Hampir tiap tahun semenjak Ujian Nasional diselenggarakan menimbulkan kontroversi yang tidak main-main. Pada dasarnya tujuan pemerintah dalam melaksanakan Ujian Nasional ini lebih kepada meningkatkan mutu pendidikan. Katanya, mutu pendidikan di Indonesia masih dianggap rendah dibandingkan dengan negara lain. Saya malah bertanya-tanya, mutu pendidikan bagian mana yang masih kurang menurut pemerintah kita? Jawabannya, jelas banyak sekali. Kesannya saya jadi membual sendiri mengenai pendidikan negara kita. Jika kita mendalami lebih sensitif, argumen pemerintah sangat benar adanya, bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih dibawah standar!
Lantas, pemerintah menggembar-gemborkan isu Ujian Nasional dapat meningkatkan mutu pendidikan itu. Bahwa Ujian Nasional dapat menjangkau semua kalangan mulai dari ibu kota sampai pelosok desa yang masih dalam garis merah dalam belajar. Kenapa saya katakan garis merah, karena proses belajar mengajar masih diam ditempat dan tidak mengalami perkembangan. Bandingkan saja, tidak perlu jauh-jauh dengan sekolah-sekolah di ibu kota, antara sekolah di kabupaten saja dengan sekolah di pelosok desa sangat jauh berbeda. Mulai dari fasilitas sampai guru yang bisa garisbawahi sebagai pengajar profesional.
Saya merasa hal ini sangat timpang. Tidak berimbang antara anggapan pemerintah dengan realita di lapangan. Jika memang Muhammad Nuh, sebagai Menteri Pendidikan mampu melihat jauh ke pelosok, bahkan pernah menjejaki sekolah di daerah terpencil tentu pelaksanaan Ujian Nasional akan kembali mengalami revisi. Saya tidak mengetahui dengan benar apakah sudah dikunjungi sekolah-sekolah dengan berbagai keterbatasan atau sebaliknya. Berandai saja, jika benar Muhammad Nuh sendiri sudah berkunjung ke sekolah di daerah terpencil lalu tetap melaksanakan Ujian Nasional, anggapan yang muncul akan lebih tidak masuk akal. Menurut saya pribadi, sebagai orang yang tiap saat melihat proses belajar mengajar di daerah terpencil, sungguh kasihan siswa-siswi belajar dengan berbagai keterbatasan.
Kriteria suatu sekolah melaksanakan Ujian Nasional bukanlah seperti membalik telapak tangan. Sekolah tersebut minimal harus memiliki guru tetap perbidang studi. Lalu memiliki fasilitas laboratorium IPA, laboratorium Bahasa, laboratorium komputer, alat-alat praktikum, buku-buku lengkap di perpustakaan, metode pembelajaran yang kreatif dan efektif, bahkan jam mengajar sampai kesiplinan juga benar-benar harus tertata dengan profesional. Nah, jika hal tersebut belum tercapai, Ujian Nasional hanya menjadi bomerang yang menggelegar bagi sekolah pelaksana.
Pemerintah memang sudah berupaya memberikan yang terbaik dalam pelaksanakan Ujian Nasional. Pada awal pelaksanaannya, Ujian Nasional dilaksanakan dengan dua paket soal saja. Lalu isu kecurangan mulai merebak, berbagai lembaga bahkan menjadikan ini sebagai pekerjaan untuk meneliti dan membuktikan kecurangan. Menyikapi hal tersebut Ujian Nasional kemudian diubah dengan menambahkan lima paket soal. Walau demikian isu kecurangan tetap terjadi di mana-mana. Tidak hanya di ibu kota yang dianggap mempunyai sekolah berbobot, di daerah-daerah pun isu ini kerap menjadi angin segar kemudian ditertawakan. Masyarakat yang mendengar dan merasakan aura Ujian Nasional kemudian menilai bahwa ujian tersebut hanya formalitas semata, karena kunci jawaban sudah tersedia.
Inilah yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah, Ujian Nasional tidak bisa dilaksanakan dengan main-main. Harus benar-benar serius! Berbagai isu kemudian berkembang dan akhirnya sampai pada titik terakhir sebelum pelaksanaan Ujian Nasional tanggal 15 April 2013 untuk SMA sederajat, dan 22 April 2013 untuk SMP sederajat. Bahwa paket soal Ujian Nasional akan berlimpat mencapai angka 20. Artinya setiap ruang siswa akan memiliki satu paket sendiri. Paket soal yang banyak itu tidak lantas selesai begitu saja, bahkan simpang siur informasi memberikan isu bahwa soal akan diberikan sesuai dengan jumlah peserta ujian. Semakin beribet dan membingungkan. Namun, hal krusial yang akan membuat pikiran siswa lebih bercabang setiap soal yang diberikan berpasangan dengan lembar jawaban. Jika mengalami kerusakan maka siswa harus mengulang dari awal dengan kode soal yang berbeda.
Jadilah setiap tahun siswa-siswi menjadi korban percobaan pelaksanaan Ujian Nasional. Tahun ini dengan paket soal 20 dan berkode tersendiri dan satu paket dengan lembar jawaban. Bisa jadi tahun depan akan benar-benar terjadi paket soal sejumlah dengan siswa ujian persekolah pelaksana.
Percobaan pemerintah berdasar pada meningkatkan mutu pendidikan. Mutu pendidikan akan meningkat jika hasil Ujian Nasional mencapai angka 100%. Lalu tugas guru di sekolah hanya mengajarkan yang penting-penting saja sesuai kisi-kisi soal Ujian Nasional. Guru tidak punya hak lagi menuntut siswa berakhlak baik dan mengerjakan segala sesuatu sesuai prosedur. Pada akhirnya guru tidak dihargai oleh siswa karena dalam benak mereka, tiap tahun Ujian Nasional itu mengalami kecurangan. Tahun lalu kunci jawaban bisa beredar dengan mudah, tahun ini juga demikian. Siswa-siswi senang-senang saja karena akan ada yang bantu.
Lantas, pemerintah menggembar-gemborkan isu Ujian Nasional dapat meningkatkan mutu pendidikan itu. Bahwa Ujian Nasional dapat menjangkau semua kalangan mulai dari ibu kota sampai pelosok desa yang masih dalam garis merah dalam belajar. Kenapa saya katakan garis merah, karena proses belajar mengajar masih diam ditempat dan tidak mengalami perkembangan. Bandingkan saja, tidak perlu jauh-jauh dengan sekolah-sekolah di ibu kota, antara sekolah di kabupaten saja dengan sekolah di pelosok desa sangat jauh berbeda. Mulai dari fasilitas sampai guru yang bisa garisbawahi sebagai pengajar profesional.
Saya merasa hal ini sangat timpang. Tidak berimbang antara anggapan pemerintah dengan realita di lapangan. Jika memang Muhammad Nuh, sebagai Menteri Pendidikan mampu melihat jauh ke pelosok, bahkan pernah menjejaki sekolah di daerah terpencil tentu pelaksanaan Ujian Nasional akan kembali mengalami revisi. Saya tidak mengetahui dengan benar apakah sudah dikunjungi sekolah-sekolah dengan berbagai keterbatasan atau sebaliknya. Berandai saja, jika benar Muhammad Nuh sendiri sudah berkunjung ke sekolah di daerah terpencil lalu tetap melaksanakan Ujian Nasional, anggapan yang muncul akan lebih tidak masuk akal. Menurut saya pribadi, sebagai orang yang tiap saat melihat proses belajar mengajar di daerah terpencil, sungguh kasihan siswa-siswi belajar dengan berbagai keterbatasan.
Kriteria suatu sekolah melaksanakan Ujian Nasional bukanlah seperti membalik telapak tangan. Sekolah tersebut minimal harus memiliki guru tetap perbidang studi. Lalu memiliki fasilitas laboratorium IPA, laboratorium Bahasa, laboratorium komputer, alat-alat praktikum, buku-buku lengkap di perpustakaan, metode pembelajaran yang kreatif dan efektif, bahkan jam mengajar sampai kesiplinan juga benar-benar harus tertata dengan profesional. Nah, jika hal tersebut belum tercapai, Ujian Nasional hanya menjadi bomerang yang menggelegar bagi sekolah pelaksana.
Pemerintah memang sudah berupaya memberikan yang terbaik dalam pelaksanakan Ujian Nasional. Pada awal pelaksanaannya, Ujian Nasional dilaksanakan dengan dua paket soal saja. Lalu isu kecurangan mulai merebak, berbagai lembaga bahkan menjadikan ini sebagai pekerjaan untuk meneliti dan membuktikan kecurangan. Menyikapi hal tersebut Ujian Nasional kemudian diubah dengan menambahkan lima paket soal. Walau demikian isu kecurangan tetap terjadi di mana-mana. Tidak hanya di ibu kota yang dianggap mempunyai sekolah berbobot, di daerah-daerah pun isu ini kerap menjadi angin segar kemudian ditertawakan. Masyarakat yang mendengar dan merasakan aura Ujian Nasional kemudian menilai bahwa ujian tersebut hanya formalitas semata, karena kunci jawaban sudah tersedia.
Inilah yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah, Ujian Nasional tidak bisa dilaksanakan dengan main-main. Harus benar-benar serius! Berbagai isu kemudian berkembang dan akhirnya sampai pada titik terakhir sebelum pelaksanaan Ujian Nasional tanggal 15 April 2013 untuk SMA sederajat, dan 22 April 2013 untuk SMP sederajat. Bahwa paket soal Ujian Nasional akan berlimpat mencapai angka 20. Artinya setiap ruang siswa akan memiliki satu paket sendiri. Paket soal yang banyak itu tidak lantas selesai begitu saja, bahkan simpang siur informasi memberikan isu bahwa soal akan diberikan sesuai dengan jumlah peserta ujian. Semakin beribet dan membingungkan. Namun, hal krusial yang akan membuat pikiran siswa lebih bercabang setiap soal yang diberikan berpasangan dengan lembar jawaban. Jika mengalami kerusakan maka siswa harus mengulang dari awal dengan kode soal yang berbeda.
Jadilah setiap tahun siswa-siswi menjadi korban percobaan pelaksanaan Ujian Nasional. Tahun ini dengan paket soal 20 dan berkode tersendiri dan satu paket dengan lembar jawaban. Bisa jadi tahun depan akan benar-benar terjadi paket soal sejumlah dengan siswa ujian persekolah pelaksana.
Percobaan pemerintah berdasar pada meningkatkan mutu pendidikan. Mutu pendidikan akan meningkat jika hasil Ujian Nasional mencapai angka 100%. Lalu tugas guru di sekolah hanya mengajarkan yang penting-penting saja sesuai kisi-kisi soal Ujian Nasional. Guru tidak punya hak lagi menuntut siswa berakhlak baik dan mengerjakan segala sesuatu sesuai prosedur. Pada akhirnya guru tidak dihargai oleh siswa karena dalam benak mereka, tiap tahun Ujian Nasional itu mengalami kecurangan. Tahun lalu kunci jawaban bisa beredar dengan mudah, tahun ini juga demikian. Siswa-siswi senang-senang saja karena akan ada yang bantu.
Sedangkan guru – yang tidak berharga lagi di mata siswa itu – tidak bisa berbuat apa-apa. Nilai semester yang diberikan seakan menjadi angin lalu karena semua hasil kembali pada Ujian Nasional. Memang benar 40% diambil dari sekolah, namun itu hanya berupa angka-angka. Bukan sopan santun dan sejenisnya. Guru tidak berhak menentukan kelulusan siswa seperti halnya pada rapat kenaikan kelas. Hanya Ujian Nasional yang berhak memberikan Ijazah kepada siswa, apakah berakhlak mulia, sopan, bersikap baik, pintar atau tidak bukanlah soal yang urgen. Hanya ikut Ujian Nasional saja. Jika demikian, untuk apa sekolah sampai 3 tahun lamanya dan menghabiskan uang banyak, tinggal ikut Ujian Nasional saja akan mendapatkan Ijazah!
Semua sudah terjadi. Biar pun saya berkoar-koar beratus halaman, Ujian Nasional akna tetap terlaksana tanggal 15 April mendatang. Hasilnya akan keluar di perkiraan 26 Mei. Jika lulus, akan membawa kesenangan. Dan jika tidak lulus akan menambah beban negara karena usia muda sudah menggila. Walaupun tidak sampai taraf gila sebenarnya, namun stress yang ditimbulkan oleh kegagalan Ujian Nasional bisa menyebabkan generasi muda tidak bermoral. Banyak kasus terjadi, pembakaran sekolah, dan lain-lain. Faktanya, media memuat berita ini sampai sebulan lebih seusai pengumuman Ujian Nasional.
Tahun 2013 memang sangat berat untuk lulusan SMA dan SMP. Tapi Ujian Nasional bukanlah sebuah kegagalan jika tidak lulus. Mereka dengan mudah mendapatkan Ijazah Paket C lalu mengikuti perkuliahan. Kegagalan yang nyata bahwa Ujian Nasional semakin menjadi percobaan yang tiada henti, sedangkan mutu pendidikan semakin dinilai dengan angka-angka. Tahun ini begini, tahun depan begitu. Sampai akhirnya pendidikan diselenggarakan hanya untuk mengajar angka yang sudah ditetapkan pemerintah. Mana mungkin sekolah di pelosok bisa lulus 100% jika fasilitas tidak memadai?
Kita tunggu saja, percobaan ini akan sampai mana terurai. Seperti siswa-siswi sekolah percontohan yang kerap melaksanakan praktikum Fisika. Jika lampu padam artinya kawat yang dirangkai belum sesuai. Dan jika menyala percobaan mereka berhasil. Ujian Nasional akan berujung demikian, keegoisan pemerintah pada pelaksanaan Ujian Nasional dengan dana milyaran rupiah akan berakhir pada hasil fana. Mutu pendidikan akan tetap berada pada rangking yang sama, jika fasilitas tidak mendukung, jika peningkatan guru profesional hanya pada guru yang mengajar di ibu kota, provinsi, kabupaten/kota, dan jika sekolah-sekolah daerah terpencil dianaktirikan. Pemerintah harus berbuat, jangan hanya menandatangi peraturan ini itu yang kemudian merugikan siswa-siswi, generasi muda Indonesia!
Semua sudah terjadi. Biar pun saya berkoar-koar beratus halaman, Ujian Nasional akna tetap terlaksana tanggal 15 April mendatang. Hasilnya akan keluar di perkiraan 26 Mei. Jika lulus, akan membawa kesenangan. Dan jika tidak lulus akan menambah beban negara karena usia muda sudah menggila. Walaupun tidak sampai taraf gila sebenarnya, namun stress yang ditimbulkan oleh kegagalan Ujian Nasional bisa menyebabkan generasi muda tidak bermoral. Banyak kasus terjadi, pembakaran sekolah, dan lain-lain. Faktanya, media memuat berita ini sampai sebulan lebih seusai pengumuman Ujian Nasional.
Tahun 2013 memang sangat berat untuk lulusan SMA dan SMP. Tapi Ujian Nasional bukanlah sebuah kegagalan jika tidak lulus. Mereka dengan mudah mendapatkan Ijazah Paket C lalu mengikuti perkuliahan. Kegagalan yang nyata bahwa Ujian Nasional semakin menjadi percobaan yang tiada henti, sedangkan mutu pendidikan semakin dinilai dengan angka-angka. Tahun ini begini, tahun depan begitu. Sampai akhirnya pendidikan diselenggarakan hanya untuk mengajar angka yang sudah ditetapkan pemerintah. Mana mungkin sekolah di pelosok bisa lulus 100% jika fasilitas tidak memadai?
Kita tunggu saja, percobaan ini akan sampai mana terurai. Seperti siswa-siswi sekolah percontohan yang kerap melaksanakan praktikum Fisika. Jika lampu padam artinya kawat yang dirangkai belum sesuai. Dan jika menyala percobaan mereka berhasil. Ujian Nasional akan berujung demikian, keegoisan pemerintah pada pelaksanaan Ujian Nasional dengan dana milyaran rupiah akan berakhir pada hasil fana. Mutu pendidikan akan tetap berada pada rangking yang sama, jika fasilitas tidak mendukung, jika peningkatan guru profesional hanya pada guru yang mengajar di ibu kota, provinsi, kabupaten/kota, dan jika sekolah-sekolah daerah terpencil dianaktirikan. Pemerintah harus berbuat, jangan hanya menandatangi peraturan ini itu yang kemudian merugikan siswa-siswi, generasi muda Indonesia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar