-Qibtiyah

Seorang wanita asal Mesir yang dihadiahkan oleh Muqauqis, penguasa Mesir kepada Rasulullah tahun 7 H. Setelah dimerdekakan lalu dinikahi oleh Rasulullah dan mendapat seorang putra bernama Ibrahim. Sepeninggal Rasulullah dia dibiayai oleh Abu Bakar kemudian Umar dan meninggal pada masa kekhalifahan Umar.

Seperti halnya Sayyidah Raihanah binti Zaid, Mariyah al-Qibtiyah adalah budak Rasulullah yang kemudian beliau bebaskan dan beliau nikahi. Rasulullah memperlakukan Mariyah sebagaimana beliau memperlakukan istri-istri beliau yang lainnya. Abu Bakar dan Umar pun memperlakukan Mariyah layaknya seorang Ummul-Mukminin. Dia adalah istri Rasulullah satu-satunya yang melahirkan seorang putra, Ibrahim, setelah Khadijah.

Dari Mesir ke Yastrib

Tentang nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agarna Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersama saudara perempuannya, Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis.

Rasulullah mengirim surat kepada Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, menyeru raja agar memeluk Islam. Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak memeluk Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak bernama Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan Hatib merasakan kesedihan hati Mariyah karena harus meninggalkan kampung halamannya. Hatib menghibur mereka dengan menceritakan Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka memeluk Islam. Mereka pun menerima ajakan tersebut.

Rasulullah telah menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya Rasulullah terhadap budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit. Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang cantik itu sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah rnasjid.

Ibrahim bin Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam

Allah menghendaki Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah Radhiyallahu ‘anha. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia.

Mariyah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim Alaihissalam. Lalu beliau memerdekakan Mariyah sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan gembira.

Akan tetapi, di kalangan istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu perasaan yang Allah ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu semakin tampak bersamaan dengan terbongkarnya rahasia pertemuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Mariyah di rumah Hafshah sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal ini menyebabkan Hafshah marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah mengharamkan Mariyah atas diri beliau. Kaitannya dengan hal itu, Allah telah menegur lewat firman-Nya:

“Hai Muhammad, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (QS. At-Tahriim:1)

Aisyah mengungkapkan rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi kami.” Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak seorang pun.”

Beberapa orang dari kalangan golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri Mariyah setelah Ali Radhiyallahu ‘anhu menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.

Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malam, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam keadaan sekarat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”

Tanpa beliau sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda,

“Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan penintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim… Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”

Demikianlah keadaan Nabi ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.

Saat Wafatnya

Setelah Rasulullah wafat, Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada tahun ke-16 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah sendiri yang menyalati jenazah Sayyidah Mariyah al-Qibtiyah, kemudian dikebumikan di Baqi’. Semoga Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan penuh berkah. Amin.