aguspurnomosite.blogspot.com

aguspurnomosite.blogspot.com
Berpikir Luas Membuka Cakrawala Kehidupan! Berusaha Memberikan Yang Terbaik Untuk Masa Depan! Katakan "Go Go Go SEMANGAT" !!!

Senin, 22 April 2013

Ujian Akhir Nasional Tidak Cocok untuk Indonesia

Ujian Akhir Nasional (UAN) setiap tahun menjadi momok yang menakutkan bagi semua orang, bukan hanya siswa namun orang tua murid, saudara, keluarga. Meski sebenarnya UAN bukanlah sesuatu yang seharusnya ditakuti namun yang patut menjadi perhatian ialah kekacauan penyelenggaraan UAN setiap tahunnya. Bukankah bukan pertama kalinya Indonesia melaksanakan UAN, tapi tetap saja terjadi kekacauan setiap tahunnya. Entah itu masalah teknis ataupun terkait pro dan kontra adanya UAN. Apa yang salah sebenarnya?  

Disini bukan salah siapa atau siapa yang patut dijadikan kambing hitam. Bukan pula menyalahkan Menteri Pendidikan. Kekacauan teknis seperti pendistribuan soal, kertas tipis, pelaksanaan UAN yang tak serentak nasional, tidak bisa kesalahan tersebut dilimpahkan pada Menteri Pendidikan kita, Muh. Nuh. Bukan salah beliau.

Ketika Pemerintah tetap teguh dengan pendiriannya perlunya UAN, sebetulnya ada banyak hal yang patutnya dikaji apakah UAN masih cocok diterapkaan di Indonesia. Ada banyak alasan UAN tidak lagi cocok dilaksanakan di Indonesia.

1. Alasan letak geografis Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.000 pulau tersebar diseluruh nusantara menjadi kendala tersendiri, terutama terkait pendidtribusian soal yang ramai dibicarakan pada kekacauan UAN tahun ini. Indonesia yang begitu luas, dimana setiap pulau terpisah oleh lautan mempersulit distribusi soal UAN, perlu perencanaan detail, tidak bisa sembarangan dan asal-asalan.

2. Pelajar itu subjek pendidikan bukan objek pendidikan

Keberadaan UAN justru menjadi alat coba-coba untuk pelajar. Setiap tahun aturan UAN terus berubah, mulai dari standar nilai, perubahan kurikulum, dan paket soal. Sistem yang tidak jelas seolah menjadi ajang coba-coba pemerintah untuk menerapkan suatu kebijakan. Padahal anak bukan ajang percobaan, mereka adalah anak yang seharusnya mendapatkan pelayanan pendidikan yang selayaknya. Mereka adalah subjek, pelaku pendidikan yang memiliki hak dasar mendapat pendidikan, bukan objek penelitian dan carut-marut kebijakan.

3. Kualitas pendidikan yang tidak merata

Kualitas pendidikan Indonesia yang tidak merata menyebabkan ketimpangan hasil UAN antara daerah kota dengan pendidikan maju dibanding daerah pinggiran dengan failitas pendidikan terbatas. Jika pada kenyataannya kulitas pendidikan di Indonesia belum merata, saya rasa UAN tidak layak dijadikan standarisasi penilaian nasional. Apalagi dijadikan syarat kelulusan, meski sekarang ini prosentasenya 60% dan 40% dari sekolah. Tapi tetap saja UAN masih menjadi standar. Standar nilai kelulusan UAN 5,5 sangat lah ringan untuk sekolah-sekolah maju dikota, tapi tidak untuk sekolah pinggriran. Membaca saja masih menjadi persoalan di pelosok-pelosok negeri ini.

4. Soal UAN tidak adil

Pembuatan soal UAN yang distandarkan untuk nasional menimbulkan ketidakadilan. Ketika pihak pembuat soal mempertimbangkan bahwa soal diperuntukkan bagi seluruh siswa di Indonesia, baik di daerah maupun kota, tentu pihak pembuat soal harus memperhitungkan apakah soal-soal tersebut memenuhi standar kelulusan untuk semua sekolah. Padahal kualitas sekolah sekali lagi berbeda. Bagi sekolah maju mungkin soal-soal UAN tidak sulit dibandingkan standar pendidikan disekolah mereka bahkan terlalu mudah. Tapi bagaimana dengan sekolah pinggiran, apakah soal-soal tersebut sesuai dengan starandar mereka? Terlalu sulit bisa jadi.

5. Setiap daerah memiliki kebutuhan dan standar pendidikan tersendiri

Negara kita hampir mirip dengan Amerika yang multikultural, bedanya setiap pulau di Indonesia terpisah oleh lautan sedangkan Amerika hanya dibatasi daratan. Namun apa yang sama bahwa Amerika juga memiliki masyarakat yang beragam, bangsa imigran. Setiap daerah memiliki kebudayaan, kebutuhan, dan standar pendidikan tersendiri. Amerika dikenal dengan sistem pendidikannya yang maju dan dipandang di dunia. Dalam sistem pendidikan di negri Paman Sam tidak ada Ujian Nasional karena setiap negara bagian memiliki kebutuhan berbeda akan pendidikan. Mereka menyelenggarakan Ujian per negara bagian, soal yang dibuat dari negara bagian, bahkan jika memang tidak berkenan dengan soal-soal dari negara bagian mereka berhak menolak dan menyelenggarakan ujian mandiri. Tidak ada penyetandaran secara nasional. Lalu bagaimana mengukur kemmapuan siswa untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi? Kualitas individu menjadi faktor penentu, tidak menjadi soal ia berasal dari pinggiran maupun kota asalkan ia bisa bersaing untuk meneruskan pendidikan dan mengenyam pendidikan yang lebih baik.

6. UAN bukan penjamin kualitas pendidikan baik secara individu maupun nasional

Berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson, sistem pendidikan Indonesia berada di posisi terbawah bersama Meksiko dan Brasil. Peringkat disusun berdasarkan keberhasilan negara-negara memberikan status tinggi pada guru dan memiliki “budaya” pendidikan. Lima negara maju tidak menyelenggarakan UAN dengan sistempendidikan terbaik di dunia:

a. Finlandia

Finlandia sebagai negara dengan system pendidikan termaju di dunia tidak mengenal yang namanya Ujian Nasional. Evaluasi mutu pendidikan sepenuhnya dipercayakan kepada para guru sehingga negara berkewajiban melatih dan mendidik guru-guru agar bisa melaksanakan evaluasi yang berkualitas. Setiap akhir semester siswa menerima laporan pendidikan berdasarkan evaluasi yang sifatnya personal dengan tidak membandingkan atau melabel para siswa dengan peringkat juara seperti yang telah menjadi tradisi pendidikan kita. Mereka sangat meyakini bahwa setiap individu adalah unik dan memiliki kemampuan yang berbeda beda. Di Finlandia profesi guru adalah profesi yang paling terhormat. Dokter justru berada dibawah peringkat guru.

b. Amerika Serikat (USA)

Amerika yang terdiri dari banyak negara bagian ternyata tidak pernah menyelenggarakan UN atau ujian negara secara nasional. Walaupun ada ujian yang diselenggarakan oleh masing-masing state (negara bagian), namun tidak semua sekolah diwajibkan mengikuti ujian negara bagian. Tiap negara bagian juga mempunyai materi ujian masing-masing. Sekolah-sekolah tetap boleh menyelenggarakan ujian sendiri dan menentukan kelulusannya sendiri.

Semua lulusan, baik lulusan yang disenggarakan oleh sekolahnya sendiri atau lulus ujian yang diselenggarakan negara bagian, tetap boleh mengikuti ujian mauk ke college ataupun universitas asal memenuhi persyaratan dan lulus tes masuk. Logika pendidikan yang digunakan yaitu: Kualitas pendidikan ditentukan oleh individu masing-masing kelulusan. Walaupun Si A lulusan dari SMA pinggiran yang tidak terkenal, kalau dia lulus tes masuk ke Universitas Harvard, maka diapun akan diterima di universitas tersebut. Jadi masalah kualitas ditentukan oleh individu (individual quality). Pakar pendidikan dari Columbia University, Linda Hammond (1994) Berpendapat bahwa nasionalisasi ujian sekolah tidak bisa memberi kreativitas guru. Sekolah tidak bisa menciptakan strategi belajar sesuai dengan perbedaan kondisi sosial, ekonomi, budaya, serta kemajuan teknologi. Sistem pendidikan top down oriented, tak bisa menjawab masalah yang ada di daerah-daerah berbeda.

c. Jerman

Jerman tidak mengenal ujian nasional. Kebijaksanaan yang diutamakan adalah membantu setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan menyediakan guru yang profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik, menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru, menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik dapat secara terus-menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar, Evaluasi yang terus-menerus, komprehensif dan obyektif.

Melalui model pembelajaran yang seperti inilah, yaitu peserta didik setiap saat dinilai tingkah lakunya, kesungguhan belajarnya, hasil belajarnya, kemampuan intelektual, partisipasinya dalam belajar yang menjadikan sekolah di Jerman mampu menghasilkan rakyat yang beretos kerja tinggi, peduli mutu, dan gemar belajar. Mereka setiap hari belajar selalu mendapat tugas dari semua mata pelajaran yang proses maupun hasilnya dinilai dan nilai-nilai ini memengaruhi nilai akhir semester dan seterusnya.

d. Kanada

Di Kanada tidak ada Ujian Nasional karena dianggap tak bermanfaat untuk kemajuan pendidikan di negara itu. Untuk kontrol kualitas di Kanada terdapat penjaminan mutu pendidikan yang kontrolnya sangat kuat. Lembaga penjamin mutu ini benar-benar bekerja secara ketat dari pendidikan dasar hingga menengah. Sehinga murid yang akan masuk ke perguruan tinggi cukup dengan rapor terakhir. Di Kanada, perguruan tinggi tidak sulit lagi untuk menerima murid darimana pun sekolahnya. Karena standar sekolah di sana sudah sesuai dengan standar perguruan tinggi yang akan dimasuki setiap lulusan sekolah.

Kebalikan dengan di Indonesia, perguruan tinggi banyak yang tidak percaya dengan lulusan sekolah menengah. Saling tidak percaya standar ini yang menyebabkan pemborosan keuangan negara karena harus menyelenggarakan UN dan ujian mandiri.

e. Australia

Di Negara Australia ini, ujian nasional tidak dilaksanakan bahkan tidak dikenal sama sekali, melainkan ujian state. Ujian ini tidak menentukan lulus tidaknya para peserta didik, namun untuk menentukan kemana siswa tersebut akan melanjutkan pendidikan. Berapapun nilai yang didapatkan oleh siswa dari ujian tersebut tetap dinyatakan lulus. Nilai nol pun tetap dinyatakan lulus, namun kelulusan tersebut tidak ada gunanya. Berarti siswa tersebut akan sangat sulit untuk melanjutkan pendidikannya. (sumber: www.unikbaca.com)

7. UAN hanya mengukur kemampuuan kognitifi siswa

Dalam dunia pendidikan, ranah kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa ada tiga yaitu kognitif, psikomotorik, afektif. Sedangkan UAN hanya mengukur kemampuan kognitif siswa, dimana afektif dan psikomotoriknya? Non sen, tidak ada!

Bukankah yang terpenting dari belajar ialah proses, jika UAN menjadi penentu kelulusan maka untuk apa belajar 6 tahun di Sd, 3 tahun di SMP dan SMA. Serasa perjuangan bertahun-tahun akan mati begitu saja jika 3 hari UAN itu gagal. Ketika M. Nuh menghadiri seminar UAN di sebuah SMA di Palangkaraya bersama Wakil Presiden, Budiono, seorang siswa kelas XI bertanya pada M. Nuh tentang kebijakan UAN yang menentukan kelulusan, bahwa proses belajar 3 tahun hanya ditentukan 3 hari UAN. Jawaban beliau sederhana, “UAN sama saaj dengan ulangan. Jika saya tanya kalian apakah mau ada ulangan atau tidak pasti jawabannya tidak”. Itu baru pendapat pribadi lho pak, apakah bapak sudah melakukan survey? Belum kan! Saya rasa jawabannya berbeda ketika konteks yang ditanyakan ulangan dan UAN. Karena 2 hal tersebut memang berbeda. Ulangan bukan UAN yang menentukan kelulusan belajar selama 3 tahun, tapi bagian dari proses belajar selama 3 tahun itu sendiri.
Source

Tidak ada komentar:

Posting Komentar