aguspurnomosite.blogspot.com

aguspurnomosite.blogspot.com
Berpikir Luas Membuka Cakrawala Kehidupan! Berusaha Memberikan Yang Terbaik Untuk Masa Depan! Katakan "Go Go Go SEMANGAT" !!!

Senin, 19 Agustus 2013

Ja’far bin Abu Thalib, Si Burung Surga

Ja'far bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim masuk Islam sejak awal dan sempat mengikuti hijrah ke Habasyah. Ia malah sempat mendakwahkan Islam di daerah itu. 

Dalam Perang Muktah, ia diserahi tugas menjadi pemegang bendera Islam. Setelah tangan kanannya terpotong dia memegang bendera dengan tangan kiri. Namun tangan kirinya juga terpotong, sehingga dia memegang bendera itu dengan dadanya. Akhirnya, ia mati syahid dengan tubuh penuh luka dan sayatan pedang.

Di kalangan Bani Abdi Manaf ada lima orang yang sangat mirip dengan Rasulullah SAW, sehingga seringkali orang salah menerka. Mereka itu adalah Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthallib, sepupu sekaligus saudara sesusuan beliau. Qutsam Ibnul Abbas bin Abdul Muthallib, sepupu Nabi. Saib bin Ubaid bin Abdi Yazin bin Hasyim. Ja’far bin Abu Thalib, saudara Ali bin Abu Thalib. Dan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, cucu Rasulullah SAW. Dan Ja'far bin Abu Thalib adalah orang yang paling mirip dengan Nabi SAW di antara mereka berlima.

Ja’far dan istrinya, Asma’ bin Umais, bergabung dalam barisan kaum Muslimin sejak dari awal. Keduanya menyatakan Islam di hadapan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebelum Rasulullah SAW masuk ke rumah Al-Arqam.

Pasangan suami istri Bani Hasyim yang muda belia ini tidak luput pula dari penyiksaan kaum kafir Quraisy, sebagaimana yang diderita kaum Muslimin yang pertama-tama masuk Islam. Namun mereka bersabar menerima segala cobaan yang menimpa.

Namun yang merisaukan mereka berdua adalah kaum Quraisy membatasi geraknya untuk menegakkan syiar Islam dan melarangnya untuk merasakan kelezatan ibadah. Maka Ja’far bin Abu Thalib beserta istrinya memohon izin kepada Rasulullah untuk hijrah ke Habasyah bersama-sama dengan para sahabat lainnya. Rasulullah SAW pun mengizinkan.

Ja'far pun menjadi pemimpin kaum Muslimin yang berangkat ke Habasyah. Mereka merasa lega, bahwa Raja Habasyah (Najasyi) adalah orang yang adil dan saleh. Di Habasyah, kaum Muslimin dapat menikmati kemanisan agama yang mereka anut, bebas dari rasa cemas dan ketakutan yang mengganggu dan yang menyebabkan mereka hijrah.

Ja’far bin Abu Thalib beserta istri tinggal dengan aman dan tenang dalam perlindungan Najasyi yang ramah tamah itu selama sepuluh tahun.

Pada tahun ke-7 Hijriyah, kedua suami istri itu meninggalkan Habasyah dan hijrah ke Yatsrib (Madinah). Kebetulan Rasulullah SAW baru saja pulang dari Khaibar. Beliau sangat gembira bertemu dengan Ja’far sehingga karena kegembiraannya beliau berkata, "Aku tidak tahu mana yang menyebabkan aku gembira, apakah karena kemenangan di Khaibar atau karena kedatangan Ja’far?"

Begitu pula kaum Muslimin umumnya, terlebih fakir miskin, mereka juga bergembira dengan kedatangan Ja’far. Ia adalah sosok yang sangat penyantun dan banyak membela golongan dhuafa, sehingga digelari Abil Masakin (bapak orang-orang miskin).

Abu Hurairah bercerita tentang Ja’far, "Orang yang paling baik kepada kami (golongan orang-orang miskin) ialah Ja’far bin Abu Thalib. Dia sering mengajak kami makan di rumahnya, lalu kami makan apa yang ada. Bila makanannya sudah habis, diberikannya kepada kami pancinya, lalu kami habiskan sampai dengan kerak-keraknya."

Belum begitu lama Ja’far tinggal di Madinah, pada awal tahun ke-8 Hijriyah, Rasululalh SAW menyiapkan pasukan tentara untuk memerangi tentara Romawi di Muktah. Beliau mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi komandan pasukan.

Rasulullah berpesan, "Jika Zaid tewas atau cidera, komandan digantikan Ja’far bin Abi Thalib. Seandainya Ja’far tewas atau cidera pula, dia digantikan Abdullah bin Rawahah. Dan apabila Abdullah bin Rawahah cidera atau gugur pula, hendaklah kaum muslmin memilih pemimpin/komandan di antara mereka."

Setelah pasukan sampai di Muktah, yaitu sebuah kota dekat Syam dalam wilayah Yordania, mereka mendapati tentara Romawi telah siap menyambut dengan kekuatan 100.000 pasukan inti yang terlatih, berpengalaman, dan membawa persenjataan lengkap. Pasukan mereka juga terdiri dari 100.000 milisi Nasrani Arab dari kabilah-kabilah Lakham, Judzam, Qudha’ah, dan lain-lain. Sementara, tentara kaum Muslimin yang dipimpin Zaid bin Haritsah hanya berkekuatan 3.000 tentara.

Begitu kedua pasukan yang tidak seimbang itu berhadap-hadapanan, pertempuran segera berkobar dengan hebatnya. Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid ketika dia dan tentaranya sedang maju menyerbu ke tengah-tengah musuh.

Melihat Zaid jatuh, Ja’far segera melompat dari punggung kudanya, kemudian secepat kilat disambarnya bendera komando Rasulullah dari tangan Zaid, lalu diacungkan tinggi-tinggi sebagai tanda pimpinan kini beralih kepadanya. Dia maju ke tengah-tengah barisan musuh sambil mengibaskan pedang kiri dan kanan memukul rubuh setiap musuh yang mendekat kepadanya. Akhirnya musuh dapat mengepung dan mengeroyoknya.

Ja’far berputar-putar mengayunkan pedang di tengah-tengah musuh yang mengepungnya. Dia mengamuk menyerang musuh ke kanan dan kiri dengan hebat. Suatu ketika tangan kanannya terkena sabetan musuh sehingga buntung. Maka dipegangnya bendera komando dengan tangan kirinya.

Tangan kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Dia tidak gentar dan putus asa. Dipeluknya bendera komando ke dadanya dengan kedua lengan yang masih utuh. Namun tidak berapa lama kemudian, kedua lengannya tinggal sepertiga saja dibuntung musuh. Ja'far pun syahid menyusul Zaid.

Secepat kilat Abdullah bin Rawahah merebut bendera komando dari komando Ja’far bin Abu Thalib. Pimpinan kini berada di tangan Abdullah bin Rawahah, sehingga akhirnya dia gugur pula sebagai syahid, menyusul kedua sahabatnya yang telah syahid lebih dahulu.

Rasulullah SAW sangat sedih mendapat berita ketiga panglimanya gugur di medan tempur. Beliau pergi ke rumah Ja’far, didapatinya Asma’, istri Ja’far, sedang bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya. Dia mengaduk adonan roti, merawat anak-anak, memandikan dan memakaikan baju mereka yang bersih.

Asma’ bercerita, "Ketika Rasulullah mengunjungi kami, terlihat wajah beliau diselubungi kabut sedih. Hatiku cemas, tetapi aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk. Beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami. Beliau menanyakan mana anak-anak Ja’far, suruh mereka ke sini.”

Asma' kemudian memanggil mereka semua dan disuruhnya menemui Rasulullah SAW. Anak-anak Ja'far berlompatan kegirangan mengetahui kedatangan beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman kepada Rasulullah. Beliau menengkurapkan mukanya kepada anak-anak sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata beliau mengalir membasahi pipi mereka.

Asma' bertanya, "Ya Rasulullah, demi Allah, mengapa anda menangis? Apa yang terjadi dengan Ja’far dan kedua sahabatnya?"

Beliau menjawab, "Ya, mereka telah syahid hari ini."

Mendengar jawaban beliau, maka reduplah senyum kegirangan di wajah anak-anak, apalagi setelah mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka diam terpaku di tempat masing-masing, seolah-olah seekor burung sedang bertengger di kepala mereka.

Rasulullah berdoa sambil menyeka air matanya, "Ya Allah, gantilah Ja’far bagi anak-anaknya... Ya Allah, gantilah Ja’far bagi istrinya."

Kemudian beliau bersabda, "Aku melihat, sungguh Ja’far berada di surga. Dia mempunyai dua sayap berlumuran darah dan bertanda di kakinya."
Reff

Khubaib bin Adi, Syahid di Tiang Salib

Pada tahun ke-3 hijriyah, beberapa utusan dari kabilah Udal dan Qarah mendatangi Rasulullah SAW. Mereka mengabarkan bahwa mereka telah mendengar tentang Islam. Untuk itu mereka meminta Rasulullah agar mengirim utusan agar dapat mengajarkan Islam kepada mereka.

Maka Rasulullah pun mengutus 10 sahabat untuk memenuhi permintaan tersebut. Rasulullah menunjuk Ashim bin Tsabit sebagai amir (pemimpin) mereka. Namun di suatu tempat, di antara Usfan dan Makkah, kelompok kecil ini diintai oleh sekitar 100 pemanah dari Bani Lihyan. Mengetahui hal tersebut, Ashim segera memerintahkan teman-temannya agar segera berlindung ke sebuah bukit kecil di sekitar daerah tersebut.

Sebenarnya, Ashim dan kawan-kawan berhasil mengelabui pasukan pemanah musyrik tersebut. Namun Allah SWT berkehendak lain. Biji-biji kurma yang mereka bawa sebagai bekal dari Madinah, tercecer sepanjang jalan, memberi petunjuk keberadaan rombongan Ashim. Akhirnya kesepuluh sahabat itu pun terkejar.

"Kami berjanji tidak akan membunuh seorang pun di antara kalian jika kalian menyerah," teriak salah seorang musyrik yang mengepung mereka.

"Kami tidak akan menerima perlindungan orang kafir. Ya Allah, sampaikan berita kami kepada Nabi-Mu," jawab Ashim tegar.

Maka rombongan musyrik itu pun menyerang dan berhasil membunuh Ashim dan enam sahabat lain, hingga tinggallah Khubaib bin Adi, Zaid bin Datsinah dan seorang sahabat. Orang-orang musyrik itu kemudian menangkap dan mengikat ketiganya.

Namun sahabat yang tidak diketahui namanya itu kemudian memberontak sambil berteriak, "Ini adalah pengkhianatan pertama!" serunya sambil berusaha melawan. Ia pun syahid.

Selanjutnya Khubaib dan Zaid dibawa ke Makkah dan dijual sebagai budak. Sementara itu, Bani Harits yang selama ini menyimpan dendam kesumat terhadap Khubaib, mendengar berita tertangkapnya Khubaib. Rupanya nama Khubaib telah mereka hapal luar kepala, karena Khubaiblah yang membunuh Harits bin Amir, seorang pemuka Makkah, pada perang Badar. Maka dengan penuh antusias Khubaib pun mereka beli.

Maka jadilah Khubaib bulan-bulanan seluruh anggota Al-Harits. Setiap hari sahabat Anshar yang dikenal bersifat bersih, pemaaf, teguh keimanan dan taat beribadah ini harus menerima siksaan. Hingga suatu hari salah seorang putri keluarga tersebut berteriak terkejut, memberitakan bahwa budak sekaligus tawanan mereka sedang santai dan tenang-tenang memakan buah anggur. Padahal buah tersebut sedang tidak musim di Makkah dan Khubaib pun diikat tangannya dengan rantai besi.

Keluarga Al-Harits menakut-nakuti Khubaib, bahwa saudara sekaligus sahabatnya, Zaid yang juga dibeli keluarga Makkah lainnya, telah dieksekusi. Ia telah dibunuh dengan cara ditusuk tombak dari lubang dubur hingga tembus ke dadanya!

Namun berita kejam nan sadis ini ternyata tidak berhasil membuat hati Khubaib ketakutan apalagi berpaling dari keimanannya. Sebaliknya, hal ini justru membuat dirinya lebih pasrah terhadap ketentuan-Nya. Akhirnya keluarga Al-Harits pun putus asa. Mereka memutuskan untuk segera mengeksekusi tawanan yang tegar itu.

Namun sebelum eksekusi dijalankan, Khubaib memohon agar diperbolehkan melakukan shalat terlebih dahulu. Maka Khubaib mendirikan shalat dua rakaat. Usai shalat, Khubaib menoleh kepada para algojo yang mengawasinya sambil berkata, "Seandainya bukan karena dikira takut mati, maka aku akan menambah jumlah rakaat shalatku."

Inilah shalat sunnah pertama yang dilakukan seorang Muslim ketika akan menghadapi kematian. Kemudian Khubaib melantunkan sebait syair:  

Mati bagiku tak menjadi masalah
Asalkan dalam ridha dan rahmat Allah
Dengan jalan apa pun kematian itu terjadi
Asalkan kerinduan kepada-Nya terpenuhi
Kuberserah kepada-NyaSesuai dengan takdir dan kehendak-Nya 
Setelah itu, Khubaib pun disalib pada sebuah tiang. Lalu tanpa sedikit pun rasa belas kasih, pasukan pemanah menghujaninya dengan anak panah. Dalam keadaan demikian, seorang pemuka Quraisy menghampirinya dan berkata, "Sukakah engkau bila Muhammad menggantikanmu sementara kau sehat wal afiat bersama keluargamu?"

"Demi Allah," jawab Khubaib, "Tak sudi aku bersama anak istriku selamat menikmati kesenangan dunia, sementara Rasulullah terkena musibah walau oleh sepotong duri!"

"Demi Allah, belum pernah aku melihat manusia lain, seperti halnya sahabat-sahabat Muhammad terhadap Muhammad," kata Abu Sufyan suatu hari, mengenai para sahabat Rasulullah.

Maka tanpa ampun lagi, pedang sang algojo pun menghabisi Khubaib. Namun sebelum ruhnya meninggalkan raga, Khubaib sempat berucap, "Ya Allah, kami telah menyampaikan tugas dari Rasul-Mu, maka mohon disampaikan pula kepadanya esok, tindakan orang-orang itu terhadap kami."

Setelah, itu orang-orang musyrik meninggalkan tubuh Khubaib dalam keadaan tetap tersalib di tiangnya. Sementara burung-burung nazar yang sejak tadi berputar-putar menanti mangsanya, tiba-tiba juga meninggalkannya. Rupanya Sang Khalik tidak ridha hamba-Nya yang taat itu menjadi mangsa burung-burung pemakan bangkai.

Demikian pula doa yang dipanjatkan seorang hamba kepada Sang Pemilik dalam keadaan pasrah dan ridha pada ketetapan-Nya. Tampak jelas bahwa Sang Khalik tidak tega menolaknya. Itu sebabnya, Rasulullah yang ketika itu berada di Madinah secara mendadak mengutus Miqdad bin Amar dan Zubair bin Awwam untuk segera menyusul ke tempat Khubaib disalib. Padahal ketika itu tak seorang pun orang Madinah yang mengetahui peristiwa nahas tersebut.

Setiba di tempat yang dimaksud, Khubaib telah tiada. Senyum kedamaian tergurat di wajahnya. Dengan menahan kedukaan yang mendalam, kedua utusan tadi kemudian melepaskan sang mujahid dari tiang salib kemudian membawa dan memakamkannya di suatu tempat yang hingga detik ini tak seorang pun mengetahuinya.
Reff

Nusaibah binti Ka'ab, Perisai Rasulullah

Nusaibah binti Ka'ab Al-Anshariyah adalah seorang sahabat wanita yang agung lagi pemberani. Banyak jasa telah ia ukir dalam perjuangan dakwah Islam. Ummu Imarah, demikian ia biasa dipanggil, adalah salah satu contoh keberanian yang abadi. 

Ia merupakan sosok pahlawan yang tidak pernah absen melaksanakan kewajiban bilamana ada panggilan untuknya. Semua target perjuangannya ditujukan untuk kemuliaan dunia dan akhirat.

Ummu Imarah adalah seorang sahabat wanita yang agung. Ia termasuk satu dari dua wanita yang bergabung dengan 70 orang laki-laki Anshar yang hendak berbaiat kepada Rasulullah dalam Baiat Aqabah Kedua. Pada waktu itu, ia berbaiat bersama suaminya, Zaid bin Ashim, dan dua orang putranya.

Kisah kepahlawanan Nusaibah yang paling dikenang sepanjang sejarah adalah pada saat Perang Uhud, di mana ia dengan segenap keberaniannya membela dan melindungi Rasulullah.

Pada perang itu, Nusaibah bergabung dengan pasukan Islam untuk mengemban tugas penting di bidang logistik dan medis. Bersama para wanita lainnya, Nusaibah ikut memasok air kepada para prajurit Muslim dan mengobati mereka yang terluka.

Ketika kaum Muslimin dilanda kekacauan karena para pemanah di atas bukit melanggar perintah Rasulullah, nyawa beliau berada dalam bahaya. Ketika melihat Rasulullah menangkis berbagai serangan musuh sendirian, Nusaibah segera mempersenjatai dirinya dan bergabung dengan yang lainnya membentuk pertahanan untuk melindungi beliau.

Dalam berbagai riwayat disebutkan, bahwa ketika itu Nusaibah berperang penuh keberanian dan tidak menghiraukan diri sendiri ketika membela Rasulullah. Saat itu, Nusaibah menderita luka-luka di sekujur tubuhnya. Sedikitnya ada sekitar 12 luka di tubuhnya, dengan luka di leher yang paling parah. Namun hebatnya, Nusaibah tidak pernah mengeluh, mengadu, atau bersedih.

Ketika Rasulullah melihat Nusaibah terluka, beliau bersabda, "Wahai Abdullah (putra Nusaibah), balutlah luka ibumu! Ya Allah, jadikanlah Nusaibah dan anaknya sebagai sahabatku di dalam surga."

Mendengar doa Rasulullah, Nusaibah tidak lagi menghiraukan luka di tubuhnya dan terus berperang, membela Rasulullah dan agama Allah. "Aku telah meninggalkan urusan duniawi," ujarnya.

Dalam sejarah Islam, Nusaibah juga disebut-sebut sebagai seorang wanita yang memiliki kesabaran luar biasa dan selalu mendahulukan kepentingan orang lain. Ketika salah seorang putranya syahid dalam sebuah pertempuran, Nusaibah menerimanya dengan penuh keyakinan bahwa putranya mendapatkan kedudukan tinggi di sisi Allah. Ia menerima berita kematian anaknya dengan penuh serta kebanggaan.

Selain Perang Uhud, Nusaibah bersama suami dan putra-putranya juga ikut dalam peristiwa Hudaibiyah, Perang Khaibar, Perang Hunain dan Perang Yamamah. Dalam berbagai pertempuran itu, Nusaibah tidak hanya membantu mengurus logistik dan merawat orang-orang yang terluka, tapi juga memanggul senjata menyambut serangan musuh.

Setelah Rasulullah SAW wafat, sebagian kaum Muslimin kembali murtad dan enggan berzakat. Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq segera membentuk pasukan untuk memerangi mereka. Abu Bakar mengirim surat kepada Musailamah Al-Kadzdzab dan menunjuk Habib, putra Nusaibah, sebagai utusannya.

Namun, Musailamah menyiksa Habib dengan memotong anggota tubuhnya satu persatu sampai syahid. Meninggalnya Habib meninggalkan luka yang dalam di hati Nusaibah. Pada Perang Yamamah, Nusaibah dan putranya, Abdullah, ikut memerangi Musailamah hingga tewas di tangan mereka berdua.

Beberapa tahun setelah Perang Yamamah, Nusaibah meninggal dunia. Semoga Allah mencurahkan rahmat kepada Nusaibah binti Ka'ab Al-Anshariyah dengan curahan rahmat-Nya yang luas, menyambutnya dengan keridhaan, serta memuliakan kedudukannya.
Reff

Qais bin Sa'ad, Ahli Strategi yang Gagah Berani

Qais bin Sa'ad adalah seorang pemuda lihai, banyak tipu muslihat, mahir, licin dan cerdik. Ia pernah berujar, "Kalau bukan karena Islam, aku sanggup membikin tipu muslihat yang tidak dapat ditandingi oleh orang Arab manapun!"

Pada Perang Shiffin, peperangan antara Ali dan Muawiyah, ia berdiri di pihak Ali. Maka duduklah ia merencanakan suatu tipu muslihat yang akan membinasakan Mu'awiyah dan para pengikutnya di suatu hari nanti.

Namun, ketika ia menyadari bahwa muslihat itu sangat jahat dan berbahaya, ia pun teringat akan firman Allah, "Dan tipu daya jahat itu akan kembali menimpa orangnya sendiri." (QS. Fathir: 43).

Maka ia pun segera membatalkan rencana tersebut sambil memohon ampun kepada Allah, seolah-olah mulutnya berkata, "Demi Allah, seandainya Mu'awiyah dapat mengalahkan kita nanti, maka kemenangannya itu bukanlah karena kepintarannya, tetapi hanyalah karena kesalehan dan ketakwaan kita."

Sesungguhnya pemuda Anshar dari Suku Khazraj ini adalah dari golongan pemimpin besar, yang mewariskan sifat-sifat mulia. Ia putra Sa'ad bin Ubadah, seorang pemimpin Khazraj.

Tak ada perangai lain pada dirinya yang lebih menonjol dari kecerdikannya kecuali kedermawanannya. Dermawan dan pemurah bukanlah merupakan perangai baru bagi Qais. Sebab, ia adalah keturunan orang-orang yang dikenal dermawan dan pemurah.

Suatu hari, Umar bin Al-Khathab dan Abu Bakar Ash-Shiddiq bercakap-cakap seputar kedermawanan Qais. "Kalau kita biarkan terus pemuda ini dengan kedermawanannya, niscaya akan habis licin harta orang tuanya," kata Umar.

Pembicaraan tentang Qais itu sampai kepada sang ayah, Sa'ad bin Ubadah. "Siapa yang dapat membela diriku terhadap Abu Bakar dan Umar? Diajarnya anakku kikir dengan memperalat namaku," kata Sa'ad.

Selain itu, Qais bin Sa'ad juga terkenal dengan keberanian di medan juang. Ia turut membela Rasulullah SAW—dengan gagah berani— dalam setiap pertempuran, ketika beliau masih hidup. Dan kemasyhuran itu bersambung pada pertempuran-pertempuran yang dijalaninya setelah Rasulullah wafat.

Sesungguhnya, keberanian sejati memancar dari kepuasan pribadi orang itu sendiri. Kepuasan ini bukan karena dorongan hawa nafsu dan keuntungan tertentu, tetapi disebabkan oleh ketulusan diri pribadi dan kejujuran terhadap kebenaran.

Demikianlah, sewaktu timbul pertikaian antara Ali dan Mu'awiyah, Qais memencilkan diri. Dia terus berusaha mencari kebenaran dari celah-celah kepuasannya itu. Hingga akhirnya, demi melihat kebenaran itu berada di pihak Ali, bangkitlah ia, tampil di samping sepupu Rasulullah itu dengan gagah berani.

Di medan Perang Shiffin, Jamal, dan Nahrawan, Qais merupakan salah seorang pahlawan yang berperang tanpa takut mati. Dialah yang meneriakkan bendera Anshar dengan kata-kata, "Bendera inilah bendera persatuan!"

Keberanian Qais mencapai puncak dan kematangannya sesudah syahidnya Ali dan dibaiatnya Hassan. Sesungguhnya Qais memandang Hassan ra sebagai tokoh yang cocok menurut syariat untuk jadi Imam (Kepala Negara), maka ia pun berbaiat kepadanya. Qais berdiri di samping Hassan sebagai pembela, tanpa mempedulikan bahaya yang akan menimpanya.

Ketika perang telah mencapai puncaknya dan Hassan menderita luka-luka kemudian membaiat Mu'awiyah, maka tanggungjawab pasukan ada di pundak Qais. Ia mengumpulkan mereka semua, kemudian berkata, "Jika kalian menginginkan perang, aku akan tabah berjuang bersama kalian hingga salah satu di antara kita dijemput maut terlebih dahulu. Namun, jika kalian memang memilih perdamaian, maka aku akan mengambil langkah-langkah untuk itu."

Pasukannya memilih yang kedua. Maka mereka meminta jaminan keamanan dari Mu'awiyah yang kemudian memberikannya dengan suka cita. Mu'awiyah merasa takdir telah membebaskannya dari musuhnya yang terkuat, paling gigih, serta berbahaya!

Pada tahun 59 H, di Kota Madinah Al-Munawwarah, telah pulang ke rahmatullah seorang pahlawan. Seorang pemberani yang dengan keislamannya dapat mengendalikan kecerdikan dan keahlian tipu muslihat menjadi obat penawar bisa.

Lelaki yang pernah berkata, "Kalau tidaklah aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, 'Tipu daya dan muslihat licik itu di dalam neraka,'Niscaya akulah yang paling lihai di antara umat ini!" itu pun menemui Rabb-nya. Meninggalkan nama harum sebagai seorang laki-laki yang jujur, terus terang, dermawan dan berani.
Reff

Rabi'ah bin Ka'ab, Sahabat yang Rendah Hati

Di usia muda, jiwanya sudah cemerlang dengan cahaya iman. Hatinya dipenuhi pengertian dan pemahaman tentang Islam.

Pertama kali berjumpa dengan Rasulullah saw, ia langsung jatuh cinta dan menyerahkan seluruh jiwa raganya; menjadi pendamping beliau. Kemana pun beliau pergi, Rabi'ah bin Ka'ab selalu berada di sampingnya.

Rabi'ah melayani segala keperluan Rasulullah sepanjang hari hingga habis waktu Isya' yang terakhir. Bahkan lebih dari itu, ketika Rasulullah hendak berangkat tidur, tak jarang Rabi'ah mendekam berjaga di depan pintu rumah beliau. Di tengah malam, ketika Nabi SAW bangun untuk melaksanakan shalat, seringkali ia mendengar beliau membaca Al-Fatihah dan ayat-ayat Alquran.

Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah saw, jika seorang berbuat baik kepadanya, maka beliau pasti membalasnya dengan lebih baik lagi. Begitulah, beliau membalas kebaikan Rabi'ah dengan kebaikan pula.

