aguspurnomosite.blogspot.com

aguspurnomosite.blogspot.com
Berpikir Luas Membuka Cakrawala Kehidupan! Berusaha Memberikan Yang Terbaik Untuk Masa Depan! Katakan "Go Go Go SEMANGAT" !!!

Minggu, 02 Desember 2012

Pendidikan yang Memanusiakan Manusia

 
Pancar cahaya pendidikan Indonesia kian kelabu. Kebobrokan sistem pendidikan memporak-porandakan nurani peserta didik. Mereka mencucurkan air mata ketika mimpi masuk Perguruan Tinggi Negeri terhalang oleh ketatnya persaingan. Pemuda-pemuda Papua datang dari puncak pegunungan, terbengong-bengong melihat pijaran lampu ibu kota yang menyala. Pun pemuda Pulau Peunasue, Aceh. Datang dari daerah terpencil untuk menumpang pada salah satu kerabat di Bandung. Pemuda dari Pulau Dumarchen tak berselisih amat dengan mereka. Jauh-jauh datang ke Jawa untuk memahat mimpi di bangku kuliah. Perguruan tinggi konon menjadi jembatan emas bagi sebuah masa depan. Namun memasukinya bukan sekadar mengetuk pintu lantas si empunya pintu membukanya lebar-lebar. Perlu sesuatu yang lebih dari sekadar kegigihan, yaitu kompetisi bahkan ketidakadilan.

Kisah pelajar sekolah menengah tak berselisih jauh dengan mereka. Sudah menjadi konsumsi publik, ketika Ujian Nasional menjelang banyak siswa sekolah menengah yang kesurupan alias kerasukan setan. Para guru berdalih memberi motivasi, tetapi peserta didik malah dibuat stres dan gelisah. Orang tua siswa dipanggil, suasana menakutkan pun tercipta. Siswa dibuat menangis seolah “banyak dosa” karena kesalahan terhadap orang tua. Ujian Nasional seakan menjadi satu-satunya pintu untuk membuka masa depan. Ujian macam ini seperti menjadi segala-galanya dalam hidup. Metode model begitu sungguh menyerupa cara pabrikan. Siswa adalah ‘output’ hasil produksi karena kelulusan hanya dipatok melalui secarik lembar jawaban.

Old Ways Teaching

Tidaklah keliru, jika akademisi macam Rhenald Kasali menjuluki metode pendidikan Indonesia dengan istilah old ways teaching. Pasalnya, bukan lagi hitungan jari jumlah sekolah-sekolah yang menerapkan sistem pendidikan secara kuno. Peserta didik mendominasi untuk selalu fokus pada guru dan papan tulis. Budaya menghafal (brain memory) yang merupakan cerminan mengopi isi buku dan catatan juga sangat dominan. Kemampuan mereka pun hanya dilihat dari kecakapan ujian (exam merit) yang diukur lewat nilai-nilai ulangannya. Atas alasan efisiensi, sekolah tidak bersedia menyelami lentera jiwa siswa lebih dalam. Mereka hanya membandingkannya dengan angka-angka kertas yang kemudian menjadi peringkat. Lebih jauh lagi, kurikulum pendidikan Indonesia saat ini juga menyerupa manusia super. Seorang peserta didik diharuskan menguasai empat bidang sains (biologi, kimia, fisika, dan matematika), juga tiga bahasa (bahasa Indonesia, Inggris, dan satu bahasa lain), ditambah PKN, sejarah, sosiologi, ekonomi, agama, geografi, kesenian, olahraga, dan komputer. Harus diakui bahwa kurikulum pendidikan kita sangat berat, setara dengan kurikulum program S-1 yang digabung dengan S-3 di Amerika. Tak mengherankan, jika sekolah seolah berubah menjadi tempat menakutkan, melahirkan korban-korban kesurupan, stresful, juga membudayanya kebiasaan mencontek.

Pemandangan demikian tentu tidak akan kita jumpai di negara-negara Barat. Amerika Serikat misalnya. Sudah lama bangsa Colombus itu meninggalkan old ways teaching. Mereka mulai membenahi sistem, memperbaharui metode, dan membongkar kurikulum. Budaya menghafal, rumus-rumus, dan terlalu fokus pada guru juga dihapuskan. Siswa tidak lagi harus melipat tangan di atas meja sambil mengangguk-angguk mendengarkan guru. Mereka lebih diajarkan untuk critical thinking dan aktif berkreasi. Murid dilatih untuk tidak bergantung pada buku dan guru, tetapi lebih pada bagaimana mereka dapat berdiri tanpa ada keduanya. Masalah kurikulum pun mereka rombak secara total. Siswa tidak akan dipaksa menelan belasan mata pelajaran seperti kita. Mereka hanya boleh memilih empat mata pelajaran sesuai tujuan masa depan masing-masing. Bagi yang ingin menjadi ekonom, wajib mendalami akutansi, statistik, dan ekonomi. Pun yang ingin menjadi dokter, hanya perlu mempelajari biologi dan ilmu kimia. Siswa yang ingin menjadi ekonom tak perlu belajar biologi dan kimia. Begitu pula siswa yang ingin menjadi dokter, tak perlu mempelajari akutansi dan ekonomi. Sungguh berbeda dengan Indonesia yang mengharuskan siswa setingkat SLTA menelan 16 mata pelajaran dan keseluruhannya harus lulus kriteria ketuntasan minimal (KKM).

Sistem pendidikan model begini lambat laun akan melahirkan bebek-bebek dogmatik yang hanya bisa mengekor pada induknya. Peserta didik tidak akan mampu menjadi “driver” yang menentukan arah dan mengendalikan sistem. Mereka hanya akan menjadi “passanger” yang duduk manis di bangku belakang tanpa perlu berfikir ke mana arah yang benar.

SDM pun Terabaikan

Persoalan perguruan tinggi juga sama dramatisnya. Bangsa ini paham, pendidikan menjadi salah satu jalan pintas untuk meningkatkan daya saing. Meski begitu, memasuki perguruan tinggi tidak semudah bermimpi. Rakyat seolah dipersulit oleh sistem. Kalaupun ada yang berhasil, itu pun bak lolos dari lubang jarum. Pemerintah seakan tidak menjembatani niat rakyat yang memimpikan pendidikan. Sudah tidak bisa dikalkulasikan lagi jumlah muda-mudi yang dilepas sanak saudara demi bertarung memperebutkan bangku sekolah pemerintah. Mereka datang dari pelosok Nusantara dan gagal karena ketatnya persaingan. Merasa tak adil, ketika akses dan fasilitas di kampung mereka tak memadai, BBM, sumber air, dan listrik pun susah didapat, dan kini mendapat bangku sekolah pemerintah pun tidak. Jika kita benar-benar sadar betapa pentingnya pendidikan, mengapa harus mempersulitnya?

Saya sempat terheran-heran ketika membaca artikel Rhenald Kasali yang berjudul “Untuk Apa Sekolah? Sekolah Untuk Apa?”. Saya mendapati, betapa bangsa-bangsa di luar sana memiliki kesadaran yang tinggi untuk membangun Sumber Daya Manusia (SDM). Malaysia misalnya. Ketika Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad berkuasa selama lebih dari 25 tahun, ia mengirimkan puluhan ribu sarjana untuk mengambil program S-2 dan S-3 ke negara-negara maju. China pun demikian. Tak kurang dari 10 tahun, lulusan-lulusan terbaik China siap mengisi kursi-kursi perekonomian negara. Hasilnya, anak-anak muda itu berhasil mereformasi sistem pendidikan. BUMN, perusahan swasta, serta birokrasinya pun dikendalikan oleh orang-orang hebat.

Negeri Belanda juga sempat membuat saya terbengong-bengong. Saya melihat bagaimana kampus sekelas Erasmus begitu mudahnya menerima mahasiswa. Salah satu dekan mengatakan bahwa semua warga negara berhak menerima pendidikan yang layak. Untuk masalah kualitas mereka memiliki cara tersendiri. Di tahun pertama, mereka menerima semua mahasiswa yang mendaftar. Pada tahun kedua, angka drop out mahasiswa ternyata cukup banyak. Di sanalah mereka mulai berbicara kualitas. Selandia Baru pun tak berselisih amat dengan Belanda. Mereka tidak mengadakan tes masuk untuk menduduki kursi di perguruan tinggi. Tes hanya dilakukan untuk kualifikasi atau penempatan. Mereka tidak akan melihat seberapa bagus atau buruknya transkrip nilai calon mahasiswa. Salah seorang pengajar disana berujar, ”Undang-undang menjamin semua orang punya hak yang sama untuk belajar”. Maka tak perlu heran jika siswa dari pelosok Indonesia pun dapat dengan mudah diterima disana tanpa melalui tes.

Memanusiakan Manusia 

Sudah semestinya bangsa ini berbenah. Kurikulum harus dirombak, sistem harus diubah, kualitas guru lebih diasah, juga fasilitas dan infrastruktur harus diperbarui. Sudah sangat banyak peserta didik yang dicetak secara massal dan berstandar. Itulah yang disebut metode pabrikan, cerminan dari pemerintah yang tidak paham pendidikan. Sudah saatnya kita beralih ke sistem baru, sistem yang lebih manusiawi. Bukan dengan memaksa otak siswa untuk menelan belasan ilmu pengetahuan. Bukan juga dengan membudayakan menghafal yang akan membuat otak mereka semakin tumpul. Kita memang tak bisa meniru sepenuhnya sistem pendidikan yang diterapkan bangsa-bangsa Barat. Namun setidaknya, kita dapat belajar melalui mereka. Lihatlah nasihat Tan Malaka. “Akuilah dengan hati bersih bahwa kalian akan belajar dari orang Barat. Tapi jangan sekali-sekali meniru orang Barat. Jadilah bangsa dari Timur yang cerdas”.

Belajar dari bangsa Barat berarti juga memberikan kesempatan yang lebar pada mereka yang sedia untuk belajar. Kesadaran untuk membangun manusia berkualitas yang berdaya saing tinggi harus diasah melalui kesempatan belajar. Sudah seharusnya kita menurunkan bendera diskriminatif dan menyembulkan harapan ke muka mereka. Tidakkah kita malu pada George Saa, putra Papua yang hak belajarnya hampir dirampas oleh sistem? Meskipun belajar dalam keterbatasan, ia berhasil mengharumkan nama bangsa sebagai peraih medali emas dalam Olimpiade Fisika Internasional. Dalam Talkshow Kick Andy, ia berujar, “Tuhan Maha Baik. Bagi mereka yang telah merampas uang negara yang seharusnya digunakan untuk membeli buku bagi kami di daerah terpencil, lihatlah, bahkan dunia memberikan hadiah buku diktat kepada saya, pemuda Papua yang kalian sakiti hatinya dengan cara yang sangat indah”. George melanjutkan, “Saya hanya tidak mau bangsa lain berfikir bahwa tidak ada anak pintar yang dilahirkan Indonesia”.

Lihatlah kawan! Bukankah kita merasa ditampar oleh kalimat pemuda Papua itu? Mari bukakan pintu belajar selebar mungkin bagi siapa pun yang mengetuknya. Janganlah penjarakan jiwa generasi muda kita. Sebab, mereka memiliki pikiran seluas cakrawala kosmos ini. Mereka bukanlah robot yang mampu dikendalikan semaunya. Biarkan hasrat mereka bebas. Inilah yang saya sebut sebagai pendidikan yang memanusiakan manusia.
Soerce : pemimpinmuda.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar