Guru adalah profesi yang mulia. Berdasarkan survey di acara Metro 10, profesi guru mendapat tempat kedua di bawah profesi seorang dokter. Masyarakat kita juga masih banyak menaruh hormat pada sosok guru. Mendengar kata “guru” tentu membuat hati kita begitu respect, namun jika mendengar kata “menggurui” mengapa perasaan menjadi tak enak?
Menggurui dalam bahasa Indonesia mengandung makna menasehati, mengajari, memberi tahu namun sering dikonotasikan negatif. Menggurui mendapat perubahan makna peyoratif, yaitu kata yang pada awalnya berkesan positif namun lambat laun nilai rasa/kesan dari kata itu menjadi makin terkesan negatif, jelek dan kasar.
Mengapa kita begitu risih mendengar kata menggurui? Jika mengacu pada UU N0 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Maka menggurui adalah proses pemberian ilmu, pengajaran, pembimbingan, pengarahan, penilaian dari seorang subjek yaitu guru kepada objeknya yaitu murid. Kata menggurui mendapat kesan negatif karena dipengaruhi oleh paradigma proses terjadinya kegiatan berguru tadi.
Pada masa lalu orang mendapat ilmu atau pengajaran dari seseorang yang dianggap lebih banyak tahu, seperti seorang filsuf atau budayawan, merekalah yang disebut guru. Mereka berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk memberikan penerangan, orang-orang yang mendengarnya merasa tercerahkan dan memberi imbalan ala kadarnya. Ini yang disebut Eric Ashby sebagai revolusi pendidikan gelombang pertama. Pada perkembangannya para filsuf tadi tidak lagi nomaden tapi menetap di suatu tempat dan orang-orang yang ingin menerima pengajaran menetap di tempat guru tersebut.
Itulah cikal bakal sekolah di masa-masa awalnya. Celakanya, proses pembelajaran yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan tadi masih dipengaruhi oleh cara para filsuf menjelaskan pengetahuannya. Proses transfer ilmu pengetahuan tadi didominasi oleh tradisi lisan para filsuf. Maka siswa diibaratkan sebagai gelas kosong yang dituangkan air dari sebuah teko. Padahal seharusnya pikiran anak selayaknya api yang mesti dinyalakan bukan sebuah wadah yang mesti diisi. Guru akhirnya menjadi satu-satunya pemegang otoritas kebenaran yang membuat istilah menggurui terterima sebagai sebuah istilah yang wajar.
Menarik juga untuk menyimak pengertian guru pada periode sejarah di masa lalu, khususnya di Indonesia. Sosok guru yang merupakan pejabat strukrtural di pemerintahan menjadikan guru disejajarkan dengan aparatur pemerintahan. Boleh anda simak pengertian guru di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Bukan sebuah kebetulan jika istilah pamong juga melekat pada sosok guru dan aparatur pemerintah. Menurut KBBI istilah pamong berarti pengasuh, pendidik (guru), atau pengurus.
Nah, celakanya karena merasa bagian dari aparatur pemerintah (baca:pamong praja) sikap guru cenderung mengikuti gaya penguasa atau siapa yang memerintah.
Alhasil kultur feodal menjangkiti mental sebagaian guru kita kala itu. Pamong praja kita –guru dan aparatur pemerintah- muncul menjadi penguasa-penguasa di ranah kehidupannya masing-masing. Aparat sangat berkuasa di berbagai bidang kehidupan, guru amat sangat berkuasa di kehidupan sekolah. Sayangnya, rakyat pun telah lebih dahulu memaknai pamong praja sebagai penguasa. Mereka keseleo lidah dan salah membedakan arti pamong praja dan pangreh praja.
Hal itu tak terlepas pula akibat kultur masyarakat agraris bangsa ini yang mengagung-agungkan para penyelenggara pemerintahan (ambtenaar) pada masa kolonial. Ketika itu para penyelenggara pemerintah dikenal juga dengan istilah pangréh praja yang berarti penguasa lokal untuk menangani daerah jajahan kolonial. Padahal jelas sekali beda antara pamong praja dan pangreh praja.
Namun sangat disayangkan bahwa banyak di antara guru kita masih bermental penguasa atau setidaknya terlalu akrab bersama penguasa. Pada level pengurus PGRI misalnya, kebayakan didominasi oleh pejabat struktural di lingkungan dinas pendidikan kabupatan/kota. Sudah menjadi rahasia umum bahwa organisasi profesi guru hanya dijadikan tunggangan politik oleh orang-orang tertentu. Guru tak bisa kreatif di organisasi karena selalu menghamba pada juklak dan juknis yang notabene adalah perintah atasannya di tingkat struktural. Kita tak bisa membedakan gerak langkah organisasi macam PGRI sebagai kekuatan penyeimbang pemerintah (bargaining power) karena banyak dari pengurusnya adalah bagian dari struktur pemerintahan itu sendiri.
Epilog
Mustahil mendapatkan guru-guru terbaik apalagi inspiratif jika mentalnya masih bermental penguasa. Padahal kita sudah sangat mahfum dengan pameo yang mengatakan :
"The mediocre teacher tells, the good teacher explains. The superior teacher demonstrates, the great teacher inspires".
Terjemahan bebasnya kira-kira begini; guru yang biasa-biasa saja (cenderung) mengajarkan, guru yang baik memberikan penjelasan, guru yang di atas rata-rata (cenderung) memperagakan dan guru yang hebat adalah yang menginspirasi.
Guru yang masih bermental penguasa selalu menempatkan dirinya lebih baik di atas murid-muridnya, ia akan berlaku superior sehingga wataknya tak jauh dari instruksi alias perintah. Maklum akrena masih bertabiat penguasa/pemerintah jadi kerjanya suka memerintah. Kegiatan yang dialkukannya di kelas sebatas mengajarkan, memberi tahu, atau memperagakan. Semuanya itu berpusat pada sang guru tersebut semetara siswa cuma dijadikan objek.
Guru dikatakan sebagai sumber inspirasi tatkala pikiran, ucapan, dan tindak tanduknya menjadi anutan bagi anak didik dalam memaknai peristiwa-peristiwa yang ada di sekitarnya dan mampu menggerakkan siswa untuk melakukan perubahan positif dalam kehidupannya di masyarakat.
Mari kita tengok cerita seorang guru yang mampu menginspirasi siswanya. Cerita ini saya cuplik dari tulisan Titik Firawati yang bertajuk “Mencegah Kekerasan Guru” yang mengisahkan kisah inspiratif Prof Emil Salim yang sangat peduli terhadap pelestarian lingkungan karena terinspirasi dari guru-gurunya terdahulu.
Kepeduliannya itulah yang membuat beliau dipercaya menjabat sebagai menteri lingkungan hidup selama tiga periode berturut-turut (1978-1993).
Guru yang masih bermental penguasa selalu menempatkan dirinya lebih baik di atas murid-muridnya, ia akan berlaku superior sehingga wataknya tak jauh dari instruksi alias perintah. Maklum akrena masih bertabiat penguasa/pemerintah jadi kerjanya suka memerintah. Kegiatan yang dialkukannya di kelas sebatas mengajarkan, memberi tahu, atau memperagakan. Semuanya itu berpusat pada sang guru tersebut semetara siswa cuma dijadikan objek.
Guru dikatakan sebagai sumber inspirasi tatkala pikiran, ucapan, dan tindak tanduknya menjadi anutan bagi anak didik dalam memaknai peristiwa-peristiwa yang ada di sekitarnya dan mampu menggerakkan siswa untuk melakukan perubahan positif dalam kehidupannya di masyarakat.
Mari kita tengok cerita seorang guru yang mampu menginspirasi siswanya. Cerita ini saya cuplik dari tulisan Titik Firawati yang bertajuk “Mencegah Kekerasan Guru” yang mengisahkan kisah inspiratif Prof Emil Salim yang sangat peduli terhadap pelestarian lingkungan karena terinspirasi dari guru-gurunya terdahulu.
Kepeduliannya itulah yang membuat beliau dipercaya menjabat sebagai menteri lingkungan hidup selama tiga periode berturut-turut (1978-1993).
Suatu ketika salah satu guru Emil Salim, seseorang berkebangsaan Belanda yang sangat peduli terhadap alam, mengajak murid-muridnya, termasuk Emil kecil, pergi ke hutan.
Sesaat hendak menyeberangi sungai, mereka dikejutkan, sekawanan lintah yang akhirnya mengacaukan perjalanan mereka. Dengan ketelatenannya, guru tersebut mengajak murid-muridnya berhenti sejenak untuk memahami apa makna dari pertanda alam itu. Diletakkannya seekor lintah atau pacet di atas daun, kemudian, ia meminta murid-muridnya memperhatikan perilaku pacet tersebut. Alhasil, kepala pacet itu selalu bergerak-gerak menghadap ke arah datangnya sinar matahari.
Lantas, ia menjelaskan sembari berpesan agar murid-murid tidak perlu khawatir setiap kali tersesat di hutan karena pacet bisa dijadikan sebagai kompas alami.
Kecintaannya terhadap alam dan ketelatenannya mendidik murid-murid membuat Emil kecil menaruh rasa hormat pada gurunya. Bahkan, Emil kecil dan teman-temannya semakin menyayangi guru tersebut yang telah berhasil membukakan alam pikiran dan mata hati mereka dalam memaknai peristiwa peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Dedikasi guru itulah yang juga mengantarkan Emil kecil menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam bidang lingkungan hidup di Indonesia.
Reff : suhartaristian.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar