Sebagai guru di zaman sekarang sangat berbeda dengan di zaman dahulu. Zaman dahulu menjadi guru begitu sederhana dan simpel. Zaman sekarang menjadi guru selalu dikejar-kejar administrasi. Disuruh membuat Silabus, Prota, Promes, RPP dan lain-lain. Belum lagi harus mengisi ini dan itu. Ketika lagi asyik mengajar, lagi-lagi diganggu dengan perintah administrasi. Kelas harus ditinggal-tinggal. Siswa sering ditelantarkan.
Teman-teman ada yang sudah membuat, ternyata sebaik apapun yang dibuat selalu saja disalahkan oleh pengawas. Dimata pengawas tak pernah ada Perangkat Mengajar yang baik. Padahal dia sudah mencetak begitu tebal dan mereka harus mengulangi lagi dari awal. Saya lebih suka melihat guru menulis buku-buku ilmiah atau populer daripada melihat guru-guru sibuk membuat RPP. Bukannya meremehkan perencanaan, tapi juga jangan mempersulit diri dengan terpaku RPP.
Belum lagu, ketika mengikuti pelatihan pembuatan perangkat mengajar, selalu berbeda-beda tergantung nara sumbernya, semuanya selalu tidak ada yang berani menggaransi bahwa Perangkat Pembelajaran yang diberikan adalah yang terbaik. sehingga sampai sekarang, belum ada satupun Perangkat Pembelajaran yang tidak disalahkan oleh pengawas.
Saya kasihan melihat guru-guru yang sudah punya cucu. Mata sudah mulai rabun, pemahaman sudah menurun dan gagap teknologi. Mereka guru-guru lawas yang simpel. Masuk kelas dan mengajar. Kasihan sekali melihat guru-guru yang sudah punya cucu itu harus mengerjakan RPP. Mengajar dituntut pakai media. Seperti menggunakan Laptop, LCD, Presentasi dsb.
Dalam contoh RPP juga dituntut menggunakan metode belajar yang kalau menurut saya lebih pantas untuk mahasiswa. Tak masuk dalam pikiran saya mengajar anak SD, SMP dengan metode diskusi seolah para pakar sedang beragumen. Yang terjadi malah ramai. Saya suka yang simpel dan fleksibel. Tidak harus menurut pada contoh RPP. Cara mengajar di Jakarta jelas jauh beda kalau kita mengajar di pedalaman Papua.
Kasihan sekali nasib para guru. Apalagi yang masih belum PNS jadi tidak tertarik untuk menjadi PNS kalau banyak tuntutan seperti itu. Di sisi lain banyak ‘kelompok’ jabatan di negeri ini yang mudah sekali mendapatkan ggaji dan tunjangan yang melimpah tanpa susah-susah. Semisal jadi DPR. Tapi kenapa menjadi guru, untuk mendapatkan tunjangan harus melalui ‘jalan berliku’ yang melelahkan. Padahal mereka adalah pahlawan bangsa ini. Pahlawan yang terlupakan. Banding dengan Dana Renumerisasi di TNI, tanpa ba-bi-bu langsung cair, dan masyarakat tetapbungkap tanpa kritikan yang berarti apalagi pedas.
Saat saya sekarang bisa membaca, menulis dan berhitung itu karena jasa para guru. Kasihan sekali nasib mereka yang itu artinya saya mengasihani diri saya sendiri yang juga seorang guru. Belum lagi hal-hal lain yang menyebabkan para guru yang biasa mengajarkan ke murid-murid harus jujur kini harus sering-sering ‘berbohong’. Lagi-lagi kalau menyangkut masalah anggaran. Kadang kita terpaksa atau ‘dipaksa’ berbohong. Korupsi kecil-kecilan istilahnya.
Murid-murid maafkan guru-gurumu yang kerap meninggalkan kelas dan menyerahimu tugas karena begitu banyak gangguan dari pemerintahmu.
Kadang saya berpikir, kalau besok ganti presiden, ganti menteri pendidikan, apa kira-kira aturan juga berubah lagi? kalau iya, sungguh melelahkan. Pagi saya mengajar di sekolah sebagai guru Fisika, kalau sore dan malam mengajar privat dengan menguras begitu banyak tenaga, ketika pulang tubuh begitu lemas.
Para guru ayo bersemangatlah! meski engkau kerap tertindas. Banyak-banyaklah membaca, menulis dan berkarya. Cintai murid-muridmu sebagai mana engkau mencintai anak-anakmu sendiri. Didiklah anak-anak menjadi anak-anak yang berakhlak mulia dan berotak cerdas. Bersabarlah atas kelakuan mereka. Bagaimanapun mereka hanya anak-anak yang sedang belajar. Sehingga dalam prosesnya sering berbenturan dengan guru.
Saya kasihan melihat guru-guru yang sudah punya cucu. Mata sudah mulai rabun, pemahaman sudah menurun dan gagap teknologi. Mereka guru-guru lawas yang simpel. Masuk kelas dan mengajar. Kasihan sekali melihat guru-guru yang sudah punya cucu itu harus mengerjakan RPP. Mengajar dituntut pakai media. Seperti menggunakan Laptop, LCD, Presentasi dsb.
Dalam contoh RPP juga dituntut menggunakan metode belajar yang kalau menurut saya lebih pantas untuk mahasiswa. Tak masuk dalam pikiran saya mengajar anak SD, SMP dengan metode diskusi seolah para pakar sedang beragumen. Yang terjadi malah ramai. Saya suka yang simpel dan fleksibel. Tidak harus menurut pada contoh RPP. Cara mengajar di Jakarta jelas jauh beda kalau kita mengajar di pedalaman Papua.
Kasihan sekali nasib para guru. Apalagi yang masih belum PNS jadi tidak tertarik untuk menjadi PNS kalau banyak tuntutan seperti itu. Di sisi lain banyak ‘kelompok’ jabatan di negeri ini yang mudah sekali mendapatkan ggaji dan tunjangan yang melimpah tanpa susah-susah. Semisal jadi DPR. Tapi kenapa menjadi guru, untuk mendapatkan tunjangan harus melalui ‘jalan berliku’ yang melelahkan. Padahal mereka adalah pahlawan bangsa ini. Pahlawan yang terlupakan. Banding dengan Dana Renumerisasi di TNI, tanpa ba-bi-bu langsung cair, dan masyarakat tetapbungkap tanpa kritikan yang berarti apalagi pedas.
Saat saya sekarang bisa membaca, menulis dan berhitung itu karena jasa para guru. Kasihan sekali nasib mereka yang itu artinya saya mengasihani diri saya sendiri yang juga seorang guru. Belum lagi hal-hal lain yang menyebabkan para guru yang biasa mengajarkan ke murid-murid harus jujur kini harus sering-sering ‘berbohong’. Lagi-lagi kalau menyangkut masalah anggaran. Kadang kita terpaksa atau ‘dipaksa’ berbohong. Korupsi kecil-kecilan istilahnya.
Murid-murid maafkan guru-gurumu yang kerap meninggalkan kelas dan menyerahimu tugas karena begitu banyak gangguan dari pemerintahmu.
Kadang saya berpikir, kalau besok ganti presiden, ganti menteri pendidikan, apa kira-kira aturan juga berubah lagi? kalau iya, sungguh melelahkan. Pagi saya mengajar di sekolah sebagai guru Fisika, kalau sore dan malam mengajar privat dengan menguras begitu banyak tenaga, ketika pulang tubuh begitu lemas.
Para guru ayo bersemangatlah! meski engkau kerap tertindas. Banyak-banyaklah membaca, menulis dan berkarya. Cintai murid-muridmu sebagai mana engkau mencintai anak-anakmu sendiri. Didiklah anak-anak menjadi anak-anak yang berakhlak mulia dan berotak cerdas. Bersabarlah atas kelakuan mereka. Bagaimanapun mereka hanya anak-anak yang sedang belajar. Sehingga dalam prosesnya sering berbenturan dengan guru.
Wahai sahabat-sahabat guru semua, jangan pernah menyerah apalagi putus asa, meski kita sering dianaktirikan di negeri ini, marilah tetap terus berjuang menabur ilmu, memberikan karakter-karakter terbaik kepada anak-anak didik kita sebagai pewaris negeri ini, agar kelak negeri ini terbebas dari segala bentuk "kebusukakan" yang membuat negeri ini begitu terpuruk.
Akhir kata, sebaik-baik Muslim adalah yang bermamfaat bagi sesamanya. Sudahkah diri kita bermamfaat bagi anak-anak didik kita? Jawabannya ada dalam dada kita masing-masing!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar