aguspurnomosite.blogspot.com

aguspurnomosite.blogspot.com
Berpikir Luas Membuka Cakrawala Kehidupan! Berusaha Memberikan Yang Terbaik Untuk Masa Depan! Katakan "Go Go Go SEMANGAT" !!!

Senin, 22 April 2013

UJIAN NASIONAL: ANTARA MANFAAT DAN MUDARATNYA

 Pelaksanaan ujian nasional tingkat SMA/SMK tahun ini mendadak menjadi topik pembicaraan yang luar biasa ramainya.   

Hal itu berawal dari tertundanya pelaksanaan UN di 11 provinsi karena keterlambatan naskah soal, sementara keluhan bermunculan di sekolah-sekolah yang telah melaksanakan UN sejak tanggal 15 April 2013. Keluhan itu antara lain menyangkut rendahnya kualitas lembar jawaban UN (kertas terlalu tipis sehingga mudah robek), tertukarnya paket-paket soal, kurangnya naskah soal dan lembar jawaban UN, hingga indikasi kecurangan yang terjadi di lapangan.

Awalnya berbagai permasalahan diatas dianggap hanya sebagai masalah teknis sehingga pihak percetakan yang terlambat mendistribusikan soal-soal ujian sudah dipastikan akan menjadi kambing hitam. Namun apakah betul carut marutnya pelaksanaan UN ini hanya seputar masalah teknis belaka? Banyak kalangan, sejak praktisi pendidikan hingga orang tua murid menuding bahwa UN tidak lagi layak untuk dibiarkan tetap dijalankan karena merupakan pemborosan biaya besar setiap tahunnya tanpa manfaat signifikan bagi peningkatan mutu pendidikan di negeri tercinta ini.

Seorang guru besar pendidikan mengharapkan agar pemerintah melalui Mendikbud lebih baik mengalihkan biaya penyelenggaraan UN yang tahun ini mencapai Rp 600 miliar, memperbaiki sekolah yang rusak, laboratorium sekolah, perpustakaan sekolah, untuk pelatihan guru dan pembenahan sarana dan prasarana pendidikan lainnya. Belum lagi biaya-biaya terkait UN yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan orangtua murid.

Komentar yang lebih fundamental mengenai ujian nasional ini dikemukakan oleh pakar pendidikan Henry Alexis Rudolf Tilaar yang menyebut bahwa pemerintah saat ini tidak memiliki komitmen untuk memperbaiki mutu pendidikan. Bahkan mereka dinilai tidak memiliki konsep jelas dan menyeluruh soal pendidikan Indonesia ke depan. Lebih jauh Henry mempersoalkan, apa sebetulnya tujuan dari ujian nasional. Apakah menghakimi anak atau meningkatkan mutu pendidikan nasional. 

Beberapa tahun lalu hal ini menjadi polemik di surat kabar. Ujian nasional yang dikatakan dapat meningkatkan mutu pendidikan nasional justru memunculkan nilai-nilai negatif dalam pelaksanaan.

Ada banyak fenomena yang membuat miris terjadi di lapangan. Ada kasus dimana guru mau jujur dalam pelaksanaan ujian nasional malah dipecat. Di tahun lalu, ada anak mengajak temannya jujur malah dipermasalahkan sampai ibunya dikucilkan dari kampung. Inilah ekses-ekses ujian nasional menghakimi anak yang ingin jujur.

Ungkapan senada disampaikan oleh Praktisi Pendidikan dari Universitas Paramadina, Abduh Zein, yang mengatakan bahwa kebijakan UN yang diambil pemerintah ini justru membuat anak-anak belajar untuk menjadi pribadi yang manipulatif dan destruktif karena dihantui ketakutan tidak lulus ujian. Menurutnya, “Kebijakan UN ini tidak tepat karena destruktif dan menanamkan untuk manipulasi.” 

Tidak hanya sekadar itu, UN yang awalnya didesain untuk meningkatkan semangat belajar justru malah memunculkan semangat yang berkebalikan karena anak-anak menjadi berlomba untuk mencari bocoran jawaban agar UN yang dikerjakannya berjalan lancar.

“Sekarang dapat dilihat apakah semangat belajar meningkat karena UN? Tidak, karena yang ada justru sebaliknya anak-anak mencari jalan pintas untuk lulus UN,” ungkap Abduh.

“Akhirnya anak yang pintar jadi hilang semangat belajar karena tahu ada jalan pintas itu,” tandasnya. 

Apa yang dikemukakan masih belum cukup, ada ekses lain yang merembet ke sektor lain.
Karena tingkat kelulusan anak didik dipakai menjadi ukuran kesuksesan sekolah dan institusi pendidikan daerah, bahkan hingga ke tingkat Bupati.

Lho kok? Alasannya sangat logis. Sang Bupati bilang kalau tingkat kelulusan di wilayahnya rendah, maka ia akan dipindahkan. Maka Kepala Dinas yang berada dibawah jajaran Bupati akan menginstruksikan Kepala Sekolah untuk meluluskan seratus persen. Jadi ada target disitu. Dalam pembicaraan per telepon dengan seorang kerabat di Sumatera Utara beberapa hari yang lalu, ia mengatakan bahwa pelaksanaan UN tingkat SMA di daerahnya yang agak terpencil berjalan dengan ”aman terkendali.” Yang ia maksud, pelaksanaannya dijalankan dengan kolaborasi penuh dari kepala daerah, polisi yang bertugas hingga pengawas ujian. Tujuannya, anak didik harus lulus sebanyak mungkin. Alamak!

Mengapa Pemerintah Masih Mempertahankan UN?

Walaupun kritikan terhadap ujian nasional terus dilayangkan sejak beberapa tahun terakhir, dan Mahkamah Agung telah memenangi gugatan masyarakat lewat gugatan citizen lawsuit soal penyelenggaraan ujian nasional pada 2009, pemerintah tetap melaksanakan ujian nasional dengan alasan kebutuhan standardisasi. 

Secara legal, keputusan MA masih memberikan ruang bagi pemerintah untuk tetap menyelenggarakan ujian nasional dengan catatan pemerintah telah meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, serta mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologi dan mental peserta didik akibat penyelenggaraan ujian nasional.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh mengatakan tak mungkin menghapuskan Ujian Nasional (UN). Hal ini disampaikan Nuh menanggapi pernyataan anggota Komisi X DPR yang meminta Mendikbud untuk tidak memaksakan pelaksanaan UN ke depannya menyusul amburadulnya produksi dan distribusi naskah soal dan lembar jawaban yang berujung pada penundaan UN di 11 provinsi di Indonesia. Namun, menurut Menteri, UN merupakan penentu kelulusan para siswa dari sekolah.

“(Kalau tidak dilanjutkan) terus anak-anak mau ujian pakai apa? Kalau enggak ujian susulan, mereka mau lulus pakai apa?” tanya Nuh ketika diwawancara hari Kamis, 18 April 2013.
“Harus ujian, kalau enggak gimana? Ujian dong, ini diusahakan secepatnya,” lanjut M Nuh.

Apakah UN Merupakan Alat Ukur Kelulusan Yang Terbaik?

Elin Driana, Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka dalam tulisannya di kolom Opini harian Kompas beberapa hari lalu menyampaikan laporan tahunan terbaru (2012) dari Center on Education Policy — sebuah lembaga nirlaba yang didirikan di George Washington University, yang meneliti ujian kelulusan di sejumlah negara bagian di Amerika Serikat sejak tahun 2002. Lembaga ini menyimpulkan bahwa hingga saat ini keterkaitan antara ujian kelulusan dan peningkatan prestasi belajar siswa masih belum terbukti. Laporan tersebut juga merujuk pada beberapa penelitian lain, misalnya yang dilakukan Grodsky dkk (2009), Reardon dkk (2009), dan Holme dkk (2010), yang belum menemukan keterkaitan antara pelaksanaan ujian kelulusan dan peningkatan prestasi belajar siswa.

Menurut Elin, untuk menilai efektivitas pelaksanaan UN kita memang membutuhkan indikator. Salah satu indikator yang saat ini tersedia dan dapat digunakan adalah hasil-hasil survei internasional dalam TIMSS (untuk matematika), PIRLS (untuk kemampuan membaca), dan PISA (matematika, sanis, dan membaca). 

Indonesia secara periodik telah mengikuti asesmen internasional tersebut dengan hasil yang memprihatinkan. Siswa Indonesia berada di peringkat bawah dalam ketiga asesmen tersebut. Bukan hanya peringkat yang mencemaskan, melainkan mayoritas siswa Indonesia ternyata baru mencapai level penalaran yang rendah. Bukankah ini sudah merupakan indikator kegagalan UN dalam meningkatkan prestasi belajar siswa?

Elin juga menambahkan sejumlah dampak negatif dari ujian kelulusan yang diambil dari penelitian lain seperti: (1) kesenjangan prestasi akademis berdasarkan status sosial ekonomi keluarga; (2) meningkatnya risiko putus sekolah bagi siswa tak mampu dan siswa dari kelompok minoritas; (3) penyempitan kurikulum, yaitu terfokusnya pembelajaran pada mata pelajaran yang diujikan sehingga yang tak diujikan terabaikan; (4) proses belajar yang berupaya menggali aspek kreativitas dan berpusat pada siswa cenderung terpinggirkan karena lebih memfokuskan pada latihan-latihan soal; (5) tekanan berlebihan yang dirasakan siswa; tekanan berlebihan yang dirasakan guru; dan (6) berbagai modus kecurangan.

Usulan kepada Pemerintah

Masukan ini bukan ibarat mengajar ikan berenang, sama sekali bukan untuk menggurui Pemerintah, khususnya Mendikbud, namun lebih merupakan himbauan sebagai masukan dalam membahas aspek standar kelulusan anak didik di Indonesia. 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hendaklah mencarikan solusi terbaik dalam persoalan standarisasi pendidikan khususnya SD hingga SMA. Jangan sampai solusi yang diterapkan dikorbankan demi kepentingan pribadi atau kelompok. 

Dalam mencari solusi yang ideal bagi negeri ini, sangat penting untuk juga mempertimbangkan faktor geografis negeri ini yang terdiri dari banyak kepulauan, ketimpangan kualitas guru antara daerah satu dengan lainnya dan fasilitas sekolah yang tidak merata. 

Jika Pemerintah tetap ngotot ingin menjalankan ujian nasional yang tersentralisasi, wajib hukumnya untuk memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi dan teknologi distribusi. Keterlambatan distribusi soal ujian yang terjadi beberapa hari lalu bisa menjadi tertawaan dunia. Di era informasi ini kita lihat betapa surat kabar telah memanfaatkan teknologi remote digital printing yang “secure” sehingga tidak lagi punya ketergantungan dengan transportasi fisik. Pendekatan ini jauh lebih praktis dan aman dibandingkan dengan pencetakan soal secara sentralisasi. Dan mengenai teknis pendistribusian soal ujian, mengapa pemerintah tidak mau belajar dari pihak swasta semisal Unilever atau Indofood yang mampu menyalurkan produk-produknya ke pelosok daerah secara cepat dengan harga yang sama? 

Namun andaikata Pemerintah legowo untuk meninjau ulang konsep “Ujian Nasional” yang diterapkan selama ini, mungkin mayoritas pakar pendidikan di negeri ini akan mendukung upaya ini. Dengan mengacu kepada poin nomor 2 diatas, tampaknya solusi yang ideal bagi bangsa ini adalah meniadakan UN untuk tingkat SD hingga SMA. Biarkanlah masing-masing provinsi untuk melaksanakan ujian lokal di daerah mereka. Ujian berskala nasional jika masih ingin dijalankan, cukup di tingkat universitas negeri (ujian saringan masuk perguruan tinggi).

Dengan dihapuskannya ujian nasional, pemborosan uang sebesar Rp 600 miliar yang disebut diatas bisa dialokasikan untuk hal yang jauh lebih bermanfaat seperti perbaikan sarana pendidikan (sekolah, laboratorium, perpustakaan) dan peningkatan kualitas guru.
Semoga menjadi bahan pemikiran bagi kita bersama.
Source 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar