Minimnya alat peraga membuat pengajaran sains di sekolah masih bertumpu pada teori. Siswa dituntut menghafal dan membayangkan materi pelajaran yang diberikan.
Keterbatasan jumlah alat peraga membuat sains sulit dicerna. ”Alat peraga tak digunakan karena guru tak pernah dilatih cara menggunakannya,” kata salah satu guru sekolah dasar yang enggan disebut namanya, peserta Ekspedisi Transit Venus 2012 di Atambua, Nusa Tenggara Timur, Selasa (5/6). Pelatihan astronomi itu diselenggarakan Universe Awareness (Unawe) Indonesia.
Kesulitan alat peraga pada pengajaran sains sebenarnya persoalan umum di Indonesia. Bukan hanya untuk ilmu astronomi yang jadi fokus kegiatan Unawe Indonesia, melainkan juga untuk semua bidang ilmu.
Karena hanya teori, siswa dituntut menghafal. ”Sistem hafalan pada pendidikan Indonesia tak membangun rasionalitas siswa,” kata peneliti Planetarium dan Observatorium Jakarta, Widya Sawitar.
Pada pendidikan, rasionalitas penting untuk menjelaskan banyak hal, termasuk memahami sains. Fenomena alam tak hanya dipahami sebagai mitos, tetapi juga peristiwa alam yang mengandung penjelasan rasional.
Menurut Direktur Observatorium Bosscha Institut Teknologi Bandung Mahasena Putra, pendidikan sains yang baik adalah yang tak hanya mengembangkan kemampuan kognitif. Harus memberdayakan seluruh indera: mata, telinga, dan tangan.
Sasaran kompetensi siswa pada kurikulum sains, siswa diharapkan memahami hal yang ada. Namun, cara mencapainya diserahkan kepada guru. Ini menjadikan guru berperan penting dalam proses pengajaran dan mendorong siswa mampu belajar mandiri secara berkelanjutan.
Sayangnya, tak semua guru bisa melakukannya. Beban kurikulum, kesejahteraan, dan tekanan politik membuat guru tak fokus mendidik.
Ketua Dewan Penasihat Unawe Indonesia Premana W Premadi mengatakan, Unawe menawarkan pendidikan sains, khususnya astronomi, kepada guru dan anak-anak dengan menyenangkan. Belajar sains tak harus membuat guru dan siswa tertekan.
Sumber : Kompas
Keterbatasan jumlah alat peraga membuat sains sulit dicerna. ”Alat peraga tak digunakan karena guru tak pernah dilatih cara menggunakannya,” kata salah satu guru sekolah dasar yang enggan disebut namanya, peserta Ekspedisi Transit Venus 2012 di Atambua, Nusa Tenggara Timur, Selasa (5/6). Pelatihan astronomi itu diselenggarakan Universe Awareness (Unawe) Indonesia.
Kesulitan alat peraga pada pengajaran sains sebenarnya persoalan umum di Indonesia. Bukan hanya untuk ilmu astronomi yang jadi fokus kegiatan Unawe Indonesia, melainkan juga untuk semua bidang ilmu.
Karena hanya teori, siswa dituntut menghafal. ”Sistem hafalan pada pendidikan Indonesia tak membangun rasionalitas siswa,” kata peneliti Planetarium dan Observatorium Jakarta, Widya Sawitar.
Pada pendidikan, rasionalitas penting untuk menjelaskan banyak hal, termasuk memahami sains. Fenomena alam tak hanya dipahami sebagai mitos, tetapi juga peristiwa alam yang mengandung penjelasan rasional.
Menurut Direktur Observatorium Bosscha Institut Teknologi Bandung Mahasena Putra, pendidikan sains yang baik adalah yang tak hanya mengembangkan kemampuan kognitif. Harus memberdayakan seluruh indera: mata, telinga, dan tangan.
Sasaran kompetensi siswa pada kurikulum sains, siswa diharapkan memahami hal yang ada. Namun, cara mencapainya diserahkan kepada guru. Ini menjadikan guru berperan penting dalam proses pengajaran dan mendorong siswa mampu belajar mandiri secara berkelanjutan.
Sayangnya, tak semua guru bisa melakukannya. Beban kurikulum, kesejahteraan, dan tekanan politik membuat guru tak fokus mendidik.
Ketua Dewan Penasihat Unawe Indonesia Premana W Premadi mengatakan, Unawe menawarkan pendidikan sains, khususnya astronomi, kepada guru dan anak-anak dengan menyenangkan. Belajar sains tak harus membuat guru dan siswa tertekan.
Sumber : Kompas