Pada suatu hari beliau memanggilnya seraya berkata, "Wahai Rabi'ah bin Ka'ab, katakanlah permintaanmu, nanti kupenuhi!"

Setelah diam sejenak, Rabi'ah menjawab, "Ya Rasulullah, berilah saya sedikit waktu untuk memikirkan apa sebaiknya yang akan kuminta. Setelah itu, akan kuberitahukan kepada Anda."

"Baiklah kalau begitu," jawab Rasulullah.

Rabi'ah bin Ka'ab adalah seorang pemuda miskin, tidak memiliki keluarga, harta dan tempat tinggal. Ia menetap di Shuffatul Masjid (emper masjid), bersama-sama dengan kawan senasibnya, yaitu orang-orang fakir dari kaum Muslimin. Masyarakat menyebut mereka "dhuyuful Islam" (tamu-tamu) Islam. Bila ada yang memberi hadiah kepada Rasulullah, maka biasanya beliau memberikannya kepada mereka. Rasulullah hanya mengambil sedikit saja.

Dalam hati, Rabi'ah bin Ka'ab ingin meminta kekayaan dunia agar terbebas dari kefakiran. Ia ingin punya harta, istri, dan anak seperti para sahabat yang lain. Namun, hati kecilnya berkata, "Celaka engkau, wahai Rabi'ah bin Ka'ab! Kekayaan dunia akan lenyap. Mengapa engkau tidak meminta kepada Rasulullah agar mendoakan kepada Allah kebajikan akhirat untukmu?"

Hatinya mantap dan merasa lega dengan permintaan seperti itu. Kemudian ia datang kepada Rasulullah dan berkata, "Wahai Rasulullah, saya mohon agar engkau mendoakan kepada Allah agar menjadi temanmu di surga."

Agak lama juga Rasulullah SAW terdiam. Sesudah itu barulah beliau berkata, "Apakah tidak ada lagi permintaamu yang lain?"

"Tidak, ya Rasulullah. Tidak ada lagi permintaan yang melebihi permintaanku," jawab Rabi'ah bin Ka'ab mantap.

"Kalau begitu, bantulah aku dengan dirimu sendiri. Perbanyaklah sujud," kata Rasulullah.

Sejak itu, Rabi'ah bersungguh-sungguh beribadah, agar mendapatkan keuntungan menemani Rasulullah di surga, sebagaimana keuntungannya melayani beliau di dunia. Tidak berapa lama kemudian Rasulullah SAW memanggilnya. "Apakah engkau tidak hendak menikah, hai Rabi'ah?" tanya beliau.

"Saya tak ingin ada sesuatu yang menggangguku dalam berkhidmat kepada Anda, ya Rasulullah. Di samping itu, saya tidak mempunyai apa-apa untuk mahar kawin, dan untuk kelangsungan hidup berumah tangga," jawab Rabi'ah.

Rasulullah diam sejenak. Tidak lama kemudian beliau memanggil Rabi'ah kembali seraya bertanya, "Apakah engkau tidak hendak menikah, ya Rabi'ah?"

Dan Rabi'ah kembali menjawab seperti seperti semula. Hingga ketiga kalinya Rasulullah memanggil dan bertanya serupa. Rabi'ah menjawab, "Tentu, ya Rasulullah. Tetapi, siapakah yang mau kawin denganku, keadaanku seperti yang Anda maklumi."

"Temuilah keluarga Fulan. Katakan kepada mereka bahwa Rasulullah menyuruhmu kalian supaya menikahkan anak perempuan kalian, si Fulanah dengan engkau."

Dengan malu-malu Rabi'ah datang ke rumah mereka dan menyampaikan maksud kedatangannya. Tuan rumah menjawab, "Selamat datang ya Rasulullah, dan dan selamat datang utusan Rasulullah. Demi Allah, utusan Rasulullah tidak boleh pulang, kecuali setelah hajatnya terpenuhi!"

Rabi'ah bin Ka'ab kemudian menikah dengan anak gadis tersebut. Dan Rasulullah juga menghadiahkan sebidang kebun kepadanya, berbatasan dengan kebun Abu Bakar Ash-Shiddiq. Suatu ketika, Rabi'ah sempat berselisih dengan Abu Bakar mengenai sebatang pohon kurma. Rabi'ah mengaku pohon kurma itu miliknya, sementara Abu Bakar juga mengakui hal yang sama.

Ketika perselisihan memanas, Abu Bakar sempat mengucapkan kata-kata yang tak pantas didengar. Setelah sadar atas ketelanjurannya mengucapkan kata-kata tersebut, Abu Bakar menyesal dan berkata kepada Rabi'ah, "Hai Rabi'ah, ucapkan pula kata-kata seperti yang kulontarkan kepadamu, sebagai hukuman (qishash) bagiku!"

Rabi'ah menjawab, "Tidak! Aku tidak akan mengucapkannya!"

"Akan kuadukan kamu kepada Rasulullah, kalau engkau tidak mau mengucapkannya!" kata Abu Bakar, lalu pergi menemui Rasulullah SAW.

Rabi'ah mengikutinya dari belakang. Kerabat Rab'iah dari Bani Aslam berkumpul dan mencela sikapnya. "Bukankah dia yang memakimu terlebih dahulu? Kemudian dia pula yang mengadukanmu kepada Rasulullah?" kata mereka.

Rabi'ah menjawab, "Celaka kalian! Tidak tahukah kalian siapa dia? Itulah "Ash-Shiddiq", sahabat terdekat Rasulullah dan orang tua kaum Muslimin. Pergilah kalian segera sebelum dia melihat kalian ramai-ramai di sini. Aku khawatir kalau-kalau dia menyangka kalian hendak membantuku dalam masalah ini sehingga dia menjadi marah. Lalu dalam kemarahannya dia datang mengadu kepada Rasulullah. Rasulullah pun akan marah karena kemarahan Abu Bakar. Kemarahan mereka berdua adalah kemarahan Allah. Akhirnya, aku yang celaka?"

Mendengar kata-kata Rabi'ah, mereka pun pergi. Abu Bakar bertemu dengan Rasululah SAW dan menuturkan apa yang terjadi. Rasulullah mengangkat kepala seraya bertanya pada Rabi'ah, "Apa yang terjadi antara kau dengan Ash-Shiddiq?"

"Ya Rasulullah, beliau menghendakiku mengucapkan kata-kata makian kepadanya, seperti yang diucapkannya kepadaku. Tetapi, aku tidak mau mengatakannya," jawab Rabi'ah.

Kata Rasulullah, "Bagus! Jangan ucapkan kata-kata itu. Tetapi katakanlah, semoga Allah mengampuni Abu Bakar!"

Rabi'ah pun mengucapkan kata-kata itu. Mendengar kata-kata Rabi'ah, Abu bakar pergi dengan air mata berlinang, sambil berucap, "Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, wahai Rabi'ah." Mereka pun hidup rukun kembali.
Reff

Sa’id bin Amir Al-Jumahi, Pemimpin Bersahaja

Seorang pakar sejarah pernah berkata, "Sa’id bin Amir adalah orang yang membeli akhirat dengan dunia, dan ia lebih mementingkan Allah dan Rasul-Nya atas selain-Nya."

Sa’id bin Amir Al-Jumahi adalah seorang anak muda, satu di antara ribuan orang yang tertarik untuk pergi menuju daerah Tan’im di luar kota Makkah, dalam rangka menghadiri panggilan pembesar-pembesar Quraisy.

Panggilan ini adalah untuk menyaksikan hukuman mati yang akan ditimpakan kepada Khubaib bin Adiy, salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang diculik oleh mereka.

Kepiawaian dan postur tubuhnya yang gagah membuat Sa'id mendapatkan kedudukan yang lebih daripada orang-orang. Sehingga ia dapat duduk berdampingan dengan pembesar-pembesar Quraisy seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, dan orang-orang yang mempunyai wibawa lainnya.

Ketika rombongan yang garang ini datang dengan tawanannya di tempat yang telah disediakan, Sa’id bin Amir berdiri tegak memandangi Khubaib yang sedang diarak menuju kayu penyaliban. Dan ia mendengar suaranya yang teguh dan tenang di antara teriakan wanita-wanita dan anak-anak. Khubaib berkata, “Izinkan aku untuk shalat dua rakaat sebelum pembunuhanku ini, jika kalian berkenan.”

Kemudian Sa'id memandanginya, sedangkan Khubaib menghadap kiblat dan shalat dua rakaat. Alangkah bagusnya dan indahnya shalatnya itu. Kemudian ia melihat Khubaib menghadap pembesar-pembesar kaum dan berkata, “Demi Allah, jika kalian tidak menyangka bahwa aku memperpanjang shalat karena takut mati, tentu aku telah memperbanyak shalat.”

Kemudian ia melihat kaumnya dengan mata kepalanya, memotong-motong Khubaib dalam keadaan hidup.

Kemudian Sa’id bin Amir melihat Khubaib mengarahkan pandangannya ke langit dari atas kayu salib, dan berkata, “Ya Allah ya Tuhan kami, hitunglah mereka dan bunuhlah mereka satu persatu serta janganlah Engkau tinggalkan satu pun dari mereka."

Kemudian Khubaib bin Adiy menghembuskan nafas terakhirnya, dan di badannya tidak terhitung lagi bekas tebasan pedang dan tusukan tombak.

Orang-orang Quraisy kembali ke Makkah, dan mereka telah melupakan kejadian Khubaib dan pembunuhannya karena banyak kejadian-kejadian setelahnya. Namun, Sa’id bin Amir Al-Jumahi tidak bisa menghilangkan bayangan Khubaib dari pandangannya walau sekejap mata.

Ia memimpikannya ketika sedang tidur, dan melihatnya dengan khayalan ketika matanya terbuka. Khubaib senantiasa terbayang di hadapannya sedang melakukan shalat dua rakaat dengan tenang di depan kayu salib. Dan ia mendengar rintihan suaranya di telinganya, ketika Khubaib berdoa untuk kebinasaan orang-orang Quraisy, maka ia takut kalau tersambar petir atau ketiban batu dari langit.

Khubaib telah mengajari Sa’id sesuatu yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Ia mengajarinya bahwa hidup yang sesungguhnya adalah akidah dan jihad di Allah hingga akhir hayat. Ia mengajarinya juga bahwa iman yang kokoh akan membuat keajaiban dan kemukjizatan.

Dan Khubaib mengajarinya sesuatu yang lain, bahwa sesungguhnya seorang laki-laki yang dicintai oleh para sahabatnya dengan kecintaan yang sedemikian rupa, tidak lain adalah nabi yang mendapat mandat dari langit.

Semenjak itu, Allah membukakan dada Sa’id bin Amir untuk Islam. Ia lalu berdiri di hadapan orang banyak dan memproklamirkan kebebasannya dari dosa-dosa Quraisy, berhala-berhala dan patung-patung mereka, dan menyatakan ikrarnya terhadap agama Allah.

Sa’id bin Amir berhijrah ke Madinah, dan mengabdikan diri kepada Rasulullah, dan ikut serta dalam Perang Khaibar dan peperangan-peperangan setelahnya. Dan ketika Nabi yang mulia dipanggil menghadap Tuhannya, Sa'id mengabdikan diri dengan pedang terhunus di zaman dua khalifah; Abu Bakar dan Umar.

Ia hidup bagaikan contoh satu-satunya bagi orang Mukmin yang membeli akhirat dengan dunia, dan mementingkan keridhaan Allah dan pahala-Nya atas segala keinginan hawa nafsu dan syahwat badannya. Kedua khalifah itu telah mengetahui tentang kejujuran dan ketakwaan Sa’id bin Amir. Keduanya mendengar nasihat-nasihatnya dan memerhatikan pendapatnya.

Pada awal kekhilafahan Umar, Sa'id menemuinya dan berkata, “Wahai Umar, aku berwasiat kepadamu, agar kamu takut kepada Allah dalam urusan manusia. Dan janganlah kamu takut kepada manusia dalam urusan Allah. Dan janganlah ucapanmu bertentangan dengan perbuatanmu, karena sesungguhnya ucapan yang paling baik adalah yang sesuai dengan perbuatan."

Maka Umar berkata, "Siapakah yang mampu menjalankan itu, wahai Sa’id?”

Ia menjawab, “Orang laki-laki sepertimu mampu melakukannya, yaitu di antara orang-orang yang Allah serahkan urusan umat Muhammad kepadanya. Dan tidak ada seorang pun perantara antara ia dan Allah.”

Setelah itu Umar mengajak Sa’id untuk membantunya. “Wahai Sa’id, kami menugaskan kau sebagai gubernur Himsh,” kata Umar.

Sa'id menjawab, "Wahai Umar, aku ingatkan dirimu terhadap Allah. Janganlah kau menjerumuskanku ke dalam fitnah."

Maka Umar pun marah dan berkata, "Celaka kalian! Kalian menaruh urusan ini di atas pundakku, lalu kalian berlepas diri dariku. Demi Allah, aku tidak akan melepasmu.”

Kemudian Umar mengangkat Sa'id bin Amir menjadi gubernur di Himsh. “Kami akan memberimu gaji,” kata Umar.

“Untuk apa gaji itu, wahai Amirul Mukminin? Karena pemberian untukku dari Baitul Mal telah melebihi kebutuhanku,” jawab Sa'id. Ia pun berangkat ke Himsh.

Tidak lama kemudian datanglah beberapa utusan dari penduduk Himsh kepada Amirul Mukminin Umar bin Khathab.

Umar berkata kepada mereka, “Tuliskan nama-nama orang fakir kalian, supaya aku dapat menutup kebutuhan mereka!”

Maka mereka menyodorkan selembar tulisan, yang di dalamnya ada Fulan, Fulan dan Sa’id bin Amir. Umar bertanya, Siapakah Sa’id bin Amir ini?”

Mereka menjawab, “Gubernur kami.”

“Gubernurmu fakir?”

“Benar, dan demi Allah sudah beberapa hari di rumahnya tidak ada api.”

Maka Umar menangis hingga janggutnya basah oleh air mata. Kemudian ia mengambil 1.000 dinar dan menaruhnya dalam kantong kecil dan berkata, "Sampaikan salamku, dan katakan kepadanya, Amirul Mukminin memberi anda harta ini, supaya anda dapat menutup kebutuhan anda!”

Saat para utusan itu mendatangi Sa’id dengan membawa kantong. Sa’id membukanya, ternyata di dalamnya ada uang dinar. Ia lalu meletakkannya jauh dari dirinya dan berkata, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un(Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan dikembalikan kepada-Nya)," seolah-olah ia tertimpa musibah dari langit atau ada suatu bahaya di hadapannya.

Hingga keluarlah istrinya dengan wajah kebingungan dan berkata, “Ada apa, wahai Sa’id? Apakah Amirul Mukminin meninggal dunia?"

“Bahkan lebih besar dari itu,” timpal Sa'id.

“Apakah orang-orang Muslim dalam bahaya?”

“Bahkan lebih besar dari itu.”

“Apa yang lebih besar dari itu?”

“Dunia telah memasuki diriku untuk merusak akhiratku, dan fitnah telah datang ke rumahku.”

Istrinya berkata, “Bebaskanlah dirimu darinya.” Saat itu istrinya tidak mengetahui tentang uang-uang dinar itu sama sekali.

“Apakah kamu mau membantu aku untuk itu?” tanya Sa'id.

“Ya,” kata sang istri. Sa'id lalu mengambil uang-uang dinar dan memasukkannya ke dalam kantong-kantong kecil, kemudian menyuruh sang istri untuk membagikannya kepada orang-orang Muslim yang fakir.

Tak lama kemudian Umar bin Khathab datang ke negeri Syam untuk melihat keadaan. Dan ketika singgah di Himsh, penduduk menyambut dan menyalaminya. Umar bertanya kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian tentang gubernur kalian?”

Maka mereka mengadukan kepadanya tentang empat hal, yang masing-masing lebih besar dari yang lainnya. Umar kemudian memanggil Sa'id dan 'mengadilinya' di hadapan penduduk.

“Apa yang kalian keluhkan dari gubernur kalian?” tanya Umar.

Mereka menjawab, “Ia tidak keluar kepada kami kecuali jika hari telah siang.”

“Apa jawabmu tentang hal itu, wahai Sa’id?” kata Umar.

Sa'id terdiam sebentar, kemudian berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku tidak ingin mengucapkan hal itu. Namun, kalau memang harus dijawab, sesungguhnya keluargaku tidak mempunyai pembantu. Maka setiap aku pagi membuat adonan, kemudian menunggu sebentar sehingga adonan itu mengembang. Kemudian aku buat adonan itu menjadi roti untuk mereka, kemudian aku berwudhu dan keluar menemui orang-orang.”

"Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” tanya Umar.

Mereka menjawab, “Sesungguhnya, ia tidak menerima tamu pada malam hari.”

“Apa jawabmu tentang hal itu, wahai Sa’id?”

“Sesungguhnya, Demi Allah, aku tidak suka untuk mengumumkan ini juga. Aku telah menjadikan siang hari untuk mereka dan malam hari untuk Allah Azza wa Jalla,” jawab Sa'id.

“Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” tanya Umar lagi.

Mereka menjawab, “Sesungguhnya ia tidak keluar menemui kami satu hari dalam sebulan.”

“Dan apa ini, wahai Sa’id?”

Sa'id menjawab, “Aku tidak mempunyai pembantu, wahai Amirul Mukminin. Dan aku tidak mempunyai baju kecuali yang aku pakai ini, dan aku mencucinya sekali dalam sebulan. Dan aku menunggunya hingga baju itu kering, kemudian aku keluar menemui mereka pada sore hari.”

“Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”

Mereka menjawab, “Ia sering pingsan, hingga ia tidak tahu orang-orang yang duduk di majelisnya.”

“Dan apa ini, wahai Sa’id?”

“Aku telah menyaksikan pembunuhan Khubaib bin Adiy, kala itu aku masih musyrik. Dan aku melihat orang-orang Quraisy memotong-motong badannya sambil berkata, 'Apakah kamu ingin kalau Muhammad menjadi penggantimu?' Maka Khubaib berkata, 'Demi Allah, aku tidak ingin merasa tenang dengan istri dan anak, sementara Muhammad tertusuk duri.' Dan demi Allah, aku tidak mengingat hari itu dan bagaimana aku tidak menolongnya, kecuali aku menyangka bahwa Allah tidak mengampuni aku, maka aku pun jatuh pingsan,” tutur Sa'id.

Seketika itu Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menyimpangkan dugaanku terhadapnya.”

Kemudian Umar memberikan 1.000 dinar kepada Sa'id. Dan ketika istrinya melihat uang itu, ia berkata kepada Sa'id, “Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan kami dari pekerjaan berat untukmu. Belilah bahan makanan dan sewalah seorang pembantu."

“Apakah kamu menginginkan sesuatu yang lebih baik dari itu?” tanya Sa'id pada istrinya.

“Apa itu?”

“Kita berikan dinar itu kepada yang mendatangkannya kepada kita, pada saat kita lebih membutuhkannya.”

“Bagaimana maksudnya?”

“Kita pinjamkan dinar itu kepada Allah dengan pinjaman yang baik,” kata Sa'id.

Istrinya berkata, “Benar, dan semoga kau mendapat balasan kebaikan.”

“Berikanlah ini kepada jandanya fulan, kepada anak-anak yatimnya fulan, kepada orang-orang miskin keluarga fulan, dan kepada fakirnya keluarga fulan," kata Sa'id.

Mudah-mudahan Allah meridhai Sa’id bin Amir Al-Jumahi, karena ia termasuk orang-orang yang mendahulukan orang lain atas dirinya, walaupun dirinya sangat membutuhkan.
Reff

Salamah bin Qais, Penakluk Kota Ahwaz

Khalifah Umar bin Khathab berjaga-jaga sepanjang malam di Kota Madinah. Ia ingin agar penduduk dapat tidur nyenyak dan tenang. Hal itu nyaris ia lakukan setiap malam.

Ketika ia tengah melakukan ronda di antara rumah-rumah dan pasar, muncul dalam benaknya seorang sahabat Rasulullah yang gagah berani.

Saat itu sang Khalifah memang tengah mencari seorang sosok yang bisa ia jadikan panglima perang untuk nenalukkan kawasan Ahwaz, sebelah barat Iran.

Keesokan harinya, setelah memimpin kaum Muslimin melaksanakan shalat Subuh, Umar memanggil sahabat yang muncul dalam benaknya tadi malam. Dialah Salamah bin Qais Al-Asyja’i.

Kepada Salamah, Umar berkata, "Engkau akan kuangkat menjadi panglima pasukan yang akan kukirim ke Ahwaz. Pergilah ke medan juang untuk memerangi mereka yang kafir kepada Allah. Bila engkau bertemu kaum musyrikin, ajaklah mereka masuk Islam!"

"Jika mereka menerima, berilah mereka dua pilihan; tinggal di kampung mereka masing- mising, atau ikut denganmu memerangi orang-orang kafir. Jika mereka memilih tinggal di kampung, mereka wajib membayar zakat dan tidak berhak menerima harta rampasan perang. Jika mereka memilih ikut bersamamu, mereka mempunyai hak dan kewajiban seperti tentaramu yang lain."

"Jika mereka enggan masuk Islam, wajibkan kepada mereka pajak. Biarkan mereka menganut kepercayaan masing-masing dan lindungi mereka dari dari musuh-musuhmu. Janganlah sekali-kali membebani mereka dengan apa yang tidak sanggup mereka kerjakan."

"Jika mereka menolak pilihan-pilihan itu, baru engkau perangi mereka. Jika mereka bertahan dalam sebuah benteng, kemudian mereka minta damai dan perlindungan Allah dan Rasul-Nya, jangan diterima tuntutan mereka. Karena kamu tidak tahu perlindungan Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika mereka minta perlindungan kamu, berikanlah perlindungan.”

“Saya siap dan sanggup, wahai Amirul mukminin!” jawab Salamah.

Khalifah Umar memberi semangat untuk meneguhkan hati Salamah. Ia mendoakan kemenangan dan memohon kepada Allah dengan segala kerendahan hati.

Salamah dan pasukannya benar-benar memikul beban yang tidak ringan. Karena Ahwaz adalah daerah pegunungan yang sangat sulit ditempuh. Penduduknya mempunyai kubu-kubu pertahanan kokoh yang tidak mudah ditembus. Letaknya sangat strategis, antara Basrah dan perkemahan bangsa-bangsa yang mempunyai watak lebih keras dari bangsa Kurdi.

Dengan tekad bulat Salamah dan pasukannya meninggalkan Kota Madinah. Belum begitu jauh mereka memasuki kawasan Ahwaz, mereka sudah berhadapan dengan tantangan berat, bergelut dengan sengit melawan alam yang kasar dan ganas.

Dengan segala penderitaan dan kepayahan, mereka berhasil menaklukkan pegunungan yang tinggi dan jurang yang terjal serta membunuh ular-ular berbisa, kalajengking beracun dan berbagai macam binatang buas lainnya.

Setelah perjalanan panjang tersebut, akhirnya mereka tiba di daerah Ahwaz. Sebagaimana pesan sang Khalifah, Salamah menyeru penduduk Ahwaz untuk memeluk Islam.

Namun mereka menolak. Ketika diminta untuk membayar pajak, mereka pun menolak bahkan menyombongkan diri. Akhirnya, kedua belah pihak pun mulai berperang dan kemenangan berada pada pasukan Islam.

Sesudah perang, Salamah bin Qais segera membagi bagikan harta rampasan kepada para prajuritnya. Di antara harta rampasan itu terdapat sebuah perhiasan yang sangat indah. Sang panglima berniat mempersembahkan barang tersebut ke hadapan AmiruI Mukminin, Umar bin Khathab.

Para prajuritnya pun setuju. Mereka merasa bangga bisa memberikan persembahan sebagai oleh-oleh kemenangan kepada pimpinan mereka.

Perhiasan tersebut dimasukkan ke dalam sebuah kotak kecik Kemudian Salamah memerintahkan kepada dua orang utusan untuk berangkat ke Madinah. Selain menyampaikan berita kemenangan, juga mempersembahkan hadiah yang mereka bawa.

Setelah pergi ke Kota Basrah untuk membeli perbekalan, dua utusan itu berangkat ke Kota Madinah. Ketika tiba di Madinah, keduanya mendapatkan Amirul Mukminin sedang membagi-bagikan makanan kepada fakir miskin.

Dengan tongkat di tangan layaknya seorang penggembala yang sedang berada di tengah gembalaannya, Umar bin Khathab memeriksa piring masing-masing kaum Muslimin. Jika ia mendapatkan makanan mereka kurang, ia segera berteriak kepada pelayannya, Yarfa’. “Hai Yarfa’, tambahkan daging untuk mereka ini!”

Begitu melihat dua utusan Salamah, Umar meminta mereka duduk dan menyuruh pelayannya menyediakan makanan. Selesai makan, Umar mengajak kedua tamunya untuk masuk ke rumahnya. Dari balik tabir ia meminta Ummu Kultsum menghidangkan makanan.

Ternyata ketika berada luar rumah tadi, sang Khalifah belum sempat mencicipi makanan. Ia tidak segera menyantap hidangan di hadapannya, sebelum kedua tamunya mencicipi.

Setelah menikmati sajian, Umar berkata,” Segala puji bagi Allah yang telah memberi kita makan hingga kenyang, dan memberi kita hingga puas. Tamu dari manakah Anda berdua ini?” tanyanya.

"Kami adalah utusan Salamah bin Qais," jawab salah seorang mereka.

"Hah, marhaban bagi kalian berdua. Lekas ceritakan bagaimana keadaan tentara kaum Muslimin," jawab Umar bersemangat.

“Seperti yang kita harapkan semua, Alhamdulillah tentara kaum Muslimin selamat. Mereka berhasil memenangkan pertempuran.” Kemudian utusan itu menceritakan jalannya peperangan dan keadaan sang panglima serta tentara Islam lainnya.

"Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan karunia-Nya,” ujar Amirul Mukminin. Apakah engkau melewati Kota Basrah?”

“Ya,” jawab utusan Salamah tersebut.

Kemudian Umar menanyakan tentang keadaan masyarakat kota itu dan harga barang serta berbagai hal lain yang berkenaan dengan kebutuhan penduduk. Sang Khalifah tampak lega ketika mengetahui keadaan kaum Muslimin baik dan kebutuhan mereka tercukupi.

Sang utusan segera mengeluarkan sebuah kotak lalu menyerahkannya kepada Umar. “Begitu Allah menganugerahkan kepada kami kemenangan, seluruh harta rampasan perang kami kumpulkan. Di antara harta tersebut, kami temukan sebuah perhiasan indah."

"Salamah bin Qais menyuruh saya mengantarkannya kepada Amirul Mukminin. Karena jika dibagi-bagikan kepada para prajurit, tidak akan mencukupi. Sudilah kiranya anda menerimanya,” ujar sang utusan.

Begitu kotak tersebut dibuka, terlihatlah sebuah perhiasan indah, terdiri dari emas yang kuning menyala. Melihat benda itu, spontan sang Khalifah bangkit sambil membanting kotak dan bertolak pinggang. Wajahnya merah menunjukkan kemarahan.

“Kalian ingin menjerumuskan aku ke neraka dengan benda ini. Segera kumpulkan dan bawa kembali untuk dibagikan kepada para prajurit! Ingat, kalau para prajurit bubar sebelum engkau dan Salamah bin Qais membagikannya, aku akan menghukum kalian,” tegas Umar.

Saat itu juga, sang utusan segera meninggalkan tempat itu dan menemui pimpinannya, Salamah bin Qais. Setelah mendengar penuturan sang utusan, Salamah segera membagi-bagikan perhiasan tersebut kepada pasukannya.
Reff

Saad bin Muadz, Kematian yang Mengguncang Arsy

Sa’ad bin Mu’adz berjuluk Abu Amr. Ia seorang pemuda Aus yang dikenal jago menunggang kuda, dan pemberani. Ayahnya adalah Mu’adz bin An-Nu’man dan ibunya bernama Kabsyah bintu Rafi’. Adapun istri Sa’ad adalah Hindun binti Sammak, bibi Usaid bin Hudhair. Sa’ad adalah pemimpin Bani Abdul Asyhal.

Pada saat duta Islam, Mush’ab bin Umair, berdakwah di Yatsrib (Madinah) dan berhasil mengajak beberapa orang untuk beriman kepada Rasulullah SAW, Sa’ad tercengang. Ia langsung memerintahkan sahabat karibnya, Usaid bin Hudhair, untuk menemui Mush’ab yang ketika itu bersama As’ad bin Zurarah (anak bibi Sa’ad bin Mu’adz) agar mau menghentikan aksinya.

Namun, sesampai ditempat Mush’ab dan setelah berdialog dengannya, Usaid malah menyatakan keislamannya. Ia pun segera pulang untuk menemui Sa’ad dengan harapan agar Sa’ad juga dapat mengikuti jejaknya.

Melihat keadaan Usaid yang raut wajahnya sudah tidak seperti ketika perginya, Sa’ad bertanya, “Apa yang terjadi pada dirimu?”

Usaid menjawab, “Aku sudah berbicara dengan dua orang tersebut. Demi Allah, aku tidak melihat keduanya tidak mempunyai kekuatan. Aku sudah melarang mereka berdua, lalu keduanya berkata, ‘Kami akan melakukan sesuatu yang engkau sukai. Aku sudah diberi tahu bahwa Bani Haritsah sudah menemui As’ad bin Zurarah untuk membunuhnya, karena mereka tahu bahwa anak bibimu telah menghinamu.”

Mendengar hal itu, Sa’ad bangkit dengan marah, mengambil tombaknya lalu menghampiri As’ad bin Zurarah dan Mush’ab. Namun, tatkala Sa’ad melihat keduanya yang duduk tenang-tenang saja, barulah ia menyadari bahwa Usaid bermaksud mengakalinya agar dia bisa mendengar apa yang disampaikan mereka berdua.

Dengan wajah cemberut Sa’ad berdiri di hadapan mereka berdua, lalu berkata kepada As’ad bin Zurarah, “Demi Allah wahai Abu Umamah, kalau bukan karena ada hubungan kekerabatan antara kita, aku tidak menginginkan hal ini terjadi. Engkau datang ke perkampungan kami dengan membawa sesuatu yang tidak kami sukai.”

Mush’ab berkata kepada Sa’ad, “Bagaimana jika engkau duduk dan mendengar apa yang aku sampaikan? Jika engkau suka terhadap sesuatu yang aku sampaikan, maka engkau bisa menerimanya. Dan jika engkau tidak menyukainya, maka kami akan menjauhkan darimu apa yang tidak kau sukai.”

“Engkau cukup adil” kata Sa’ad, sembari menancapkan tombaknya, dan duduk bersama keduanya.

Lalu Mush’ab menjelaskan Islam kepadanya dan membacakan Alquran dari permulaan surat Az-Zukhruf.

Kemudian Sa’ad bertanya, “Apa yang kalian lakukan tatkala dahulu kalian masuk Islam?”

“Hendaklah engkau mandi, bersuci dan mempersaksikan dengan kesaksian yang benar,” jawab Mush’ab.

Maka Sa’ad segera mandi dan bersyahadat, kemudian shalat dua rakaat. Ia memungut tombaknya, lalu kembali menuju balairung, yang di sana ada kaumnya. Setelah berdiri di hadapan mereka, ia berkata, “Wahai Bani Abdul Asyhal, apa pendapat kalian tentang diriku di tengah kalian?”

Mereka menjawab, “Engkau adalah pemimpin kami, orang yang paling kami ikuti pendapatnya di antara kami dan orang yang paling kami percaya.”

Sa’ad melanjutkan, “Tak seorang pun diantara kalian, baik laki-laki maupun wanita dilarang berbicara denganku sebelum kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Belum sampai petang hari, tak seorang pun, baik laki-laki maupun perempuan di Bani Abdul Asyhal melainkan sudah menjadi Muslim dan Muslimah.

Sesudah itu, jalan hidup Sa’ad berubah. Mengabdi dan berjuang untuk Islam adalah pilihannya. Dalam waktu yang singkat ia telah mengukir banyak momen-momen kepahlawanan yang luar biasa.

Saat Rasulullah SAW harus perang di Badar, Sa’ad yang mewakili orang-orang Anshar memberikan sikap dan dukungan yang tegas. Pada Perang Uhud yang bergejolak, Sa’ad menjadi tameng Rasulullah, tegak berdiri di sisi beliau. Di Khandaq, ia turut mempertahankan Madinah mati-matian. Ia terluka terkena panah Hibban bin Qais Al-Araqah. Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk merawat Sa’ad di kemah Rufaidhah agar memudahkan beliau untuk menjenguknya.

Pada saat itu Madinah dikepung dan tiba-tiba orang-orang Yahudi dari kaum Bani Quraidzah berkhianat. Mereka turut bersekutu dengan Quraisy, padahal sebelumnya telah melakukan perjanjian dengan Rasulullah SAW. Setelah kemenangan di Perang Khandaq, Rasulullah langsung mengadakan pengepungan terhadap perkampungan Bani Quraidzah yang telah berkhianat.

Setelah 25 hari, akhirnya orang-orang Yahudi Bani Quraidzah menyerah. Mereka meminta dihakimi oleh orang dari kaumnya sendiri. Maka Sa’ad bin Mu’adz yang disepakati dan Rasulullah menyetujui. Di tengah rasa sakit karena luka yang terus memburuk, Sa’ad berdoa , “Ya Allah, janganlah Engkau cabut nyawaku, sampai aku menyelesaikan urusanku dengan Bani Quraidzah.”

Sa’ad bersikap tegas, ia memutuskan. “Hukumannya adalah para laki-laki dewasa dibunuh, para wanita dijadikan tahanan dan harta mereka dibagi rata!”

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya engkau telah menghukumi dengan apa yang ada di atas langit.”

Sesudah itu, hari-hari Sa’ad adalah penantian menuju keabadian. Ia memohon agar luka-luka itu mengantarkannya kepada kesyahidan. Ia kerap dijenguk oleh Rasulullah. Beliau berdoa untuk Sa’ad. “Ya Allah, sesungguhnya Sa’ad ini telah berjuang di jalan-Mu. Maka terimalah ruhnya dengan penerimaan yang sebaik-baiknya.”

Sa’ad ingin hari terakhir yang dilihatnya adalah wajah Rasulullah yang mulia. Ia pun mengucap salam. “Assalamu’alaika, ya Rasulullah. Ketahuilah bahwa saya mengakui bahwa Anda adalah Rasulullah.”

Rasulullah memandang wajah Sa’ad lalu berkata, “Kebahagiaan bagimu, wahai Abu Amr!”

Dan Sa’ad pun pergi menuju keabadian, menghadap Ilahi. Orang-orang berduka cita dan berkabung. Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh, kematian Sa’ad telah membuat Arys Allah terguncang.”
Reff

Sa’ad bin Ubadah, Pembawa Bendera Anshar

Setiap menyebut nama Sa’ad bin Mu’adz, pastilah disebut pula bersamanya Sa’ad bin Ubadah. Mereka berdua adalah pemuka-pemuka penduduk Madinah. Sa’ad bin Mu’adz pemuka Suku Aus, sedang Sa’ad bin Ubadah pemuka Suku Khazraj. Keduanya lebih dini masuk Islam, menyaksikan Baiat Aqabah dan hidup di samping Rasulullah sebagai prajurit yang taat dan Mukmin sejati.

Mungkin kelebihan Sa’ad bin Ubadah karena dia satu-satunya dari golongan Anshar yang menanggung siksaan Quraisy yang dialami hanya kaum Muslimin penduduk Makkah.

Adalah suatu hal yang wajar jika Quraisy melampiaskan amarah dan kekejaman mereka kepada orang-orang yang sekampung dengan mereka yaitu warga kota Makkah. Tetapi jika siksaan itu mencapai pada laki-laki warga Madinah, padahal ia bukan laki-laki kebanyakan, tetapi seorang tokoh di antara para pemimpin dan pemukanya, maka keistimewaan itu telah ditakdirkan hanya bagi Sa’ad bin Ubadah seorang.

Begini ceritanya, setelah selesainya perjanjian Aqabah yang dilakukan secara rahasia, dan orang-orang Anshar telah bersiap-siap hendak kembali pulang, orang-orang Quraisy mengetahui janji setia orang-orang Anshar ini serta persetujuan mereka dengan Rasulullah SAW, di mana mereka akan berdiri di belakangnya dan menyokongnya menghadapi kekuatan­kekuatan musyrik dan kesesatan.

Timbullah kepanikan di kalangan Quraisy, dan mereka segera mengejar kafilah Anshar. Kebetulan mereka berhasil menangkap Sa’ad bin Ubadah. Kedua tangannya mereka ikatkan ke atas pundaknya dengan tali kendaraannya, lalu mereka bawa ke Makkah. Di Makkah, iring-iringan ini disambut beramai-ramai oleh penduduk yang memukul dan melakukan siksaan pada Sa'ad sesuka hati mereka.

Bayangkan, Sa’ad bin Ubadah, sang pemimpin Madinah, mendapat perlakuan seperti ini. Ia yang selama ini melindungi orang yang minta perlindungan, menjamin keamanan perdagangan mereka, memuliakan utusan dari pihak mana pun yang berkunjung ke Madinah, telah diikat, dipukuli, dan disiksa. Dan orang-orang yang memukulnya seolah tidak kenal padanya dan tidak mengetahui kedudukannya di kalangan kaumnya!

Sa’ad segera meninggalkan Makkah setelah menerima penganiayaan, hingga diketahuinya dengan pasti sampai di mana persiapan Quraisy untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kaum yang tersingkir, yang menyeru kepada kebaikan, kepada hak dan keselamatan. Dan permusuhan Quraisy ini telah mempertebal semangatnya hingga diputuskannya secara bulat akan membela Rasulullah saw, para sahabat dan Agama Islam secara mati-matian.

Rasulullah saw melakukan hijrah ke Madinah, dan sebelumnya itu para sahabatnya telah lebih dulu hijrah. Ketika itu demi melayani kepentingan orang-orang Muhajirin, Sa’ad membaktikan harta kekayaannya. Sa’ad adalah seorang dermawan, baik dari tabiat pembawaan, maupun dari turunan.

Ia adalah putra Ubadah bin Dulaim bin Haritsah yang kedermawanannya di zaman jahiliyah lebih tenar dari ketenaran manapun juga. Dan memang, kepemurahan Sa’ad di zaman Islam merupakan salah satu bukti dari bukti-bukti keimanannya yang kuat lagi tangguh. Dan mengenai sifatnya ini ahli-ahli riwayat pernah berkata, “Sa’ad selalu menyiapkan perbekalan bagi Rasulullah saw dan bagi seluruh isi rumahnya."

Kata mereka pula, “Biasanya seorang laki-laki Anshar pulang ke rumahnya membawa seorang dua atau tiga orang Muhajirin, sedang Sa’ad bin Ubadah pulang dengan 80 orang!”

Oleh sebab itu, Sa’ad selalu memohon kepada Tuhannya agar ditambahi rezki dan karunia-Nya. Dan ia pernah berkata, “Ya Allah, tiadalah yang sedikit itu memperbaiki diriku, dan tidak pula baik bagiku!”

Wajarlah apabila Rasulullah saw mendoakannya, “Ya Allah, berilah keluarga Sa’ad bin Ubadah karunia serta rahmat-Mu!”

Sa’ad tidak hanya menyiapkan kekayaannya untuk melayani kepentingan Islam yang murni, tetapi juga ia membaktikan kekuatan dan kepandaiannya. Ia adalah seorang yang amat mahir dalam memanah. Dalam peperangannya bersama Pasulullah SAW, pengorbanannya amat penting dan menentukan.

Ibnu Abbas RA berkata, “Di setiap peperangannya, Rasulullah SAW mempunyai dua bendera; bendera Muhajirin di tangan Ali bin Abi Thalib dan bendera Anshar di tangan Sa’ad bin Ubadah."

Pada hari-hari pertama pemerintahan Khalifah Umar bin Khathab, Sa’ad pergi menjumpai Amirul Mukminin dan dengan blak-blakan berkata kepadanya, "Demi Allah, sahabat anda, Abu Bakar, lebih kami sukai daripada anda. Dan sungguh, demi Allah, aku tidak senang tinggal berdampingan dengan anda.”

Dengan tenang Umar menjawab, “Orang yang tidak suka berdampingan dengan tetangganya, tentu akan menyingkir daripadanya."

Sa’ad menjawab pula, "Aku akan menyingkir dan pindah ke dekat orang yang lebih baik daripada anda.”

Dengan kata-kata yang diucapkannya kepada Amirul Mukminin Umar bin Khathab itu, tiadalah Sa’ad bermaksud hendak melampiaskan amarah atau menyatakan kebencian hatinya. Karena orang yang telah menyatakan ridhanya kepada putusan Rasulullah SAW, sekali-kali tiada akan keberatan untuk mencintai seorang tokoh seperti Umar, selama dilihatnya ia pantas untuk dimuliakan dan dicintai Rasulullah.

Maksud Sa’ad ialah bahwa ia tidak akan menunggu datangnya suasana, di mana nanti mungkin terjadi pertikaian antaranya dengan Amirul Mukminin. Pertikaian yang sekali-kali tidak diinginkan dan disukainya. Maka disiapkannyalah kendaraannya, menuju Suriah. Dan belum lagi ia sampai ke sana dan baru saja singgah di Hauran, ajalnya telah datang menjemputnya dan mengantarkannya ke sisi TuhannyaYang Maha Pengasih.
Reff

Sa'id bin Zaid, Berkah Sebuah Doa

Ketika Rasulullah SAW menyeru orang-orang untuk memeluk Islam, Sa’id bin Zaid segera memenuhi panggilan beliau, menjadi pelopor orang-orang yang beriman kepada Allah dan membenarkan kerasulan Nabi Muhammad SAW. 

Tidak mengherankan kalau Sa’id secepat itu menerima seruan Muhammad SAW. Ia lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga yang mencela dan mengingkari kepercayaan dan adat istiadat orang-orang Quraisy yang sesat.

Sa’id dididik dalam kamar seorang ayah yang sepanjang hidupnya giat mencari agama yang hak. Bahkan dia mati ketika sedang berlari kepayahan mengejar agama yang hak.

Sebelum menghembuskan nafasnya, ayah Sa'id—Zaid bin Amr bin Nufail—menengadah ke langit seraya berdoa, "Ya Allah, jika Engkau mengharamkanku dari agama lurus ini, maka janganlah anakku, Sa'id, diharamkan pula darinya."

Sa’id masuk Islam tidak seorang diri. Dia bersyahadat bersama istrinya, Fatimah binti Khathab, adik perempuan Umar bin Khathab. Karena pemuda Quraisy ini masuk Islam, dia disakiti dan dianiaya, dipaksa oleh kaumnya supaya kembali kepada agama mereka.

Tetapi jangankan mengembalikan Sa’id kepada kepercayaan nenek moyang mereka, sebaliknya Sa’id dan istrinya sanggup menarik seorang laki-laki Quraisy yang paling berbobot baik fisik maupun intelektualnya masuk Islam, Umar bin Khathab.

Mereka berdualah yang telah menyebabkan Umar bin Khathab masuk Islam. Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufail membaktikan segenap daya dan tenaganya yang muda untuk berkhidmat kepada Islam.

Ketika dia masuk Islam, umurnya belum lebih dari 20 tahun. Selain Perang Badar, dia turut berperang bersama-sama Rasulullah dalam setiap peperangan. Ketika itu dia sedang melaksanakan suatu tugas penting lainnya yang ditugaskan Rasulullah kepadanya. Dia turut mengambil bagian bersama-sama kaum Muslimin mencabut singgasana Kisra Persia dan menggulingkan Kekaisaran Romawi. Dalam setiap peperangan yang dihadapi kaum Muslimin, dia selalu memperlihatkan penampilan dengan reputasi terpuji.

Di antara prestasinya yang paling menakjubkan ialah apa yang tercatat dalam Perang Yarmuk. Sejenak kita dengarkan Sa'id mengisahkan pengalamannya. “Ketika terjadi Perang Yarmuk, pasukan kami semuanya berjumlah 24.000 orang tentara. Sedangkan tentara Romawi yang kami hadapi berjumlah 120.000 tentara. Musuh bergerak ke arah kami dengan langkah-langkah yang mantap bagaikan sebuah bukit yang digerakkan tangan-tangan tersembunyi," tutur Sa'id.

Sa'id melanjutkan, di depan berbaris pendeta-pendeta, perwira-perwira tinggi, panglima-panglima, dan paderi-paderi yang membawa kayu salib sambil mengeraskan suara membaca doa. "Doa itu diulang-ulang oleh tentara yang berbaris di belakang mereka dengan suara mengguntur," ujarnya.

Tatkala tentara kaum Muslimin melihat musuh mereka seperti itu, kebanyakan mereka terkejut, lalu timbul takut di hati mereka. Abu Ubaidah bin Jarrah bangkit mengobarkan semangat jihad kepada mereka. “Wahai hamba-hamba Allah, Menangkan agama Allah! Pasti Allah akan menolong kamu, dan memberikan kekuatan kepada kamu!"

"Wahai hamba-hamba Allah, tabahkan hati kalian! Karena ketabahan adalah jalan lepas dari kekafiran, jalan mencapai keridhaan Allah, dan menolak kehinaan. Siapkan lembing dan perisai! Tetaplah tenang dan diam! Kecuali dzikrullah (mengingat Allah) dalam hati kalian masing-masing. Tunggu perintah saya selanjutnya, Insya Allah!” teriak Abu Ubaidah lagi.

Tiba-tiba seorang prajurit Muslim keluar dari barisan dan berkata kepada Abu Ubaidah, “Saya ingin syahid sekarang. Adakah pesan-pesan Anda kepada Rasulullah?”

Abu Ubaidah menjawab, “Ya, ada! Sampaikan salam saya dan salam kaum Muslimin kepada beliau. Katakan kepada beliau, sesungguhnya kami telah mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhan kami benar-benar terbukti!”

Sesudah dia mengucapkan kata-katanya itu, Sa'id melihat sang prajurit menghunus pedang dan terus maju menyerang musuh-musuh Allah. Sa'id pun demikian, ia membanting diri ke tanah, dan berdiri di atas lututnya. Lalu membidikkan lembingnya dan menikam seorang musuh. "Tanpa terasa, perasaan takut lenyap dengan sendirinya di hati saya. Tentara Muslimin bangkit menyerbu tentara Romawi. Perang berkecamuk dan berkobar dengan hebat. Akhirnya, Allah memenangkan kaum Muslimin," tutur Said.

Sesudah itu, Sa’id bin Zaid turut berperang menaklukkan Damaskus. Setelah menaklukkan Damaskus, kaum Muslimin memperlihatkan kepatuhan, Abu Ubaidah bin Jarrah mengangkat Sa’id menjadi walikota di sana. Dialah walikota pertama dari kaum Muslimin setelah kota itu dikuasai.

Di masa pemerintahan Bani Umayyah, merebak suatu isu dalam waktu yang lama di kalangan penduduk Madinah terkait Sa’id bin Zaid. Seorang wanita bernama Arwa binti Umais menuduh Sa'id merampas tanahnya dan menggabungkannya dengan tanah Said. Wanita itu menyebarkan tuduhannya ke seantero kaum Muslimin, dan mengadukan perkaranya kepada Marwan bin Hakam, Walikota Madinah saat itu.

Marwan mengirim beberapa petugas menanyakan kepada Sa’id tentang tuduhan wanita tersebut. Sahabat Rasulullah ini merasa prihatin atas tuduhan yang dituduhkan kepadanya. “Dia menuduhku menzaliminya (merampas tanahnya yang berbatas dengan tanah saya). Bagaimana mungkin aku menzaliminya, padahal aku telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Siapa yang mengambil tanah orang lain walaupun sejengkal, nanti di hari kiamat Allah akan memikulkan tujuh lapis bumi kepadanya.’Ya Allah, dia menuduhku menzaliminya. Seandainya tuduhannya itu palsu, butakanlah matanya dan ceburkan dia ke sumur yang dipersengketakannya denganku. Buktikanlah kepada kaum Muslimin sejelas-jelasnya bahwa tanah itu adalah hak hamba dan bahwa hamba tidak pernah menzaliminya,” kata Sa'id.

Tidak berapa lama kemudian, terjadi banjir besar yang belum pernah terjadi sebelumnya. Maka terbukalah tanda batas tanah Sa’id dan tanah Arwa yang mereka perselisihkan. Kaum Muslimin memperoleh bukti, Sa’id-lah yang benar, sedangkan tuduhan wanita itu palsu.

Hanya sebulan sesudah itu, wanita tersebut menjadi buta. Ketika dia berjalan meraba-raba di tanah yang dipersengketakannya, dia pun jatuh ke dalam sumur. Abdullah bin Umar berkata, “Memang, ketika kami masih kanak-kanak, kami mendengar orang berkata bila mengutuk orang lain, ‘Dibutakan Allah kamu seperti Arwa.”

Peristiwa itu sesungguhnya tidak begitu mengherankan. Karena Rasulullah SAW pernah bersabda, “Takutilah doa orang teraniaya. Karena antara dia dengan Allah tidak ada hijab (batas).” Apa lagi kalau yang teraniaya itu adalah salah seorang dari 10 sahabat Rasulullah yang telah dijamin beliau masuk surga, Sa’id bin Zaid.
Reff

Salamah bin Al-Akwa, Pahlawan Pasukan Jalan Kaki

Putranya, Ilyas, menyimpulkan keutamaan bapaknya dalam suatu kalimat singkat. 
"Bapakku tak pernah berdusta!" ujarnya singkat.

Memang, untuk mendapatkan kedudukan tinggi di antara orang-orang saleh dan budiman, cukuplah bagi seseorang memiliki sifat-sifat ini. Dan Salamah bin Al-Akwa telah memilikinya, suatu hal yang memang wajar baginya.

Salamah adalah salah seorang pemanah bangsa Arab yang terkenal, juga terbilang tokoh yang berani, dermawan dan gemar berbuat kebajikan. Dan ketika ia menyerahkan dirinya menganut agama Islam, diserahkannya secara benar dan sepenuh hati. Ia termasuk pula salah satu tokoh Baiatur Ridwan.

Pada tahun 6 H, Rasulullah SAW bersama para sahabat berangkat dari Madinah dengan maksud hendak berziarah ke Ka’bah, tetapi dihalangi oleh orang-orang Quraisy. Maka Rasulullah mengutus Utsman bin Affan untuk menyampaikan kepada mereka bahwa tujuan kunjungannya hanyalah untuk berziarah dan sekali-kali bukan untuk berperang.

Sementara menunggu kembalinya Utsman, tersiar berita bahwa ia telah dibunuh oleh orang-orang Quraisy. Rasulullah lalu duduk di bawah naungan sebatang pohon menerima baiat sehidup semati dari sahabatnya seorang demi seorang.

"Aku mengangkat baiat kepada Rasulullah di bawah pohon, dengan pernyataan menyerahkan jiwa ragaku untuk Islam, lalu aku mundur dari tempat itu," tutur Salamah. "Tatkala mereka tidak banyak lagi, Rasulullah bertanya, 'Hai Salamah, kenapa kamu tidak ikut baiat?"

"Aku telah baiat, wahai Rasulullah," jawabku.

"Ulanglah kembali!" titah Nabi.

"Maka kuucapkanlah baiat itu kembali."

Dan Salamah telah memenuhi isi baiat itu sebaik-baiknya. Bahkan sebelum diikrarkannya, yakni semenjak mengucapkan "Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah", maksud baiat itu telah dilaksanakan.

"Aku berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali, dan bersama Zaid bin Haritsah sebanyak sembilan kali!" kata Salamah.

Salamah terkenal sebagai tokoh paling mahir dalam peperangan jalan kaki, dan dalam memanah serta melemparkan tombak dan lembing. Siasat yang dijalankannya serupa dengan perang gerilya yang kita jumpai sekarang ini. Jika musuh datang menyerang, ia menarik pasukannya mundur ke belakang. Tetapi bila mereka kembali untuk berhenti atau istirahat, maka diserangnya mereka tanpa ampun.

Dengan siasat seperti ini ia mampu seorang diri menghalau tentara yang menyerang luar Kota Madinah di bawah pimpinan Uyainah bin Hishan Al-Fizari dalam suatu peperangan yang disebut Perang Dzi Qarad. Ia pergi membuntuti mereka seorang diri, lalu memerangi dan menghalau mereka dari Madinah, hingga akhirnya datanglah Nabi membawa bala bantuan yang terdiri dari sahabat-sahabatnya.

Pada hari itulah Rasulullah menyatakan kepada para sahabat, "Tokoh pasukan jalan kaki kita yang terbaik ialah Salamah bin Al-Akwa!"

Salamah juga tidak pernah merasa kesal dan kecewa kecuali ketika saudaranya yang bernama Amir bin Al-Akwa tewas di Perang Khaibar.

Dalam peperangan itu Amir memukulkan pedangnya kepada salah seorang musyrik. Akan tetapi rupanya pedang yang digenggamnya hulunya itu melantur dan terbalik hingga menghunjam pada ubun-ubunnya yang menyebabkan kematiannya.

Beberapa orang berkata, "Kasihan Amir, ia terhalang mendapatkan mati syahid."

Maka pada saat itu, ya hanya sekali itulah dan tidak lebih, Salamah merasa amat kecewa sekali. Ia menyangka sebagaimana sangkaan para sahabat bahwa saudaranya itu tidak mendapatkan pahala berjihad dan sebutan mati syahid, disebabkan ia telah bunuh diri tanpa sengaja.

Namun, Rasulullah yang pengasih itu segera mendudukkan perkara pada tempat yang sebenarnya, yakni ketika Salamah datang bertanya, "Wahai Rasulullah, betulkah pahala Amir itu gugur?"

Maka jawab Rasulullah SAW, "Ia gugur bagai pejuang. Bahkan mendapat dua macam pahala. Dan sekarang ia sedang berenang di sungai-sungai surga."

Salamah juga terkenal dengan kedermawanannya, hingga ia akan mengabulkan permintaan orang termasuk jiwanya apapila permintaan itu atas nama Allah.

Hal ini rupanya diketahui oleh orang-orang. Maka jika seseorang ingin tuntutannya berhasil, ia akan berkata kepadanya, "Kuminta kepada anda atas nama Allah."

Mengenai hal ini, Salamah pernah berkata, "Jika bukan atas nama Allah, atas nama siapalagi kita akan memberi?"

Sewaktu Utsman RA dibunuh orang, pejuang yang perkasa ini merasa bahwa api fitnah telah menyulut kaum Muslimin. Ia seorang yang telah menghabiskan usianya selama ini berjuang bahu-membahu dengan saudara seagamanya, tak sudi berperang menghadapi saudara sesamanya.

Benar, seorang tokoh yang telah mendapat pujian dari Rasulullah SAW tentang keahliannya dalam memerangi orang-orang musyrik, tidaklah pada tempatnya menggunakan keahliannya itu dalam memerangi atau membunuh orang-orang mukmin. Itulah sebabnya ia mengemasi barang-barangnya lalu meninggalkan Madinah berangkat menuju Rabdzah, yaitu kampung yang dipilih oleh Abu Dzar dulu sebagai tempat hijrah dan pemukiman barunya.

Maka di Rabdzah ini Salamah melanjutkan sisa hidupnya. Pada suatu hari di tahun 74 H, hatinya merasa rindu berkunjung ke Madinah. Maka berangkatlah ia untuk memenuhi kerinduannya itu. Ia tinggal di Madinah selama satu dua hari. Dan pada hari ketiga ia pun wafat.

Demikianlah, seolah-olah tanahnya yang tercinta itu memanggil putranya ini untuk merangkul ke dalam pelukannya dan memberikan ruang baginya di lingkungan sahabat-sahabatnya yang memperoleh berkah bersama para syuhada yang saleh.
Reff

Salim maula Abu Hudzaifah, Pemikul Alquran Terbaik

Pada suatu hari Rasulullah SAW berpesan kepada para sahabatnya, “Ambillah olehmu (riwayat dan bacaan) Alquran itu dari empat orang, yaitu Abdullah bin Mas’ud, Salim maula Abu Hudzaifah, Ubai bin Ka’ab dan Mu’adz bin Jabal!”

Ia adalah Salim RA, hamba sahaya Abu Hudzaifah RA. Awalnya ia hanyalah seorang budak belian. Kemudian Islam memperbaiki kedudukannya, hingga diambil sebagai anak angkat oleh salah seorang pemimpin Islam terkemuka.

Tatkala Islam menghapus adat kebiasaan memungut anak angkat, Salim RA pun menjadi saudara, teman sejawat serta maula (hamba sahaya yang telah dimerdekakan) bagi orang yang memungutnya sebagai anak tadi, yaitu sahabat yang mulia bernama Abu Hudzaifah bin Utbah RA.

Itulah berkah karunia dan nikmat dari Allah SWT. Salim RA mencapai kedudukan tinggi dan terhormat di kalangan Muslimin, berkah keutamaan jiwanya, serta perangai dan ketakwaannya. Hal itu juga dikarenakan ia tergolong Muslim generasi pertama.

Sedangkan Hudzaifah bin Utbah RA adalah salah seorang yang juga lebih awal dan bersegera masuk Islam. Hudzaifah adalah seorang yang terpandang di kalangan kaumnya, karena bapaknya telah mengkader dia untuk menjadi pemimpin Quraisy masa depan.

Bapak dari Hudzaifah RA inilah yang setelah terang-terangan masuk Islam mengambil Salim RA sebagai anak angkat selepas Salim merdeka. Mulai saat itu, ia dipanggil Salim bin Abi Hudzaifah. Kedua orang itu pun beribadah kepada Allah dengan hati yang tunduk dan khusyuk, serta menahan penganiayaan Quraisy dan tipu muslihat mereka dengan hati yang sabar tiada terkira.

Pada suatu hari, turunlah ayat yang membatalkan kebiasaan mengambil anak angkat. Maka setiap anak angkat kembali menyandang nama bapak aslinya. Misalkan Zaid bin Haritsah RA yang diangkat anak oleh Nabi SAW hingga dikenal oleh kaum Muslimin sebagai Zaid bin Muhammad SAW.

Ia kembali menyandang nama bapaknya Haritsah, namanya berubah menjadi Zaid bin Haritsah. Tetapi Salim RA tidak dikenal siapa bapaknya, maka ia menghubungkan diri kepada orang yang telah membebaskannya. Oleh karena itu, ia dipanggil Salim maula Abu Hudzaifah RA.

Sampai akhir hayat mereka, keduanya melebihi saudara kandung. Ketika ajal tiba, mereka meninggal bersama-sama, nyawa melayang bersama nyawa, dan tubuh yang satu terbaring di samping tubuh yang lain.

Itulah keistimewaan luar biasa dari Islam, bahkan itulah salah satu kebesaran dan keutamaannya. Salim RA telah beriman sebenar-benar iman, dan menempuh jalan menuju Ilahi bersama-sama orang-orang yang takwa dan budiman.

Pada diri Salim RA terhimpun keutamaan-keutamaan yang terdapat dalam agama Islam. Semuanya itu berkumpul pada dirinya dengan dihiasi keimanannya yang mendalam sehingga menjadi suatu susunan yang amat indah.

Kelebihannya yang paling menonjol ialah mengemukakan apa yang dianggapnya benar secara terus terang. Ia tidak menutup mulut terhadap suatu kalimat yang seharusnya diucapkannya, dan ia tak hendak mengkhianati hidupnya dengan berdiam diri terhadap kesalahan yang menekan jiwanya.

Setelah Kota Makkah dibebaskan oleh kaum Muslimin, Rasulullah SAW mengirimkan beberapa rombongan ke perkampungan suku-suku Arab sekeliling Makkah. Misi mereka adalah untuk berdakwah bukan berperang.

Salah seorang pemimpin dari salah satu pasukan ialah Khalid bin Walid RA. Ketika Khalid RA sampai di tempat yang dituju, terjadilah suatu peristiwa yang menyebabkannya terpaksa mengunakan senjata dan menumpahkan darah.

Sewaktu peristiwa ini sampai kepada Nabi SAW, beliau memohon ampun kepada Allah seraya berkata, "Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilakukan Khalid.”

Dalam ekspedisi yang dipimpin Khalid ini, ikut bersamanya Salim maula Abu Hudzaifah RA serta sahabat-sahabat lainnya. Melihat perbuatan Khalid tadi, Salim menegurnya dengan sengit dan menjelaskan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya.

Salim tetap berpegang pada pendiriannya dan mengemukakannya tanpa takut atau bermanis mulut. Ketika itu, ia memandang Khalid bukan sebagai salah seorang bangsawan Makkah, dan ia pun tidak merendah diri karena dahulu ia seorang budak.

Ia menentang dan menyalahkan Khalid bukanlah karena ambisi atau kepentingan pribadi tertentu, ia hanya melaksanakan nasihat yang diakui sebagai haknya dalam Islam, dan yang telah lama didengarnya dari Nabi SAW, bahwa nasihat itu merupakan teras dan tiang agama. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Agama itu ialah nasihat.”

Ketika Rasulullah mendengar perbuatan Khalid bin Walid, beliau bertanya,“Adakah yang menyanggahnya?” Alangkah agungnya pertanyaan itu, dan alangkah mengharukan. Ketika para sahabat mengatakan pada beliau, "Ada. Salim menegur dan menyanggahnya!”

Selama hayatnya, Salim RA hidup mendampingi Rasulullah dan orang-orang beriman. Tidak pernah ketinggalan dalam suatu peperangan mempertahankan agama, dan tak kehilangan gairah dalam suatu ibadah.

Sementara persaudaraannya dengan Abu Hudzaifah, makin hari makin bertambah erat dan kukuh jua. Saat terjadi pertempuran Yamamah, suatu peperangan sengit yang merupakan ujian terberat bagi Islam, kaum Muslimin berangkat untuk berjuang. Tidak ketinggalan Salim bersama Abu Hudzaifah RA, saudaranya seagama.

Di awal peperangan, kaum Muslimin tidak bermaksud hendak menyerang. Tetapi setiap Mukmin telah merasa bahwa peperangan ini adalah peperangan yang menentukan, sehingga segala akibatnya menjadi tanggung jawab bersama.

Mereka dikumpulkan sekali lagi oleh Khalid bin Walid RA yang kembali menyusun barisan dengan cara dan strategi yang mengagumkan.

Kedua saudara itu, Abu Hudzaifah dan Salim, berpelukan dan berjanji siap mati syahid bersama demi Islam. Lalu keduanya pun menerjunkan diri ke dalam kancah yang sedang bergejolak.

Abu Hudzaifah RA berseru, "Hai pengikut-pengikut Alquran, hiasilah Alquran dengan amal-amal kalian!" Dan bagai angin puyuh, pedangnya berkelibatan dan menghunjamkan tusukan-tusukan kepada anak buah Musailamah.

Sementara itu, Salim berseru pula, “Amat buruk nasibku sebagai pemikul tanggung jawab Alquran apabila benteng kaum Muslimin bobol karena kelalaianku.”

“Tidak mungkin demikian, wahai Salim. Bahkan, engkau adalah sebaik-baik pemikul Alquran!" ujar Abu Hudzaifah. Pedangnya bagai menari-nari menebas dan menusuk pundak orang-orang murtad, yang bangkit berontak hendak mengembalikan jahiliyah Quraisy dan memadamkan cahaya Islam.

Salim berteriak mengumandangkan ayat Alquran, "Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali-Imran: 146).

Sekelompok orang-orang murtad mengepung dan menyerbunya, hingga pahlawan itu roboh. Tetapi rohnya belum juga keluar dari tubuhnya yang suci, sampai pertempuran itu berakhir dengan terbunuhnya Musailamah.

Ketika Kaum Muslimin mencari-cari korban dan syuhada, mereka temukan Salim RA dalam keadaan sakaratul maut. Ia sempat bertanya kepada mereka, "Bagaimana nasib Abu Hudzaifah?”

“Ia telah menemui syahidnya,” ujar mereka.

“Baringkan aku di sampingnya,” kata Salim.

“Ini dia di sampingmu, wahai Salim. Ia telah menemui syahidnya di tempat ini.”

Mendengar jawaban itu, Salim menyunggingkan senyum terakhirnya. Setelah itu, ia tidak berbicara lagi. Ia dan saudaranya telah menemukan apa yang mereka dambakan selama ini; masuk Islam bersama, hidup bersama, dan mati syahid bersama pula!

Persamaan nasib yang amat indah. Mereka berdua menemui Tuhannya, namun namanya tetap dikenang. Umar bin Khathab RA pernah berujar mengenang Salim, “Seandainya Salim masih hidup, pastilah ia menjadi penggantiku nanti.”
Reff

Abdullah bin Mas'ud, Pemegang Rahasia Rasulullah

  
Tak berapa lama setelah memeluk Islam, Abdullah bin Mas'ud mendatangi Rasulullah dan memohon kepada beliau agar diterima menjadi pelayan beliau. Rasulullah pun menyetujuinya.

Sejak hari itu, Abdullah bin Mas'ud tinggal di rumah Rasulullah. Dia beralih pekerjaan dari penggembala domba menjadi pelayan utusan Allah dan pemimpin umat. Abdullah bin Mas'ud senantiasa mendampingi Rasulullah bagaikan layang-layang dan benangnya. Dia selalu menyertai kemana pun beliau pergi.

Dia membangunkan Rasulullah untuk shalat bila beliau tertidur, menyediakan air untuk mandi, mengambilkan terompah apabila beliau hendak pergi dan membenahinya apabila beliau pulang. Dia membawakan tongkat dan siwak Rasulullah, menutupkan pintu kamar apabila beliau hendak tidur.

Bahkan Rasulullah mengizinkan Abdullah memasuki kamar beliau jika perlu. Beliau memercayakan kepadanya hal-hal yang rahasia, tanpa khawatir rahasia tersebut akan terbuka. Karenanya, Abdullah bin Mas'ud dijuluki orang dengan sebutan "Shahibus Sirri Rasulullah" (pemegang rahasia Rasulullah).

Abdullah bin Mas'ud dibesarkan dan dididik dengan sempurna dalam rumah tangga Rasulullah. Karena itu tidak kalau dia menjadi seorang yang terpelajar, berakhlak tinggi, sesuai dengan karakter dan sifat-sifat yang dicontohkan Rasulullah kepadanya. Sampai-sampai orang mengatakan, karakter dan akhlak Abdullah bin Mas'ud paling mirip dengan akhlak Rasulullah.

Abdullah bin Mas'ud pernah berkata tentang pengetahuannya mengenai Kitabullah (Al-Qur'an) sebagai berikut, "Demi Allah, yang tiada Tuhan selain Dia. Tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur'an, melainkan aku tahu di mana dan dalam situasi bagaimana diturunkan. Seandainya ada orang yang lebih tahu daripada aku, niscaya aku datang belajar kepadanya."

Abdullah bin Mas'ud tidak berlebihan dengan ucapannya itu. Kisah Umar bin Al-Khathab berikut memperkuat ucapannya. Pada suatu malam, Khalifah Umar sedang dalam perjalanan, ia bertemu dengan sebuah kabilah. Malam sangat gelap bagai tertutup tenda, menutupi pandangan setiap pengendara. Abdullah bin Mas'ud berada dalam kabilah tersebut. Khalifah Umar memerintahkan seorang pengawal agar menanyai kabilah.

"Hai kabilah, dari mana kalian?" teriak pengawal.

"Min fajjil 'amiq (dari lembah nan dalam)," jawab Abdullah.

"Hendak kemana kalian?"

"Ke Baitu Atiq (rumah tua, Ka'bah)," jawab Abdullah.

"Di antara mereka pasti ada orang alim," kata Umar.

Kemudian diperintahkannya pula menanyakan, "Ayat Al-Qur'an manakah yang paling ampuh?"

Abdullah menjawab, "Allah, tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya) tidak mengantuk dan tidak pula tidur..." (QS Al-Baqarah: 255).

"Tanyakan pula kepada mereka, ayat Al-Qur'an manakah yang lebih kuat hukumnya?" kata Umar memerintah.

Abdullah menjawab, "Sesungguhnya Allah memerintah kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang kamu dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran."(QS An-Nahl: 9).

"Tanyakan kepada mereka, ayat Al-Qur'an manakah yang mencakup semuanya!" perintah Umar.

Abdullah menjawab, "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan walaupun seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan walaupun sebesar dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya pula." (QS Al-Zalzalah: 8).

Demikian seterusnya, ketika Umar memerintahkan pengawal untuk bertanya tentang Al-Qur'an, Abdullah bin Mas'ud langsung menjawabnya dengan tegas dan tepat. Hingga pada akhirnya Khalifah Umar bertanya, "Adakah dalam kabilah kalian Abdullah bin Mas'ud?"

Jawab mereka, "Ya, ada!"

Abdullah bin Mas'ud bukan hanya sekedar qari' (ahli baca Al-Qur'an) terbaik, atau seorang yang sangat alim atau zuhud, namun ia juga seorang pemberani, kuat dan teliti. Bahkan dia seorang pejuang (mujahid) terkemuka. Dia tercatat sebagai Muslim pertama yang mengumandangkan Al-Qur'an dengan suara merdu dan lantang.

Pada suatu hari para sahabat Rasulullah berkumpul di Makkah. Mereka berkata, "Demi Allah, kaum Quraisy belum pernah mendengar ayat-ayat Al-Qur'an yang kita baca di hadapan mereka dengan suara keras. Siapa kira-kira yang dapat membacakannya kepada mereka?"

"Aku sanggup membacakannya kepada mereka dengan suara keras," kata Abdullah.

"Tidak, jangan kamu! Kami khawatir kalau kamu membacakannya. Hendaknya seseorang yang punya keluarga yang dapat membela dan melindunginya dari penganiayaan kaum Quraisy," jawab mereka.

"Biarlah, aku saja. Allah pasti melindungiku," kata Abdullah tak gentar.

Keesokan harinya, kira-kira waktu Dhuha, ketika kaum Quraisy sedang duduk-duduk di sekitar Ka'Baha Ad-Daulah. Abdullah bin Mas'ud berdiri di Maqam Ibrahim, lalu dengan suara lantang dan merdu dibacanya surah Ar-Rahman ayat 1-4.

Bacaan Abdullah yang merdu dan lantang itu kedengaran oleh kaum Quraisy di sekitar Ka'bah. Mereka terkesima saat mendengar dan merenungkan ayat-ayat Allah yang dibaca Abdullah. Kemudian mereka bertanya, "Apakah yang dibaca oleh Ibnu Ummi Abd (Abdullah bin Mas'ud)?"

"Sialan, dia membaca ayat-ayat yang dibawa Muhammad!" kata mereka begitu tersadar. Lalu mereka berdiri serentak dan memukuli Abdullah. Namun Abdullah bin Mas'ud meneruskan bacaannya hingga akhir surah. Ia lalu pulang menemui para sahabat dengan muka babak belur dan berdarah.

"Inilah yang kami khawatirkan terhadapmu," kata mereka.

"Demi Allah, kata Abdullah, "Bahkan sekarang musuh-musuh Allah itu semakin kecil di mataku. Jika kalian menghendaki, besok pagi aku akan baca lagi di hadapan mereka."

Abdullah bin Mas'ud hidup hingga masa Khalifah Utsman bin Affan memerintah. Ketika ia hampir meninggal dunia, Khalifah Utsman datang menjenguknya. "Sakit apakah yang kau rasakan, wahai Abdullah?" tanya khalifah.

"Dosa-dosaku," jawab Abdullah.

"Apa yang kau inginkan?"

"Rahmat Tuhanku."

"Tidakkah kau ingin supaya kusuruh orang membawa gaji-gajimu yang tidak pernah kau ambil selama beberapa tahun?" tanya Khalifah.

"Aku tidak membutuhkannya," kata Abdullah.

"Bukankah kau mempunyai anak-anak yang harus hidup layak sepeninggalmu?" tanya Utsman.

"Aku tidak khawatir, jawab Abdullah, "Aku menyuruh mereka membaca surah Al-Waqi'ah setiap malam. Karena aku mendengar Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang membaca surah Al-Waqi'ah setiap malam, dia tidak akan ditimpa kemiskinan selama-lamanya!"

Pada suatu malam yang hening, Abdullah bin Mas'ud pun berangkat menghadap Tuhannya dengan tenang.

Sa`ad bin Abi Waqqash, Lelaki Penghuni Surga

Aku adalah orang ketiga yang memeluk Islam, dan orang pertama yang melepaskan anak panah di jalan Allah,`

Demikianlah Sa`ad bin Abi Waqqash mengenalkan dirinya. Ia adalah orang ketiga yang memeluk Islam, dan orang pertama yang melepaskan anak panah dari busurnya di jalan Allah.

Sa’ad bin Abi Waqqash bin Wuhaib bin Abdi Manaf hidup di tengah-tengah Bani Zahrah yang merupakan paman Rasulullah SAW. Wuhaib adalah kakek Sa’ad dan paman Aminah binti Wahab, ibunda Rasulullah.

Sa’ad dikenal orang karena ia adalah paman Rasulullah SAW. Dan beliau sangat bangga dengan keberanian dan kekuatan, serta ketulusan iman Sa'ad. Nabi bersabda, “Ini adalah pamanku, perlihatkan kepadaku paman kalian!”

Keislamannya termasuk cepat, karena ia mengenal baik pribadi Rasulullah SAW. Mengenal kejujuran dan sifat amanah beliau. Ia sudah sering bertemu Rasulullah sebelum beliau diutus menjadi nabi. Rasulullah juga mengenal Sa’ad dengan baik. Hobinya berperang dan orangnya pemberani. Sa’ad sangat jago memanah, dan selalu berlatih sendiri.

Kisah keislamannya sangatlah cepat, dan ia pun menjadi orang ketiga dalam deretan orang-orang yang pertama masuk Islam, Assabiqunal Awwalun.

Sa’ad adalah seorang pemuda yang sangat patuh dan taat kepada ibunya. Sedemikian dalam sayangnya Sa’ad pada ibunya, sehingga seolah-olah cintanya hanya untuk sang ibu yang telah memeliharanya sejak kecil hingga dewasa, dengan penuh kelembutan dan berbagai pengorbanan.

Ibu Sa’ad bernama Hamnah binti Sufyan bin Abu Umayyah adalah seorang wanita hartawan keturunan bangsawan Quraisy, yang memiliki wajah cantik dan anggun. Disamping itu, Hamnah juga seorang wanita yang terkenal cerdik dan memiliki pandangan yang jauh. Hamnah sangat setia kepada agama nenek moyangnya; penyembah berhala.

Pada suatu hari, Abu Bakar Ash-Shiddiq mendatangi Sa'ad di tempat kerjanya dengan membawa berita dari langit tentang diutusnya Muhammad SAW, sebagai Rasul Allah. Ketika Sa’ad menanyakan, siapakah orang-orang yang telah beriman kepada Muhammad SAW. Abu Bakar mengatakan dirinya sendiri, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah.

Seruan ini mengetuk kalbu Sa’ad untuk menemui Rasulullah SAW, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia pun memeluk agama Allah pada saat usianya baru menginjak 17 tahun. Sa’ad termasuk dalam deretan lelaki pertama yang memeluk Islam selain Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar As Siddiq dan Zaid bin Haritsah.

Setelah memeluk Islam, keadaannya tidak jauh berbeda dengan kisah keislaman para sahabat lainnya. Ibunya sangat marah dengan keislaman Sa'ad. “Wahai Sa’ad, apakah engkau rela meninggalkan agamamu dan agama bapakmu, untuk mengikuti agama baru itu? Demi Allah, aku tidak akan makan dan minum sebelum engkau meninggalkan agama barumu itu,” ancam sang ibu.

Sa’ad menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan agamaku!”

Sang ibu tetap nekat, karena ia mengetahui persis bahwa Sa’ad sangat menyayanginya. Hamnah mengira hati Sa'ad akan luluh jika melihatnya dalam keadaan lemah dan sakit. Ia tetap mengancam akan terus melakukan mogok makan.

Namun, Sa’ad lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya. “Wahai Ibunda, demi Allah, seandainya engkau memiliki 70 nyawa dan keluar satu per satu, aku tidak akan pernah mau meninggalkan agamaku selamanya!” tegas Sa'ad.

Akhirnya, sang ibu yakin bahwa anaknya tidak mungkin kembali seperti sedia kala. Dia hanya dirundung kesedihan dan kebencian.

Allah SWT mengekalkan peristiwa yang dialami Sa’ad dalam ayat Al-Qur’an, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15).

Pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW, sedang duduk bersama para sahabat, tiba-tiba beliau menatap ke langit seolah mendengar bisikan malaikat. Kemudian Rasulullah kembali menatap mereka dengan bersabda, "Sekarang akan ada di hadapan kalian seorang laki-laki penduduk surga."

Mendengar ucapan Rasulullah SAW, para sahabat menengok ke kanan dan ke kiri pada setiap arah, untuk melihat siapakah gerangan lelaki berbahagia yang menjadi penduduk surga. Tidak lama berselang datanglah laki-laki yang ditunggu-tunggu itu, dialah Sa’ad bin Abi Waqqash.

Disamping terkenal sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, Sa’ad bin Abi Waqqash juga terkenal karena keberaniannya dalam peperangan membela agama Allah. Ada dua hal penting yang dikenal orang tentang kepahlawanannya. Pertama, Sa’ad adalah orang yang pertama melepaskan anak panah dalam membela agama Allah dan juga orang yang mula-mula terkena anak panah. Ia hampir selalu menyertai Nabi Saw dalam setiap pertempuran.

Kedua, Sa’ad adalah satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah SAW dengan jaminan kedua orang tua beliau. Dalam Perang Uhud, Rasulullah SAW bersabda, "Panahlah, wahai Sa’ad! Ayah dan ibuku menjadi jaminan bagimu."

Sa’ad bin Abi Waqqash juga dikenal sebagai seorang sahabat yang doanya senantiasa dikabulkan Allah. Qais meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Ya Allah, kabulkanlah Sa’ad jika dia berdoa.”

Sejarah mencatat, hari-hari terakhir Sa’ad bin Abi Waqqash adalah ketika ia memasuki usia 80 tahun. Dalam keadaan sakit, Sa’ad berpesan kepada para sahabatnya agar ia dikafani dengan jubah yang digunakannya dalam Perang Badar—perang kemenangan pertama untuk kaum Muslimin.

Pahlawan perkasa ini menghembuskan nafas yang terakhir pada tahun 55 H dengan meninggalkan kenangan indah dan nama yang harum. Ia dimakamkan di pemakaman Baqi’, makamnya para syuhada.