aguspurnomosite.blogspot.com

aguspurnomosite.blogspot.com
Berpikir Luas Membuka Cakrawala Kehidupan! Berusaha Memberikan Yang Terbaik Untuk Masa Depan! Katakan "Go Go Go SEMANGAT" !!!

Sabtu, 16 Maret 2013

Syukur Kepada Allah Swt dan Pengaruhnya dalam Kehidupan Manusia

Bila seseorang melakukan sesuatu dengan tangan, lisan, pena, harta, jabatan dan kekayaan dengan niat mencari keridhaan ilahi, berarti dengan perbuatan yang suci itu ia telah bersyukur kepada Allah Swt atas segala nikmat yang diterimanya. Tapi bila seorang melakukan dosa dengan salah satu dari sarana yang dimilikinya berarti telah mengingkari nikmat. 

Seseorang yang hatinya sampai pada satu keyakinan bahwa seluruh nikmat berasal dari Allah Swt, maka dengan keyakinan ini ia mengucapkan syukur dalam bentuknya yang paling tinggi, menjalankan kewajiban hatinya, senantiasa mengontrol dirinya, dalam perbuatan ia juga mensyukuri nikmat-nikmat yang berasal dari luar dirinya. Syukur yang paling sempurna adalah memanfaatkan segala nikmat yang dimilikinya sesuai dengan keridhaan ilahi dan meninggalkan perbuatan dosa.

Sebagian dari nikmat yang ada pada manusia berasal dari hasil usahanya sendiri. Dalam kondisi yang semacam ini, Allah Swt memerintahkan hambanya selain bersyukur kepada-Nya sebagai pencipta dan pemberi nikmat itu, ia juga harus mensyukuri cara yang digunakan sehingga berhasil meraih nikmat tersebut. Biasanya nikmat ini dihasilkan lewat perantara orang lain dan dengan bersyukur kepada orang lain. Imam Ridha as berkata, "Seseorang yang tidak mensyukuri nikmat makhluk berarti ia tidak mensyukuri Allah Swt."

Imam Ali as berkata, "Orang yang memberimu nikmat dan sebagai balasannya engkau berterima kasih kepadanya, bila ia benar-benar ridha denganmu, maka ucapan syukurmu itu akan menambah kegembiraannya. Tapi bila orang itu marah, maka ucapan syukurmu itu akan memperbaiki hati dan emosinya."

Tak syak bahwa bersyukur kepada manusia yang lain, selain menaati perintah Allah Swt, juga memiliki dampak psikologi.

Ada sebuah riwayat dari Rasulullah Saw yang bersabda, "Seseorang yang makan dan kemudian bersyukur kepada Allah Swt, maka pahalanya seperti pahala orang yang berpuasa demi mendapat pahala ilahi. Seseorang yang sehat dan bersyukur kepada Allah Swt atas nikmat kesehatan yang dimilikinya, maka pahalanya seperti pahala orang mukmin yang sakit dan senantiasa bersabar. Seseorang yang memiliki nikmat dari Allah Swt dan berbagi dengan orang lain, maka pahalahnya seperti pahala orang miskin yang qana'ah, merasa cukup karena Allah Swt dan menanggung kesulitan hidup ini dengan sabar."

Manusia yang telah sampai pada derajat yang tinggi tetap menjadi hamba yang bersyukur saat menghadapi segala kesulitan, penyakit dan musibah. Tapi manusia biasa hanya akan membuka lisannya untuk bersyukur ketika sehat. Sementara manusia yang memiliki kepekaan hati akan senantiasa bersyukur kepada Allah Swt dengan hati dan lisannya, baik dalam keadaan senang maupun susah.

Manusia yang bersyukur dengan melakukan perbuatan syukur atas segala nikmat yang diterimanya, berarti ia senantiasa sedang berusaha untuk menambah modal materi dan spiritualnya. Sebaliknya, orang yang mengingkari nikmat Allah Swt sedang berusaha untuk membakar diri dan apa yang dimilikinya lalu secara perlahan-lahan ia akan binasa.

BETAPA MULIA KEDUDUKANMU, WAHAI IBU

Dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya. Kakeknya berkata,

“Wahai Rasulullah! Kepada siapakah aku harus berbakti?”. Beliau menjawab, “Ibumu.” Lalu aku bertanya, “Kepada siapakah aku harus berbakti?”. Beliau menjawab, “Ibumu.” Lalu aku bertanya, “Kepada siapakah aku harus berbakti?”. Beliau menjawab, “Ibumu.” Lalu aku bertanya, “Kepada siapakah aku harus berbakti?”. Beliau menjawab, “Ayahmu. Kemudian kerabat yang terdekat dan seterusnya.” (HR. Tirmidzi, dinilai hasan al-Albani dalam al-Irwa’. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 34)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, ada seorang lelaki datang menemui dirinya dan menceritakan,

“Suatu ketika aku melamar seorang perempuan, akan tetapi dia tidak mau menikah denganku. Lalu ada orang selainku yang melamarnya dan dia pun mau menikah dengannya. Aku merasa cemburu kepadanya, hingga aku pun membunuhnya. Apakah aku masih bisa bertaubat?”. Beliau -Ibnu Abbas- bertanya, “Apakah ibumu masih hidup?”. Dia menjawab, “Tidak.” Lalu Ibnu Abbas mengatakan, “Kalau begitu bertaubatlah kepada Allah ‘azza wa jalla dan dekatkanlah dirimu kepada-Nya sekuat kemampuanmu.” ‘Atha’ bin Yasar berkata: Aku menemui Ibnu Abbas dan bertanya kepadanya, “Mengapa engkau bertanya tentang apakah ibunya masih hidup?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku tidak mengetahui ada suatu amalan yang lebih mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla daripada berbakti kepada seorang ibu.” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dinilai sahih al-Albani dalam ash-Shahihah, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 34)

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan:

Ada seorang lelaki yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin ikut berjihad. Maka beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?”. Dia menjawab, “Iya.” Maka beliau bersabda, “Kalau begitu berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dinilai sahih al-Albani dalam al-Irwa’, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 39)

Dari Abu ‘Amr asy-Syaibani, dia berkata:

Pemilik rumah ini -beliau mengisyaratkan dengan tangan menunjuk rumah Abdullah (Ibnu Mas’ud)- menuturkan kepadaku. Beliau berkata: Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amalan apakah yang paling dicintai Allah ‘azza wa jalla?”. Beliau menjawab, “Sholat pada waktunya.” Aku bertanya lagi, “Lalu apa?”. Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya lagi, “Lalu apa?”. Beliau menjawab, “Berjihad di jalan Allah.” Beliau -Ibnu Mas’ud- berkata, “Beliau menuturkan itu semua kepadaku. Seandainya aku meminta tambahan niscaya beliau akan menambahkan.” (HR. Bukhari dan Muslim, dinilai sahih al-Albani dalam al-Irwa’. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 33)

Dari Abu Bakrah radhiyallahu’anhu, beliau berkata:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku kabarkan kepada kalian, dosa besar yang paling besar?” Beliau mengulanginya sampai 3 kali. Mereka -para Sahabat- menjawab, “Tentu saja wahai Rasulullah!”. Maka beliau bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Beliau pun duduk setelah sebelumnya bersandar. Beliau meneruskan, “Ketahuilah, demikian pula berbicara dusta.” Beliau terus mengulangi ucapannya itu sampai-sampai aku berkata, “Mudah-mudahan beliau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim, dinilai sahih al-Albani dalam Ghayat al-Maram, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 37)

Allahummaghfir lanaa wa li waalidainaa warham-humaa kamaa rabbayaanaa shighaaraa…