Hari ini mentari telah tergelincir lewati masa puncak seorang insan.
Bak kuntum bunga, pelan mulai layu ditelan gempita zaman.
Bermula tiada, sebentar lagi kembali dalam kefanaan.
Tinggalkan dunia dan hiruk-pikuk kehidupan.
Usia empat puluh empat tahun ini akan berlalu.
Begitu cepat bagaikan kilat berlalunya sang waktu.
Sedang jasad rapuh telah terkotori oleh banyaknya debu.
Dan di depan kubur yang sempit dan sunyi dengan setia menunggu.
Wahai diri yang kerap terlena oleh kehidupan dunia yang mempesona.
Sesungguhnya hidup ini hanya berisi tangisan dan gelak tawa.
Simetri pasti antara hadirnya kesedihan dan bahagia.
Yang tidak lebih bagai panggung sandiwara.
Apalah arti kegagahan dan kecantikanyang sedikit.
Ukurannya hanya dipengaruhi keriput dan kencangnya kulit.
Apalah makna keindahan jasad bila diperolah dengan rasa sakit.
Sedang dosa dan kelalaian makin menggunung lebihi besarnya bukit.
Waktu makin dekat, seorang pencinta akan pergi jumpai Sang Kekasih.
Membawa wajah tertunduk harap ampunan Sang Maha Pengasih.
Berharap kembali seperti kala datang dengan fitrah yang putih.
Serta terjauh dari azab Sang Pemilik yang begitu perih.
Hari telah senja lalui separuh jalan musafir kehidupan.
Begitu lelah lalui banyaknya peristiwa dan segenap kejadian.
Walau terus melangkah, namun ia tahu telah dekat ujung jalan.
Kembali pada-Nya sebagaimana janji saat masih dalam kandungan.
Sungguh segala fenomena yang ada secara hakekat telah terbuka.
Karena hukum-hukum-Nya selalu berlaku sepanjang masa.
Membebaskan insan untuk memilih sesat atau taqwa.
Yang kelak akan membawa implikasi di alam baqa.
Kini, banyak yang hanya tersimpan dalam sanubari.
Mencoba melangkah ke depan untuk lebih berhati-hati.
Menyeimbangkan perjuangan hidup duniawi dan ukhrowi.
Dan diri bersiap menyambut kedatangan kematian yang pasti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar