Kurikulum baru yang mulai diberlakukan Juli 2013 akan berdampak pada beberapa hal. Pertama, soal anggaran perubahan senilai Rp 2,49 triliun. Masyarakat Indonesia khususnya yang tergabung dalam komunitas guru banyak yang menyayangkan pengeluaran dana sebesar itu. “Daripada untuk itu, lebih baik digunakan untuk peningkatan kualitas guru. Kualitas pendidikan kita turun karena tidak ada training untuk para guru,” kata Benny Susetyo yang tergabung dalam Koalisi Tolak Perubahan Kurikulum 2013 saat jumpa pers di kantor ICW Jl Kalibata Timur IV D, Jakarta Selatan.
Ada pula yang mengusulkan agar dana itu dialokasikan untuk pembangunan sarana dan infrastuktur sekolah-sekolah kecil di daerah yang dianggap sangat memerlukan bantuan pemerintah. Pasalnya, kurikulum baru tanpa kualitas pendidik yang memadai bisa jadi akan sia-sia. “Mengapa anggaran itu tidak untuk peningkatan kualitas guru, sarana dan infrastruktur sekolah kita yang ada di daerah? Ini lebih jelas hasilnya daripada perubahan kurikulum yang ujung-ujungnya pengadaan buku dan belum tentu dipakai,” lanjut Romo.
Kedua, soal pelatihan guru. Sejumlah organisasi guru, antara lain Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), dan Koalisi Pendidikan, menolak Kurikulum 2013. Mereka menilai, pelatihan guru yang akan dilakukan selama 52 jam dengan 31-33 jam tatap muka dianggap kurang mampu memberikan hasil maksimal. Apalagi, ada guru yang belum pernah mendapatkan pelatihan pengembangan kompetensi sebelumnya. Oleh karena informasi yang tidak utuh pula, guru khawatir tidak dapat mengembangkan ilmu sesuai bidang studinya.
“Kami menunggu saja instruksi dari Dinas Pendidikan. Sampai saat ini, informasi pelatihan guru kelas X juga belum. Jika ada seminar-seminar, tentu kami akan kirimkan guru supaya lebih siap,” kata Kresno Puji Astuti, Kepala SMPN 38, Jakarta.
Menanggapi soal kebimbangan ini, Wamendikbud, Musliar Kasim, menjamin tak akan ada guru yang dirugikan. Bila ada yang belum siap, dinilai wajar karena pelatihan guru khusus untuk Kurikulum 2013 belum dimulai. Saat pelatihan, setiap guru akan memperoleh buku panduan guru berisi petunjuk teknis. ”Buku panduan akan ada untuk setiap mata pelajaran,” tandas Musliar.
Ketiga, soal sosialisasi kurikulum baru. Sosialisasi struktur kurikulum mengenai jumlah mata pelajaran dan jam pelajaran, implementasi teknisnya belum detail tersampaikan, hingga membuat para guru bingung memutuskan. Guru juga membutuhkan pendampingan intensif agar pembelajaran tematik di SD bisa sesuai dengan harapan.
Kasmawati, Kepala SDN 2, Lamokato, mengatakan sosialisasi Kurikulum 2013 masih belum merata di semua guru dan sekolah. Padahal, perubahan besar terjadi dalam pembelajaran di jenjang SD.
Pada jenjang SD, jumlah pelajaran yang semula 10 dipangkas menjadi enam melalui pengintegrasian beberapa mata pelajaran. Pelajaran IPA menjadi materi pembahasan pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan lain-lain. Pelajaran IPS menjadi materi pembahasan pelajaran PPKn, Bahasa Indonesia, dan lain-lain. Pelajaran Muatan Lokal menjadi materi pembahasan Seni Budaya dan Prakarya serta Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan. Sedangkan mata pelajaran Pengembangan Diri diintegrasikan ke semua mata pelajaran.
Meski jumlah mata pelajaran berkurang, namun jumlah jam pelajaran tidak berkurang. Sebaliknya, ada tambahan empat jam pelajaran per minggu akibat perubahan proses pembelajaran dan penilaian.
Keempat, akan banyak guru yang kehilangan pekerjaan. Sebab, pada Kurikulum 2013, mata pelajaran teknologi infomasi dan komunikasi (TIK) serta bahasa Inggris untuk di SD dihapus.
Seperti diketahui, untuk jenjang SMP, jumlah mata pelajaran yang sebelumnya 12 dikurangi menjadi 10 melalui pengintegrasian beberapa mata pelajaran. Pelajaran TIK menjadi sarana pembelajaran pada semua mata pelajaran, tidak berdiri sendiri. Sedangkan Muatan Lokal menjadi materi pembahasan Seni Budaya dan Prakarya. Mata pelajaran Pengembangan Diri diintegrasikan ke semua mata pelajaran.
Kendati berkurang dua, namun jumlah jam belajar di jenjang SMP bertambah enam jam pelajaran per minggu sebagai akibat dari perubahan pendekatan proses pembelajaran dan proses penilaian
Kelima, soal peminatan siswa di jenjang SMA. Pada Kurikulum 2013, penjurusan yang sebelumnya dimulai di kelas XI diubah menjadi peminatan di kelas X. Ada tiga kelompok peminatan, yakni Matematika dan Sains (Biologi, Fisika, dan Kimia); Sosial (Geografi, Sejarah, Sosiologi dan Antropologi, serta Ekonomi); dan Bahasa (Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa dan Sastra Inggris, serta Bahasa Arab).
Tety, salah seorang Wakil Kepala SMKN 24, Jakarta, menuturkan prosedur pelaksanaan peminatan siswa kelas X masih belum bisa diputuskan sekolah. Sebab, jika hanya mengandalkan nilai Ujian Nasional di jenjang SMP, maka tidak cukup dipakai sebagai dasar untuk menentukan peminatan siswa.
Menurutnya, sebaiknya siswa mampu mengukur potensi diri masing-masing dalam memilih penjurusan dan tidak asal minat tanpa ada ukuran yang jelas.
Keenam, perubahan kurikulum akan mengakibatkan perubahan buku pelajaran yang biasa digunakan guru dan siswa di sekolah. Terkait dengan perubahan buku, Mendikbud berharap tidak dibebankan kepasa siswa atau orangtua siswa, dan dalam pelaksanaan pengadaan buku harus bisa dipertanggungjawabkan dan transparan. “Buku masternya kita siapkan, jadi bisa diuji isinya benar atau salah. Kemudian kita tenderkan, terbuka. Dan siapapun bisa mengawasi,” jelasnya.
Nuh menambahkan, biaya untuk pengadaan buku bisa dari dana alokasi khusus (DAK), yang memang tiap tahun ada DAK pengadaan buku.
Ada pula yang mengusulkan agar dana itu dialokasikan untuk pembangunan sarana dan infrastuktur sekolah-sekolah kecil di daerah yang dianggap sangat memerlukan bantuan pemerintah. Pasalnya, kurikulum baru tanpa kualitas pendidik yang memadai bisa jadi akan sia-sia. “Mengapa anggaran itu tidak untuk peningkatan kualitas guru, sarana dan infrastruktur sekolah kita yang ada di daerah? Ini lebih jelas hasilnya daripada perubahan kurikulum yang ujung-ujungnya pengadaan buku dan belum tentu dipakai,” lanjut Romo.
Kedua, soal pelatihan guru. Sejumlah organisasi guru, antara lain Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), dan Koalisi Pendidikan, menolak Kurikulum 2013. Mereka menilai, pelatihan guru yang akan dilakukan selama 52 jam dengan 31-33 jam tatap muka dianggap kurang mampu memberikan hasil maksimal. Apalagi, ada guru yang belum pernah mendapatkan pelatihan pengembangan kompetensi sebelumnya. Oleh karena informasi yang tidak utuh pula, guru khawatir tidak dapat mengembangkan ilmu sesuai bidang studinya.
“Kami menunggu saja instruksi dari Dinas Pendidikan. Sampai saat ini, informasi pelatihan guru kelas X juga belum. Jika ada seminar-seminar, tentu kami akan kirimkan guru supaya lebih siap,” kata Kresno Puji Astuti, Kepala SMPN 38, Jakarta.
Menanggapi soal kebimbangan ini, Wamendikbud, Musliar Kasim, menjamin tak akan ada guru yang dirugikan. Bila ada yang belum siap, dinilai wajar karena pelatihan guru khusus untuk Kurikulum 2013 belum dimulai. Saat pelatihan, setiap guru akan memperoleh buku panduan guru berisi petunjuk teknis. ”Buku panduan akan ada untuk setiap mata pelajaran,” tandas Musliar.
Ketiga, soal sosialisasi kurikulum baru. Sosialisasi struktur kurikulum mengenai jumlah mata pelajaran dan jam pelajaran, implementasi teknisnya belum detail tersampaikan, hingga membuat para guru bingung memutuskan. Guru juga membutuhkan pendampingan intensif agar pembelajaran tematik di SD bisa sesuai dengan harapan.
Kasmawati, Kepala SDN 2, Lamokato, mengatakan sosialisasi Kurikulum 2013 masih belum merata di semua guru dan sekolah. Padahal, perubahan besar terjadi dalam pembelajaran di jenjang SD.
Pada jenjang SD, jumlah pelajaran yang semula 10 dipangkas menjadi enam melalui pengintegrasian beberapa mata pelajaran. Pelajaran IPA menjadi materi pembahasan pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan lain-lain. Pelajaran IPS menjadi materi pembahasan pelajaran PPKn, Bahasa Indonesia, dan lain-lain. Pelajaran Muatan Lokal menjadi materi pembahasan Seni Budaya dan Prakarya serta Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan. Sedangkan mata pelajaran Pengembangan Diri diintegrasikan ke semua mata pelajaran.
Meski jumlah mata pelajaran berkurang, namun jumlah jam pelajaran tidak berkurang. Sebaliknya, ada tambahan empat jam pelajaran per minggu akibat perubahan proses pembelajaran dan penilaian.
Keempat, akan banyak guru yang kehilangan pekerjaan. Sebab, pada Kurikulum 2013, mata pelajaran teknologi infomasi dan komunikasi (TIK) serta bahasa Inggris untuk di SD dihapus.
Seperti diketahui, untuk jenjang SMP, jumlah mata pelajaran yang sebelumnya 12 dikurangi menjadi 10 melalui pengintegrasian beberapa mata pelajaran. Pelajaran TIK menjadi sarana pembelajaran pada semua mata pelajaran, tidak berdiri sendiri. Sedangkan Muatan Lokal menjadi materi pembahasan Seni Budaya dan Prakarya. Mata pelajaran Pengembangan Diri diintegrasikan ke semua mata pelajaran.
Kendati berkurang dua, namun jumlah jam belajar di jenjang SMP bertambah enam jam pelajaran per minggu sebagai akibat dari perubahan pendekatan proses pembelajaran dan proses penilaian
Kelima, soal peminatan siswa di jenjang SMA. Pada Kurikulum 2013, penjurusan yang sebelumnya dimulai di kelas XI diubah menjadi peminatan di kelas X. Ada tiga kelompok peminatan, yakni Matematika dan Sains (Biologi, Fisika, dan Kimia); Sosial (Geografi, Sejarah, Sosiologi dan Antropologi, serta Ekonomi); dan Bahasa (Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa dan Sastra Inggris, serta Bahasa Arab).
Tety, salah seorang Wakil Kepala SMKN 24, Jakarta, menuturkan prosedur pelaksanaan peminatan siswa kelas X masih belum bisa diputuskan sekolah. Sebab, jika hanya mengandalkan nilai Ujian Nasional di jenjang SMP, maka tidak cukup dipakai sebagai dasar untuk menentukan peminatan siswa.
Menurutnya, sebaiknya siswa mampu mengukur potensi diri masing-masing dalam memilih penjurusan dan tidak asal minat tanpa ada ukuran yang jelas.
Keenam, perubahan kurikulum akan mengakibatkan perubahan buku pelajaran yang biasa digunakan guru dan siswa di sekolah. Terkait dengan perubahan buku, Mendikbud berharap tidak dibebankan kepasa siswa atau orangtua siswa, dan dalam pelaksanaan pengadaan buku harus bisa dipertanggungjawabkan dan transparan. “Buku masternya kita siapkan, jadi bisa diuji isinya benar atau salah. Kemudian kita tenderkan, terbuka. Dan siapapun bisa mengawasi,” jelasnya.
Nuh menambahkan, biaya untuk pengadaan buku bisa dari dana alokasi khusus (DAK), yang memang tiap tahun ada DAK pengadaan buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar