Secara khusus, kaum Anshar ialah mereka yang secara tulus berjihad dengan harta dan jiwa mereka untuk menolong Rasulullah dalam menegakkan panji-panji Islam.
Mereka bukan sekadar menolong kehadiran kaum Muhajirin dari Kota Makkah, tetapi sudah menganggap bahwa kaum Muhajirin adalah saudara seiman yang amat mereka cintai.
Setelah Rasulullah SAW wafat, terdapat segolongan Anshar yang dikepalai oleh Sa’ad bin Ubadah, yang mengumumkan bahwa mereka lebih berhak memegang Khalifah atas kelompok Muhajirin.
Alasannya, bukankah kaum Anshar yang telah membantu Nabi SAW di awal kehadirannya di Madinah dulu. Sehingga mereka merasa lebih pantas menerima amanah mulia memegang kepemimpinan atas kaum Muslimin.
Ungkapan tersebut tentu saja mengundang reaksi dari kaum Muhajirin. Apalagi suasana kaum Muslimin sedang dalam keadaan berkabung. Adu debat pun tidak lagi dapat dielakkan. Siapakah yang lebih berhak memegang tampuk kekuasaan umat Islam, kaum Anshar atau Muhajirin.
Ketika suasana semakin memanas, maka Usaid bin Hudhair sebagai salah seorang tokoh dari kalangan Anshar tampil mendinginkan suasana. Kepada kaumnya ia berkata, “Bukankah tuan-tuan mengetahui bahwa Rasulullah SAW adalah dari golongan Muhajirin? Karenanya Khalifah juga sewajarnya dari golongan Muhajirin! Dan kita adalah pembela Rasulullah, maka kewajiban kita sekarang adalah membela Khalifahnya.”
Kata-kata kunci yang disampaikan Usaid mengakhiri percekcokan yang nyaris memecah belah persaudaraan itu.
Siapakah lelaki penyelamat berotak cerdas bernama Usaid ini? Dia adalah seorang pemimpin suku Aus, kabilah dari Yaman yang bertransmigrasi ke Madinah bersama saudaranya suku Khazraj. Belakangan kedua kabilah ini kemudian menetap di sana.
Ayahnya adalah Hudlairul Kata’ib, seorang sesepuh Aus dan salah seorang bangsawan Arab di zaman jahiliyah. Sebelum kehadiran Islam, kendati bersaudara, kedua suku besar tersebut selalu terlibat bentrok satu sama lain. Sekalipun begitu, di saat lain mereka sama-sama menghadapi musuh bebuyutan dari golongan Yahudi.
Yahudi ini merupakan minoritas nonpribumi yang menguasai perekonomian di Madinah. Sedikit banyak hal itu membuat golongan pribumi merasa iri. Sakit hati itu bertambah membengkak karena orang-orang Yahudi bersikap angkuh dan takabur.
Ayah Usaid, Hudhairul Kata’ib termasuk pahlawan yang sangat gigih menentang keangkuhan dan kecongkakan Yahudi. Kegigihan dan keberanian itu mendatangkan kekaguman di kalangan kaumnya.
Bagi Hudhair, tidak ada persahabatan dengan dedengkot-dedengkot Yahudi yang dikenalnya rakus dan selalu menghalalkan segala cara. Sikap yang tegas tanpa kompromi itu mengalir ke putranya. Wajar kalau darah kepahlawanan seperti itu pun dimiliki juga oleh Usaid bin Hudhair.
Awal Keislaman Usaid
Ketika Mush’ab bin Umair diutus Rasulullah ke Madinah, untuk membina kelompok Anshar yang telah berbaiat kepada Nabi di Baitul Aqabah pertama, berita kedatangan beliau sudah sampai juga ke telinga Usaid.
Mush’ab bin Umair tinggal di rumah As’ad bin Zurarah, seorang bangsawan suku Khazraj. As’ad kebetulan keluarga dekat Sa’ad bin Mu’adz (anak bibinya). Sedang Sa’ad bin Mu’adz adalah sahabat Usaid bin Hudhair di tampuk kepemimpinan suku Aus.
Di rumah itu, keberadaan Mush’ab bin Umair dijamin. Di rumah itu pula Mush’ab menebarkan dakwah Islamiyah dan menyampaikan berita gembira mengenai Nabi Muhammad SAW.
Tidak sedikit penduduk yang mendatangi majelis Mush’ab. Gaya bicaranya yang menawan, hujjahnya yang jelas dan masuk akal, ditambah dengan halus budinya, membuat daya tarik yang kuat bagi penduduk Yatsrib. Apalagi sinar iman di wajahnya menyejukkan siapa saja yang memandangnya.
Di atas semua itu, yang lebih menarik hati adalah ayat-ayat yang dibacakan Mush’ab bin Umair di sela-sela pembicaraannya. Hati yang keras bisa melunak. Orang yang merasa berlumuran dosa menyesali perbuatan masa lalunya yang gelap. Bahkan karenanya tidak ada orang yang meninggalkan majelis itu kecuali telah menyatakan dirinya bersyahadat memilih Islam sebagai jalan baru.
Perkembangan yang begitu cepat itu membuat gusar Sa’ad bin Mu’adz. Ia segera menemui sahabatnya, Usaid bin Hudhair, dan berkata cemas, “Hai Usaid, sebaiknya engkau datangi pemuda Makkah itu. Dia telah mempengaruhi rakyat kita dan membodoh-bodohi mereka. Tuhan kita dijelek-jelekkan. Cegahlah dia dan ingatkan jangan tinggal di negeri ini, sejak hari ini!”
Setelah berhenti sejenak, Sa’ad melanjutkan bicaranya, “Seandainya dia bukan tamu anak bibiku (As’ad bin Zurarah), sungguh akan aku bereskan sendiri.”
Mendengar itu, Usaid segera mengambil tombaknya, lalu pergi mencari Mush’ab. Saat itu, As’ad bin Zurarah sedang menyertai Mush’ab bin Umair menemui Bani Abdul Asyhal untuk mengajarkan Islam kepada mereka. Keduanya masuk ke sebuah kebun milik Bani Abdul Asyhal, lalu duduk-duduk di bawah pohon kurma di pinggir sebuah telaga.
Kehadiran Mush’ab disambut oleh kaum Muslimin dan mereka yang belum masuk Islam. Mush’ab segera berbicara.
Ia menyampaikan kabar gembira bagi orang-orang yang mau beriman dan menyampaikan kabar menyedihkan bagi mereka yang tidak mau beriman. Semua orang khusyuk mendengarkan.
Belum lama majelis dimulai, As’ad bin Zurarah melihat Usaid bin Hudhair menuju ke tempat mereka. Ia segera memberi tahu Mush’ab, “Kebetulan wahai Mush’ab, itu pemimpin kaum telah datang,” ujarnya.
“Ia seorang yang sangat cemerlang otaknya dan cerdas akalnya. Dia adalah Usaid bin Hudhair. Jika dia masuk Islam, tentu akan banyak orang mengikutinya. Berdoalah kepada Allah dan hadapilah dia dengan bijaksana.”
Setibanya di hadapan majelis itu, Usaid bin Hudhair langsung berdiri di tengah-tengah mereka. Tatapan matanya tajam memandang ke arah Mush’ab dan orang-orang yang ada di situ. As’ad bin Zurarah juga tidak luput dari sorotan matanya yang nyaris tak berkedip. Ia menyimpan kemarahan yang sangat besar kepada pendatang dari Makkah ini.
“Apa maksud Tuan-tuan datang ke sini? Kalian hendak mempengaruhi rakyat kami? Pergilah kalian sekarang juga, jika kalian masih ingin hidup!” teriak Usaid.
Mush’ab menoleh kepada Usaid dengan wajah sejuk. Tampak sekali cahaya iman memantul dan berseri-seri. Dengan gayanya yang simpatik dan menawan, dia mulai bicara. “Wahai Tuanku, maukah engkau mendengarkan yang lebih baik dari itu?”
“Apa itu?” sergah Usaid dengan mimik sinis.
Mush’ab melanjutkan, “Silakan duduk bersama-sama kami, mendengarkan apa yang kami bicarakan. Jika engkau suka apa yang kami perbincangkan, silakan ambil. Dan jika engkau tidak suka, kami akan meninggalkan kampung halaman ini dan tidak akan kembali lagi.”
“Anda memang pintar,” jawab Usaid. Hatinya mulai sedikit lumer. Ia menancapkan tombaknya ke tanah, kemudian duduk dengan tenang.
Mush’ab mengarahkan pembicaraan kepadanya tentang hakikat Islam sambil membaca ayat-ayat Alquran di sela-sela pembicaraannya.
Beberapa saat kemudian, tampak rasa gembira terpancar di muka Usaid. Lalu dia berkata, “Alangkah bagusnya apa yang engkau katakan. Apa yang kamu baca sungguh sangat indah. Apa yang kulakukan jika aku masuk Islam?”
Dengan senang Mush’ab menjawab, “Mandilah, bersihkan pakaianmu, lalu ucapkan dua kalimat syahadat! Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, sesudah itu shalat dua rakaat.”
Usaid langsung berdiri dan pergi ke telaga di sebelah kebun itu. Ia segera menyucikan badan. Sekembalinya di hadapan Mush’ab, ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengerjakan shalat dua rakaat.
Mulai hari itu, bergabunglah ke dalam barisan kaum Muslimin seorang bangsawan Arab, penunggang kuda terkenal, pemimpin suku Aus yang dikagumi; Usaid bin Hudhair.
Tidak lama setelah Usaid masuk Islam, Sa'ad bin Mu'adz masuk Islam pula. Islamnya kedua tokoh ini menyebabkan seluruh masyarakat dari suku Aus masuk Islam. Sesudah itu, jadilah Madinah tempat hijrah Rasulullah SAW dan tempat berdirinya pemerintahan Islam yang besar.
Usaid bin Hudhair sangat mencintai Alquran. Ia bagai orang kehausan di padang yang panas, lalu mendapatkan jalan menuju mata air yang sejuk.
Dicintai Malaikat
Suatu malam, Usaid duduk di beranda belakang rumahnya. Anaknya, Yahya, tidur di dekatnya. Kuda yang selalu siap untuk berperang fi sabilillah, diikat tidak jauh dari tempat duduknya.
Suasana malam tenang dan hening. Permukaan langit jernih tanpa mendung. Usaid tergerak untuk membaca ayat AI-Qur'an yang suci.
“Alif lam miim, Inilah Kitab (Alquran) yang tidak ada keraguan padanya; menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang beriman kepada yang gaib yang menegakkan shalat, dan yang menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Alquran) yang diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelum kamu, serta mereka yang yakin akan adanya (kehidupan) akhirat." (QS. Al-Baqarah: 1-4).
Mendengar bacaan tersebut, tiba-tiba kuda yang sedang ditambat lari berputar-putar. Hampir saja tali pengikatnya putus. Ketika Usaid diam kuda itu diam dan tenang. Usaid melanjutkan lagi bacaannya...
“Mereka itulah yang mendapat petunjuk dari Rabb-nya, dan merekalah orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 5).
Kembali kuda Usaid berputar-putar lebih hebat dari semula. Ketika ia memandang ke langit, ia mendapati pemandangan bagai payung yang mengagumkan. Ia belum pernah melihat pemandangan serupa itu sebelumnya.
Awan itu indah berkilau, bergantung seperti lampu memenuhi ufuk, bergerak naik dengan sinarnya yang terang. Kemudian perlahan-lahan menghilang dari pandangan.
Esok harinya, Usaid pergi menemui Rasulullah SAW menceritakan peristiwa yang dialaminya. Rasulullah berkata, “Itu adalah malaikat yang ingin mendengarkan engkau membaca Alquran. Seandainya engkau teruskan, pastilah akan banyak orang yang bisa melihatnya. Pemandangan itu tidak akan tertutup dari mereka.” (HR. Bukhari-Muslim).
Usaid bin Hudhair hidup sebagai seorang ahli ibadah. Harta benda dan jiwa raga yang dimilikinya diserahkan sepenuhnya untuk perjuangan Islam. Bagi Usaid tidak ada puncak keindahan dan kemenangan dalam perjalanan hidupnya selain bila cahaya Islam terus bersinar.
Pandangan hidup yang seperti itu mengantarnya memperoleh julukan sebagai, “Sebaik-baik laki-laki, Usaid bin Hudhair!” kata Rasulullah SAW.
Usaid ditakdirkan Allah sempat melihat kepemimpinan Khalifah Umar Al-Faruq yang tegas, adil dan bijaksana. Dan pada bulan Sya’ban tahun 20 Hijriyah, ia berpulang keharibaan Allah SWT menyusul syuhada-syuhada yang telah mendahuluinya.
Amirul Mukminin Umar bin Khathab tidak mau ketinggalan turut serta memikul sendiri jenazah tokoh Anshar ini di atas bahunya menuju taman makam syuhada di Baqi.
Mereka bukan sekadar menolong kehadiran kaum Muhajirin dari Kota Makkah, tetapi sudah menganggap bahwa kaum Muhajirin adalah saudara seiman yang amat mereka cintai.
Setelah Rasulullah SAW wafat, terdapat segolongan Anshar yang dikepalai oleh Sa’ad bin Ubadah, yang mengumumkan bahwa mereka lebih berhak memegang Khalifah atas kelompok Muhajirin.
Alasannya, bukankah kaum Anshar yang telah membantu Nabi SAW di awal kehadirannya di Madinah dulu. Sehingga mereka merasa lebih pantas menerima amanah mulia memegang kepemimpinan atas kaum Muslimin.
Ungkapan tersebut tentu saja mengundang reaksi dari kaum Muhajirin. Apalagi suasana kaum Muslimin sedang dalam keadaan berkabung. Adu debat pun tidak lagi dapat dielakkan. Siapakah yang lebih berhak memegang tampuk kekuasaan umat Islam, kaum Anshar atau Muhajirin.
Ketika suasana semakin memanas, maka Usaid bin Hudhair sebagai salah seorang tokoh dari kalangan Anshar tampil mendinginkan suasana. Kepada kaumnya ia berkata, “Bukankah tuan-tuan mengetahui bahwa Rasulullah SAW adalah dari golongan Muhajirin? Karenanya Khalifah juga sewajarnya dari golongan Muhajirin! Dan kita adalah pembela Rasulullah, maka kewajiban kita sekarang adalah membela Khalifahnya.”
Kata-kata kunci yang disampaikan Usaid mengakhiri percekcokan yang nyaris memecah belah persaudaraan itu.
Siapakah lelaki penyelamat berotak cerdas bernama Usaid ini? Dia adalah seorang pemimpin suku Aus, kabilah dari Yaman yang bertransmigrasi ke Madinah bersama saudaranya suku Khazraj. Belakangan kedua kabilah ini kemudian menetap di sana.
Ayahnya adalah Hudlairul Kata’ib, seorang sesepuh Aus dan salah seorang bangsawan Arab di zaman jahiliyah. Sebelum kehadiran Islam, kendati bersaudara, kedua suku besar tersebut selalu terlibat bentrok satu sama lain. Sekalipun begitu, di saat lain mereka sama-sama menghadapi musuh bebuyutan dari golongan Yahudi.
Yahudi ini merupakan minoritas nonpribumi yang menguasai perekonomian di Madinah. Sedikit banyak hal itu membuat golongan pribumi merasa iri. Sakit hati itu bertambah membengkak karena orang-orang Yahudi bersikap angkuh dan takabur.
Ayah Usaid, Hudhairul Kata’ib termasuk pahlawan yang sangat gigih menentang keangkuhan dan kecongkakan Yahudi. Kegigihan dan keberanian itu mendatangkan kekaguman di kalangan kaumnya.
Bagi Hudhair, tidak ada persahabatan dengan dedengkot-dedengkot Yahudi yang dikenalnya rakus dan selalu menghalalkan segala cara. Sikap yang tegas tanpa kompromi itu mengalir ke putranya. Wajar kalau darah kepahlawanan seperti itu pun dimiliki juga oleh Usaid bin Hudhair.
Awal Keislaman Usaid
Ketika Mush’ab bin Umair diutus Rasulullah ke Madinah, untuk membina kelompok Anshar yang telah berbaiat kepada Nabi di Baitul Aqabah pertama, berita kedatangan beliau sudah sampai juga ke telinga Usaid.
Mush’ab bin Umair tinggal di rumah As’ad bin Zurarah, seorang bangsawan suku Khazraj. As’ad kebetulan keluarga dekat Sa’ad bin Mu’adz (anak bibinya). Sedang Sa’ad bin Mu’adz adalah sahabat Usaid bin Hudhair di tampuk kepemimpinan suku Aus.
Di rumah itu, keberadaan Mush’ab bin Umair dijamin. Di rumah itu pula Mush’ab menebarkan dakwah Islamiyah dan menyampaikan berita gembira mengenai Nabi Muhammad SAW.
Tidak sedikit penduduk yang mendatangi majelis Mush’ab. Gaya bicaranya yang menawan, hujjahnya yang jelas dan masuk akal, ditambah dengan halus budinya, membuat daya tarik yang kuat bagi penduduk Yatsrib. Apalagi sinar iman di wajahnya menyejukkan siapa saja yang memandangnya.
Di atas semua itu, yang lebih menarik hati adalah ayat-ayat yang dibacakan Mush’ab bin Umair di sela-sela pembicaraannya. Hati yang keras bisa melunak. Orang yang merasa berlumuran dosa menyesali perbuatan masa lalunya yang gelap. Bahkan karenanya tidak ada orang yang meninggalkan majelis itu kecuali telah menyatakan dirinya bersyahadat memilih Islam sebagai jalan baru.
Perkembangan yang begitu cepat itu membuat gusar Sa’ad bin Mu’adz. Ia segera menemui sahabatnya, Usaid bin Hudhair, dan berkata cemas, “Hai Usaid, sebaiknya engkau datangi pemuda Makkah itu. Dia telah mempengaruhi rakyat kita dan membodoh-bodohi mereka. Tuhan kita dijelek-jelekkan. Cegahlah dia dan ingatkan jangan tinggal di negeri ini, sejak hari ini!”
Setelah berhenti sejenak, Sa’ad melanjutkan bicaranya, “Seandainya dia bukan tamu anak bibiku (As’ad bin Zurarah), sungguh akan aku bereskan sendiri.”
Mendengar itu, Usaid segera mengambil tombaknya, lalu pergi mencari Mush’ab. Saat itu, As’ad bin Zurarah sedang menyertai Mush’ab bin Umair menemui Bani Abdul Asyhal untuk mengajarkan Islam kepada mereka. Keduanya masuk ke sebuah kebun milik Bani Abdul Asyhal, lalu duduk-duduk di bawah pohon kurma di pinggir sebuah telaga.
Kehadiran Mush’ab disambut oleh kaum Muslimin dan mereka yang belum masuk Islam. Mush’ab segera berbicara.
Ia menyampaikan kabar gembira bagi orang-orang yang mau beriman dan menyampaikan kabar menyedihkan bagi mereka yang tidak mau beriman. Semua orang khusyuk mendengarkan.
Belum lama majelis dimulai, As’ad bin Zurarah melihat Usaid bin Hudhair menuju ke tempat mereka. Ia segera memberi tahu Mush’ab, “Kebetulan wahai Mush’ab, itu pemimpin kaum telah datang,” ujarnya.
“Ia seorang yang sangat cemerlang otaknya dan cerdas akalnya. Dia adalah Usaid bin Hudhair. Jika dia masuk Islam, tentu akan banyak orang mengikutinya. Berdoalah kepada Allah dan hadapilah dia dengan bijaksana.”
Setibanya di hadapan majelis itu, Usaid bin Hudhair langsung berdiri di tengah-tengah mereka. Tatapan matanya tajam memandang ke arah Mush’ab dan orang-orang yang ada di situ. As’ad bin Zurarah juga tidak luput dari sorotan matanya yang nyaris tak berkedip. Ia menyimpan kemarahan yang sangat besar kepada pendatang dari Makkah ini.
“Apa maksud Tuan-tuan datang ke sini? Kalian hendak mempengaruhi rakyat kami? Pergilah kalian sekarang juga, jika kalian masih ingin hidup!” teriak Usaid.
Mush’ab menoleh kepada Usaid dengan wajah sejuk. Tampak sekali cahaya iman memantul dan berseri-seri. Dengan gayanya yang simpatik dan menawan, dia mulai bicara. “Wahai Tuanku, maukah engkau mendengarkan yang lebih baik dari itu?”
“Apa itu?” sergah Usaid dengan mimik sinis.
Mush’ab melanjutkan, “Silakan duduk bersama-sama kami, mendengarkan apa yang kami bicarakan. Jika engkau suka apa yang kami perbincangkan, silakan ambil. Dan jika engkau tidak suka, kami akan meninggalkan kampung halaman ini dan tidak akan kembali lagi.”
“Anda memang pintar,” jawab Usaid. Hatinya mulai sedikit lumer. Ia menancapkan tombaknya ke tanah, kemudian duduk dengan tenang.
Mush’ab mengarahkan pembicaraan kepadanya tentang hakikat Islam sambil membaca ayat-ayat Alquran di sela-sela pembicaraannya.
