aguspurnomosite.blogspot.com

aguspurnomosite.blogspot.com
Berpikir Luas Membuka Cakrawala Kehidupan! Berusaha Memberikan Yang Terbaik Untuk Masa Depan! Katakan "Go Go Go SEMANGAT" !!!

Jumat, 16 Agustus 2013

Misteri Keampuhan Pedang Damaskus

Pada Oktober 1192. Richard yang Berhati Singa, raja Inggris yang memimpin tentara Kristen dalam Perang Salib III, bertemu dengan musuh bebuyutannya, pemimpin muslim Salahuddin al-Ayyubi. Kedua pemimpin ini saling menghormati. Kedua pemimpin yang kemudian menjadi legenda itu, demikian Sir Walter Scott mendramatisasi dalam novel The Talisman, memamerkan senjata masing-masing.

Richard mengeluarkan pedang lebar mengkilap buatan empu terbaik daratan Britania. Salahuddin menghunus pedang kesayangannya. Pedang lengkung buatan empu di Damaskus yang tidak mengkilap. “Alih-alih, warnanya biru pudar, dicercahi 10 juta garis,” tulis Sir Scott. Mungkin pedang itu mirip garis-garis pamor keris buatan empu terbaik di Jawa.

Novel Sir Scott yang terbit dua abad silam itu memastikan keampuhan pedang Damaskus, salah satunya dipegang Salahuddin, menjadi abadi. Pedang itu sangat tajam. Saputangan sutra yang paling halus pun bisa terbelah dua jika jatuh melayang di atas mata pedang. Selain itu, senjata yang dikenal sebagai pedang Damaskus itu sanggup membelah pedang musuh atau batu cadas paling keras tanpa berkurang ketajamannya.

Sayang, teknik membuat pedang Damaskus yang muncul pada abad ke-8 sudah punah. Tak ada satu empu pun yang bisa membuatnya dalam dua abad terakhir. Para ahli metalurgi bertanya-tanya bagaimana para empu di Damaskus bisa membuat pedang sekuat dan setajam itu. Soal struktur logam di dalamnya juga menjadi pertanyaan besar.

Baru pada zaman sekarang jawabannya ditemukan di Jerman. Para empu di Damaskus itu, secara tidak sadar, menerapkan teknologi nano saat membuat pedang untuk Salahuddin. Untuk mengingatkan, nanotube itu bahan yang 100 kali lebih kuat daripada baja. Tidak aneh jika pedang Damaskus begitu kuat.

Peter Paufler, crystallographer di Universitas Teknik Dresden, Jerman, menemukan kawat nano dan nanotube saat meneliti pedang Damaskus yang berusia empat abad dengan mikroskop elektron. “Ini temuan nanotube pertama di baja,” kata Paufler.

Serat nanotube itu menjelujur di seluruh badan pedang yang terbuat dari baja. Akibatnya, baja itu seperti mendapat tulang tambahan yang 100 kali lebih kuat. “Ini prinsip umum alam,” kata Paufler. “Zat yang lebih lunak bisa diperkuat dengan menambah kawat yang kuat.”

Ada kritik bahwa mikroskop elektron itu terkontaminasi nanotube dari tempat lain, seperti yang dikutip Alex Zettl, ahli fisika dari University of California, Berkeley. Tapi Paufler, setelah mengakui kemungkinan itu, mengatakan ia sudah menguji dengan berbagai peralatan berbeda. Hasilnya tetap sama: ada partikel nano.

Para empu di Damaskus membuat pedang dengan bahan baku baja lantakan yang diimpor dari India. Baja mentah ini, di India disebut ukku dan di Barat dipanggil wootz, kualitasnya sangat bagus dan karbonnya mencapai 1,5 persen atau sekitar 15 kali lipat dibanding baja tempat lain.

Karbon ini biasanya dianggap kunci membuat pedang yang bagus. Tapi campurannya harus pas, terlalu banyak membuat baja menjadi getas, terlalu sedikit membuat baja tidak bisa tajam. Jika prosesnya tidak sempurna, bisa muncul cementite, fase besi yang sangat rapuh meski keras.

Paufler menduga nanotube itu muncul saat baja lantakan India dibakar. Karbon dari kayu dan dedaunan untuk membakar membentuk menjadi nanotube, terutama dari batang Cassia auriculata dan daun Calotropis gigantea. Selain itu, pedang Damaskus memiliki unsur vanadium, kromium, mangan, timah, nikel, dan beberapa unsur lain yang terlacak sampai ke tambang-tambang di India. Lewat proses bakar dan tempa, nanotube itu belakangan terisi cementite, zat dari besi yang sangat kuat.

Teknik membuat pedang Damaskus mirip dengan keris di Jawa, katana di Jepang, atau pedang Viking di Eropa Utara. Berbagai jenis lempeng besi dan logam disatukan menjadi batangan. Setelah dibakar dan ditempa, logam baru itu akan menyatu. Proses ini diulangi setelah menekuk logam hasil tempaan dan diulangi terus-menerus.

Pukulan palu berulang-ulang membuat serat-serat kawat nano itu mengarah ke luar pedang. Mungkin juga membuat partikel cementite yang lebih besar tersusun berlapis-lapis dengan baja yang lebih lunak tapi lentur.

Saat pedang sudah berbentuk dan tinggal mempertajam, Paufler menduga para empu Damaskus itu merendamnya dengan air keras. Air keras itu tidak hanya menciptakan alur logam di badan pedang, tapi juga mempertajam.

Nah, menurut dugaan Paufler, air keras itu memang melumerkan logam. Tapi nanotube dari karbon dan cementite di dalamnya tetap bertahan sehingga membuat mereka seperti mata gergaji yang sangat lembut. Pedang pun menjadi sangat tajam dengan kekuatan 100 kali baja, persis seperti yang dipegang Salahuddin al-Ayyubi.
Reff

Kesahajaan Sang Khalifah

Ini adalah sebuah penggalanisi buku Al Bidayah wan Nihayah Masa Khulafaur Rasyidin, yang akan menukilkan beberapa kisah, perkataan dan tindak-tanduk Umar bin Khaththab sebagai seorang khalifah atau Amirul Mukminin (pemimpin umat Islam) ketika itu yang penuh hikmah. Tulisan ini sangat menggugah perasan yang membaca, tentang bagaimana seorang pemimpin yang sangat takut pada Allah, hidup sangat bersahaja, berhati lembut terhadap umatnya,dan memegang teguh amanah kepemimpinannya dengan sangat luar biasa.

Umar pernah berkata, Tidak halal bagiku harta yang diberikan Allah kecuali dua pakaian. Satu untuk dikenakan di musim dingin dan satu lagi digunakan untuk musim panas. Adapun makanan untuk keluargaku sama saja dengan makanan orang-orang Quraisy pada umumnya, bukan standar yang paling kaya di antara mereka. Aku sendiri hanyalah salah seorang dari kaum muslimin.

Jika menugaskan para gubernurnya, Umar akan menulis perjanjian yang disaksikan oleh kaum Muhajirin. Umar mensyaratkan kepada mereka agar tidak menaiki kereta kuda, tidak memakan makanan yang enak-enak, tidak berpakaian yang halus, dan tidak menutup pintu rumahnya kepada rakyat yang membutuhkan bantuan. Jika mereka melanggar pesan ini maka akan mendapatkan hukuman.

Jika seseorang berbicara kepadanya menyampaikan berita, dan ia berbohong dalam sepatah atau dua patah kalimat, maka Umar akan segera menegurnya dan berkata, Tutup mulutmu, tutup mulutmu! Maka lelaki yang berbicara kepadanya berkata, Demi Allah sesungguhnya berita yang aku sampaikan kepadamu adalah benar kecuali apa yang engkau perintahkan aku untuk menutup mulut.

Muawiyah bin Abi Sufyan berkata, Adapun Abu Bakar, ia tidak sedikitpun menginginkan dunia dan dunia juga tidak datang menghampirinya. Sedangkan Umar, dunia datang menghampirinya namun dia tidak menginginkannya, adapun kita bergelimang dalam kenikmatan dunia.

Pernah Umar dicela dan dikatakan kepadanya, Alangkah baik jika engkau memakan makanan yang bergizi tentu akan membantu dirimu supaya lebih kuat membela kebenaran. Maka Umar berkata, Sesungguhnya aku telah ditinggalkan kedua sahabatku (yakni Rasulullah dan Abu Bakar) dalam keadaan tegar (tidak terpengaruh dengan dunia), maka jika aku tidak mengikuti ketegaran mereka, aku takut tidak akan dapat mengejar kedudukan mereka.

Beliau selalu memakai jubah yang terbuat dari kulit yang banyak tambalannya, sementara beliau adalah khalifah, berjalan mengelilingi pasar sambil membawa tongkat di atas pundaknya untuk memukul orang-orang yang melanggar peraturan. Jika beliau melewati biji ataupun lainnya yang bermanfaat, maka beliau akan mengambilnya dan melemparkannya ke halaman rumah orang.

Anas berkata, Antara dua bahu dari baju Umar, terdapat empat tambalan, dan kainnya ditambal dengan kulit. Pernah beliau khutbah di atas mimbar mengenakan kain yang memiliki 12 tambalan. Ketika melaksanakan ibadah haji beliau hanya menggunakan 16 dinar, sementara beliau berkata pada anaknya, Kita terlalu boros dan berlebihan.

Beliau tidak pernah bernaung di bawah sesuatu, tetapi beliau akan meletakkan kainnya di atas pohon kemudian bernaung di bawahnya. Beliau tidak memiliki kemah ataupun tenda.

Ketika memasuki negeri Syam saat penaklukan Baitul Maqdis beliau mengendarai seekor unta yang telah tua. Kepala beliau yang botak bersinar terkena matahari. Waktu itu beliau tidak mengenakan topi ataupun surban. Kaki beliau menjulur ke bawah kendaraan tanpa pelana. Beliau membawa satu kantong yang terbuat dari kulit yang digunakan sebagai alas untuk tidur jika beliau berhenti turun.

Ketika singgah di Baitul Maqdis beliau segera memanggil pemimpin wilayah itu dan berkata, Panggil kemari pimpinan wilayah ini. Orang-orang segera memanggilnya, ketika hadir Umar berkata padanya, Tolong cucikan bajuku ini sekaligus jahitkan dan pinjami aku baju. Maka dibawakan kepada beliau baju yang terbuat dari katun. Beliau bertanya, Apa ini? Dikatakan kepadanya bahwa baju ini terbuat dari katun. Beliau bertanya kepada mereka, Apa itu katun? Mereka memberitahukan kepadanya apa itu katun. Umar segera melepas bajunya lalu mencuci kemudian menjahitnya sendiri.

Diriwayatkan dari Anas ia berkata, Aku pernah bersama Umar, kemudian beliau masuk ke kebun untuk buang hajat, sementara jarak antara diriku dan dirinya hanyalah pagar kebun, aku dengar ia berkata pada dirinya sendiri, Hai Umar bin al-Khaththab, engkau adalah Amirul Mukminin, ya … engkau adalah Amirul mukminin! Demi Allah takutlah engkau kepada Allah hai Ibn al-Khaththab, jika tidak Allah pasti akan mengazabmu.

Disebutkan bahwasanya Umar pernah membawa tempat air di atas pundaknya. Sebagian orang mengkritiknya, namun beliau berkata, Aku terlalu kagum terhadap diriku sendiri oleh karena itu aku ingin menghinakannya. Pernah beliau melaksanakan shalat Isya bersama kaum muslimin, setelah itu beliau segera masuk ke rumah dan masih terus mengerjakan shalat hingga fajar tiba.

Pada tahun paceklik dan kelaparan, beliau tidak pernah makan kecuali roti dan minyak hingga kulit beliau berubah menjadi hitam, beliau berkata, Akulah sejelek-jelek penguasa apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan.

Pada wajah beliau terdapat dua garis hitam disebabkan banyak menangis. Terkadang beliau mendengar ayat Allah dan jatuh pingsan karena perasaan takut, hingga terpaksa dibopong ke rumah dalam keadaan pingsan. Kemudian kaum muslimin menjenguk beliau beberapa hari, padahal beliau tidak memiliki penyakit yang membuat beliau pingsan kecuali perasaan takutnya.

Thalhah bin Ubaidillah berkata, Suatu ketika Umar keluar dalam kegelapan malam dan masuk ke salah satu rumah, maka pada pagi hari aku mencari rumah tersebut dan aku datangi, ternyata dalam rumah itu terdapat seorang perempuan tua yang buta sedang duduk. Aku tanyakan kepadanya, Mengapa lelaki ini (Umar) datang ke rumahmu? Wanita itu menjawab, Ia selalu mengunjungiku setiap beberapa hari sekali untuk membantuku membersihkan dan mengurus segala keperluanku. Aku berkata kepada diriku, Celakalah dirimu wahai Thalhah, kenapa engkau memata-matai Umar?

Aslam Maula Umar, pengawal Umar, berkata, Pernah datang ke Madinah satu rombongan saudagar, mereka segera turun di mushallah, maka Umar berkata kepada Abdurrahman bin Auf, Bagaimana jika malam ini kita menjaga mereka? Abdurrahman berkata, Ya, aku setuju! Maka keduanya menjaga para saudagar tersebut sepanjang malam sambil shalat. Namun tiba-tiba Umar mendengar suara anak kecil menangis, segera Umar menuju tempat anak itu dan bertanya kepada ibunya, Takutlah engkau kepada Allah dan berbuat baiklah dalam merawat anakmu. Kemudian Umar kembali ke tempatnya. Kemudian ia mendengar lagi suara bayi itu dan ia mendatangi tempat itu kembali dan bertanya kepada ibunya seperti pertanyaan beliau tadi.

Setelah itu Umar kembali ke tempatnya semula. Di akhir malam dia mendengar bayi tersebut menangis lagi. Umar segera mendatangi bayi itu dan berkata kepada ibunya, Celakalah engkau, sesungguhnya engkau adalah ibu yang buruk, kenapa aku mendengar anakmu menangis sepanjang malam? Wanita yang tidak mengenali Umar itu menjawab, Hai tuan, sesungguhnya aku berusaha menyapihnya dan memalingkan perhatiannya untuk menyusu tetapi dia masih tetap ingin menyusu. Umar bertanya, Kenapa engkau akan menyapihnya? Wanita itu menjawab, Karena Umar hanya memberikan jatah makan terhadap anak-anak yang telah disapih saja. Umar bertanya kepadanya, Berapa usia anakmu? Dia menjawab baru beberapa bulan saja. Maka Umar berkata, Celakalah engkau kenapa terlalu cepat engkau menyapihnya? Maka ketika shalat subuh bacaan Umar nyaris tidak terdengar jelas oleh para makmum disebabkan tangisnya.

Beliau lalu berkata, Celakalah engkau hai Umar berapa banyak anak-anak bayi kaum muslimin yang telah engkau bunuh. Setelah itu ia menyuruh salah seorang pegawainya untuk mengumumkan kepada seluruh orang, Janganlah kalian terlalu cepat menyapih anak-anak kalian, sebab kami akan memberikan jatah bagi setiap anak yang lahir dalam Islam. Umar segera menyebarkan berita ini ke seluruh daerah kekuasaannya.

Aslam berkata, Pernah suatu malam aku keluar bersama Umar ke luar kota Madinah. Kami melihat ada sebuah tenda dari kulit, dan segera kami datangi, ternyata di dalamnya ada seorang wanita sedang menangis. Umar bertanya tentang keadaannya, dan dia menjawab, Aku adalah seorang wanita Arab yang akan bersalin (melahirkan) sedangkan aku tidak memiliki apapun. Umar menangis dan segera berlari menuju rumah Ummu Kaltsum binti Ali bin Abi Thalib, istrinya, dan berkata, Apakah engkau mau mendapatkan pahala yang akan Allah karuniakan kepadamu? Segera Umar memberitakan padanya mengenai wanita yang dilihatnya tadi, maka istrinya berkata, Ya, aku akan membantunya. Umar segera membawa satu karung gandum beserta daging di atas bahunya, sementara Ummu Kaltsum membawa peralatan yang dibutuhkan untuk bersalin, keduanya berjalan mendatangi wanita tersebut. Sesampainya di sana Ummu Kaltsum segera masuk ke tempat wanita itu, sementara Umar duduk bersama suaminya, yang tidak mengenal Umar, sambil berbincang-bincang.

Akhirnya wanita itu berhasil melahirkan seorang bayi. Ummu Kaltsum berkata kepada Umar, Wahai Amirul Mukminin sampaikan berita gembira kepada suaminya bahwa anaknya yang baru lahir adalah lelaki. Ketika lelaki itu mendengar perkataan Amirul Mukminin ia merasa sangat kaget dan minta maaf kepada Umar. Namun Umar berkata kepadanya, Tidak mengapa. Setelah itu Umar memberikan kepada mereka nafkah dan apa yang mereka butuhkan lantas beliaupun pulang.

Aslam berkata, Suatu malam aku keluar bersama Umar bin al-Khaththab ke dusun Waqim. Ketika kami sampai di Shirar, kami melihat ada api yang dinyalakan. Umar berkata, Wahai Aslam di sana ada musafir yang kemalaman, mari kita berangkat menuju mereka. Kami segera mendatangi mereka dan ternyata di sana ada seorang wanita bersama anak-anaknya sedang menunggu periuk yang diletakkan ke atas api, sementara anak-anaknya sedang menangis. Umar bertanya, Assalamu alaiki wahai pemilik api. Wanita itu menjawab, Wa alaika as-Salam, Umar berkata, Kami boleh mendekat? Dia menjawab, Silahkan! Umar segera mendekat dan bertanya, Ada apa gerangan dengan kalian? Wanita itu yang juga tak mengenali Umar menjawab, Kami kemalaman dalam perjalanan serta kedinginan. Umar kembali bertanya, Kenapa anak-anak itu menangis? Wanita itu menjawab, Karena lapar. Umar kembali bertanya, Apa yang engkau masak di atas api itu? Dia menjawab, Air agar aku dapat menenangkan mereka hingga tertidur. Dan Allah kelak yang akan jadi hakim antara kami dengan Umar.

Maka Umar menangis dan segera berlari pulang menuju gudang tempat penyimpanan gandum. Ia segera mengeluarkan sekarung gandum dan satu ember daging, sambil berkata, Wahai Aslam naikkan karung ini ke atas pundakku. Aslam berkata, Biar aku saja yang membawanya untukmu. Umar menjawab apakah engkau mau memikul dosaku kelak di hari kiamat? Maka beliau segera memikul karung tersebut di atas pundaknya hingga mendatangi tempat wanita itu. Setelah meletakkan karung tersebut beliau segera mengeluarkan gandum dari dalamnya dan memasukkannya ke dalam periuk. Setelah itu ia memasukkan daging ke dalamnya. Umar berusaha meniup api di bawah periuk hingga asap menyebar di antara jenggotnya untuk beberapa saat. Setelah itu Umar menurunkan periuk dari atas api dan berkata, Berikan aku piring kalian! Setelah piring diletakkan segera Umar menuangkan isi periuk ke dalam piring itu dan menghidangkannya kepada anak-anak wanita itu dan berkata, Makanlah! Maka anak-anak itu makan hingga kenyang, wanita itu berdoa untuk Umar agar diberi ganjaran pahala sementara dia sendiri tidak mengenal Umar.

Umar masih bersama mereka hingga anak-anak itu tertidur pulas. Setelah itu Umar memberikan kepada mereka nafkah lantas pulang. Umar berkata kepadaku, Wahai Aslam sesungguhnya rasa laparlah yang membuat mereka begadang dan tidak dapat tidur.

Semoga sepenggal kisah yang penuh hikmah kehidupan Umar bin Khattab sewaktu menjadi khalifah ini bermanfaat.

Para Syuhada Uhud

Para syuhada Uhud adalah orang-orang dekat Rasul yang mulia. Allah telah melapangkan dada mereka untuk masuk Islam, maka mereka beriman kepada risalah beliau. Mukjizat-mukjizat beliau yang mereka lihat menambah keyakinan mereka. Maka kehidupan mereka pun berubah, mereka membentuk diri mereka menjadi pribadi-pribadi baru. Mereka tinggalkan setiap perkara yang menentang syariat Allah di atas jalan Islam yang mulia. Kesenangan mereka adalah di dalam beribadah kepada Rabb mereka dan taat kepada Rasul-Nya. Tubuh mereka seperti tubuh kita, tersusun dari bahan yang sama. Tubuh kita dan tubuh mereka menjadi tempat hidupnya makhluk-makhluk Allah yang berupa organisme mikroskopik. Namun, ruh mereka bersih dan jiwa mereka besar . Tubuh mereka bekerja keras untuk menggapainya. Hal itulah yang membuat mereka menjadi generasi istimewa. Mereka bagaikan para pendeta di waktu malam dan penunggang kuda di waktu siang. Jika ada penyeru yang memanggil untuk berjihad, mereka tinggalkan segala sesuatu dibelakang mereka untuk mentaati Allah yang menciptakan mereka, dengan penuh keyakinan bahwa pahala yang ada di sisi Allah itu lebih baik dan lebih kekal. Bahkan, diantara mereka ada yang pergi berjihad dalam keadaan junub, mereka tidak sempat mandi janabah karena kuatnya keterikatan mereka untuk segera memenuhi panggilan jihad.

Para sahabat mulia yang berlaku shiddiq kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala itu mendapatkan ujian yang baik pada perang Uhud. Mereka mengangan-ngangankan mati syahid dengan penuh kejujuran dan beramal untuk mendapatkannya, maka Allahpun memilih mereka untuk diletakkan di sisi-Nya dan mengambil mereka sebagai syuhada’ dalam keadaan maju dan tidak mundur. Mereka beruntung mendapatkan keridhaan Allah san Jannah yang luasnya seluas langit dan bumi. Merekapun juga memiliki karomah-karomah yang besar, di antara karomah itu ada yang bias diketahui oleh manusia dan ad juga karomah yang lebih besar yang tidak dapat dimengerti oleh manusia.

Jabir bin Abdullah r.a berkata, “Pada malam hari menjelang terjadinya Perang Uhud, aku dipanggil ayahku, beliau berkata, “ Aku merasa bahwa aku akan menjadi orang yang pertama kali terbunuh diantara para sahabat Nabi SAW. Dan sepeninggalanku, aku tidak meninggalkan orang yang lebih penting dari dirimu selain Rasulullah SAW. Aku memiliki hutang, maka lunasilah hutang-hutang itu. Perlakukanlah saudara-saudara perempuan dengan baik. Dan benar, pada pagi harinya beliau menjadi orang pertama yang terbunuh. Beliau dikubur bersama orang lain dalam satu liang. Namun, aku merasa tidak nyaman membiarkan beliau dikubur bersama orang lain dalam satu liang, maka enam bulan kemudian aku membongkar kuburnya, dan aku mendapati keadaan jasadnya seperti ketika dulu aku menguburkannya.” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat Ahmad disebutkan, “…Pada masa kekhilafan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, ada seseorang yang mendekatiku seraya berkata, “ Wahai Jabir, para pekerja Mu’awiyah telah membangkitkan ayahmu (menggali kuburannya), hingga terlihat sebagian jasadnya.” Maka aku segera mendatanginya dan kudapati keadaan jasad beliau sama seperti aku menguburkannya, tidak berubah sama sekali… maka aku menimbunnya kembali.” (HR. Ahmad)

Jarir bin Abdullah r.a berkata, “ Ketika ayahku terbunuh pada Perang Uhud, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Jabir, maukah aku beritahukan apa yang dikatakan Allah kepada ayahmu?” Jabir menjawab, “Iya.” Beliau bersabda, “Allah tidak mengajak bicara seseorang kecuali dari balik hijab, kecuali kepada ayahmu. Allah mengajak berbicara ayahmu dengan berhadap-hadapan, Dia berfirman, “Wahai Abdullah, berangan-anganlah, niscaya Aku penuhi.” Abdullah menjawab, “Wahai Rabbku, kembalikanlah aku ke dunia, sehingga aku terbunuh di jalanmu sekali lagi.” Allah berfirman, “Aku telah memutuskan bahwa seseorang yang telah mati tidak akan kembali ke dunia lagi.” Abdullah berkata, “Wahai Rabbku, kalu begitu kabarkanlah keadaanku kepada orang-orang yang ada di belakangku.” Maka Allah SWT menurunkan ayat,

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Rabbnya dengan mendapat rezki.”

Dalam riwayat Imam Malik dari Abdullah bin Abi Sha’sha’ah, disebutkan bahwa Amru bin Jamuh dan Abdullah bin Amru adalah dua orang dari golongan Anshar. Kuburan keduanya digali karena dilewati proyek aliran air. Mereka berdua dikuburkan dalam satu liang. Keduanya termasuk orang-orang yang mati syahid dalam Perang Uhud. Ketika kuburan mereka digali untuk dipindahkan ke tempat lain, keadaan mereka tidak berubah, seolah-olah mereka baru saja meninggal kemarin. Salah seorang dari mereka ada yang terluka, dia meletakkan tangannya pada lukanya tersebut dan dikuburkan dalam keadaan seperti itu. Ketika tangan itu ditarik dari lukanya, tangan itu kembali lagi seperti sedia kala. Padahal jarak antara Perang Uhud dan waktu penggalian kubur tersebut empat puluh enam tahun.

Al- Qurthubi menyebutkan riwayat ini dengan judul ‘Bumi tidak akan memakan jasad para syuhada’ karens mereka pada hakikatnya itu hidup. Kisah seperti itu terdapat di dalam hadis-hadis shahih tentang para syuhada’ Uhud dan selain mereka. Diriwayatkan bahwa ketika Mu’awiyah r.a ingin mengalirkan air dari mata air di kota madinah melalui kuburan para syuhada Uhud, beliau memerintahkan manusia untuk memindahkan jenazah keluarga mereka yang dikubur disana. Peristiwa ini terjadi pada masa kekhilafan beliau, yaitu lima puluh tahun setelah perang Uhud. Namun mereka mendapati keadaan jasad mereka seperti mereka ketika dikuburkan, sampai-sampai semua yang hadir melihat ketika sekop melukai kaki Sayyidus Syuhada’ Hamzah bin Abdul Muthalib, darahnya mengalir.

Penduduk Madinah telah meriwayatkan bahwa pada masa kekhilafan Al-Wahid bin Abdul Malik bin Marwan dan gubernur Madinah pada saat itu adalah Umar bin Abdul Aziz, dinding kuburan Nabi SAW runtuh, mereka melihat kaki di balik reruntuhan itu. Mereka takut, kalau-kalau itu adalah kaki Rasulullah SAW.. Sampai Salim bin Abdullah bin Umar bin Al-Khathab datang dan dia mengenali bahwa itu adalah kaki kakeknya Umar r.a. Beliau terbunuh sebagai syahid.

Pensyarah Aqidah Thahawiyah berkata, “Allah telah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para nabi… adapun para syuhada’, di antara mereka ada yang disaksikan (jasadnya masih utuh) setelah beberapa tahun dari waktu dia dikuburkan. Ada kemungkinan jasadnya akan tetap kekal di dalam tanah hingga hari kiamat. Dan mungkin juga, jasadnya akan rusak bersama berlalunya waktu yang panjang. Seolah-olah-wallahu ‘alam -, semakin sempurna kesyahidan seseorang, maka orang yang mati syahid itu lebih utama dan kekekalan jasadnya akan lebih lama.”

MENEMUKAN MAKNA KEMERDEKAAN

Gaung 17-an telah menggema di seantero tanah air, mulai dari pedalaman, pesisir, pegunungan, hingga ke dusun-dusun yang nyaris tak pernah tersentuh kemajuan. Semua anak bangsa saling berlomba merayakannya, mulai dari baca puisi, karnaval, hingga upacara-upacara. Namun, seringkali kita lupa menyentuh ruh dan maknanya. Perayaan 17-an hanya sebatas dimaknai penciptaan suasana ramai, meriah, dan gemebyar. Semangat juang yang terkandung di dalamnya nyaris terlupakan.

Sebenarnya apa makna kemerdekaan itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka artinya bebas dari penghambaan, penjajahan, dll; berdiri sendiri; tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; atau leluasa. Merdeka berarti bebas dari penjajahan, bebas dari tahanan, bebas dari kekuasaan, bebas intimidasi, bebas tekanan, dari nilai dan budaya yang mengungkung diri kita. Setiap manusia yang lahir ke dunia semuanya adalah mahluk merdeka, para bayi yang terlahir hanya terikat oleh ikatan yang Allah ridhoi (kondisi fitrah) dalam QS Al A’raaf : 172, bahwa Allah sudah mengambil perjanjian perikatan dengan manusia ketika dalam sulbi ibunya bahwa manusia hanya mau terikat dengan Allah,mengakui keberadaan Allah dan siap melaksanakan semua perintah dan larangan Allah tidak lainnya.

Dalam konteks ini semua manusia dalam keadaan fitrah, suci, bersih dari perikatan dan penajjahan apapun, namun setelah dewasa ketika mulai baligh ada manusia yang kembali fitrah dan ada juga manusia yang tidak fitrah, ia mengambil tandingan selain Allah. Ia mengikatkan diri dengan segala sesuatu selain Allah. Sedangkan manusia tidak merdeka adalah manusia yang hidupnya dikendalikan oleh dhon, akalnya sendiri, dogma, hawa nafsu, ilmu, harta dan dien selain Islam. Karena Islam adalah dien yang membebaskan manusia dari kungkungan hawa nafsu, dan dhon dan lain-lain. Jadi, kemerdekaan abadi adalah manakala kita melepaskan semua ikatan dari apapun kecuali hanya dengan Allah. Dalam QS Al Balad ayat 10-13 disebutkan bahwa Allah menunjukkan dua jalan ada benar dan salah, jalan yg benar merupakan jalan yang mendaki lg sukar, jalan yg mendaki lg sukar salah satunya adalah memerdekakan budak dari perbudakan. 


Perbudakan dalam tafsir fizhilal quran, adalah membebaskan budak dari belenggu, ikatan selain Allah . Sehingga hidup kita hanya menjadi hamba, budak Allah dalam pengabdian berupa aktivitas, loyalitas semuanya hanya untuk dan karena Allah semata bukan menjadi budaknya hawa nafsu, budak harta, dogma, doktrin yang selain dari Allah. Karena sesungguhnya jika seseorang sudah mengikatkan diri dengan segala sesuatu selain Allah maka ia tidak lagi memiliki jiwa yang merdeka, tapi jiwa terpenjara, hina tidak bebas, karena telah menjadikan dirinya budaknya syaitan laknatullah.

Kedatangan Islam ke alam dunia ini membawa pesan dan sifat kemerdekaan. Islam menyeru manusia supaya membebaskan diri dan pemikiran mereka daripada belenggu jahiliah dan kemusyrikan terhadap Allah Ta’ala, membebaskan diri daripada perhambaan dan membebaskan negara daripada cengkaman musuh. Islam dalam arti kata kesejahteraan, kedamaian dan keamanan semuanya menjurus kepada hakikat kemerdekaan. Hakikat ini dapat kita lihat semasa perkembangan awal Islam di mana Rasulullah SAW telah membawa kemakmuran kepada Madinah dan memerdekakan Mekah dari cengkaman kafir Quraisy. Begitu juga perkembangan di zaman Khulafa’ ar-Rasyidin yang banyak memerdekakan negara dari cengkaman kekufuran. Islam juga yang bersifat merdeka dalam arti kata lain bermaksud bebas daripada keruntuhan akhlak dan kemurkaan Allah. Lantaran itu, Islam telah berjaya menyelamatkan manusia dari sistem perhambaan terhadap manusia ataupun hawa nafsu yang diselaputi oleh syirik, kekufuran, kemungkaran dan kemaksiatan. 


Seorang penyair Arab yang bernama Ahmad Syauqi berkata dalam syairnya yang mempunyai makna :”Kekalnya bangsa karena mulianya akhlak, runtuhnya bangsa karena runtuhnya akhlak”. Oleh karena itulah hendaknya umat Islam sentiasa berazam untuk membebaskan diri daripada sifat-sifat yang boleh meruntuhkan wibawa kamanusiaan karena sifat-sifat demikian itu amat dimurkai Allah dan akan hanya menyebabkan manusia terpenjara di bawah arahan nafsu dan syaitan. Lebih jauh dari itu, kita hendaklah sentiasa memohon keampunan Allah Ta’ala agar mendapat keridhoan-Nya dan terlepas daripada siksaan api neraka. Inilah nilai sebenarnya kemerdekaan yang diajarkan oleh agama kita.

Kemerdekaan sebuah negara tidak hanya proses pertukaran pemerintahan daripada satu golongan pemerintah kepada satu golongan pemerintah lain yang lebih berhak akan tetapi pada hakikatnya, kemerdekaan tanah air adalah nikmat terbesar karunia Allah. Kemerdekaan negara merupakan pembebasan jiwa rakyatnya dari keadaan belenggu nilai-nilai yang semata-mata mengikut perintah penjajah kepada nilai bersandarkan kebenaran dan hakikat; pembebasan akal dan pikiran rakyat belenggu kebodohan dan kejahilan kepada cahaya ilmu dan hikmah; pembebasan akal-budi rakyatnya dari keruntuhan akhlak dan pelanggaran moral dan etika kepada pembentukan nilai-nilai murni dan akhlak tinggi; pembebasan rakyat dari belenggu kemiskinan menuju kehidupan sejahtera.

Berbicara tentang kemerdekaan tentu saja tidak terlepas dari apa yang sering kita sebut dengan pahlawan. Menurut Anis Matta, “Pekerjaan-pekerjaan besar dalam sejarah hanya dapat diselesaikan oleh mereka yang mempunyai naluri kepahlawanan”. Sejarah menunjukkan bahwa negeri ini terbebas dari penjajahan disebabkan pula oleh peran para pahlawan. Para pahlawan dahulu ketika berjuang senantiasa mengedepankan nilai-nilai keberanian, kesabaran, pengorbanan, kompetisi, optimistis, dan siap sedia dengan segala kemungkinan saat itu. Nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar tetap menjadi basis utama filosofi perjuangan mereka. Makna kemerdekaan yang ada di kepala para pahlawan saat itu adalah membebaskan Indonesia dari penindasan dan tirani oleh pihak-pihak yang berusaha mencengkeram Indonesia untuk kepentingan kekuasaan. Selanjutnya setelah kemerdekaan tahun 1945, Indonesia ibarat bayi yang belajar merangkak, kemudian berdiri dan tumbuh besar hingga saat ini. Jika kita kembali melihat ke belakang setelah kemerdekaan itu, banyak sekali terjadi hal-hal yang pada hakikatnya bukanlah kondisi suatu bangsa yang merdeka. Masa pemerintahan orde lama dengan demokrasi terpimpinnya, dilanjutkan dengan masa orde baru yang juga hampir-hampir sama dengan kondisi sebelumnya, ternyata membuka mata kita bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah tirani, penindasan, dan kezholiman atas rakyatnya yang semakin termiskinkan dan terpinggirkan.

Cukup bertentangan dengan salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia yang termaktub di dalam UUD 45 untuk menciptakan kesejahteraan rakyat Indonesia. Lantas apakah benar kita sudah merdeka? Selanjutnya ketika rakyat pada saat itu telah jenuh dan bosan dengan segala penindasan dan tirani, akhirnya terjadilah sebuah peristiwa yang menyebabkan reformasi total di seluruh sisi pemerintahan bangsa Indonesia. Walaupun pada perjalanan selanjutnya, realitas di lapangan tidak seindah apa yang direncanakan sebelumnya. Ternyata masih banyak saja hal-hal yang justru tidak mencerminkan kemerdekaan sesungguhnya, sebagai contoh rakyat Indonesia saat ini masih saja dijajah oleh kebodohan, ketidaktertiban, kebohongan, korupsi, dan lain hal sebagainya yang akhirnya menyebabkan kesejahteraan itu belum sampai kepada masyarakat seluruhnya. Ini tentu bertentangan dengan makna merdeka tadi bukan? Belum lagi ketika para generasi muda kita dijajah oleh berbagai jenis hiburan dan hal-hal yang menimbulkan kerusakan lainnya. Penyebab itu semua yang paling mendominasi adalah karena begitu banyaknya sisi yang telah jauh menyimpang dari nilai-nilai kebenaran.Dari berbagai hal yang terjadi, tentu kita pun harus kembali memaknai apa sebenarnya kemerdekaan itu. Islam memiliki konsep kemerdekaan lebih baik. Manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi dan dengan da’wah tauhidnya yang akan menyadarkan, membebaskan, dan memerdekakan manusia dari penghambaan kepada manusia lain dan materi menuju penghambaan sejati yaitu kepada Allah Maha Pencipta, dengan mengajak kepada kebenaran, menegakkan keadilan, dan mencegah kebathilan dengan cara yang ma’ruf. Sehingga sejatinya merdeka bermakna membebaskan diri dari penghambaan selain kepada Allah. Jika konsep ini berjalan dengan benar, maka kita tidak akan menjumpai lagi bentuk-bentuk penjajahan implisit yang kulitnya menawarkan kemakmuran padahal sejatinya menghancurkan.
Wallahu a’lam…