Dari Sa'ad bin Abi Waqqash radhiallahu 'anhu, ia berkata," Kami pernah berada di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Setelah itu beliau bertanya, 'Apakah mampu salah seorang dari kalian memperoleh 1000 kebaikan dalam sehari?' Lalu salah seorang dari para sahabat bertanya, " Ya Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan mampu meraih 1000 kebaikan dalam sehari ?" Rasulullah berkata, " Ketahuilah bahwa orang yang bertasbih 100 kali akan di catat 1000 kebaikan untuknya dan dihapus 1000 kesalahan darinya." (HR. Muslim).
TASBIH = SUBHANALLAH...
Semoga kita bisa mengambil pelajaran dan mengamalkannya.
Aamiin.
Mari bersama, kita Amalkan !
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anak Adam itu mempunyai kesalahan, dan sebaik-baik orang yang mempunyai kesalahan ialah orang-orang yang banyak bertaubat.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Jika memang demikian, alangkah pentingnya amalan yang bernama taubat ini. Bertaubat kepada Allah, setidaknya harus melakukan tiga hal, yakni menyesali perbuatannya, menjauhi dosa yang telah dilakukannya, dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi. Lalu, bagaimanakah jika kesalahan yang telanjur terjadi berkaitan dengan hak sesama manusia? Ada lagi tambahan satu syarat, yakni membebaskan diri dari hak sesama manusia tersebut.
Misalnya, ia perlu meminta maaf kepada orang yang telah ia sakiti, atau mengembalikan harta atau uang bila itu berkaitan dengan harta atau uang yang telah ia tipu, rampas, curi, atau korupsi.
Sungguh, memohon ampunan dan bertaubat kepada SWT di samping untuk membersihkan diri dari dosa-dosa, amalan ini juga bermanfaat bagi keberkahan hidup kita di dunia ini. Dalam hal ini, marilah kita perhatikan firman Allah SWT sebagai berikut:
“Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh [71] : 10-12).
Dengan memohon ampun kepada-Nya, maka Allah akan mengirimkan hujan yang lebat, membanyakkan harta dan anak-anak, dan mengadakan kebun-kebun serta sungai-sungai. Semua itu adalah gambaran anugerah dari Allah SWT untuk hamba-Nya yang mau memohon ampunan dan bertaubat kepada-Nya.
Betapa pentingnya amalan ini. Maka, bila kita perhatikan buku-buku atau kitab yang mengupas tentang ilmu tasawuf atau ilmu akhlak, biasanya pembahasan tentang memohon ampunan dan taubat ini didahulukan atau diletakkan pada bab awal. Hal ini sama dengan buku-buku atau kitab yang mengupas tentang ilmu fiqh, biasanya pembahasan yang didahulukan adalah tentang thaharah atau bersuci. Sebagaimana betapa pentingnya thaharah atau bersuci agar ibadah kita menjadi sah, maka memohon ampunan dan bertaubat juga sebagai langkah pertama agar ibadah kita diterima oleh Allah SWT.
Untuk itu, baik pada waktu siang maupun malam, hendaknya kita menyukai amalan mulia ini, yakni memohon ampunan dan bertaubat kepada-Nya. Di samping memang sangat bermanfaat untuk kehidupan kita, baik di dunia dan akhirat, sesungguhnya siapakah yang mempunyai alasan untuk tidak melakukan amalan ini. Karena, sebagaimana hadits Nabi SAW tersebut, setiap anak Adam mempunyai kesalahan.
Menurut para ahli, ada banyak kecerdasan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Thorndike membagi kecerdasan itu ada tiga macam, yakni kecerdasan abstrak (kemampuan dalam memahami simbol matematis dan bahasa), keceradasan konkret (kemampuan dalam memahami objek yang nyata), dan kecerdasan sosial (kemampuan dalam memahami dan mengelola sebuah hubungan sosial).
Charles Handy membagi kecerdasanmanusia menjadi tujuh macam, yakni kecerdasan logika (kemampuan dalam menalar dan menghitung), kecerdasan verbal (kemampuan dalam berkomunikasi), kecerdasan praktik (kemampuan dalam mempraktikkan ide yang ada dalam pikiran), kecerdasan musikal (kemampuan dalam merasakan/membuat nada dan irama), kecerdasan intrapersonal (kemampuan dalam memahami diri sendiri), kecerdasan interpersonal (kemampuan dalam memahami dan menjalin hubungan dengan orang lain), dan kecerdasan spasial (kemampuan dalam mengenali ruang atau dimensi).
Howard Gardner setidaknya membagi kecerdasan menjadi delapan macam, yakni kecerdasan linguistik (kemampuan dalam berbahasa), kecerdasan matematis-logis (kemampuan dalam berhitung dan menalar), kecerdasan visual-spasial (kemampuan dalam mengenali ruang), kecerdasan musikal (kemampuan dalam nada dan irama), kecerdasan natural (kemampuan dalam mengenali alam), kecerdasan interpersonal (kemampuan dalam bergaul), kecerdasan intrapersonal (kemampuan dalam mengenali diri), dan kecerdasan kinestetik (kemampuan dalam mengelola gerak tubuh).
Secara garis besar, setidaknya dikenal ada tiga macam jenis kecerdasan.
Yakni,pertama, kecerdasan intelektual atau Intelligence Quotient (IQ). Kecerdasan ini adalah kemampuan potensial seseorang untuk mempelajari sesuatu dengan menggunakan alat-alat berpikir. Kecerdasan ini bisa diukur dari sisi kekuatan verbal dan logika seseorang. Secara teknis, kecerdasan intelektual ini pertama kali digagas dan ditemukan oleh Alfred Binet.
Kedua, kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ). Kecerdasan ini setidaknya terdiri dari lima komponen pokok, yakni kesadaran diri, manajemen emosi, motivasi, empati, dan mengatur sebuah hubungan sosial. Kecerdasan emosional ini, secara teknis, pertama kali digagas dan ditemukan oleh Daniel Goleman.
Ketiga, kecerdasan spiritual atau Spiritual Quotient (SQ). Kecerdasan ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik sebuah kenyataan atau kejadian tertentu. Secara teknis, kecerdasan spiritual yang sangat terkait dengan persoalan makna dan nilai ini pertama kali digagas dan ditemukan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall.
Danah Zohar, dalam bukunya yang berjudul SQ: Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence, menilai bahwa kecerdasan spiritual merupakan bentuk kecerdasan tertinggi yang memadukan kedua bentuk kecerdasan sebelumnya, yakni kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Kecerdasan spiritual dinilai sebagai kecerdasan yang tertinggi karena erat kaitannya dengan kesadaran seseorang untuk bisa memaknai segala sesuatu dan merupakan jalan untuk bisa merasakan sebuah kebahagiaan.
Apa yang disampaikan oleh Danah Zohar sebagaimana tersebut sebenarnya tidak berlebihan. Bila ditinjau dari segi kebutuhan manusia, Abraham Maslow juga menggolongkan kebutuhan spiritual sebagai kebutuhan tertinggi dalam kehidupan manusia. Selengkapnya, urutan kebutuhan manusia menurut Maslow adalah (1) kebutuhan fisiologis, meliputi kebutuhan sandang, pangan, papan, maupun kebutuhan biologis; (2) kebutuhan keamanan, meliputi bebas dari rasa takut dan merasa aman di mana pun berada; (3) kebutuhan rasa memiliki sosial dan kasih sayang, meliputi kebutuhan berkeluarga, persahabatan, dan menjalin interaksi serta berkasih sayang; (4) kebutuhan akan penghargaan, meliputi kebutuhan akan kehormatan, status, harga diri, maupun mendapatkan perhatian dari orang lain; (5) kebutuhan aktualisasi diri, meliputi kebutuhan untuk eksistensi diri dalam kehidupan. Kebutuhan aktualisasi diri ini adalah kebutuhan yang berkaitan erat dengan kejiwaan dan merupakan kebutuhan spiritual seorang manusia.
Meskipun kecerdasan spiritual dinilai sebagai kecerdasan yang paling tinggi, ternyata ia juga dibangun dari dua kecerdasan sebelumnya, yakni kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Menurut penulis, memang ketiga jenis kecerdasan tersebut jangan sampai kita abaikan salah satunya karena kita lebih memilih kecerdasan yang lainnya.
Peran Orangtua
Kecerdasan intelektual anak-anak kita sudah dikembangkan sedemikian rupa dalam lembaga pendidikan formal atau reguler di negeri tercinta ini, maka tugas orangtua hanya tinggal membantu dan mendampingi sang anak ketika belajar di rumah. Selanjutnya, orangtua berupaya untuk mempunyai perhatian yang besar dalam mengembangkan kecerdasan emosional, lebih khusus kecerdasan sosialnya.
Selanjutnya, kecerdasan yang harus mendapatkan perhatian dari orangtua adalah mengembangkan kecerdasan spiritual pada anak-anak kita. Mengingat betapa penting kecerdasan spiritual anak kita untuk dikembangkan karena hal ini berkaitan dengan kemampuan dalam memahami makna hidup dan kebahagiaan.
Sebagian besar orangtua tidak segan bekerja siang dan malam agar kebutuhan anak-anaknya terpenuhi. Tidak sedikit orangtua yang berusaha sekuat tenaga agar anak-anaknya dapat belajar di sekolah yang terbaik; meskipun untuk urusan ini kemungkinan besar membutuhkan biaya yang mahal. Orangtua juga berusaha bagaimana bisa menemani anak-anaknya ketika belajar di rumah. Ketika orangtua tidak mampu terhadap pelajaran tertentu, tak segan pula memanggilkan guru privat untuk anak-anaknya. Itu semua dilakukan orangtua agar anak-anaknya pandai dan mendapatkan nilai yang baik. Inilah bentuk kepedulian orangtua dalam mengembangkan kecerdasan intelektual anak-anaknya.
Tidak hanya pandai, orangtua juga menginginkan agar anak-anaknya dapat mencapai kesuksesan, baik itu dalam karier maupun dalam hidup bermasyarakat. Untuk harapan yang baik dan mulia ini orangtua dapat mengembangkan kecerdasan emosional, atau lebih khusus lagi juga kecerdasan sosial dari anak-anaknya.
Namun, kepandaian dan kesuksesan yang dapat diraih oleh seseorang seakan menjadi tidak berarti bila seseorang dalam hidupnya tak juga bisa merasakan kebahagiaan. Di sinilah sesungguhnya posisi kecerdasan spiritual dinilai sebagai kecerdasan yang paling tinggi bila dibandingkan dengan kecerdasan yang lainnya karena terkait erat dengan kemampuan memaknai segala sesuatu dan kebahagiaan.
Apakah gunanya kepandaian dan kesuksesan apabila seseorang tidak dapat merasakan kebahagiaan dalam hidupnya? Barangkali pertanyaan demikian yang membuat kita lebih serius dan memperbesar perhatian terhadap pentingnya untuk mengembangkan kecerdasan spiritual pada anak-anak kita. Apalagi, roda zaman terus berputar sehingga persoalan kehidupan di masa mendatang akan semakin kompleks. Tidak ada alasan bagi orangtua untuk tidak memerhatikan masalah kecerdasan spiritual ini. Dengan demikian, semoga anak-anak kita kelak dapat menjadi orang yang dapat menghadapi tantangan kehidupan dengan baik dan dapat meraih kebahagiaan.
Source