Beberapa saat kemudian, tampak rasa gembira terpancar di muka Usaid. Lalu dia berkata, “Alangkah bagusnya apa yang engkau katakan. Apa yang kamu baca sungguh sangat indah. Apa yang kulakukan jika aku masuk Islam?”
Dengan senang Mush’ab menjawab, “Mandilah, bersihkan pakaianmu, lalu ucapkan dua kalimat syahadat! Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, sesudah itu shalat dua rakaat.”
Usaid langsung berdiri dan pergi ke telaga di sebelah kebun itu. Ia segera menyucikan badan. Sekembalinya di hadapan Mush’ab, ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengerjakan shalat dua rakaat.
Mulai hari itu, bergabunglah ke dalam barisan kaum Muslimin seorang bangsawan Arab, penunggang kuda terkenal, pemimpin suku Aus yang dikagumi; Usaid bin Hudhair.
Tidak lama setelah Usaid masuk Islam, Sa'ad bin Mu'adz masuk Islam pula. Islamnya kedua tokoh ini menyebabkan seluruh masyarakat dari suku Aus masuk Islam. Sesudah itu, jadilah Madinah tempat hijrah Rasulullah SAW dan tempat berdirinya pemerintahan Islam yang besar.
Usaid bin Hudhair sangat mencintai Alquran. Ia bagai orang kehausan di padang yang panas, lalu mendapatkan jalan menuju mata air yang sejuk.
Dicintai Malaikat
Suatu malam, Usaid duduk di beranda belakang rumahnya. Anaknya, Yahya, tidur di dekatnya. Kuda yang selalu siap untuk berperang fi sabilillah, diikat tidak jauh dari tempat duduknya.
Suasana malam tenang dan hening. Permukaan langit jernih tanpa mendung. Usaid tergerak untuk membaca ayat AI-Qur'an yang suci.
“Alif lam miim, Inilah Kitab (Alquran) yang tidak ada keraguan padanya; menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang beriman kepada yang gaib yang menegakkan shalat, dan yang menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Alquran) yang diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelum kamu, serta mereka yang yakin akan adanya (kehidupan) akhirat." (QS. Al-Baqarah: 1-4).
Mendengar bacaan tersebut, tiba-tiba kuda yang sedang ditambat lari berputar-putar. Hampir saja tali pengikatnya putus. Ketika Usaid diam kuda itu diam dan tenang. Usaid melanjutkan lagi bacaannya...
“Mereka itulah yang mendapat petunjuk dari Rabb-nya, dan merekalah orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 5).
Kembali kuda Usaid berputar-putar lebih hebat dari semula. Ketika ia memandang ke langit, ia mendapati pemandangan bagai payung yang mengagumkan. Ia belum pernah melihat pemandangan serupa itu sebelumnya.
Awan itu indah berkilau, bergantung seperti lampu memenuhi ufuk, bergerak naik dengan sinarnya yang terang. Kemudian perlahan-lahan menghilang dari pandangan.
Esok harinya, Usaid pergi menemui Rasulullah SAW menceritakan peristiwa yang dialaminya. Rasulullah berkata, “Itu adalah malaikat yang ingin mendengarkan engkau membaca Alquran. Seandainya engkau teruskan, pastilah akan banyak orang yang bisa melihatnya. Pemandangan itu tidak akan tertutup dari mereka.” (HR. Bukhari-Muslim).
Usaid bin Hudhair hidup sebagai seorang ahli ibadah. Harta benda dan jiwa raga yang dimilikinya diserahkan sepenuhnya untuk perjuangan Islam. Bagi Usaid tidak ada puncak keindahan dan kemenangan dalam perjalanan hidupnya selain bila cahaya Islam terus bersinar.
Pandangan hidup yang seperti itu mengantarnya memperoleh julukan sebagai, “Sebaik-baik laki-laki, Usaid bin Hudhair!” kata Rasulullah SAW.
Usaid ditakdirkan Allah sempat melihat kepemimpinan Khalifah Umar Al-Faruq yang tegas, adil dan bijaksana. Dan pada bulan Sya’ban tahun 20 Hijriyah, ia berpulang keharibaan Allah SWT menyusul syuhada-syuhada yang telah mendahuluinya.
Amirul Mukminin Umar bin Khathab tidak mau ketinggalan turut serta memikul sendiri jenazah tokoh Anshar ini di atas bahunya menuju taman makam syuhada di Baqi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar