Pria yang lahir di Alahanpanjang, Solok, Sumatera Barat tanggal 17 Juli 1908 ini sosoknya lebih dikenal sebagai politisi dan aktivis dakwah. Namun sesungguhnya, pendidikan menjadi perhatian utama sepanjang hayatnya. Baginya pendidikan adalah fondasi utama untuk membangun peradaban dan kemajuan umat.
Pengalaman pendidikannya yang beragam mulai dari sekolah Belanda, pengajian di surau, sampai belajar agama secara khusus kepada A. Hassan, guru utama Persatuan Islam, di Bandung membawanya pada pemikiran-pemikiran penting dalam dunia pendidikan. Pergaulannya dengan para aktivis dan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia semakin menajamkan pandangannya terhadap kondisi riil yang dihadapi umat dan bangsanya.
Cita-cita pendidikan Natsir tersimpul pada satu prinsip dasar, yaitu bahwa pendidikan harus berdasarkan “tauhid”. Pendidikan yang berdasar tauhid ini bukan hanya pendidikan yang mengajarkan agama an sich, melainkan yang mampu memberi dasar pengetahuan Islam yang kuat kepada seluruh pelajar Muslim, apapun yang dipelajarinya; dan pada saat yang sama harus dikembangkan berbagai kepakaran di berbagai lapangan kehidupan. Itu artinya Islam dijadikan basis nilai fundamental dalam pengembangan berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Apa yang dipikirkannya itu langsung ia praktikkan. Tahun 1927 ia mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) yang membuka HIS, MULO, dan Kweekschool (Sekolah Guru). Bedanya dengan sekolah-sekolah yang sama saat itu adalah pada kurikulum. Natsir merancang pengajaran agama secara intensif di sekolahnya. Ia berharap lulusannya nanti tidak hanya menguasai ilmu-ilmu “umum”, namun lebih dari itu memiliki pengetahua agama ang memadai sebagai pegangan nilai dalam kehidupannya.
Pada saat yang sama Natsir pun men-support didirikannya Pesantren Persatuan Islam oleh A. Hassan, gurunya, pada tahun 1936. Pesantren ini memang menyiapkan calon-calon ahli agama, namun disamping itu diharapkan mereka pun menguasai isu-isu kontemporer yang berkembang. Oleh sebab itu, di pesantren A. Hassan, Natsir diberi tugas untuk mengajarkan pengetahuan-pengetahun umum kepada para santrinya seperti ilmu alam dan ilmu sosial. Tentu saja dalam kadarnya sebagai pengetahuan pelengkap bagi para calon ustadz dan kiai agar cakrawala pandangnya semakin luas.
Prinsip inilah yang terus menginspirasinya di dunia pendidikan. Saat aktif di politik bersama Masyumi, salah satu yang berhasil ia perjuangkan bersama kawan-kawannya adalah mewajibkan pelajaran agama di sekolah-sekolah umum. Sejak ia menjadi perdana menteri tahun 1950, kebijakan itu diangkat menjadi Peraturan Pemerintah yang baru setahun kemudian(Kabinet Sukiman) disahkan. Tidak hanya itu, Natsir ikut juga memprakarsai berdirinya Universitas Islam Indonesia (sebelumnya Sekolah Tinggi Islam tahun 1945), universitas Islam pertama di Indonesia di Jakarta. Universitas ini menggambarkan bagaimana usaha integrasi ilmu seperti yang dipikirkannya.
Setelah tidak aktif lagi di politik, perhatiannya terhadap dunia pendidikan semakin tampak. Melalui anjurannya dan bahkan tidak jarang ia ikut andil langsung, berdirilah universitas-universitas Islam di berbagai kota besar: Medan, Jakarta, Bandung, Makassar, dan sebagainya. Melalui Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikannya pada tahun 1967, ia pun menggagas pembaruan kurikulum pesantren. Salah satu tokoh pesantren yang digandengnya adalah K.H. Soleh Iskandar bari Bogor yang dipercaya memimpin lembaga kordinasi pesantren BKSPPI (Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia).
Salah satu yang paling monumental adalah gagasannya tentang “dakwah kampus”. Natsir melihat bahwa mahasiswa yang belajar di PT-PT umum, terutama PTN favorit, masih belum terjamah “dakwah”. Melalui training-training bagi dosen-dosen agama dan mahasiswa, Natsir mempersiapkan kader-kader dakwah kampus. Tujuannya satu: agar mahasiswa yang belajar “ilmu-ilmu umum” memiliki pengetahuan agama memadai. Sebab, Natsir tahu bahwa gelombang sekularisme di PT umum yang ada saat itu begitu kuat sehingga agama dikesampingkan.
Atas prakarsa Natsir inilah lahir intelektual-intelektual Islam baru. Mereka berasal dari PT umum seperti UI, ITB, UGM, IPB, Unpad, Undip, Unair, dsb. Kepakaran mereka adalah bidang sains, namun pemahaman mereka terhadap agama cukup memadai sehingga mereka dapat tampil sebagai pemimpin-pemimpin Islam yang penuh komitmen terhadap keislamannya. Secara tidak langsung, melalui gerakannya ini, Natsir telah membuka jalan menuju Islamisasi ilmu-ilmu pengetahuan kontemporer yang sekuler.
Pengalaman pendidikannya yang beragam mulai dari sekolah Belanda, pengajian di surau, sampai belajar agama secara khusus kepada A. Hassan, guru utama Persatuan Islam, di Bandung membawanya pada pemikiran-pemikiran penting dalam dunia pendidikan. Pergaulannya dengan para aktivis dan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia semakin menajamkan pandangannya terhadap kondisi riil yang dihadapi umat dan bangsanya.
Cita-cita pendidikan Natsir tersimpul pada satu prinsip dasar, yaitu bahwa pendidikan harus berdasarkan “tauhid”. Pendidikan yang berdasar tauhid ini bukan hanya pendidikan yang mengajarkan agama an sich, melainkan yang mampu memberi dasar pengetahuan Islam yang kuat kepada seluruh pelajar Muslim, apapun yang dipelajarinya; dan pada saat yang sama harus dikembangkan berbagai kepakaran di berbagai lapangan kehidupan. Itu artinya Islam dijadikan basis nilai fundamental dalam pengembangan berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Apa yang dipikirkannya itu langsung ia praktikkan. Tahun 1927 ia mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) yang membuka HIS, MULO, dan Kweekschool (Sekolah Guru). Bedanya dengan sekolah-sekolah yang sama saat itu adalah pada kurikulum. Natsir merancang pengajaran agama secara intensif di sekolahnya. Ia berharap lulusannya nanti tidak hanya menguasai ilmu-ilmu “umum”, namun lebih dari itu memiliki pengetahua agama ang memadai sebagai pegangan nilai dalam kehidupannya.
Pada saat yang sama Natsir pun men-support didirikannya Pesantren Persatuan Islam oleh A. Hassan, gurunya, pada tahun 1936. Pesantren ini memang menyiapkan calon-calon ahli agama, namun disamping itu diharapkan mereka pun menguasai isu-isu kontemporer yang berkembang. Oleh sebab itu, di pesantren A. Hassan, Natsir diberi tugas untuk mengajarkan pengetahuan-pengetahun umum kepada para santrinya seperti ilmu alam dan ilmu sosial. Tentu saja dalam kadarnya sebagai pengetahuan pelengkap bagi para calon ustadz dan kiai agar cakrawala pandangnya semakin luas.
Prinsip inilah yang terus menginspirasinya di dunia pendidikan. Saat aktif di politik bersama Masyumi, salah satu yang berhasil ia perjuangkan bersama kawan-kawannya adalah mewajibkan pelajaran agama di sekolah-sekolah umum. Sejak ia menjadi perdana menteri tahun 1950, kebijakan itu diangkat menjadi Peraturan Pemerintah yang baru setahun kemudian(Kabinet Sukiman) disahkan. Tidak hanya itu, Natsir ikut juga memprakarsai berdirinya Universitas Islam Indonesia (sebelumnya Sekolah Tinggi Islam tahun 1945), universitas Islam pertama di Indonesia di Jakarta. Universitas ini menggambarkan bagaimana usaha integrasi ilmu seperti yang dipikirkannya.
Setelah tidak aktif lagi di politik, perhatiannya terhadap dunia pendidikan semakin tampak. Melalui anjurannya dan bahkan tidak jarang ia ikut andil langsung, berdirilah universitas-universitas Islam di berbagai kota besar: Medan, Jakarta, Bandung, Makassar, dan sebagainya. Melalui Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikannya pada tahun 1967, ia pun menggagas pembaruan kurikulum pesantren. Salah satu tokoh pesantren yang digandengnya adalah K.H. Soleh Iskandar bari Bogor yang dipercaya memimpin lembaga kordinasi pesantren BKSPPI (Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia).
Salah satu yang paling monumental adalah gagasannya tentang “dakwah kampus”. Natsir melihat bahwa mahasiswa yang belajar di PT-PT umum, terutama PTN favorit, masih belum terjamah “dakwah”. Melalui training-training bagi dosen-dosen agama dan mahasiswa, Natsir mempersiapkan kader-kader dakwah kampus. Tujuannya satu: agar mahasiswa yang belajar “ilmu-ilmu umum” memiliki pengetahuan agama memadai. Sebab, Natsir tahu bahwa gelombang sekularisme di PT umum yang ada saat itu begitu kuat sehingga agama dikesampingkan.
Atas prakarsa Natsir inilah lahir intelektual-intelektual Islam baru. Mereka berasal dari PT umum seperti UI, ITB, UGM, IPB, Unpad, Undip, Unair, dsb. Kepakaran mereka adalah bidang sains, namun pemahaman mereka terhadap agama cukup memadai sehingga mereka dapat tampil sebagai pemimpin-pemimpin Islam yang penuh komitmen terhadap keislamannya. Secara tidak langsung, melalui gerakannya ini, Natsir telah membuka jalan menuju Islamisasi ilmu-ilmu pengetahuan kontemporer yang sekuler.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar