Kejujuran adalah mutiara dalam diri seorang muslim, banyak orang yang mengaku muslim namun mereka adalah pendusta, padahal pendusta tidak akan berhenti dari kedustaanya sehingga dia akan terus menerus menambah kedustaanya sampai dia mati. Dalam al-quran Allah memerintahkan kita senantiasa berbuat jujur dan menjadi golongan orang – orang yang jujur.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.
Orang – orang yang jujur akan mendapat pangkat ahli jujur dan ke dalam masuk surga.Artinya : Dari Abdullah bin Umar, dari Nabi Muhammad SAW bersabda , Sesungguhnya kejujuran itu menunjukan pada kebaikan dan kebaikan akan menunjukan pada surga, dan niscahya seorang laki-laki yang jujur sehingga di tulis Ahli jujur. Dan sesungguhnya dusta menunjukan pada keji, dan keji akan menunjukan pada neraka dan niscahya seorang laki-laki yang dusta di sisi allah di tulis Ahli dusta.
Macam-macam Kejujuran
Membahas tentang kejujuran (dalam bahasa arab disebut sebagai Ash-Shidqun), ada 5 macam kejujuran, yaitu:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.
Orang – orang yang jujur akan mendapat pangkat ahli jujur dan ke dalam masuk surga.Artinya : Dari Abdullah bin Umar, dari Nabi Muhammad SAW bersabda , Sesungguhnya kejujuran itu menunjukan pada kebaikan dan kebaikan akan menunjukan pada surga, dan niscahya seorang laki-laki yang jujur sehingga di tulis Ahli jujur. Dan sesungguhnya dusta menunjukan pada keji, dan keji akan menunjukan pada neraka dan niscahya seorang laki-laki yang dusta di sisi allah di tulis Ahli dusta.
Macam-macam Kejujuran
Membahas tentang kejujuran (dalam bahasa arab disebut sebagai Ash-Shidqun), ada 5 macam kejujuran, yaitu:
1. Shidq Al-Qalbi (jujur dalam berniat).
Hati adalah poros anggota badan. Hati adalah barometer kehidupan. Hati adalah sumber dari seluruh gerak langkah manusia. Jika hatinya bersih, maka seluruh perilakunya akan mendatangkan manfaat. Tapi jika hatinya keruh, maka seluruh perilakunya akan mendatangkan bencana. Rasulullah Saw. bersabda, “Ingatlah, dalam tubuh itu ada segumpal daging. Bila ia baik, akan baiklah seluruh tubuh. Dan bila ia rusak, rusaklah ia seluruhnya. Itulah qalbu (hati).” (H.R. Bukhari).
Itulah hati dan kejujuran yang tertanam dalam hati akan membuahkan ketentraman, sebagaimana firman-Nya, Artinya : (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.
2. Shidq Al-Hadits (jujur saat berucap).
Jujur saat berkata adalah harga yang begitu mahal untuk mencapai kepercayaan orang lain. Orang yang dalam hidupnya selalu berkata jujur, maka dirinya akan dipercaya seumur hidup. Tetapi sebaliknya, jika sekali dusta, maka tak akan ada orang yang percaya padanya. Orang yang selalu berkata jujur, bukan hanya akan dihormati oleh manusia, tetapi juga akan dihormati oleh Allah Swt. sebagaimana firman-Nya,
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.
Hidup dalam naungan kejujuran akan terasa nikmat dibandingkan hidup penuh dengan dusta. Rasulullah Saw. bahkan mengkatagorikan munafik kepada orang-orang yang selalu berkata dusta, sebagaimana sabdanya, “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; bila berucap dusta, kala berjanji ingkar dan saat dipercaya khianat.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
3. Shidq Al-’Amal (jujur kala berbuat).
Amal adalah hal terpenting untuk meraih posisi yang paling mulia di surga. Oleh karena itu, kita harus selalu mengikhlaskan setiap amal yang kita lakukan. Dalam berdakwah pun, kita harus menyesuaikan antara ungkapan yang kita sampaikan kepada umat dengan amal yang kita perbuat. Jangan sampai yang kita sampaikan kepada umat tidak sesuai dengan amal yang kita lakukan sebab Allah Swt. sangat membenci orang-orang yang banyak berbicara tetapi sedikit beramal.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan
Jadi, yang harus kita lakukan adalah banyak bicara dan juga beramal agar kita bisa meraih kenikmatan surga.
4. Shidq Al-Wa’d (jujur bila berjanji).
Janji membuat diri kita selalu berharap. Janji yang benar membuat kita bahagia. Janji palsu membuat kita selalu was-was. Maka janganlah memperbanyak janji (namun tidak ditepati) karena Allah Swt. sangat membenci orang-orang yang selalu mengingkari janji sebagaimana dalam firman-Nya,
Artinya : Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Kita pun harus selalu membatasi janji yang kita ucapkan, baik kepada Allah maupun kepada manusia karena setiap janji yang kita ucapkan akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah Swt.Artinya : Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.
5. Shidq Al-Haal (jujur dalam kenyataan).
Orang mukmin hidupnya selalu berada di atas kenyataan. Dia tidak akan menampilkan sesuatu yang bukan dirinya. Dia tidak pernah memaksa orang lain untuk masuk ke dalam jiwanya. Dengan kata lain, seorang mukmin tidak hidup berada di bawah bayang-bayang orang lain. Artinya, kita harus hidup sesuai dengan keadaan diri kita sendiri. Dengan bahasa yang sederhana, Rasulullah Saw. mengingatkan kita dengan ungkapan, “Orang yang merasa kenyang dengan apa yang tidak diterimanya sama seperti orang memakai dua pakaian palsu.” (H.R. Muslim). Dari ungkapan ini, Rasulullah Saw. menganjurkan kepada umatnya untuk selalu hidup di atas kenyataan dan bukan hidup dalam dunia yang semu.
Kejujuran Rasulullah
Dari buku sejarah kita membaca bahwa Nabi Muhammad di masa muda dan belum diutus menjadi Rasul dikenal sebagai sosok pemuda yang memiliki kredibilitas tinggi dankejujuran yang tak tertandingi.
Kejujuran beliau begitu terkenal di seantero Makkah waktu itu sehingga tak kala para kepala suku berselisih pendapat tentang siapa yang paling berhak meletakkan Hajar Aswad di tempat asalnya di salah satu sudut Ka’bah, mereka sepakat untuk menyerahkan permasalahan itu pada beliau. Mereka pasrah apapun keputusan Nabi akan mereka terima dengan sepenuh hati.
Nabi pun meletakkan Hajar Aswad pada sebuah selendang. Para kepala suku diminta untuk memegang ujung selendang dan membawa Hajar Aswad ke tempat asalnya secara bersama-sama. Setelah dekat, Nabi mengambil Hajar Aswad tersebut dan meletakkannya di tempat semula. Keputusan Nabi yang begitu tepat, cerdas dan bijaksana tersebut semakin melambungkan citra beliau dan dari peristiwa itu Nabi mendapat julukan baru “Al Amin”, yaitu pribadi yang dapat dipercaya.
Sedikitnya ada dua pelajaran yang dapat kita petik dari kisah tersebut:
Pertama, bahwa kejujuran sikap akan menuai kepercayaan dan penghargaan yang tinggi dari berbagai kalangan, tua dan muda, kaya dan miskin, muslim atau nonmuslim. Dengan kata lain, apapun tujuan hidup yang ingin dicapai, mulailah dengan kejujuran dan konsisten dengan kejujuran itu apapun resikonya.
Kedua, bahwa yang dimaksud dengan “jujur” hendaknya tidak hanya dimaknai secara sempit sebagai “keselarasan antara kata dan perbuatan, kesesuaian antara kata dan fakta.” Ia juga bermakna “adil dalam bertindak” dan bijaksana dalam mengambil sikap , sebagaimana dalam Al-Quran :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Adil dan bijaksana dalam bersikap identik dengan perilaku profesional dalam mengambil tindakan. Sikap profesional menuntut kita untuk bersikap jujur dan adil kepada siapapun, termasuk kepada diri sendiri, tanpa dipengaruhi oleh rasa suka atau benci, kawan atau lawan, kebenaran harus ditegakkan seperti dalam surat An-Nisa 135 :
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Apakah kejujuran ini masih ada pada generasi muda ?
Hati adalah poros anggota badan. Hati adalah barometer kehidupan. Hati adalah sumber dari seluruh gerak langkah manusia. Jika hatinya bersih, maka seluruh perilakunya akan mendatangkan manfaat. Tapi jika hatinya keruh, maka seluruh perilakunya akan mendatangkan bencana. Rasulullah Saw. bersabda, “Ingatlah, dalam tubuh itu ada segumpal daging. Bila ia baik, akan baiklah seluruh tubuh. Dan bila ia rusak, rusaklah ia seluruhnya. Itulah qalbu (hati).” (H.R. Bukhari).
Itulah hati dan kejujuran yang tertanam dalam hati akan membuahkan ketentraman, sebagaimana firman-Nya, Artinya : (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.
2. Shidq Al-Hadits (jujur saat berucap).
Jujur saat berkata adalah harga yang begitu mahal untuk mencapai kepercayaan orang lain. Orang yang dalam hidupnya selalu berkata jujur, maka dirinya akan dipercaya seumur hidup. Tetapi sebaliknya, jika sekali dusta, maka tak akan ada orang yang percaya padanya. Orang yang selalu berkata jujur, bukan hanya akan dihormati oleh manusia, tetapi juga akan dihormati oleh Allah Swt. sebagaimana firman-Nya,
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.
Hidup dalam naungan kejujuran akan terasa nikmat dibandingkan hidup penuh dengan dusta. Rasulullah Saw. bahkan mengkatagorikan munafik kepada orang-orang yang selalu berkata dusta, sebagaimana sabdanya, “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; bila berucap dusta, kala berjanji ingkar dan saat dipercaya khianat.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
3. Shidq Al-’Amal (jujur kala berbuat).
Amal adalah hal terpenting untuk meraih posisi yang paling mulia di surga. Oleh karena itu, kita harus selalu mengikhlaskan setiap amal yang kita lakukan. Dalam berdakwah pun, kita harus menyesuaikan antara ungkapan yang kita sampaikan kepada umat dengan amal yang kita perbuat. Jangan sampai yang kita sampaikan kepada umat tidak sesuai dengan amal yang kita lakukan sebab Allah Swt. sangat membenci orang-orang yang banyak berbicara tetapi sedikit beramal.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan
Jadi, yang harus kita lakukan adalah banyak bicara dan juga beramal agar kita bisa meraih kenikmatan surga.
4. Shidq Al-Wa’d (jujur bila berjanji).
Janji membuat diri kita selalu berharap. Janji yang benar membuat kita bahagia. Janji palsu membuat kita selalu was-was. Maka janganlah memperbanyak janji (namun tidak ditepati) karena Allah Swt. sangat membenci orang-orang yang selalu mengingkari janji sebagaimana dalam firman-Nya,
Artinya : Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Kita pun harus selalu membatasi janji yang kita ucapkan, baik kepada Allah maupun kepada manusia karena setiap janji yang kita ucapkan akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah Swt.Artinya : Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.
5. Shidq Al-Haal (jujur dalam kenyataan).
Orang mukmin hidupnya selalu berada di atas kenyataan. Dia tidak akan menampilkan sesuatu yang bukan dirinya. Dia tidak pernah memaksa orang lain untuk masuk ke dalam jiwanya. Dengan kata lain, seorang mukmin tidak hidup berada di bawah bayang-bayang orang lain. Artinya, kita harus hidup sesuai dengan keadaan diri kita sendiri. Dengan bahasa yang sederhana, Rasulullah Saw. mengingatkan kita dengan ungkapan, “Orang yang merasa kenyang dengan apa yang tidak diterimanya sama seperti orang memakai dua pakaian palsu.” (H.R. Muslim). Dari ungkapan ini, Rasulullah Saw. menganjurkan kepada umatnya untuk selalu hidup di atas kenyataan dan bukan hidup dalam dunia yang semu.
Kejujuran Rasulullah
Dari buku sejarah kita membaca bahwa Nabi Muhammad di masa muda dan belum diutus menjadi Rasul dikenal sebagai sosok pemuda yang memiliki kredibilitas tinggi dankejujuran yang tak tertandingi.
Kejujuran beliau begitu terkenal di seantero Makkah waktu itu sehingga tak kala para kepala suku berselisih pendapat tentang siapa yang paling berhak meletakkan Hajar Aswad di tempat asalnya di salah satu sudut Ka’bah, mereka sepakat untuk menyerahkan permasalahan itu pada beliau. Mereka pasrah apapun keputusan Nabi akan mereka terima dengan sepenuh hati.
Nabi pun meletakkan Hajar Aswad pada sebuah selendang. Para kepala suku diminta untuk memegang ujung selendang dan membawa Hajar Aswad ke tempat asalnya secara bersama-sama. Setelah dekat, Nabi mengambil Hajar Aswad tersebut dan meletakkannya di tempat semula. Keputusan Nabi yang begitu tepat, cerdas dan bijaksana tersebut semakin melambungkan citra beliau dan dari peristiwa itu Nabi mendapat julukan baru “Al Amin”, yaitu pribadi yang dapat dipercaya.
Sedikitnya ada dua pelajaran yang dapat kita petik dari kisah tersebut:
Pertama, bahwa kejujuran sikap akan menuai kepercayaan dan penghargaan yang tinggi dari berbagai kalangan, tua dan muda, kaya dan miskin, muslim atau nonmuslim. Dengan kata lain, apapun tujuan hidup yang ingin dicapai, mulailah dengan kejujuran dan konsisten dengan kejujuran itu apapun resikonya.
Kedua, bahwa yang dimaksud dengan “jujur” hendaknya tidak hanya dimaknai secara sempit sebagai “keselarasan antara kata dan perbuatan, kesesuaian antara kata dan fakta.” Ia juga bermakna “adil dalam bertindak” dan bijaksana dalam mengambil sikap , sebagaimana dalam Al-Quran :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Adil dan bijaksana dalam bersikap identik dengan perilaku profesional dalam mengambil tindakan. Sikap profesional menuntut kita untuk bersikap jujur dan adil kepada siapapun, termasuk kepada diri sendiri, tanpa dipengaruhi oleh rasa suka atau benci, kawan atau lawan, kebenaran harus ditegakkan seperti dalam surat An-Nisa 135 :
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Apakah kejujuran ini masih ada pada generasi muda ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar