Jalur Gaza senantiasa membara. Zionis Israel kembali menghujani Negeri lahirnya Imam Syafi’i itu dengan rudal dan aneka senjata yang dilarang oleh Dewan Keamnan PBB. Bahkan, mereka tengah mempersiapkan 75.000 tentaranya di perbatasan Palestina-Israel untuk melakukan serangan darat. Hingga tulisan ini dibuat, lebih dari 85 orang gugur di medan juang, termasuk di dalamnya anak-anak, wanita dan lansia. Sementara 700 orang mengalami luka berat. Termasuk di dalamnya mereka yang harus kehilangan anggota tubuhnya dan mengalami cacat permanen.
Kita tentu prihatin dengan kejadian ini. Apatah lagi, ini bukan yang pertama. Sejak perang tahun 1948, Gaza nyaris menjadi kota mati. Wilayah Palestina-pun semakin mengerucut lantaran dicaplok oleh Zionis Israel. Ironisnya, ketika warga Palestina tengah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mempertahankan negerinya dari penjajah, kita disibukkan dengan penjajah yang berwajah pribumi. Lihat saja mereka yang tidak tahu diri atau mereka yang memang tidak mau tahu. Mereka yang berdasi, duduk di ruangan berpendingin dan busung perutnya lantaran memakan uang rakyat. Jangankan memikirkan Palestina, warga di negerinya sendiripun, mereka kebiri. Termasuk para rakyat yang dengan sukarela menjadikan mereka terpilih menjadi salah satu peserta di kursi panas yang seringkali disalahgunakan untuk menilap uang negara.
Adapula sebagian penduduk negeri ini yang sering berujar, “Ngapain repot membantu Palestina? Ngurus Indonesia saja tidak becus? Masih banyak pengangguran, kemiskinan merajalela dan aneka ketimpangan lainnya?” Pernah, kan? Atau, jangan-jangan kitalah salah satu orang yang sempat berpikiran sepicik itu atau barangkali pernah mengucapkannya?
Palestina adalah negeri suci. Ia adalah simbol Islam lantaran di dalamnya ada masjid al Aqsha. Masjid yang menjadi saksi peristiwa Isra’ Mi’raj, masjid yang merupakan kiblat pertama umat Islam, dan masjid yang diberi pahala berlipat ganda manakala kita shalat di dalamnya dan masjid yang keberkahannya terekam jelas dalam Al Quran Surah al Isra’ [17] ayat pertama:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Zionis Israel Ilegal
Israel adalah negara tidak sah. Ia yang awalnya diberi tumpangan oleh Palestina, kini malah mengusir dan membunuhi tuan rumah. Warga Palestina yang sejatinya pemilik resmi tanah suci itu diusir paksa. Ancamannya mengerikan, “Pergi atau mati!” Dan hal itulah yang pernah kita alami saat Belanda, Jepang dan Portugis menjajah negeri kita. Ketika dulu kita menggunakan bambu runcing, maka kini, rakyat Palestina hanya menggunakan batu. Batu keramat yang terbukti membuat tentara Zionis tunggang langgang, bahkan batu-batu kecil itu tak jarang mengenai pesawat tempur Zionis hingga akhirnya terjatuh.
Zionis Israel tidak sendiri. Ia mengajak banyak teman. Bosnya adalah negeri Paman Sam. Tercatat, negeri itu membantu sekitar 620 juta Dolar AS pertahun untuk membiayai perang Israel melawan Palestina. Belum lagi dengan bantuan senjata yang dijual murah, kekuatan diplomasi via PBB dan seterusnya. Termasuk juga melalui penjualan-penjualan produk Yahudi yang melonjak drastis di seluruh dunia, termasuk di negeri kita juga.
Bukan main peran yang dilakukan oleh Zionis Israel dalam upaya memusnahkan segala yangbermerk Palestina. Dalihnya adalah pejuang militan Palestina yang mereka labeli dengan teroris. Dari sana, mereka kemudian menembaki anak-anak, para pemuda, ibu hamil juga orang-orang jompo yang tidak berdosa. Bahkan, cara yang mereka lakukan tak kalah bejatnya.
Ada yang diberondong dengan peluru ketika shalat berjama’ah di masjid, pengantin baru yang diperkosa di depan suaminya kemudian dihabisi, ada pula pembantaian massal ketika mereka mengungsi, sampai penggunaan amunisi-amunisi terlarang saat mereka melancarkan serangan ke pemukiman penduduk di Jalur Gaza. Bom fosfor, misalnya.
Mereka juga memboikot tanah Palestina dari dunia luar. Listrik mati, air diracuni, udarapun tak lagi segar lantaran pencemaran bahan-bahan kimia yang terkandung dalam senjata yang digunakan Israel. Obat-obatan tak mereka dapati, kecuali hanya sedikit saja.
Semangat yang Menyala
Fasilitas fisik di Palestina memang hancur lebur. Mulai rumah sakit, sekolah, hingga gedung pemerintahan dan tempat ibadah. Namun, itu semua tidak menjadikan mereka menyerah atau mengeluh. Yang ada adalah semangat perjuangan yang semakin meninggi. Mereka tidak pernah gentar untuk mati sebagai pahlawan bagi negeri dan agamanya. Mereka rela menumpahkan darah demi kemerdekaan yang diimpikan. Bahkan, ibu-ibu Palestina dengan sukarela menyerahkan anaknya untuk dididik menjadi pahlawan bagi negerinya.
Adalah Ferry Nur, ketua KISPA (Kominte Indonesia untuk Solidaritas Palestina) yang seringkali menyambangi Gaza menuturkan, “Saya tidak sekalipun mendapati ada pengemis di sana. Sedangkan di negeri kita, di sana sini banyak pengemis.”
Kepedulian Tanpa Batas
Adalah Dzikrullah W Pramoedya, salah satu relawan Sahabat al Aqsha yang pernah tinggal di Damaskus bercerita. Ketika terjadi bencana di Wasior dan ‘batuknya’ Gunung Merapi di Yogyakarta, beliau mendapat panggilan telepon dari salah satu Pemimpin Pergerakan Pembebasan Palestina. Dari ujung suara, pemimpin pergerakan itu berkata, “Ustadz, segera ke kantor saya. Ada hal penting yang ingin kami bicarakan.”
Sesampainya di kantor, ustadz Dzikrullah W Pramoedya diminta oleh sang pemimpin untuk menceritakan ihwal gempa di Wasior dan merapi meletus yang tersiar kabarnya sampai ke Penjuru dunia. Setelah ustadz selesai bercerita, sang pemimpin menyodorkan uang tunai senilai 2000 dolar, “Terimalah ini, tanda cinta kami untuk saudara-saudara di Indonesia yang sedang diberi ujian cinta dari Allah. Seribu dolar untuk Wasior, Seribu dollar untuk Jogja.”
Sang ustadz tertunduk haru, matanya digenangi butiran lembut yang bening. Beliau berucap, “Jazakumullah ahsanal jaza’ (semoga Allah memberikan balasan terbaik ) ustadz, tapi apakah kami pantas menerima sumbangan dari Anda? Sementara Anda dan saudara-saudara di Palestina sedang mengalami krisis seperti ini?” Dengan tidak mengurangi senyum, Sang Pemimpin berkata lembut, “Tidak apa-apa ustadz, jangan sungkan. Kami adalah saudara Anda. Ketika kami susah, rakyat Indonesia membela kami dengan aksi dan kerja nyata. Sekarang Anda tengah diberi musibah, jadi kami terpanggil untuk memberi. Meski sedikit, setidaknya itulah bukti cinta kami. Bukankah sesama manusia adalah beraudara?”
Jawaban dari sang pemimpin itu membuat ustadz tidak bisa lagi menolak. Dan dibawalah 2000 dollar itu ke Indonesia. Palestina yang sedang dijajah itu, memberikan sumbangannya untuk Indonesia yang sudah merdeka. Dan dalam waktu berlainan, ketika ada sebagian warga Indonesia yang mencoba membantu Palestina, meski sedikit dan tak seberapa, ada saja orang Indonesia (juga) yang berkata santai, bahkan meremehkan, “Ngapain repot ngurusin Palestina?” Miris.
Hal itu terus berlanjut. Ketika mendengar bahwa di Somalia tengah terjadi krisis, serta merta warga Palestina menyiapkan bantuan. Mereka mengirimkan beberapa dokter bedah dan bahan makanan serta aneka perhiasan yang mereka miliki. Bahkan, berita ini sempat menjadi headline berita di berbagai media internasional, karena bantuan dari Palestina ke Somalia merupakan bantuan yang lebih dulu tiba dibanding bantuan dari Negara lain. Dan ketika itu (bahkan sampai sekarang), sama seperti ketika mereka membantu Yogyakarta dan Wasior, Palestina tengah dihajar oleh Zionis Israel.
Itulah kekuatan jiwa. Ketika nyawa mereka di ujung tanduk sekalipun, masih sempat mengumpulkan bantuan untuk sesamanya. Ketika ditanya, jawaban mereka tak berubah, “Bukankah sesama manusia harus saling membantu? Jika di Somalia mereka tengah kelaparan, maka kita berkewajiban untuk membantu, sesuai jangkaun tangan kita.”
Kita juga harus tahu, bahwa dua Negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Republik Indonesia tercinta ini adalah Mesir dan Palestina. Maka, cukuplah deretan fakta itu menjadi bukti, betapa banyaknya kita berhutang budi pada Palestina. Semoga Palestina segera mendapat haknya untuk merdeka. Karena Penjajahan di atas dunia tidaklah sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan. Sebagaimana dinasehatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Kita tentu prihatin dengan kejadian ini. Apatah lagi, ini bukan yang pertama. Sejak perang tahun 1948, Gaza nyaris menjadi kota mati. Wilayah Palestina-pun semakin mengerucut lantaran dicaplok oleh Zionis Israel. Ironisnya, ketika warga Palestina tengah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mempertahankan negerinya dari penjajah, kita disibukkan dengan penjajah yang berwajah pribumi. Lihat saja mereka yang tidak tahu diri atau mereka yang memang tidak mau tahu. Mereka yang berdasi, duduk di ruangan berpendingin dan busung perutnya lantaran memakan uang rakyat. Jangankan memikirkan Palestina, warga di negerinya sendiripun, mereka kebiri. Termasuk para rakyat yang dengan sukarela menjadikan mereka terpilih menjadi salah satu peserta di kursi panas yang seringkali disalahgunakan untuk menilap uang negara.
Adapula sebagian penduduk negeri ini yang sering berujar, “Ngapain repot membantu Palestina? Ngurus Indonesia saja tidak becus? Masih banyak pengangguran, kemiskinan merajalela dan aneka ketimpangan lainnya?” Pernah, kan? Atau, jangan-jangan kitalah salah satu orang yang sempat berpikiran sepicik itu atau barangkali pernah mengucapkannya?
Palestina adalah negeri suci. Ia adalah simbol Islam lantaran di dalamnya ada masjid al Aqsha. Masjid yang menjadi saksi peristiwa Isra’ Mi’raj, masjid yang merupakan kiblat pertama umat Islam, dan masjid yang diberi pahala berlipat ganda manakala kita shalat di dalamnya dan masjid yang keberkahannya terekam jelas dalam Al Quran Surah al Isra’ [17] ayat pertama:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Zionis Israel Ilegal
Israel adalah negara tidak sah. Ia yang awalnya diberi tumpangan oleh Palestina, kini malah mengusir dan membunuhi tuan rumah. Warga Palestina yang sejatinya pemilik resmi tanah suci itu diusir paksa. Ancamannya mengerikan, “Pergi atau mati!” Dan hal itulah yang pernah kita alami saat Belanda, Jepang dan Portugis menjajah negeri kita. Ketika dulu kita menggunakan bambu runcing, maka kini, rakyat Palestina hanya menggunakan batu. Batu keramat yang terbukti membuat tentara Zionis tunggang langgang, bahkan batu-batu kecil itu tak jarang mengenai pesawat tempur Zionis hingga akhirnya terjatuh.
Zionis Israel tidak sendiri. Ia mengajak banyak teman. Bosnya adalah negeri Paman Sam. Tercatat, negeri itu membantu sekitar 620 juta Dolar AS pertahun untuk membiayai perang Israel melawan Palestina. Belum lagi dengan bantuan senjata yang dijual murah, kekuatan diplomasi via PBB dan seterusnya. Termasuk juga melalui penjualan-penjualan produk Yahudi yang melonjak drastis di seluruh dunia, termasuk di negeri kita juga.
Bukan main peran yang dilakukan oleh Zionis Israel dalam upaya memusnahkan segala yangbermerk Palestina. Dalihnya adalah pejuang militan Palestina yang mereka labeli dengan teroris. Dari sana, mereka kemudian menembaki anak-anak, para pemuda, ibu hamil juga orang-orang jompo yang tidak berdosa. Bahkan, cara yang mereka lakukan tak kalah bejatnya.
Ada yang diberondong dengan peluru ketika shalat berjama’ah di masjid, pengantin baru yang diperkosa di depan suaminya kemudian dihabisi, ada pula pembantaian massal ketika mereka mengungsi, sampai penggunaan amunisi-amunisi terlarang saat mereka melancarkan serangan ke pemukiman penduduk di Jalur Gaza. Bom fosfor, misalnya.
Mereka juga memboikot tanah Palestina dari dunia luar. Listrik mati, air diracuni, udarapun tak lagi segar lantaran pencemaran bahan-bahan kimia yang terkandung dalam senjata yang digunakan Israel. Obat-obatan tak mereka dapati, kecuali hanya sedikit saja.
Semangat yang Menyala
Fasilitas fisik di Palestina memang hancur lebur. Mulai rumah sakit, sekolah, hingga gedung pemerintahan dan tempat ibadah. Namun, itu semua tidak menjadikan mereka menyerah atau mengeluh. Yang ada adalah semangat perjuangan yang semakin meninggi. Mereka tidak pernah gentar untuk mati sebagai pahlawan bagi negeri dan agamanya. Mereka rela menumpahkan darah demi kemerdekaan yang diimpikan. Bahkan, ibu-ibu Palestina dengan sukarela menyerahkan anaknya untuk dididik menjadi pahlawan bagi negerinya.
Adalah Ferry Nur, ketua KISPA (Kominte Indonesia untuk Solidaritas Palestina) yang seringkali menyambangi Gaza menuturkan, “Saya tidak sekalipun mendapati ada pengemis di sana. Sedangkan di negeri kita, di sana sini banyak pengemis.”
Kepedulian Tanpa Batas
Adalah Dzikrullah W Pramoedya, salah satu relawan Sahabat al Aqsha yang pernah tinggal di Damaskus bercerita. Ketika terjadi bencana di Wasior dan ‘batuknya’ Gunung Merapi di Yogyakarta, beliau mendapat panggilan telepon dari salah satu Pemimpin Pergerakan Pembebasan Palestina. Dari ujung suara, pemimpin pergerakan itu berkata, “Ustadz, segera ke kantor saya. Ada hal penting yang ingin kami bicarakan.”
Sesampainya di kantor, ustadz Dzikrullah W Pramoedya diminta oleh sang pemimpin untuk menceritakan ihwal gempa di Wasior dan merapi meletus yang tersiar kabarnya sampai ke Penjuru dunia. Setelah ustadz selesai bercerita, sang pemimpin menyodorkan uang tunai senilai 2000 dolar, “Terimalah ini, tanda cinta kami untuk saudara-saudara di Indonesia yang sedang diberi ujian cinta dari Allah. Seribu dolar untuk Wasior, Seribu dollar untuk Jogja.”
Sang ustadz tertunduk haru, matanya digenangi butiran lembut yang bening. Beliau berucap, “Jazakumullah ahsanal jaza’ (semoga Allah memberikan balasan terbaik ) ustadz, tapi apakah kami pantas menerima sumbangan dari Anda? Sementara Anda dan saudara-saudara di Palestina sedang mengalami krisis seperti ini?” Dengan tidak mengurangi senyum, Sang Pemimpin berkata lembut, “Tidak apa-apa ustadz, jangan sungkan. Kami adalah saudara Anda. Ketika kami susah, rakyat Indonesia membela kami dengan aksi dan kerja nyata. Sekarang Anda tengah diberi musibah, jadi kami terpanggil untuk memberi. Meski sedikit, setidaknya itulah bukti cinta kami. Bukankah sesama manusia adalah beraudara?”
Jawaban dari sang pemimpin itu membuat ustadz tidak bisa lagi menolak. Dan dibawalah 2000 dollar itu ke Indonesia. Palestina yang sedang dijajah itu, memberikan sumbangannya untuk Indonesia yang sudah merdeka. Dan dalam waktu berlainan, ketika ada sebagian warga Indonesia yang mencoba membantu Palestina, meski sedikit dan tak seberapa, ada saja orang Indonesia (juga) yang berkata santai, bahkan meremehkan, “Ngapain repot ngurusin Palestina?” Miris.
Hal itu terus berlanjut. Ketika mendengar bahwa di Somalia tengah terjadi krisis, serta merta warga Palestina menyiapkan bantuan. Mereka mengirimkan beberapa dokter bedah dan bahan makanan serta aneka perhiasan yang mereka miliki. Bahkan, berita ini sempat menjadi headline berita di berbagai media internasional, karena bantuan dari Palestina ke Somalia merupakan bantuan yang lebih dulu tiba dibanding bantuan dari Negara lain. Dan ketika itu (bahkan sampai sekarang), sama seperti ketika mereka membantu Yogyakarta dan Wasior, Palestina tengah dihajar oleh Zionis Israel.
Itulah kekuatan jiwa. Ketika nyawa mereka di ujung tanduk sekalipun, masih sempat mengumpulkan bantuan untuk sesamanya. Ketika ditanya, jawaban mereka tak berubah, “Bukankah sesama manusia harus saling membantu? Jika di Somalia mereka tengah kelaparan, maka kita berkewajiban untuk membantu, sesuai jangkaun tangan kita.”
Kita juga harus tahu, bahwa dua Negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Republik Indonesia tercinta ini adalah Mesir dan Palestina. Maka, cukuplah deretan fakta itu menjadi bukti, betapa banyaknya kita berhutang budi pada Palestina. Semoga Palestina segera mendapat haknya untuk merdeka. Karena Penjajahan di atas dunia tidaklah sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan. Sebagaimana dinasehatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar