Sajak Ujian Nasional I
Bila harinya tiba
Tiba-tiba kita baru sadar bahwa inilah harinya
Belajar 9 cawu atau 6 semester
Hanya ditentukan ketuntasannya dalam 6 hari dalam seminggu
Kalau gagal, bisa fatal
Mengulang, menanggung malu
Meninggalkan, sama saja membuang masa depan
Sedangkan kita punya mimpi-mimpi yang terlanjur ditargetkan
Lalu kita ikuti aneka wacana
Bahwa ujian nasional bukanlah penilaian bijaksana
Ini salah pemerintah
Ini salah menteri
Ini salah presiden
Ini salah bapak ibu mengapa menyekolahkan
Kita tidak merasa salah
Dengan dalil kenakalan remaja memang harus dialami ketika remaja
Kalau ketika dewasa itu disebut kenakalan dewasa
Oom atau tante nakal misalnya
Karena berpusing dengan aneka pikiran
Malam tak bisa membawa kantuk
Esok pagi datang ke sekolah
Dengan tangan berisi pensil 2B
Tapi pikiran kosong
Ketika melihat soal ujian
Pusing tiba-tiba menyerang
Untung akal muslihat masih terang
Lebih baik menjatuhkan badan di ruang ujian
Dan teriak-teriak meniru suara harimau atau kadal
Yang penting judulnya kesurupan
Esoknya kita melihat akting kita di layar kaca
Jadi berita
Bukankah belajar itu tidak gampang?
Tentu, bagi orang yang tak perlu ilmu
Tapi menceburkan diri ke bangku sekolahan
Norman Adi Satria
Sajak Ujian Nasional II
bisakah kualitas diukur dengan angka-angka,
atau sebaliknya,
mampukah angka-angka mengukur kualitas?
angka enam tak lebih buruk dari sembilan
meski bentuk kepalanya berubah jadi perut.
beda lagi jika kau mengukurnya dalam kuantitas
tentu enam lebih sedikit ketimbang sembilan,
dan sebaliknya.
pemimpin negeri ngotot:
kualitas anak bangsa
harus dihitung dengan angka.
yang goblok bukan berarti tak mampu dapat sepuluh,
yang pintar bisa saja dapat dua setengah,
lalu yang goblok dianggap pintar
yang pintar dianggap goblok.
lagi pula pintar dan goblok tak hanya bisa diukur melalui sebidang hafalan,
bisa jadi yang nilainya besar itu hanya lihai dalam bidang menghafal,
namun nol dalam penerapan ilmu:
pendidikan budi pekerti dapat nilai
sempurna,
dalam praktek jadi pelaku asusila,
matematika dapat sempurna,
sehari-hari jadi bandar judi bola.
sudahlah,
simpan angka-angka itu untuk mengukur:
berapa pajak yang diberi oleh rakyat
dari mulai beli kolor sampai motor,
dari mulai penjulan lanting sampai buang kencing,
dari mulai produksi bubur hingga masuk liang kubur;
rakyat kenyang bayar segala pajak,
namun masih ada yang tak mampu beli ketoprak.
lalu pikirkan kembali:
takaran apa yang bisa mengukur kualitas,
misalnya dengan suatu fakta kegagalan dalam melaksanakan tugas.
contoh konkretnya:
kegagalan dalam menyelenggarakan ujian nasional,
yang dapat mengukur kualitas sistem penyelenggaraan pendidikan negeri kita.
Norman Adi Satria
Bila harinya tiba
Tiba-tiba kita baru sadar bahwa inilah harinya
Belajar 9 cawu atau 6 semester
Hanya ditentukan ketuntasannya dalam 6 hari dalam seminggu
Kalau gagal, bisa fatal
Mengulang, menanggung malu
Meninggalkan, sama saja membuang masa depan
Sedangkan kita punya mimpi-mimpi yang terlanjur ditargetkan
Lalu kita ikuti aneka wacana
Bahwa ujian nasional bukanlah penilaian bijaksana
Ini salah pemerintah
Ini salah menteri
Ini salah presiden
Ini salah bapak ibu mengapa menyekolahkan
Kita tidak merasa salah
Dengan dalil kenakalan remaja memang harus dialami ketika remaja
Kalau ketika dewasa itu disebut kenakalan dewasa
Oom atau tante nakal misalnya
Karena berpusing dengan aneka pikiran
Malam tak bisa membawa kantuk
Esok pagi datang ke sekolah
Dengan tangan berisi pensil 2B
Tapi pikiran kosong
Ketika melihat soal ujian
Pusing tiba-tiba menyerang
Untung akal muslihat masih terang
Lebih baik menjatuhkan badan di ruang ujian
Dan teriak-teriak meniru suara harimau atau kadal
Yang penting judulnya kesurupan
Esoknya kita melihat akting kita di layar kaca
Jadi berita
Bukankah belajar itu tidak gampang?
Tentu, bagi orang yang tak perlu ilmu
Tapi menceburkan diri ke bangku sekolahan
Norman Adi Satria
Sajak Ujian Nasional II
bisakah kualitas diukur dengan angka-angka,
atau sebaliknya,
mampukah angka-angka mengukur kualitas?
angka enam tak lebih buruk dari sembilan
meski bentuk kepalanya berubah jadi perut.
beda lagi jika kau mengukurnya dalam kuantitas
tentu enam lebih sedikit ketimbang sembilan,
dan sebaliknya.
pemimpin negeri ngotot:
kualitas anak bangsa
harus dihitung dengan angka.
yang goblok bukan berarti tak mampu dapat sepuluh,
yang pintar bisa saja dapat dua setengah,
lalu yang goblok dianggap pintar
yang pintar dianggap goblok.
lagi pula pintar dan goblok tak hanya bisa diukur melalui sebidang hafalan,
bisa jadi yang nilainya besar itu hanya lihai dalam bidang menghafal,
namun nol dalam penerapan ilmu:
pendidikan budi pekerti dapat nilai
sempurna,
dalam praktek jadi pelaku asusila,
matematika dapat sempurna,
sehari-hari jadi bandar judi bola.
sudahlah,
simpan angka-angka itu untuk mengukur:
berapa pajak yang diberi oleh rakyat
dari mulai beli kolor sampai motor,
dari mulai penjulan lanting sampai buang kencing,
dari mulai produksi bubur hingga masuk liang kubur;
rakyat kenyang bayar segala pajak,
namun masih ada yang tak mampu beli ketoprak.
lalu pikirkan kembali:
takaran apa yang bisa mengukur kualitas,
misalnya dengan suatu fakta kegagalan dalam melaksanakan tugas.
contoh konkretnya:
kegagalan dalam menyelenggarakan ujian nasional,
yang dapat mengukur kualitas sistem penyelenggaraan pendidikan negeri kita.
Norman Adi Satria
Tidak ada komentar:
Posting Komentar