aguspurnomosite.blogspot.com

aguspurnomosite.blogspot.com
Berpikir Luas Membuka Cakrawala Kehidupan! Berusaha Memberikan Yang Terbaik Untuk Masa Depan! Katakan "Go Go Go SEMANGAT" !!!

Selasa, 13 Agustus 2013

Bukhara, Kota Imam Para Ahli Hadits

Dalam sebuah riwayat disebutkan, Rasulullah SAW hanya melarang pakaian yang murni dibuat dari sutra.

Ibu Abbas RA menyatakan, "Jika yang terbuat dari sutra adalah benang lungsin dan hiasannya, maka tidak apa-apa."

Sa’ad bin Ustman Ar-Razi Ad-Dasytaki berkata, "Di Bukhara, aku pernah melihat seorang laki-laki menunggang bighal betina putih (keledai betina). Dia mengenakan serban hitam yang ditenun dari campuran sutra dan bulu. Orang itu mengatakan, ‘Rasulullah SAW yang memberi serban ini kepadaku’.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Dr Aiman Al-Husaini dalam "100 Kesalahan Wanita dalam Merawat Tubuh" menyebutkan, hadits itu juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam At-Tarikh. Dalam hadits di atas, tercantum kata ‘Bukhara’, salah satu kota penting dalam peradaban Islam.

 

Menurut Dr Sayuqi Abu Khalil dalam Athlas Al-Hadits An-Nabawi, Bukhara merupakan salah satu kota terbesar yang terletak di Transoxiana, daerah purba di Asia Tengah. Transoxiana adalah nama Latin untuk daerah modern seperti Uzbekistan, Tajikistan, dan Kazakhstan barat daya.

"Jarak Bukhara ke daerah Amil di tepi Sungai Amudarya menghabiskan waktu selama dua hari. Dari Bukhara ke Samarkand menghabiskan waktu selama tujuh hari,” ujar Syauqi. 


Menurut dia, di antara kedua kota itu terdapat perkampungan Ash-Sughad. Di Kota Bukhara lahir seorang ulama terkemuka yang menjadi imam para ahli hadits bernama Imam Bukhari.


Sastrawan terkemuka dari Iran menjuluki Bukhara sebagai gudang pengetahuan. Bahkan secara khusus, penyair legendaris Jalaludin Ar-Rumi menyanjung Bukhara lewat syair-syairnya. "Bukhara sumber pengetahuan. Oh, Bukhara pemilik pengetahuan,” ungkap Rumi dalam puisinya.

Bukhara berasal dari bahasa Mongol, yakni ‘bukhar’ yang berarti lautan ilmu. Kota penting dalam jejak perjalanan Islam itu terletak di sebelah barat Uzbekistan, Asia Tengah. Wilayah itu, dalam sejarah Islam dikenal dengan sebutan Wa Wara’ An-Nahr atau daerah-daerah yang bertengger di sepanjang Sungai Jihun.

Letak Bukhara terbilang amat strategis karena berada di Jalur Sutra. Tak heran, bila sejak dulu kala Bukhara telah menjelma menjadi pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, budaya, dan agama. Di kota itulah bertemu pedagang dari berbagai bangsa di Asia Barat, termasuk Cina.

Menurut syair kepahlawanan Iran, Kota Bukhara dibangun oleh Raja Siavush anak Shah Kavakhous, salah satu shah dalam cerita dongeng Iran yang berasal dari Dinasti Pishdak.

Secara resmi, kota itu berdiri ada sejak tahun 500 SM di wilayah yang kini disebut Arq. Namun, oasis Bukhara telah didiami manusia mulai tahun 3000 SM, yakni semasa zaman perunggu.

Wilayah Bukhara, sejak 500 SM sudah menjadi wilayah kekuasaan Kekaisaran Persia. Seiring waktu, Bukhara berpindang tangan dari satu kekuasaan ke kekuasaan lainnya, seperti Aleksander Agung, Kekaisaran Hellenistic Seleucid, Greco-Bactaian, dan Kerajaan Kushan.

Selama masa itu, Bukhara menjadi pusat pemujaan Anahita. Dalam satu putaran bulan, penduduknya biasa merayakan ritual ibadah dengan mengganti berhala yang sudah usang dengan berhala yang baru. Sebelum Islam menaklukkan wilayah itu, penduduk Bukhara adalah para penganut agama Zoroaster yang menyembah api.

Bukhara di era Islam
Kehidupan penduduk Bukhara mulai berubah ketika tentara Islam datang membawa dakwah. Pada akhir 672 M, Ziyad bin Abihi menugaskan Miqdam Rabi’ bin Haris berlayar dari Irak menuju daerah Khurasan.

Miqdam berhasil menaklukkan wilayah itu sampai ke Iran Timur. Setelah Ziyad meninggal, Mu’awiyah, khalifah Bani Umayyah, memerintahkan Ubaidillah bin Ziyad untuk menaklukkan Bukhara.

Pasukan tentara Islam pertama menjejakkan kaki di tanah Bukhara pada 674 M di bawah pimpinan panglima perang Ubaidillah bin Ziyad. Namun, pengaruh Islam benar-benar mulai mendominasi wilayah itu pada 710 M di bawah kepemimpinan Kutaiba bin Muslim. Seabad setelah terjadinya Perang Talas, Islam mulai mengakar di Bukhara.

Tepat pada 850 M, Bukhara telah menjadi ibukota Dinasti Samanid. Dinasti itu membawa dan menghidupkan kembali bahasa dan budaya Iran ke wilayah itu. Ketika Dinasti Samanid berkuasa, selama 150 tahun Bukhara tak hanya menjadi pusat pemerintahan, namun juga sentra perdagangan.

Pedagang dari Asia Barat dan Cina bertemu di kota itu. Di Kota Bukhara pun berkembang bisnis pembuatan kain sutra, tenunan kain dari kapas, karpet, katun, produk tembaga, dan perhiasan dari emas serta perak dengan berbagai bentuk. Bukhara pun kesohor sebagai pasar induk yang menampung produk dari Cina dan Asia Barat.

Selain itu, karena berada di sekitar Sungai Jihun, tanah Bukhara pun dikenal sangat subur. Buah-buahan pun melimpah. Kota Bukhara terkenal dengan buah-buahan seperti Barkouk Bukhara yang terkenal hampir seribu tahun. Geliat bisnis dan perekonomian pun tumbuh pesat. Tak heran bila kemudian nama Bukhara makin populer.

Pada era keemasan Dinasti Samanid, Bukhara juga menjadi pusat intelektual dunia Islam. Saat itu, di Kota Bukhara bermunculan madrasah-madrasah yang mengajarkan ilmu pengetahuan. Dinasti Samanid pun mulai memperbaiki sistem pendidikan umum. Di setiap perkampungan berdiri sekolah. Keluarga yang kaya-raya mendidik putra-putrinya dengan sistem home schooling atau sekolah di rumah.

Anak yang berusia enam tahun mulai mendapat pendidikan dasar selama enam tahun. Setelah itu, anak-anak di Bukhara bisa melanjutkan studinya ke madrasah. Pendidikan di madrasah dilalui dalam tiga tingkatan, masing-masing selama tujuh tahun. Keseluruhan pendidikan di madrasah harus ditempuh selama 21 tahun.

Para siswa mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, mulai ilmu agama, aritmatika, yurisprudensi, logika, musik, serta puisi. Geliat pendidikan di Bukhara itu telah membawa pengaruh yang positif dalam penyebaran dan penggunaan bahasa Persia dan Uzbek.

Tak heran, kemampuan penduduk Bukhara dalam menulis, menguasai ilmu pengetahuan serta keterampilan berkembang pesat. Di tanah Bukhara pun kemudian lahir sederet ulama dan ilmuwan Muslim termasyhur.

Pada 998 M, kekuasaan Dinasti Samanid berakhir dan digantikan Dinasti Salajikah. Tak lama kemudian, diambil alih Dinasti Khawarizmi. Pada masa itu, status Bukhara sebagai pusat peradaban dan perkembangan Islam masih tetap dipertahankan.

Ketika masa kekuasaan pemerintahan Sultan Alaudin Muhammad Khawarizmi Syah berakhir, Bukhara sebagai pusat ilmu pengetahuan pun mulai meredup.

Pada 1220 M, peperangan hebat antara pasukan Sultan Ala’udin dan pasukan Mongol di bawah komando Jengiz Khan meletus. Serangan brutal yang dilakukan 70 ribu pasukan Jengiz Khan tak mampu diredam.

Bukhara pun jatuh ke tangan pasukan Mongol. Dengan kejam dan sadis, pasukan Mongol membantai penduduk kota serta membakar madrasah, masjid, dan bangunan penting lainnya.

Jengiz Khan meluluhlantakkan peradaban dan ilmu pengetahuan yang dibangun umat Islam di Bukhara. Bukhara rata dengan tanah. Ibnu Asir melukiskan kondisi Bukhara dengan kata-kata ‘ka an lam tagna bi al-amsi’ (seolah-olah tak ada apa-apa sebelumnya). Cahaya kemajuan peradaban yang ilmu pengetahuannya terpancar dari Bukhara pun meredup.

Bukhara di era modern
Meski masa kejayaannya telah berlalu pada abad ke-13 M, Bukhara masih memegang peranan penting di abad ke-19 M. Menurut Demezon, pada 1833, Bukhara tetap menjadi bagian yang penting dalam kehidupan keagamaan dan budaya di kawasan tersebut.

Madrasah-madrasah di Bukhara masih terkenal hingga ke Turkistan. Pelajar-pelajar dari Khiva, Kokand, Gissar, bahkan dari Samarkand dan kawasan Tatar berbondong-bondong belajar ke Bukhara. "Ada sebanyak 60 madrasah di Bukhara baik yang sukses maupun kurang sukses,” papar Demezon menggambarkan situasi Bukhara di abad ke-19.

Memasuki era modern, Bukhara berada di bawah kekuasaan Rusia. Bukhara pun dijadikan semacam bidak catur dalam permainan besar antara Rusia dan Inggris. Kota itu benar-benar merdeka selama revolusi komunis. Namun, Bukhara akhirnya masuk dalam kekuasaan Uni Soviet.

Menyusul terbentuknya Uni Soviet, Tajik yang merupakan bagian dari Uzbekistan menuntut kemerdekaan. Rusia yang mendukung Uzbekistan atas Tajik menyerahkan kota yang secara tradisional berbahasa dan berbudaya Iran, yakni Bukhara dan Samarkand, kepada Uzbekistan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar