aguspurnomosite.blogspot.com

aguspurnomosite.blogspot.com
Berpikir Luas Membuka Cakrawala Kehidupan! Berusaha Memberikan Yang Terbaik Untuk Masa Depan! Katakan "Go Go Go SEMANGAT" !!!

Kamis, 15 Agustus 2013

Pendiri Negara Sepakat Tidak Mendirikan Negara Islam

Sidang PPKI yang digelar bulan Juni menjelang bulan Ramadhan memiliki makna tersendiri dalam proses penyusunan dasar negara. Meskipun 8 dari 9 Anggota panitia kecil perumus dasar Negara Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) beragama Islam, namun ketika menyusun pembukaan UUD 1945, tidak ada satu pun yang mengusulkan didirikannya Negara Islam. Hanya perwakilan dari Muhammadyah, yakni Ki Bagus Hadikoesomo yang menghendaki menghendaki agar Negara Indonesia berdasarkan Islam. Bahkan ki Bagoes menghendaki dimasukkannya hukum Islam dalam kehidupan bangsa.

Bahkan kelompok Nasionalis yang dipimpin Soekarno, menolak azas Islam dalam dasar Negara Republik Indonesia. Alasannya menurut SOekarno, Negara ini didirikan bukan untuk satu orang atau satu golongan melainkan untuk semua orang. Hal yang menyangkut keagamaan agar umat Islam menempuh permusyawaratan/ perwakilan, melalui cara ini golongan agama dapat memanfaatkan dasar ini untuk memperjuangka kepentingannya.

Sementara pendapat Muhammad Yamin adalah bangsa Indonesia menjadi bangsa yang beradap, luhur dan dalam peradapannya mempunyai Tuhan yang Maha Esa. Dalam usulannya mengenai permusyawaran, Muh Yamin menukil ayat al Quran yajni surat Asyyura ayat 38 yang kurang lebih artinya bahwa segala urusan harus dimusyawarahkan. Sebab dengan bermusyawarah sesame manusia akan selalu berjalan di jalan Tuhan.

Pemikiran Prof Soepomo

Tokoh nasionalis lainnya, Prof Soepomo terang-terang menentang pembentukan Negara Islam. Menurutnya dalam Negara persatuan hendaknya dipisahkan antara agama dan Negara. Dia tidak setuju pendirian Negara Islam. Pengertian Negara Islam baginya, berbeda dengan pengertian Negara berdasar cita-cita hukum agama Islam. Pada Negara Islam, Negara dan agama adalah satu.

Turki adalah Negara Islam, tapi sejak tahun 1924 Turki tidak lagi menjadi Negara Islam meski hamper seluruh rakyatnya beragama Islam. Menurut Soepomo kita tidak akan meniru Negara lain dalam menyusun Negara Indonesia, tetapi harus melihat pada keistimewaan masyarakat Indonesia yang nyata. Indonesia mempunyai sifat yang berbeda dengan Mesir, Irak, Iran dan Saudi Arabia. Kita berada di Asia dalam lingkungan yang bukan Islam.

Di Mesir, Iran dan Iran pun masih ada aliran yang mempersoalkan penyesuaian hukum syariah dengan kebutuhan internasional dan kebutuhan modern aliran jaman sekarang. Jika kita akan mendirikan Negara Islam, maka kita tidak mendirikan Negara persatuan karena mendirikan Negara Islam berarti Negara mempersatukan diri dengan golongan terbesar yang akan menimbulkan kecemburuan golongan agama kecil.

Hendaknya kita mendirikan Negara nasional yang bersatu dalam arti totaliter. Negara bersatu ini bukan Negara yang tidak beragama . Negara yang bersatu ini tetap memelihara budi pekerti luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur yang semuanya itu memakai dasar moral yang dianjurkan oleh agama Islam.

Dalam tim 9 yang terdiri dari golongan Islam seperti Haji AGus Salim, KH Abdul Kahar Muzakar, Wahid Hasyim dan Muhammad Yamin terjadi tawar menawar yang a lot dengan golongan nasionalis yang diwakili Ir Soekarno, Moh Hatta, Subardjjo, Abikusno Tjokro Soejoso dan AA Maramis. Namun munculnya kerelaan untuk mendahulukan kepentingan bangsa dan kepentingan aliran maka telah menghasilkan kesepakatan mengenai dasar Negara. Ada suasaa kebatinan dan kebijaksanaan yang kuat sekali dalam musyawarah para pendiri Negara ketika menyusun dasar Negara sehingga perbedaan yang tajam dapat diselesaikan dalam waktu singkat.
Reff

Bendera Pusaka, Jahitan Ibu Fatmawati

Tanggal 17 Agustus 1945, bertempat di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta (sekarang Jalan Proklamasi No. 56), tampak secarik kain berwarna Merah-Putih berukuran 2 x 3 meter yang berkibar dengan bebas sebebas rakyat indonesia yang memadati jalan tersebut. Karena pada hari itulah kemerdekaan Bangsa Indonesia di umumkan, secarik kain itulah yang kini disebut sebagai Bendera Pusaka (sekarang bendera tersebut mengkerut (mengecil) menjadi berukuran 196 x 274 sentimeter).

Bendera yang telah dibuat setahun sebelum Proklamasi ini sudah beberapa kali dikibarkan pada tiang yang sama, dikarenakan balatentara Jepang ketika itu mulai mengizinkan bendera Merah-Putih dikibarkan berdampingan dengan bendera kebangsaan Jepang, pada hari – hari besar yang ditentukan oleh Jepang. Penjajah Jepang memang menjanjikan kemerdekaan Indonesia setelah di medan perang mulai menderita kekalahan.

 

Jasa Fatmawati

Bendera yang dibuat dan dijahit sendiri oleh Fatmawati, Istri Bung Karno, ketika keluarga itu baru kembali dari tempat pengasingan di Bengkulu, dan baru mulai tinggal di Jakarta. Shimizu, seorang perwira Jepang yang menjabat sebagai kepala barisan propaganda di Gunseikanbu (Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Sumatera), berkata : “bikin bendera yang paling besar ya!”

Permintaan Shimizu untuk membuat bendera Merah-Putih yang besar itu, sesungguhnya sesuai dengan “janji kemerdekaan” yang telah dinyatakan Jepang secara terbuka pada September 1944, dimana rakyat di izinkan mengibarkan bendera Merah-Putih berdampingan dengan bendera Jepang pada hari – hari besar.


Untuk mendapatkan cita atau bahan kain untuk membuat bendera besar yang yang pantas dikibarkan di halaman luas rumah besar Pegangsaan Cikini tersebut cukup sulit selama pendudukan Jepang. Rakyat Indonesia bahkan menggunakan pakaian yang dibuat dari bahan karung atau goni, disebabkan kelangkaan tekstil pada masa itu.

Shimizu lalu memerintahkan seorang Perwira Jepang untuk mengambil kain merah dan putih secukupnya, untuk diberikan kepada Ibu Fatmawati. Dua blok kain merah dan putih dari katun halus itu setara dengan jenis primissima untuk batik tulis halus yang diperoleh dari sebuah gudang di Jalan Pintu Air Jakarta Pusat, yang kemudian diantarkan oleh Chaerul Shaleh ke Pegangsaan.

Peran Ibu Fatmawati yang ketika itu berusia 22 tahun yang mampu melunakkan hati para Perwira Jepang, merupakan modal penting dalam mendampingi perjuangan Bung Karno. Ketika membuat bendera besar itu, Ibu Fatmawati sedang hamil tua mengandung bayinya yang pertama. “menjelang kelahiran Guntur, disaat usia kandungan mencukupi bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah-Putih itu.” Ujar Ibu Fatmawati. Dikarenakan kondisi fisiknya, dan juga karena ukuran bendera yang besar, pekerjaan tersebut baru selesai dalam dua hari.

“Berulang kali saya menumpahkan air mata diatas bendera yang sedang saya jahit itu.” 

Kenang Ibu Fatmawati, titik-titik airmata beliau yang tumpah pada bendera pusaka itu, lalu terajut kedalam benang-benang katun halus itu, merupakan sumbangan seorang perempuan Indonesia kepada Bangsanya. Ibu Fatmawati mungkin tidak penah menduga bahwa bendera yang dijahitnya kelak mengukir sejarah dan menjadi pusaka bagi bangsa Indonesia.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, Bendera Merah-Putih yang dikibarkan pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, di tetapkan sebagai Bendera Pusaka.
Reff 

Ini Dia, Tokoh Islam di Balik Penyusunan UUD 1945

Ki Bagoes Hadi Koesoemo adalah Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Semasa menjadi pemimpin Muhammadiyah, ia termasuk dalam anggota BPUPKI dan PPKI. Ki Bagus Hadikusumo sangat besar peranannya dalam perumusan Muqadimah UUD 1945 dengan memberikan landasan ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Pokok-pokok pikirannya dengan memberikan landasan-landasan itu dalam Muqaddimah UUD 1945 itu disetujui oleh semua anggota PPKI. Dialah salah satu pemrakarsa nilai Islam dimasukan ke dalam Pembukaan UUD 1945. 

Berikut substansi pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo:

Bila masyarakat atau Negara sudah kocar kacir, sudah tidak ada batas antara baik buruk, halal haram, Allah akan membangkitkan para Nabi untuk memimpin dan membangun masyarakat menuju keadilan, ketentraman keamanan, dan kesejahteraan. Hidup manusia adalah masyarakat, manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain dan harus tolong menolong. Kita tahu bagaimana Nabi Muhammad membentuk Negara akan masyarakat baru. Setengah kekuatan jahat yang paling berbahaya adalah tamak dan serakah (menang sendiri, enak sendiri, kaya sendiri), agar tidak ada yang menang sendiri kita perlu musyawarah.

Dalam usaha memperbaiki masyarakat Nabi dan Rasul menitikberatkan pada perbaikan budi pekerti. Bila seua budi pekerti baik , tidak petlu ada aturan yang menyikapi, karena ada hawa nafsu maka diperlukan peraturan dan pemerintah agar masyarakat tertib, aman sentosa dan sejahtera. Pedoman apa saja yang diajarkan para Nabi, ada empat perkara pokok.  

  1. Ajaran iman atau kepercayaan pada Allah dan perkara gaib. Dari iman timbul watak dan budi pekerti yang baik yang akan mematahkan nafsu jahat.
  2. Ajaran beribadah, berhikmat dan berbakti pada Allah, ajaran ibadah ini baru terasa manfaatnya apabila seseorang telah melakukannya sendiri. Ajaran ini pertama hanya diterangkan / diajarkan tapi baru bermanfaat setelah diimpelementasikan, kedua ajaran tersebut merupakan kewajiban manusia kepada Tuhannya
  3. Ajaran beramal sholeh / berbuat kebaikan, manusia mau berbuat baik kepada orang tua, anak, tetangga, tamu, handai taulan dan golongan lain dalam msyarakat
  4. Ajaran berjihad di jalan Allah, sukarela berjuang tanpa pamrih untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. 
Keempat perkara ini merupakan ringkasan islah yang diajarkan para Nabi untuk memperbaiki, menyusun masyarakat serta Negara. Dalam 350 tahun penjajahan, membuat bangsa terpecah belah, agama seharusnya menjadi tali pengikat yang kuat adalah petunjuk Tuhan menuju kebahagiaan di dunia dan akherat. Bukan Cuma perkara agama yang menimbulkan perselisihan, perkara bentuk Negara republic, monarki, serikat atau kesatuan dapat menimbulkan perselisihan. Permusyawaratan harus didasarkan kesucian dan kejujuran, tidak boleh berdasarkan perorangan, golongan, menang sendiri karena akan menimbulkan perpecahan, sampai saat ini bekas politik penjajahan masih ada.

Jika saudara menghendaki Negara Indonesia dengan rakyat kuat, maka dirikanlah Negara ini diatas petunjuk al Quran dan hadits. Bila menginginkan ekonomi kuat, dirikanlah Negara ini diatas perintah Allah sesuai surat an Nahl 14. Bila menginginkan Negara kuat daam pertahanan dan keamanan bangunlah Negara atas firman Allah sesuai surat Anfal 62 dan surat as Shaf 2,3,4, 10-13). Bila menginginkan pemerintahan yang adil dan bijaksana bersendi permusyawaratan tidak memaksa tentang agama, dirikan Negara ini diatas Islam sesuai surat an Nisa 5, surat Al Imron 159, surat As Syuro 38 dan Al baqarah 256)

Dalam al Quran berisi lebih dari 6000 ayat dan hanya ada 600 ayat yang mengatur ibadah dan akhirat, sisanya mengenai tata negara dan wawasan keduniaan. Sudah 1400 tahun yang lalu hukum Islam diberlakukan di banyak Negara. Sudah banyak hukum Islam menjadi adat istiadat masyarakat. Sebagian besar pahlawan yang menentang penjajahan berdasarkan perjuangannya pada Islam. Mudah-mudahan Negara Indonesia baru nanti berdasarkan Islam dan menjadi Negara yang tegak, teguh, kat dan kokoh.

Sambutan Rakyat Di Berbagai Daerah Tentang Proklamasi


Rakyat di daerah-daerah mulanya tidak percaya bahwa Indonesia telah merdeka. Namun, setelah yakin akan kebenaran berita itu, luapan kegembiraan muncul di mana-mana. Di Jawa Tengah berita Proklamasi diterima melalui radio Domei Sementara. Oleh Syarief Sulaiman dan M.S. Mintarjo berita tersebut dibawa ke gedung Hokokai yang saat itu sedang dilaksanakan sidang di bawah pimpinan Mr. Wongso Negoro. Setelah copy teks Proklamasi dibacakan, para peserta sidang bertepuk tangan penuh gembira, kemudian secara serentak mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Berita Proklamasi kemudian disiarkan lewat radio Semarang. Masyarakat Jawa Tengah dengan cepat dapat menerima berita tersebut. Kemudian, pada tanggal 19 Agustus 1945, diadakan rapat raksasa untuk menguatkan pengumuman pengambilan kekuasaan di Semarang. Setelah itu, di daerah Brebes, Pekalongan, dan Tegal terjadi pemberontakan. Rakyat di tiga daerah tersebut menyerang para pamong praja dan pegawai pemerintah yang dianggap sebagai penyebab kesengsaraan rakyat.

Di daerah-daerah luar Jawa berita Proklamasi terlambat diterima oleh rakyat. Hal ini disebabkan karena sarana komunikasi yang cukup sulit. Di Medan, berita Proklamasi dibawa oleh Teuku Moh. Hasan yang diangkat sebagai gubernur daerah Sumatera. Mendengar berita ini, kemudian dipelopori oleh Achmad Tahir dibentuk Barisan Pemuda Indonesia. Pada tanggal 4 Oktober, mereka berusaha mengambil alih gedung-gedung pemerintahan dan merebut senjata dari tangan Jepang.

Di daerah-daerah lain pun melakukan penyambutan yang tidak jauh berbeda, yakni sebagai berikut:
a. Mula-mula rakyat tidak percaya terhadap adanya berita Proklamasi.
b. Luapan kegembiraan rakyat menyambut kemerdekaan Indonesia.
c. Mengadakan rapat-rapat raksasa.
d. Para pemuda membentuk angkatan muda Indonesia.
e. Upaya pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang.
f. Upaya merebut gedung-gedung dan kantor pemerintahan.
g. Merebut persenjataan dari tangan Jepang.
h. Tekad untuk tetap mempertahankan kemerdekaan.

Sambutan Proklamasi Di Ibu Kota Negara


Dalam waktu singkat, berita proklamasi kemerdekaan Indonesia menyebar ke seluruh Indonesia, bahkan ke seluruh dunia. Seluruh rakyat Indonesia menyambut berita itu penuh haru. Pekik merdeka bergema di mana-mana. Dua hari setelah peristiwa bersejarah itu, pada tangga 19 September rakyat Jakarta segera mengadakan rapat raksasa di Lapangan Ikatan Atletik Jakarta (IKADA). Rakyat berdatangan membanjiri lapangan. Mereka membawa panji-panji merah putih dan spanduk yang bertulisan tekad mereka untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Padahal sebelumnya, pemerintah Jepang telah melarang penyelenggaraan acara tersebut. Alasannya, mereka merasa bertanggung jawab masalah keamanan di Indonesia sebelum dilaksanakan penyerahan terhadap Sekutu. Tentara Jepang melakukan penjagaan yang sangat ketat di lapangan IKADA. Namun demikian, masyarakat Jakarta tetap berduyun-duyun memenuhi lapangan.

 

Presiden Soekarno beserta rombongan memasuki lapangan. Presiden melakukan pidato dan bendera Merah Putih pun dikibarkan. Untuk menghindari insiden denga tentara Jepang, Bung Karno hanya menyampaikan sedikit pesan kepada rakyat agar tetap percaya kepada pimpinan. Setelah itu, masyarakat kembali ke tempat mereka masing-masing dengan tertib dan tenang.

Fakta-fakta Sejarah Dimasa Kemerdekaan.

Saya terharu ketika membaca artikel ini dan sudah sepantasnya artikel ini perlu direpublikasi agar menjadi pengetahuan bersama betapa berat perjuangan para pahlawan kita. Semoga saja generasi muda sekarang bisa mendapatkan nilai-nilai nasionalisme dan kepahlawan dari Fakta-fakta sejarah dimasa kemerdekaan ini.

Menjelang Kemerdekaan


Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota HiroshimaJepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai”, berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut jugaDokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningratsebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 14 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.

Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.

Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan ‘hadiah’ dari Jepang (sic).

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara danAngkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.

Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.

Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu,Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.

Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.

Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana –yang konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka –yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu – buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.

  

Perjuangan Menjelang Kemerdekaan

Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Maeda Tadashi dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokio bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi ijin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu.

Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.

Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda(kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power”. Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.

Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56(sekarang Jl. Proklamasi no. 1).

 

Fakta Detik-detik Proklamasi

Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 – 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lainSoewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti.

Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan olehSoewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.

Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.

Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.

Hari Jumat di bulan Ramadhan, pukul 05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur. Embun pagi masih menggelantung di tepian daun. Para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta sempat berpesan kepada para pemuda yang bekerja pada pers dan kantor-kantor berita, untuk memperbanyak naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia ( Hatta, 1970:53 ).

Menjelang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk. Wakil Walikota, Soewirjo, memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon dan beberapa pengeras suara. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk mempersiapkan satu tiang bendera. Karena situasi yang tegang, Suhud tidak ingat bahwa di depan rumah Soekarno itu, masih ada dua tiang bendera dari besi yang tidak digunakan. Malahan ia mencari sebatang bambu yang berada di belakang rumah. Bambu itu dibersihkan dan diberi tali. Lalu ditanam beberapa langkah saja dari teras rumah. Bendera yang dijahit dengan tangan oleh Nyonya Fatmawati Soekarno sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak standar, karena kainnya berukuran tidak sempurna. Memang, kain itu awalnya tidak disiapkan untuk bendera.

Sementara itu, rakyat yang telah mengetahui akan dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan telah berkumpul. Rumah Soekarno telah dipadati oleh sejumlah massa pemuda dan rakyat yang berbaris teratur. Beberapa orang tampak gelisah, khawatir akan adanya pengacauan dari pihak Jepang. Matahari semakin tinggi, Proklamasi belum juga dimulai. Waktu itu Soekarno terserang sakit, malamnya panas dingin terus menerus dan baru tidur setelah selesai merumuskan teks Proklamasi. Para undangan telah banyak berdatangan, rakyat yang telah menunggu sejak pagi, mulai tidak sabar lagi. Mereka yang diliputi suasana tegang berkeinginan keras agar Proklamasi segera dilakukan. Para pemuda yang tidak sabar, mulai mendesak Bung Karno untuk segera membacakan teks Proklamasi. Namun, Bung Karno tidak mau membacakan teks Proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta. Lima menit sebelum acara dimulai, Mohammad Hatta datang dengan pakaian putih-putih dan langsung menuju kamar Soekarno. Sambil menyambut kedatangan Mohammad Hatta, Bung Karno bangkit dari tempat tidurnya, lalu berpakaian. Ia juga mengenakan stelan putih-putih. Kemudian keduanya menuju tempat upacara.

Marwati Djoened Poesponegoro ( 1984:92-94 ) melukiskan upacara pembacaan teks Proklamasi itu. Upacara itu berlangsung sederhana saja. Tanpa protokol. Latief Hendraningrat, salah seorang anggota PETA, segera memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda yang telah menunggu sejak pagi untuk berdiri. Serentak semua berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief kemudian mempersilahkan Soekarno dan Mohammad Hatta maju beberapa langkah mendekati mikrofon. Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno mengucapkan pidato pendahuluan singkat sebelum membacakan teks proklamasi.

"Saudara-saudara sekalian ! saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia , permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.

Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami:

PROKLAMASI

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia . Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta , 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta.

Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka. Negara Republik Indonesia merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu". ( Koesnodiprojo, 1951 ).

Acara, dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak tangga terakhir dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang. Ketika S. K. Trimurti diminta maju untuk mengibarkan bendera, dia menolak: ” lebih baik seorang prajurit ,” katanya. Tanpa ada yang menyuruh, Latief Hendraningrat yang berseragam PETA berwarna hijau dekil maju ke dekat tiang bendera. S. Suhud mengambil bendera dari atas baki yang telah disediakan dan mengikatnya pada tali dibantu oleh Latief Hendraningrat.

Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bendera dikerek dengan lambat sekali, untuk menyesuaikan dengan irama lagu Indonesia Raya yang cukup panjang. Seusai pengibaran bendera, dilanjutkan dengan pidato sambutan dari Walikota Soewirjo dan dr. Muwardi.

Bendera Pusaka Sang Merah Putih adalah bendera resmi pertama bagi RI. Tetapi dari apakah bendera sakral itu dibuat? Warna putihnya dari kain sprei tempat tidur dan warna merahnya dari kain tukang soto!

Setelah upacara pembacaan Proklamasi Kemerdekaan, Lasmidjah Hardi ( 1984:77 ) mengemukakan bahwa ada sepasukan barisan pelopor yang berjumlah kurang lebih 100 orang di bawah pimpinan S. Brata, memasuki halaman rumah Soekarno. Mereka datang terlambat. Dengan suara lantang penuh kecewa S. Brata meminta agar Bung Karno membacakan Proklamasi sekali lagi. Mendengar teriakan itu Bung Karno tidak sampai hati, ia keluar dari kamarnya. Di depan corong mikrofon ia menjelaskan bahwa Proklamasi hanya diucapkan satu kali dan berlaku untuk selama-lamanya. Mendengar keterangan itu Brata belum merasa puas, ia meminta agar Bung Karno memberi amanat singkat. Kali ini permintaannya dipenuhi. Selesai upacara itu rakyat masih belum mau beranjak, beberapa anggota Barisan Pelopormasih duduk-duduk bergerombol di depan kamar Bung Karno.

Tidak lama setelah Bung Hatta pulang, menurut Lasmidjah Hardi (1984:79) datang tiga orang pembesar Jepang. Mereka diperintahkan menunggu di ruang belakang, tanpa diberi kursi. Sudiro sudah dapat menerka, untuk apa mereka datang. Para anggota Barisan Pelopor mulai mengepungnya. Bung Karno sudah memakai piyama ketika Sudiro masuk, sehingga terpaksa berpakaian lagi. Kemudian terjadi dialog antara utusan Jepang dengan Bung Karno: ” Kami diutus oleh Gunseikan Kakka, datang kemari untuk melarang Soekarno mengucapkan Proklamasi .” ” Proklamasi sudah saya ucapkan,” jawab Bung Karno dengan tenang. ” Sudahkah ?” tanya utusan Jepang itu keheranan. ” Ya, sudah !” jawab Bung Karno. Di sekeliling utusan Jepang itu, mata para pemuda melotot dan tangan mereka sudah diletakkan di atas golok masing-masing. Melihat kondisi seperti itu, orang-orang Jepang itu pun segera pamit. Sementara itu, Latief Hendraningrat tercenung memikirkan kelalaiannya. Karena dicekam suasana tegang, ia lupa menelpon Soetarto dari PFN untuk mendokumentasikan peristiwa itu. Untung ada Frans Mendur dari IPPHOS yang plat filmnya tinggal tiga lembar ( saat itu belum ada rol film ). Sehingga dari seluruh peristiwa bersejarah itu, dokumentasinya hanya ada 3 ( tiga ) ; yakni sewaktu Bung Karno membacakan teks Proklamasi, pada saat pengibaran bendera, dan sebagian foto hadirin yang menyaksikan peristiwa yang sangat bersejarah.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.

Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.

Banyak orang yang paling tidak saya berpikir bahwa suara Bung Karno membacakan proklamasi itu mengudara juga di radio pada hari yang sama saat Indonesia merdeka. Ternyata bukan begitu ceritanya. Jumat, 17 Agustus 1945, sekitar jam 17:30 WIB. Saat itu Pak Jusuf sedang berada di kantornya, Hoso Kyoku (Radio Militer Jepang di Jakarta). Tiba-tiba muncullah Syahruddin, seorang pewarta dari kantor berita Jepang Domei dengan tergesa-gesa. (Catatan: Pak Jusuf sempat meralat kebenaran berita bahwa yang datang itu adalah sejarawan Des Alwi). Syahruddin yang masuk ke kantor Hoso Kyoku dengan melompati pagar itu menyerahkan selembar kertas dari Adam Malik yang isinya "Harap berita terlampir disiarkan”. Berita yang dimaksud adalah Naskah Proklamasi yang telah dibacakan Bung Karno jam 10 pagi.

Masalahnya, semua studio radio Hoso Kyoku sudah di jaga ketat sejak beberapa hari sebelumnya, tepatnya sehari setelah Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh Amerika. Jusuf kemudian berunding dengan rekan-rekannya, diantaranya Bachtiar Lubis (kakak dari Sastrawan dan tokoh pers Indonesia Mochtar Lubis) dan Joe Saragih, seorang teknisi radio. Beruntung, studio siaran luar negeri tidak dijaga. Saat itu juga dengan bantuan Joe, kabel di studio siaran dalam negeri di lepas dan disambungkan ke studio siaran luar negeri. Tepat pukul 19:00 WIB selama kurang lebh 15 menit Jusuf pun membacakan kabar tentang proklamasi di udara, sementara di studio siaran dalam negeri tetap berlangsung siaran seperti biasa untuk mengecoh perhatian tentang Jepang. Belakangan tentara Jepang mengetahui akal bulus Jusuf dan kawan-kawannya. Mereka pun sempat disiksa. Beruntung mereka selamat. Malam itu pun radio Hoso Kyoku resmi dinyatakan bubar, tetapi dunia saat itu juga sudah mengetahui kabar tentang proklamasi langsung dari mulut Jusuf Ronodipuro. Sayang rekaman suara ini tidak diketahui lagi keberadaannya, atau jangan-jangan sudah tidak ada mengingat malam itu juga radio tersebut ditutup oleh Jepang.

Momentum perayaan Hari Kemerdekaan pada tahun ini ternyata istimewa. Itu karena detik-detik proklamasi pada tahun 1945 juga bertepatan dengan bulan Ramadan.

Pada 17 Agustus 1945 pukul 08.00, ternyata Bung Karno masih tidur nyenyak di kamarnya, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini. Dia terkena gejala malaria tertiana. Suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun konsep naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Pating greges, keluh Bung Karno setelah dibangunkan de Soeharto, dokter kesayangannya.

Kemudian darahnya dialiri chinineurethan intramusculair dan menenggak pil brom chinine. Lalu ia tidur lagi. Pukul 09.00, Bung Karno terbangun. Berpakaian rapi putih-putih dan menemui sahabatnya, Bung Hatta. Tepat pukul 10.00, keduanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari serambi rumah. "Demikianlah Saudara-saudara! Kita sekalian telah merdeka!”, ujar Bung Karno di hadapan segelintir patriot-patriot sejati. Mereka lalu menyanyikan lagu kebangsaan sambil mengibarkan bendera pusaka Merah Putih. Setelah upacara yang singkat itu, Bung Karno kembali ke kamar tidurnya. masih meriang.

Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ternyata berlangsung tanpa protokol, tak ada korps musik, tak ada konduktor dan tak ada pancaragam. Tiang bendera pun dibuat dari batang bambu secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara. Tetapi itulah, kenyataan yang yang terjadi pada sebuah upacara sakral yang dinanti-nantikan selama lebih dari tiga ratus tahun!
Reff : kaskus