Selama pola rekrutmen dan pembinaan yang sistematis itu tidak mengalami perbaikan, penulis pesimistis kualitas guru akan terdongkrak naik. Akhirnya, justru hal itu menjadi sebab kegagalan implementasi kurikulum baru.
Kualitas guru nasional yang rendah sudah lama menjadi sorotan publik. Bahkan penutupan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dan perubahan dari IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) menjadi universitas pun didasari oleh keprihatinan atas rendahnya kualitas para calon murid/mahasiswa yang masuk ke kedua institusi tersebut, yang kemudian berdampak rendahnya kualitas lulusannya. Pembubaran SPG dan IKIP itu sendiri merupakan hasil dari rekomendasi Bank Dunia.
Kritik Bank Dunia adalah, para lulusan SPG dan IKIP itu dinilai memiliki keterampilan mengajar yang baik tapi minim penguasaan ilmu dasar. Dengan dihapuskannya SPG, diharapkan yang menjadi guru SD adalah lulusan SMA plus sekolah dua tahun di PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar) yang didirikan di beberapa IKIP. Dengan demikian, pengetahuan dasarnya lebih tinggi, sedangkan kemampuan mengajarnya dipelajari di PGSD. Demikian pula, pembubaran IKIP didorong oleh kenyataan bahwa selama itu yang masuk ke IKIP adalah lulusan SMA bukan yang terbaik. Lulusan SMA terbaik masuk ke PTN-PTN terkemuka di negeri ini. Tapi yang terjadi di lapangan adalah tetap saja yang masuk ke universitas eks IKIP adalah mereka yang tidak diterima di PTN-PTN terkemuka.
Seleksi calon guru berlangsung lebih buruk lagi karena para calon guru itu digodok di fakultas keguruan di setiap universitas eks IKIP tersebut. Mereka yang masuk ke fakultas keguruan adalah yang tidak diterima di fakultas-fakultas ilmu murni. Dengan kata lain, kualitas para calon guru itu sebetulnya paling bawah. Ini memang kesalahan konsep pembubaran IKIP. Semestinya pembubaran IKIP tidak perlu disertai dengan pembentukan fakultas keguruan di dalamnya agar memperoleh input yang lebih bagus. Kecuali itu, kalau masih harus membuka fakultas keguruan untuk mendidik calon guru, mengapa IKIP harus dibubarkan?
Memercik Muka Sendiri
Tahun ini pembubaran SPG sudah mencapai usia ke-24 dan perubahan IKIP menjadi universitas mencapai usia ke-17 tahun. Artinya, para lulusan PGSD dan universitas eks IKIP itu sekarang telah menjadi guru senior. Sangat mungkin mereka juga menjadi obyek penelitian Bank Dunia tentang kualitas guru. Jadi, sebetulnya Bank Dunia sudah mengetahui buruknya kualitas guru di Indonesia sejak dulu. Karena itu, kritik Bank Dunia terhadap kualitas guru seperti terangkum dalam laporan tentang Education Public Expenditure Review (Tinjauan Belanja Publik di Sektor Pendidikan) sebagaimana dikutip oleh Sukemi, Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Komunikasi Media (Tempo, 25 Maret 2013), bukan hal baru. Laporan itu ibarat memercik air di dulang, terkena muka sendiri. Mengapa? Guru-guru yang mengajar saat ini dengan usia 50 tahun ke bawah merupakan produk dari pemikiran besar (grand design) Bank Dunia dengan pembubaran SPG dan IKIP tersebut, tapi hasilnya sekarang dikritik sendiri.
Penulis, sejak 2004, ketika proses penyusunan Rancangan Undang-Undang Guru dan Dosen sedang berlangsung, sudah mengingatkan bahwa: "Guru yang ada saat ini, meskipun ditingkatkan gajinya dua kali lipat, kenaikan kualitasnya tidak akan signifikan karena memang salah dalam rekrutmen. Karena itu, pemberian tunjangan profesi tidak boleh dikaitkan dengan peningkatan kualitas mereka, lantaran itu hak mereka sebagai guru yang disebut sebagai tenaga profesional. Bila ingin mendapatkan kualitas guru yang baik, lakukan tes ulang secara massal, dan hanya mereka yang lolos uji ulang yang layak menjadi guru".
Perbaikan Proses Rekrutmen
Menghadapi buruknya kualitas guru saat ini membutuhkan penanganan khusus. Tapi penanganan khusus yang dimaksudkan itu tidak sesederhana melalui program pelatihan seperti yang dikemukakan oleh Sukemi dalam Koran Tempo (25/3) lalu. Bahwa pelatihan yang serius dapat berperan meningkatkan kualitas guru, hal itu tidak terelakkan, tapi signifikansinya tidak seberapa. Kecuali itu, selama ini mayoritas guru tidak pernah mengikuti program pelatihan selama menjadi guru, karena pelatihan pada umumnya hanya diikuti oleh guru yang itu-itu juga, yaitu guru yang dekat dengan pengawas. Guru pada umumnya, terlebih guru-guru swasta-ada yang sampai pensiun-tidak pernah sekalipun mengikuti program pelatihan.
Upaya mendongkrak kualitas guru yang signifikan bisa dilakukan melalui pembenahan pola rekrutmen dan pembinaan yang baik. Pola rekrutmen yang baik akan menghasilkan calon-calon guru yang berkualitas karena seleksi dilakukan secara ketat dan bertahap. Pola rekrutmen yang penulis usulkan sejak awal reformasi dulu adalah sistem tertulis dan praktek di lapangan. Tes tertulis calon guru terbuka bagi semua sarjana yang berminat menjadi guru, bukan hanya lulusan LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). Setelah lulus tes tertulis, kemudian mereka diminta melakukan praktek mengajar selama satu tahun.
Penilaian seorang calon guru cakap mengajar atau tidak-sehingga layak diangkat jadi guru PNS atau tidak-diberikan oleh murid yang diajar, bukan oleh guru senior, kepala sekolah, ataupun pengawas. Mengapa? Murid tidak memiliki kepentingan subyektif, kecuali hanya berharap mendapatkan guru yang cakap mengajar. Tapi guru senior, kepala sekolah, dan pengawas cenderung resistan terhadap calon-calon guru yang kritis, kreatif, dan inovatif sehingga yang diterima justru guru-guru yang patuh. Setelah lolos menjalani kerja praktek di lapangan, barulah mereka bisa diangkat menjadi guru.
Pola rekrutmen seperti yang penulis usulkan itu sekarang diwadahi dalam program Sarjana Mengajar di Daerah Tertinggal, Terbelakang, dan Terluar (SM3T). Hanya bedanya, peserta SM3T adalah para sarjana lulusan LPTK saja, sedangkan, menurut penulis, semestinya itu terbuka untuk semua sarjana strata satu (S-1). Para peserta SM3T, setelah lolos menjalani kerja praktek di lapangan, diikutsertakan dalam program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Setelah lulus, barulah PPG bisa diangkat menjadi guru PNS. Harapan penulis, peserta SM3T itu dapat diperluas ke semua lulusan S-1 sesuai dengan semangat pembubaran IKIP.
Sedangkan pola pembinaan yang penulis maksudkan adalah di lingkup internal sekolah. Sekolah-sekolah swasta yang maju selalu memberikan beasiswa kepada para gurunya untuk studi lanjut, memfasilitasi pembelian buku, wisata belajar ke luar negeri, serta ikut pelatihan ini-itu sehingga wawasannya berkembang. Pembinaan yang sama jarang terjadi di sekolah-sekolah negeri. Bila melakukan studi lanjut, umumnya mereka menggunakan biaya sendiri. Selama pola rekrutmen dan pembinaan yang sistematis itu tidak mengalami perbaikan, penulis pesimistis kualitas guru akan terdongkrak naik. Akhirnya, justru hal itu menjadi sebab kegagalan implementasi kurikulum baru. Sebab, kurikulum sebagus apa pun, jika berada di tangan guru yang jelek, hasilnya tetap saja jelek. Tapi kurikulum sejelek apa pun, jika berada di tangan guru yang bagus, hasilnya akan bagus.
Kualitas guru nasional yang rendah sudah lama menjadi sorotan publik. Bahkan penutupan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dan perubahan dari IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) menjadi universitas pun didasari oleh keprihatinan atas rendahnya kualitas para calon murid/mahasiswa yang masuk ke kedua institusi tersebut, yang kemudian berdampak rendahnya kualitas lulusannya. Pembubaran SPG dan IKIP itu sendiri merupakan hasil dari rekomendasi Bank Dunia.
Kritik Bank Dunia adalah, para lulusan SPG dan IKIP itu dinilai memiliki keterampilan mengajar yang baik tapi minim penguasaan ilmu dasar. Dengan dihapuskannya SPG, diharapkan yang menjadi guru SD adalah lulusan SMA plus sekolah dua tahun di PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar) yang didirikan di beberapa IKIP. Dengan demikian, pengetahuan dasarnya lebih tinggi, sedangkan kemampuan mengajarnya dipelajari di PGSD. Demikian pula, pembubaran IKIP didorong oleh kenyataan bahwa selama itu yang masuk ke IKIP adalah lulusan SMA bukan yang terbaik. Lulusan SMA terbaik masuk ke PTN-PTN terkemuka di negeri ini. Tapi yang terjadi di lapangan adalah tetap saja yang masuk ke universitas eks IKIP adalah mereka yang tidak diterima di PTN-PTN terkemuka.
Seleksi calon guru berlangsung lebih buruk lagi karena para calon guru itu digodok di fakultas keguruan di setiap universitas eks IKIP tersebut. Mereka yang masuk ke fakultas keguruan adalah yang tidak diterima di fakultas-fakultas ilmu murni. Dengan kata lain, kualitas para calon guru itu sebetulnya paling bawah. Ini memang kesalahan konsep pembubaran IKIP. Semestinya pembubaran IKIP tidak perlu disertai dengan pembentukan fakultas keguruan di dalamnya agar memperoleh input yang lebih bagus. Kecuali itu, kalau masih harus membuka fakultas keguruan untuk mendidik calon guru, mengapa IKIP harus dibubarkan?
Memercik Muka Sendiri
Tahun ini pembubaran SPG sudah mencapai usia ke-24 dan perubahan IKIP menjadi universitas mencapai usia ke-17 tahun. Artinya, para lulusan PGSD dan universitas eks IKIP itu sekarang telah menjadi guru senior. Sangat mungkin mereka juga menjadi obyek penelitian Bank Dunia tentang kualitas guru. Jadi, sebetulnya Bank Dunia sudah mengetahui buruknya kualitas guru di Indonesia sejak dulu. Karena itu, kritik Bank Dunia terhadap kualitas guru seperti terangkum dalam laporan tentang Education Public Expenditure Review (Tinjauan Belanja Publik di Sektor Pendidikan) sebagaimana dikutip oleh Sukemi, Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Komunikasi Media (Tempo, 25 Maret 2013), bukan hal baru. Laporan itu ibarat memercik air di dulang, terkena muka sendiri. Mengapa? Guru-guru yang mengajar saat ini dengan usia 50 tahun ke bawah merupakan produk dari pemikiran besar (grand design) Bank Dunia dengan pembubaran SPG dan IKIP tersebut, tapi hasilnya sekarang dikritik sendiri.
Penulis, sejak 2004, ketika proses penyusunan Rancangan Undang-Undang Guru dan Dosen sedang berlangsung, sudah mengingatkan bahwa: "Guru yang ada saat ini, meskipun ditingkatkan gajinya dua kali lipat, kenaikan kualitasnya tidak akan signifikan karena memang salah dalam rekrutmen. Karena itu, pemberian tunjangan profesi tidak boleh dikaitkan dengan peningkatan kualitas mereka, lantaran itu hak mereka sebagai guru yang disebut sebagai tenaga profesional. Bila ingin mendapatkan kualitas guru yang baik, lakukan tes ulang secara massal, dan hanya mereka yang lolos uji ulang yang layak menjadi guru".
Perbaikan Proses Rekrutmen
Menghadapi buruknya kualitas guru saat ini membutuhkan penanganan khusus. Tapi penanganan khusus yang dimaksudkan itu tidak sesederhana melalui program pelatihan seperti yang dikemukakan oleh Sukemi dalam Koran Tempo (25/3) lalu. Bahwa pelatihan yang serius dapat berperan meningkatkan kualitas guru, hal itu tidak terelakkan, tapi signifikansinya tidak seberapa. Kecuali itu, selama ini mayoritas guru tidak pernah mengikuti program pelatihan selama menjadi guru, karena pelatihan pada umumnya hanya diikuti oleh guru yang itu-itu juga, yaitu guru yang dekat dengan pengawas. Guru pada umumnya, terlebih guru-guru swasta-ada yang sampai pensiun-tidak pernah sekalipun mengikuti program pelatihan.
Upaya mendongkrak kualitas guru yang signifikan bisa dilakukan melalui pembenahan pola rekrutmen dan pembinaan yang baik. Pola rekrutmen yang baik akan menghasilkan calon-calon guru yang berkualitas karena seleksi dilakukan secara ketat dan bertahap. Pola rekrutmen yang penulis usulkan sejak awal reformasi dulu adalah sistem tertulis dan praktek di lapangan. Tes tertulis calon guru terbuka bagi semua sarjana yang berminat menjadi guru, bukan hanya lulusan LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). Setelah lulus tes tertulis, kemudian mereka diminta melakukan praktek mengajar selama satu tahun.
Penilaian seorang calon guru cakap mengajar atau tidak-sehingga layak diangkat jadi guru PNS atau tidak-diberikan oleh murid yang diajar, bukan oleh guru senior, kepala sekolah, ataupun pengawas. Mengapa? Murid tidak memiliki kepentingan subyektif, kecuali hanya berharap mendapatkan guru yang cakap mengajar. Tapi guru senior, kepala sekolah, dan pengawas cenderung resistan terhadap calon-calon guru yang kritis, kreatif, dan inovatif sehingga yang diterima justru guru-guru yang patuh. Setelah lolos menjalani kerja praktek di lapangan, barulah mereka bisa diangkat menjadi guru.
Pola rekrutmen seperti yang penulis usulkan itu sekarang diwadahi dalam program Sarjana Mengajar di Daerah Tertinggal, Terbelakang, dan Terluar (SM3T). Hanya bedanya, peserta SM3T adalah para sarjana lulusan LPTK saja, sedangkan, menurut penulis, semestinya itu terbuka untuk semua sarjana strata satu (S-1). Para peserta SM3T, setelah lolos menjalani kerja praktek di lapangan, diikutsertakan dalam program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Setelah lulus, barulah PPG bisa diangkat menjadi guru PNS. Harapan penulis, peserta SM3T itu dapat diperluas ke semua lulusan S-1 sesuai dengan semangat pembubaran IKIP.
Sedangkan pola pembinaan yang penulis maksudkan adalah di lingkup internal sekolah. Sekolah-sekolah swasta yang maju selalu memberikan beasiswa kepada para gurunya untuk studi lanjut, memfasilitasi pembelian buku, wisata belajar ke luar negeri, serta ikut pelatihan ini-itu sehingga wawasannya berkembang. Pembinaan yang sama jarang terjadi di sekolah-sekolah negeri. Bila melakukan studi lanjut, umumnya mereka menggunakan biaya sendiri. Selama pola rekrutmen dan pembinaan yang sistematis itu tidak mengalami perbaikan, penulis pesimistis kualitas guru akan terdongkrak naik. Akhirnya, justru hal itu menjadi sebab kegagalan implementasi kurikulum baru. Sebab, kurikulum sebagus apa pun, jika berada di tangan guru yang jelek, hasilnya tetap saja jelek. Tapi kurikulum sejelek apa pun, jika berada di tangan guru yang bagus, hasilnya akan bagus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar