Ia adalah Umair bin Sa’ad. Kaum Muslimin memberinya gelar “Tokoh yang tak ada duanya”. Cukup meyakinkan kiranya, bahwa gelar ini diberikan secara bulat oleh para sahabat Rasul yang sama-sama mempunyai kelebihan, pengertian dan cahaya kebenaran.
Ayahnya Sa’ad Al-Qari RA, yang ikut menyertai Rasulullah dalam Perang Badar dan peperangan-peperangan lain sesudahnya. Serta setia memegang janjinya, sampai ia kembali menemui Allah karena gugur sebagai syahid di pertempuran Qadisiah melawan Persia.
Sa’ad membawa anaknya sewaktu datang kepada Rasulullah, hingga anak itu pun turut berbaiat dan masuk Islam.
Semenjak Umair memeluk Islam, dan menjadi ahli ibadah yang tidak berpisah dari mihrab masjid, ia meninggalkan segala kemewahan dan pergi bernaung ke bawah sakinah atau ketenangan.
Ia selalu ingin menjadi yang terdepan. Pada shalat Jumat, ia selalu berada dalam barisan pertama. Di medan jihad, ia selalu bergegas mengejar barisan terdepan, karena ia selalu mendambakan diri untuk mendapatkan syahid. Selain itu, ia tetap tekun memperbanyak amal kebaikan, kepemurahan, keutamaan serta ketakwaan. Ia seorang yang cepat menyadari kesalahan dan sering menangisi dosanya.
Pada suatu hari, didengarnya Jullas bin Suwaid bin Shamit, yang masih jadi kerabatnya, sedang berbincang-bincang di rumahnya, katanya, “Seandainya laki-laki ini memang benar, tentulah kita ini lebih jelek dari keledai-keledai!” Yang dimaksudkan dengan laki-laki di sini ialah Rasulullah SAW.
Sedang Jullas sendiri termasuk di antara orang-orang yang memeluk Islam karena terbawa-bawa keadaan. Sewaktu Umair bin Sa’ad mendengar kata-kata tersebut, bangkitlah kemarahan dan kebingungan dalam hatinya yang biasa tenang dan tenteram itu. Kemarahan disebabkan oleh seorang yang telah mengaku menganut Islam berani merendahkan Rasul dengan kata-kata yang keji itu.
Dengan Amrah menggelegak ia ingin menyampaikan hal itu kepada Rasulullah SAW tentang apa yang didengarnya. Tapi, bagaimana caranya? Ia tidak mau menyakiti perasaan sahabatnya, tapi ia harus berkata jujur dalam mengemukakannya kepada Rasulullah.
Ataukah ia akan berdiam diri saja lalu memendam di dalam dadanya semua yang didengarnya? Dan di mana letak kebenaran penunaian dan cinta setianya kepada Rasul, yang telah membimbing mereka dari kesesatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan?
Kebingungannya tidaklah berjalan lama, karena jiwa yang tulus selalu menemukan jalan keluar bagi penyelesaiannya. Keberanian Umair segera muncul. Apa pun yang terjadi ia harus berbuat.
Ia pun segera menemui Jullas seraya berkata, “Demi Allah, hai Jullas! Engkau adalah orang yang paling kucintai, dan yang paling banyak berjasa kepadaku, dan yang paling tidak kusukai akan ditimpa sesuatu yang tidak menyenangkan.”
“Engkau telah melontarkan ucapan, seandainya ucapan itu kusebarkan dan sumbernya daripadamu, niscaya akan menyakitkan hatimu. Tetapi seandainya kubiarkan, tentulah agamaku akan tercemar. Padahal hak agama itu lebih utama ditunaikan. Dari itu aku akan menyampaikan apa yang kudengar kepada Rasulullah!”
Demikianlah, Umair telah memenuhi keinginan hatinya yang saleh secara sempurna. Pertama, ia telah menunaikan hak majelis sesuai dengan amanat, dan dengan kebesaran jiwanya membebaskan diri dari berperan sebagai orang yang mendengarkan kata orang lalu menyampaikannya kepada orang lain.
Kedua, ia telah menunaikan hak agamanya yaitu dengan menyingkapkan sifat kemunafikan yang meragukan. Ketiga, ia telah memberi kesempatan kepada Jullas untuk kembali dari kesalahan dan memohon ampun kepada Allah atas kekeliruannya.
Ketika secara terus terang dikatakan kepada Jullas, bahwa persoalan ini akan disampaikannya kepada Rasulullah ampun, maka hati Umair akan lega karena tak perlu lagi meneruskannya kepada Rasulullah.
Tetapi, rupanya Jullas telah dipengaruhi betul oleh rasa sombong dengan dosanya itu. Tidak ada perasaan menyesal sedikit pun atau keinginan untuk bertobat. Hingga terpaksalah Umair meninggalkannya seraya berkata, “Akan kusampaikan kepada Rasulullah sebelum Tuhan menurunkan wahyu yang melibatkan diriku dengan dosamu!”
Begitu mendapat laporan dari Umair, Rasulullah mengirimkan orang mencari Jullas. Ketika dihadapkan kepada Rasulullah, Jullas mengingkari ucapannya. Bahkan, ia mengangkat sumpah palsu atas nama Allah.
Lalu, turunlah ayat Al-Qur’an yang memisahkan antara yang hak dengan yang bathil. Allah berfirman, “Mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidah mengatakan sesuatu (yang menyakitkan hatimu). Padahal mereka telah mengucapkan kata-kata kufur, dan mereka telah kafir sesudah Islam, serta mereka mencita-citakan sesuatu yang tak dapat mereka capai."
"Dan tak ada yang menimbulkan dendam kemarahan mereka hanyalah lantaran Allah dan Rasul-Nya telah menjadikan mereka berkecukupan disebabkan karunia-Nya. Seandainya mereka bertaubat, maka itulah yang terlebih baik bagi mereka, dan seandainya mereka berpaling, Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih di dunia dan ahhirat. Mereka tidak akan mempunyai pembela maupun penolong di muka bumi.”(QS. At-Taubah: 74)
Dengan turunnya ayat Quran ini, terpaksalah Jullas mengakui ucapannya, dan meminta ampun atas kesalahannya, teristimewa di kala diperhatikannya ayat yang mulia yang memutuskan menghinakannya, tetapi di saat yang sama menjanjikan rahmat Allah seandainya ia bertaubat dan mencabut kata-katanya, “Maka seandainya mereka bertobat, itulah yang terlebih baik untuk mereka!”
Karenanya tindakan Umair ini menjadi kebaikan dan berkah kepada Jullas, hingga ia bertobat dan setelah itu keislamannya menjadi baik. Nabi memegang telinga Umair dan berkata kepadanya sambil memuaskan hatinya dengan pujian-pujian, “Hai anak muda, sungguh nyaring telingamu, dan Tuhanmu membenarkan tindakanmu!”
Umar bin Khathab adalah orang yang sangat berhati-hati ketika memilih para gubernurnya. Seolah-olah ia memilih orang-orang yang sama mutunya dengan dirinya. Ia selalu memilihnya dari orang-orang yang zuhud dan saleh, dan orang-orang yang dipercaya dan jujur, yang tidak mengejar pangkat atau kedudukan bahkan tak hendak menerima jabatan tersebut kecuali karena Amirul Mukminin memaksanya untuk menjabatnya.
Sekalipun pandangan tajam dan pengalamannya luas, namun dalam memilih gubemur-gubemur dan pembantu-pembantu utamanya ini, Umar selalu menimbangnya dalam waktu yang panjang dan mengamatinya dengan teliti.
Ia selalu mengulang-ulang pesan atau fatwanya yang mengesankan, “Aku menginginkan seorang laki-laki, bila ia berada dalam suatu kaum, padahal ia adalah rakyat biasa, tetapi menonjol seolah-olah dialah pemimpinnya. Dan bila ia berada di antara mereka sebagai pemimpinnya, ia menampakkan diri sebagai rakyat biasa.”
“Aku menghendaki seorang gubernur yang tidak membedakan dirinya dari manusia kebanyakan dalam soal pakaian, makanan dan tempat tinggal. Ditegakkannya shalat di tengah-tengah mereka, berbagi rata dengan mereka berdasarkan yang hak, dan tak pernah ia menutup pintunya untuk menolak pengaduan mereka.”
Berdasarkan norma-norma dan peraturan yang keras inilah, ia memilih Umair bin Sa’ad untuk menjadi gubernur di Homs. Umair berusaha menolak dan melepaskan diri dari jabatan tersebut tetapi sia-sia, karena Amirul Mukminin tetap mengharuskan dan memaksanya.
Umair pun memohon kepada Allah petunjuk dengan shalat istikharah, dan kemudian melaksanakan tugas kewajibannya. Setelah berjalan setahun masa jabatannya di Homs itu, tak ada hasil pemungutan pajak yang sampai ke Madinah. Bahkan, tak ada sepucuk surat pun yang datang kepada Amirul Mukminin.
Reff
Ayahnya Sa’ad Al-Qari RA, yang ikut menyertai Rasulullah dalam Perang Badar dan peperangan-peperangan lain sesudahnya. Serta setia memegang janjinya, sampai ia kembali menemui Allah karena gugur sebagai syahid di pertempuran Qadisiah melawan Persia.
Sa’ad membawa anaknya sewaktu datang kepada Rasulullah, hingga anak itu pun turut berbaiat dan masuk Islam.
Semenjak Umair memeluk Islam, dan menjadi ahli ibadah yang tidak berpisah dari mihrab masjid, ia meninggalkan segala kemewahan dan pergi bernaung ke bawah sakinah atau ketenangan.
Ia selalu ingin menjadi yang terdepan. Pada shalat Jumat, ia selalu berada dalam barisan pertama. Di medan jihad, ia selalu bergegas mengejar barisan terdepan, karena ia selalu mendambakan diri untuk mendapatkan syahid. Selain itu, ia tetap tekun memperbanyak amal kebaikan, kepemurahan, keutamaan serta ketakwaan. Ia seorang yang cepat menyadari kesalahan dan sering menangisi dosanya.
Pada suatu hari, didengarnya Jullas bin Suwaid bin Shamit, yang masih jadi kerabatnya, sedang berbincang-bincang di rumahnya, katanya, “Seandainya laki-laki ini memang benar, tentulah kita ini lebih jelek dari keledai-keledai!” Yang dimaksudkan dengan laki-laki di sini ialah Rasulullah SAW.
Sedang Jullas sendiri termasuk di antara orang-orang yang memeluk Islam karena terbawa-bawa keadaan. Sewaktu Umair bin Sa’ad mendengar kata-kata tersebut, bangkitlah kemarahan dan kebingungan dalam hatinya yang biasa tenang dan tenteram itu. Kemarahan disebabkan oleh seorang yang telah mengaku menganut Islam berani merendahkan Rasul dengan kata-kata yang keji itu.
Dengan Amrah menggelegak ia ingin menyampaikan hal itu kepada Rasulullah SAW tentang apa yang didengarnya. Tapi, bagaimana caranya? Ia tidak mau menyakiti perasaan sahabatnya, tapi ia harus berkata jujur dalam mengemukakannya kepada Rasulullah.
Ataukah ia akan berdiam diri saja lalu memendam di dalam dadanya semua yang didengarnya? Dan di mana letak kebenaran penunaian dan cinta setianya kepada Rasul, yang telah membimbing mereka dari kesesatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan?
Kebingungannya tidaklah berjalan lama, karena jiwa yang tulus selalu menemukan jalan keluar bagi penyelesaiannya. Keberanian Umair segera muncul. Apa pun yang terjadi ia harus berbuat.
Ia pun segera menemui Jullas seraya berkata, “Demi Allah, hai Jullas! Engkau adalah orang yang paling kucintai, dan yang paling banyak berjasa kepadaku, dan yang paling tidak kusukai akan ditimpa sesuatu yang tidak menyenangkan.”
“Engkau telah melontarkan ucapan, seandainya ucapan itu kusebarkan dan sumbernya daripadamu, niscaya akan menyakitkan hatimu. Tetapi seandainya kubiarkan, tentulah agamaku akan tercemar. Padahal hak agama itu lebih utama ditunaikan. Dari itu aku akan menyampaikan apa yang kudengar kepada Rasulullah!”
Demikianlah, Umair telah memenuhi keinginan hatinya yang saleh secara sempurna. Pertama, ia telah menunaikan hak majelis sesuai dengan amanat, dan dengan kebesaran jiwanya membebaskan diri dari berperan sebagai orang yang mendengarkan kata orang lalu menyampaikannya kepada orang lain.
Kedua, ia telah menunaikan hak agamanya yaitu dengan menyingkapkan sifat kemunafikan yang meragukan. Ketiga, ia telah memberi kesempatan kepada Jullas untuk kembali dari kesalahan dan memohon ampun kepada Allah atas kekeliruannya.
Ketika secara terus terang dikatakan kepada Jullas, bahwa persoalan ini akan disampaikannya kepada Rasulullah ampun, maka hati Umair akan lega karena tak perlu lagi meneruskannya kepada Rasulullah.
Tetapi, rupanya Jullas telah dipengaruhi betul oleh rasa sombong dengan dosanya itu. Tidak ada perasaan menyesal sedikit pun atau keinginan untuk bertobat. Hingga terpaksalah Umair meninggalkannya seraya berkata, “Akan kusampaikan kepada Rasulullah sebelum Tuhan menurunkan wahyu yang melibatkan diriku dengan dosamu!”
Begitu mendapat laporan dari Umair, Rasulullah mengirimkan orang mencari Jullas. Ketika dihadapkan kepada Rasulullah, Jullas mengingkari ucapannya. Bahkan, ia mengangkat sumpah palsu atas nama Allah.
Lalu, turunlah ayat Al-Qur’an yang memisahkan antara yang hak dengan yang bathil. Allah berfirman, “Mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidah mengatakan sesuatu (yang menyakitkan hatimu). Padahal mereka telah mengucapkan kata-kata kufur, dan mereka telah kafir sesudah Islam, serta mereka mencita-citakan sesuatu yang tak dapat mereka capai."
"Dan tak ada yang menimbulkan dendam kemarahan mereka hanyalah lantaran Allah dan Rasul-Nya telah menjadikan mereka berkecukupan disebabkan karunia-Nya. Seandainya mereka bertaubat, maka itulah yang terlebih baik bagi mereka, dan seandainya mereka berpaling, Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih di dunia dan ahhirat. Mereka tidak akan mempunyai pembela maupun penolong di muka bumi.”(QS. At-Taubah: 74)
Dengan turunnya ayat Quran ini, terpaksalah Jullas mengakui ucapannya, dan meminta ampun atas kesalahannya, teristimewa di kala diperhatikannya ayat yang mulia yang memutuskan menghinakannya, tetapi di saat yang sama menjanjikan rahmat Allah seandainya ia bertaubat dan mencabut kata-katanya, “Maka seandainya mereka bertobat, itulah yang terlebih baik untuk mereka!”
Karenanya tindakan Umair ini menjadi kebaikan dan berkah kepada Jullas, hingga ia bertobat dan setelah itu keislamannya menjadi baik. Nabi memegang telinga Umair dan berkata kepadanya sambil memuaskan hatinya dengan pujian-pujian, “Hai anak muda, sungguh nyaring telingamu, dan Tuhanmu membenarkan tindakanmu!”
Umar bin Khathab adalah orang yang sangat berhati-hati ketika memilih para gubernurnya. Seolah-olah ia memilih orang-orang yang sama mutunya dengan dirinya. Ia selalu memilihnya dari orang-orang yang zuhud dan saleh, dan orang-orang yang dipercaya dan jujur, yang tidak mengejar pangkat atau kedudukan bahkan tak hendak menerima jabatan tersebut kecuali karena Amirul Mukminin memaksanya untuk menjabatnya.
Sekalipun pandangan tajam dan pengalamannya luas, namun dalam memilih gubemur-gubemur dan pembantu-pembantu utamanya ini, Umar selalu menimbangnya dalam waktu yang panjang dan mengamatinya dengan teliti.
Ia selalu mengulang-ulang pesan atau fatwanya yang mengesankan, “Aku menginginkan seorang laki-laki, bila ia berada dalam suatu kaum, padahal ia adalah rakyat biasa, tetapi menonjol seolah-olah dialah pemimpinnya. Dan bila ia berada di antara mereka sebagai pemimpinnya, ia menampakkan diri sebagai rakyat biasa.”
“Aku menghendaki seorang gubernur yang tidak membedakan dirinya dari manusia kebanyakan dalam soal pakaian, makanan dan tempat tinggal. Ditegakkannya shalat di tengah-tengah mereka, berbagi rata dengan mereka berdasarkan yang hak, dan tak pernah ia menutup pintunya untuk menolak pengaduan mereka.”
Berdasarkan norma-norma dan peraturan yang keras inilah, ia memilih Umair bin Sa’ad untuk menjadi gubernur di Homs. Umair berusaha menolak dan melepaskan diri dari jabatan tersebut tetapi sia-sia, karena Amirul Mukminin tetap mengharuskan dan memaksanya.
Umair pun memohon kepada Allah petunjuk dengan shalat istikharah, dan kemudian melaksanakan tugas kewajibannya. Setelah berjalan setahun masa jabatannya di Homs itu, tak ada hasil pemungutan pajak yang sampai ke Madinah. Bahkan, tak ada sepucuk surat pun yang datang kepada Amirul Mukminin.
Reff
Tidak ada komentar:
Posting Komentar