aguspurnomosite.blogspot.com

aguspurnomosite.blogspot.com
Berpikir Luas Membuka Cakrawala Kehidupan! Berusaha Memberikan Yang Terbaik Untuk Masa Depan! Katakan "Go Go Go SEMANGAT" !!!

Sabtu, 04 Mei 2013

Hati-Hati Siswa Anda Alami Burnout

John Dewey, seorang filsuf pendidikan menyatakan dengan tegas bahwa pengalaman apapun yang mempunyai pengaruh menghambat ataupun mendistorsi pertumbuhan pengalaman selanjutnya adalah salah didik (Dewey, 2004). Pengalaman dalam adegan pendidikan yang berwujud proses pembelajaran di sekolah sejatinya merangsang siswa untuk dapat mengembangkan potensi dirinya.

Sebuah kekeliruan jika akhirnya terdapat pengalaman dalam proses pembelajaran, yang menghambat tumbuhnya pengalaman-pengalaman selanjutnya dalam proses menjadi sosok manusia yang diharapkan pendidikan. Secara konseptual, definisi serta tujuan pendidikan secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 (1) yakni:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Tujuan pendidikan dalam konsep UU Sisdiknas diatas menekankan pada pengalaman proses pembelajaran serta membentuk suasana belajar yang menjadi sebuah sarana bagi siswa untuk mendapatkan kematangan perkembangan kognitif, afektif, spiritual dan kepribadian.

Namun pada implementasinya, terkadang proses pembelajaran hanya menekankan pada aspek intelektualitas serta pemenuhan standar yang diukur oleh nilai kualitatif semata. Kartadinata (2010) mengidentifikasi kekeliruan dalam pendidikan, dimana terjadi penetapan ukuran keberhasilan dan mutu pendidikan yang berhenti pada angka-angka ujian.

Ekspektasi standar serta ukuran kuantitatif dalam proses pembelajaran pada akhirnya memicu terjadinya simplifikasi proses pendidikan yang dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerawanan dan kerapuhan kehidupan bangsa (Kartadinata, 2010). Simplifikasi yang dimaksud adalah berupa pemusatan tujuan pada tujuan individual yang bersifat intelektual yang diukur melalui ujian. Sehingga, siswa di paksa untuk memenuhi harapan standar tersebut dan yang menjadikan pembelajaran menjadi sebuah proses linier, sebagai sebuah kontrak kerja antara guru dan peserta didik (Kartadinata, 2010).


Akibat yang muncul dari proses mekanisasi pembelajaran di sekolah menjadikan sebuah tekanan tersendiri bagi peserta didik. Tuntutan pemenuhan standar nilai, tugas yang sulit, metode pengajaran yang statis yang berorientasi pada standar nilai, hingga tuntutan citra nama baik sekolah menjadikan pengalaman stres siswa tak lagi dapat dielakkan. Bilimleri (2011) menyatakan dalam proses pembelajaran, stres muncul dari pelajaran di kelas, tugas matapelajaran, atau tekanan psikologis lainnya yang dapat menghantarkan pada kelelahan emosional, kecenderungan berkurangnya reaksi emosional dan fisik (desensitization), dan rasa berprestasi rendah.

Pendapat Bilimleri tersebut memberikan sinyal bahwa perlu ada perhatian lebih jika gejala stres mulai muncul dalam proses pembelajaran. Karena tekanan psikologis akan memunculkan akibat buruk bagi siswa seperti kelelahan emosi, desensitization, serta perasaan rendahnya prestasi.

Mengenai fenomena stres dalam setting proses belajar,Penelitian Nurmalasari (2011) terhadap siswa kelas VII SMP Negeri 1 lembang menemukan bahwa 20,93% siswa mengalami stress kategori tinggi, 58,14% kategori sedang, serta 20,93% kategori rendah. Penelitian ini menggambarkan bahwa pengalaman stres siswa khususnya siswa sekolah menengah yang notabene berada pada masa remaja telah menjadi fenomena yang memerlukan perhatian.

Kondisi masa remaja yang menurut Hurlock (1980) dikenal dengan masa rentan “badai dan tekanan” (storm and stress), menambah keyakinan bahwa perlu adanya perhatian lebih terhadap stress yang dialami siswa. Hal ini akan menjadi bahaya karena tidak menutup kemungkinan, pengalaman stres di sekolah akan memicu munculnya dampak lain yang lebih parah. Misalnya Hiew & Glendon (Spielberger& Sarason, 2005) dalam penelitiannya ia menyatakan bahwa stres remaja yang disebabkan oleh sekolah menurunkan kemampuan untuk berkembang lebih sehat, berfungsi baik dan matang pada kedewasaan.

Namun, pada kenyataannya terkadang stres siswa dipandang sebagai hal yang biasa. Kelemahan dalam mengidentifikasi gejala stres, tak adanya pemberian keterampilan coping stress bagi siswa,  hingga tak dimilikinya kompetensi guru untuk memberikan penanganan, menjadikan stres siswa tak mendapatkan perhatian.

Sehingga, pengalaman stres siswa dibiarkan berkepanjangan hingga akhirnya memunculkan dampak baru seperti apa yang dinyatakan Slivar (2001) yang menyatakan bahwa “dalam efek jangka panjang, stres sekolah dapat menyebabkan gejala kejenuhan (burnout syndrom).” Sindrom kejenuhan (burnout) muncul akibat stress di sekolah yang berkepanjangan tidak ditangani.

Istilah burnout atau kejenuhan pada awalnya ditujukan pada kondisi stress di tempat kerja, terutama profesi yang berhubungan dengan tuntutan situasi yang melibatkan emosi (Slivar, 2001). Penyelidikan mengenaiburnout di sekolah atau dalam setting pendidikan relatif baru muncul. Burnout belajar diperkenalkan dan dikembangkan melalui penelitian Slivar (2001), Schaufeli et al (2002), Lightsey&Hulsey (2002), Jacobs et al (2003), Huei Jen Yang (2004), Noushad (2008) dan Agustin (2009) yang menemukan bahwa kejenuhan bukan hanya terjadi pada adegan pekerjaan tapi juga pada kegiatan belajar (Sugara, 2011).

Hal tersebut memang sangat memungkinkan terjadi, meski sekolah bukan merupakan tempat kerja, namun kadang identik karena proses pembelajaran seperti yang diungapkan Kartadinata (2010) kadang menjadi sebuah proses linier, sebagai sebuah kontrak kerja antara guru dan peserta didik. Pendapat ini diperkuat juga oleh Salmela-Aro (2008) yang menyatakan :

“...in the school-context: school is a context in which students work. Although students are neither employed nor hold jobs, from a psychological perspective their core activities can be considered ‘‘work’’. They attend classes and do assignments in order to pass exams and acquire a degree.”

Namun, kebanyakan studi mengenai kejenuhan belajar ini dilakukan dalam setting pendidikan tinggi (Aypay, 2011). Menurut Erturgut&Soysekerci (Aypay, 2011) masih sangat sedikit penelitian tentang kejenuhan pada adegan sekolah menengah. Padahal Grayson&Alvarez (Aypay, 2011) menegaskan bahwa sangat penting untuk melacak sumber-sumber, penguat serta dampak-dampak psikologis yang ada di kalangan siswa, bagi kesehatan serta keberfungsian dari sistem pendidikan. Maka dari itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mendalami lebih lanjut mengenai kejenuhan pada siswa di sekolah menengah.

Burnout menurut Pines&Aronson (Slivar, 2001) didefinisikan sebagai “state of physical, emotional and mental exhaustion that results from long-term involvement with people in situations that are emotionally demanding”. Secara definitif, dinamika psikologis yang muncul saat mengalami burnout adalah kelelahan pada area fisik, emosi dan mental. Maslach (Nurwangid,2010) mendefinisikan burnout sebagai sindrom psikologis yang terdiri dari tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, maupun low personal accomplishment.

Dari definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa burnout atau kejenuhan merupakan gejala psikologis yang merujuk pada munculnya kondisi kelelahan fisik, emosional, mental, depersonalisasi dan menurunnya kecakapan pribadi.

Dalam konteks belajar siswa, Schaufeli et al (2002) mendefinisikan “burnout among students refers to feeling exhausted because of study demands, having a cynical and detached attitude toward one’s study, and feeling incompetent as a student”. Definisi ini merujuk pada penyebab serta perilaku yang muncul saat siswa mengalami kejenuhan yakni kelelahan yang disebabkan oleh tuntutan belajar, berperilaku sinis dan meninggalkan pelajaran serta perasaan tak mampu sebagai pelajar.

Lebih lanjut, Aypay (2011) menghimpun dari berbagai pengertian mengenai burnout dalam setting sekolah yakni :

“School burnout refers to the burnout syndrome that stem from schools' and education's excessive demands on students. Student burnout paves the way to absenteism, low motivation to courses, high rate of drop-out. In learning process, stress resulted from lessons, high workload or other psychological pressure factors may lead to emotional burn-out, tendency to desensitization, and low feeling of success (Yang & Farn, 2005; McCarthy, Pretty & Catano, 1990).

Dalam himpunan pengertian ini, menekankan beberapa hal penting. Pertama, Burnout di sekolah diakibatkan oleh tingginya tuntutan sekolah dan pendidikan (belajar) pada siswa. Kedua,  Burnout siswa memicu keengganan untuk hadir, rendahnya motivasi belajar, hingga tingginya angka drop-out. Ketiga, dalam proses pembelajaran, stress dihasilkan dari pelajaran serta tekanan psikologis lainnya dalam belajar. Keempat, hal tersebut dapat menghantarkan siswa mengalami kejenuhan emosional, kecenderungan berkurangnya keaktifan fisik dan emosional, serta rendahnya rasa keinginan untuk sukses.

Dari berbagai pengertian serta dampak yang disebutkan, maka patutlah fenomena tentang burnout belajar menjadi titik perhatian dan perlu segera ditangani. Dalam konteks penelitian lokal, studi tentang burnoutbelajar telah terlebih dahulu dilakukan oleh Sugara pada tahun 2011 pada siswa SMA Angkasa Bandung yang menemukan bahwa sebanyak 15,32% intensitas kejenuhan belajar siswa berada dalam kategori tinggi, 72,97% dalam kategori sedang, serta 11,71% pada kategori rendah. Area kejenuhan belajar yang ditemukan dalam penelitian ini yakni 48,10% pada area keletihan emosi, 19,19% pada area depersonalisasi, serta 32,71% pada area menurunnya keyakinan akademis.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Firmansyah (2012) pada siswa kelas VIII SMPN 1 Lembang yang menemukan bahwa 14,6% siswa mengalami kejenuhan belajar kategori tinggi, 72,9% pada kategori sedang, serta 12,5% pada kategori rendah.

Merujuk pada fakta empirik diatas, terlihat bahwa fenomena kejenuhan di sekolah menengah perlu menjadi titik perhatian serius. Terutama pada sekolah yang memungkinkan untuk memberikan beban berlebih kepada siswa. Lebih jauh, spesifikasi suasana pembelajaran yang monoton, kondisi fasilitas belajar yang kurang menunjang, serta tuntutan sekolah yang cenderung memaksa siswa untuk bekerja berlebih.

Untuk menunjang keyakinan peneliti seperti yang disebutkan, menarik jika melihat fakta empirik lainnya yakni penelitian Salmela-Aro (2008) yang menemukan bahwa kejenuhan belajar siswa positif berhubungan dengan munculnya gejala depresi. Lebih jauh Salmela-Aro menyatakan “school burnout both during middle and late adolescent should be taken seriously as it can lead to depressive symptoms later on.”

Sebagai tindak lanjut dari hal tersebut, maka perlu dirumuskan sebuah penanganan yang serius agar situasi kejenuhan belajar siswa tidak menimbulkan dampak yang lebih parah. Agustin (2009) menyatakan bahwa kejenuhan belajar merupakan masalah yang harus segera ditangani dengan baik. Berbicara tentang penanganan kejenuhan belajar, Nurikhsan (2003:21) menyatakan :

“Salah satu upaya mengurangi kejenuhan belajar adalah konseling akademik, yaitu upaya membantu klien mengatasi kesulitan belajar, mengembangkan cara belajar yang efektif, membantu mereka supaya sukses dalam belajar dan agar mampu menyesuaikan diri terhadap semua tuntutan.”

Artinya, perlu dirumuskan suatu pendekatan yang tepat yakni melalui konseling dengan teknik yang dapat segera membantu siswa untuk dapat pulih dari kondisi kejenuhan belajar yang dialami. Prinsipnya, seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa kejenuhan belajar merupakan keadaan yang harus segera ditangani dengan pendekatan yang serius, maka pendekatan konseling yang dipilih juga harus bersifat segera dan cepat.
Reff 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar