Lembaga pendidikan adalah salah satu harapan bessar bagi negeri ini, agar bisa bangkit dari keterprukan dalam semua aspek kehidupan. Bangsa indonesia yang dilanda krisis sejak 1997 dan sampai sekarang belum mampu keluar dari krisis multidimensional ini membutuhkan lahirnya kader-kader muda andal yang melek ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Dipundak merekalah, kejayaan bangsa ini dipertaruhkan. Namun, kelahiran mereka tidak cukup hanya dinanti, ditunggu dan dibayangkan. Kader-kader muda masa depan tersebut harus direncanakan, diupayakan, dimunculkan dan diperjuangkan dengan usaha maksimal, sistematis, dan terstruktur. Itulah yang selama ini kita kenal secara populer dengan nama sekolah dan pondok pesantren. Kedua lembaga pendidikan ini menjadi tumpuan besar lahirnya kader-kader potensial dimasa depan.
Disamping itu, pendidikan informal dalam keluarga juga berperan penting dalam mendukung keberhasilan lembaga formal dan non formal, khusunya dalam internalisasi iman, takwa dan nilai-nilai moral yang luhur.
Dalam hal ini, guru adalah aktor utama disamping orang tua dan elemen lainnya-kesuksesan pendidikan yang dicanangkan.
Tanpa keterlibatan aktif guru, pendidikan kosong dari materi, esensi dan subtansi. Secanggih apapun kurikulum, visi-misi dan kekuatan finansial, sepanjang gurunya pasif dan stagnan, maka kualitas lembaga pendidikan akan merosot tajam. Sebaliknya, selemah dan sejenak apapun sebuah kurikulum, visi-misi dan kekuatan finansial, jika gurunya inovatif, progresif dan produktif, maka kualitas lembaga pendidikan akan maju pesat. Lebih-lebih jika sistem yang baik ditunjang dengan kualitas guru yang inovatif, maka kualitas lembaga pendidikan semakin dahsyat.
Disinilah letak strategi guru dalam dunia pendidikan. Karena itu, tidak ada pilihan lain guru-guru yang ada harus mampu memosisikan dirinya sebagai guru yang ideal dan inovatif, yakni guru-guru yang mampu menyesuaikan diri denagn tuntunan zaman yang kian maju dan konpetitif, mempunyai kekuatan spritual, intelektual, emosional dan sosial yang tinggi serta kreatif melakukan terobosan dan pembaharuan yang kontinyu dan konsisten.
Fakta yang ada menunjukkan banyak guru dinegeri ini tidak sesuai harapan. Mereka belum mencerminkan diri sebagai guru ideal dan inovatif yang siap mendidik siswa dengan n profesionalisme dan optimisme. Kapasitas intelektual yang rendah, kedisiplinan yang lemah, semangat belajar yang hampir hilang, integritas moral yang menyeleweng dan dedikasi sosial yang rendah adalah sebagai potret buram guru. Hal ini membuat lembaga pendidikan berjalanan stagnan, bahkan terkesan mundur. Terbukti banyak mahasiswa negara lain yang dulu belajar dinegeri ini seperti Malaysia sekarang berbalik. Mahasiswa negara ini justru yang harus belajar dari bekas muridnya. Bukannya negatif, tapi ini menunjukkan bahwa pendidikan di negeri ini mengalami kemunduran dan keterbelakangan, kurang mampu mengantisipasi tantangan masa depan secara akurat, efektif, dan miskin kreatifitas dan inovasi.
Pemerintah sudah berupaya dengan maksimal meningkatkan kompotensi dan kapabilitas intelektual, emosional dan sosial guru dengan program sertifikasi dan stratafikasi S-1 dan D-4, namun hasilnya masih jauh dari harapan. Alih-alih bisa memajukan kualitas para guru, kebijakan ini justru banyak disalahgunakan oleh guru sebagai ajang pembohongan massal yang mencederai integritas moralnya demi mengejar kompensasi materi yang dijanjikan pemerintah. Komersialisasi dan industrialisasi pendidikan marak dimana-mana, asalkan ada uang ijazah dapat dengan muda diperoleh, tidak persoalan apakah ia mengikuti proses pendidikan dan mempunyai kompetensi dalam bidangnya atau tidak. Yang penting gelar,gelar dan gelar, dengan adanya gelar nama menjadi mentereng, harga jual naik drastis dan kompensasi materinya lebih tinggi.
Materi telah membutakan mata hati banyak guru dinegeri ini, sehingga mereka tega menodai esensi pendidikan yang menitikberatkan parameter moral yang agung. Mereka lupa bahwa guru tidak hanya mengajar tapisrkaligus mendidik, mengajar hanya sebatas memeberikan ilmu namun mendidik adalah mentransformasikan pengetahuan sekaligus nilai-niali moral pada anak didik. Proses ini merupakan pekerjaan berat yang membutuhkan keteladanan prima dalam bertutur sapa, sikap, bergaul, belajar dan beraktualisasi di tengah pluralitas dan heterognitas masyarakat.
Dalam konteks ini, tidak ada yang bisa menggugah para guru yang mulia dan agung kecuali diri mereka sendiri. Sebaik apapun sistem, mekanisme, kepemimpinan, sarana prasarana dan fasilitas kalau spirit keilmuan dan kompetensi guru lemah maka tidak akan banyakbermanfaat. Akibatnya agenda melahirkan kader masa depan yang cerdas semakin susah.
Harapan besar masyarakat sangat bergantung kepada bapak/ibu guru yang mulia. Semangat mereka dalam mengejar ketertinggalan dengan meningkatkan intelektulitas, mengasah kapabilitas serta manajamkan kecerdasan emosional, spritual dan fungsi sosialnya yang dinanti oleh jutaan murid, orang tua dan bangsa ini secara keseluruhan.
Kelebihan dan kekurangan guru adalah dua sisi mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan, kelebihan yang ada sangat baik untuk ditingkatkan sehingga menjadi guru yang ideal dan inovatif yang menjunjung tinggi nilai moral, spritual, intelektual, emosional dan sosial. Sementara kelamahan yang ada harus dikurangisedikit demi sedikit sehingga bisa menjadi teladan bagi murid-murid dan lingkungan sosial lainya.
Menjadi guru ideal dan inovatif yang mengedepankan profesionalisme adalah harapan semua guru dinegeri tercinta ini. Guru yang mampu membimbing dan mendorong anak didiknya sehingga mampu mencapai kualitas bertaraf nasional dan internasional. Peningkatan kualitas dan kompetensi dalam penguasaan materi, metodologi pengajaran dan penguasaan informasi adalah syarat mutlak menggapai cita-cita besar.
Tidak semua guru dinegeri ini mampu melakukan hal ideal, ada banyak kendala, mulai dari ketiadaan biaya, usia yang sudah lanjut, kesibukan dengan alasan lain yang membuat guru tidak mampu memenuhi cita-cita besarnya. Apalagi harus memenuhi persyaratan yang diwajibkan negera dalam hal ini sertifikasi dan stratafikasi S1.
Namun guru-guru muda khususnya, tidak ada alasan yang membuat mereka mundur, melihat dan menuju kebelakang. Sebab masa depan, tantangan dan masa depan sudah ada didepan mata, kalau tidak berani menghadapi tantangan dan mengambil peluang didepan maka orang lain akan mengambilnya, hidup adalah kompotisi. Jadi, barang siapa tidak berani berkompetisi maka secara alamiah, ia akan tersisihkan dan termarginalkan dalam arus perubahan dahsyat diera produktifitas ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Dalam konteks ini, pengembangan kompetensi sesuai dengan bidang keahlian adalah keniscayaan. Satu tujuan banyak cara, artinya tujuan mengembangkan potensi dan kompetensi caranya bermacam-macam. Kalau biaya menjadi kendala sehingga tidak bisa kuliah, maka ada seribu cara lain yang bisa ditempuh untuk meningkatkan kompetensi. Misalnya dengan banyak membaca, menulis, aktif dalam seminar, diskusi, bedah buku, simposium, konferensi, organisasi dan kegiatan ilmiah lainnya.
Jangan mendewakan formalisme dan simbolisme, S1, S2, S3 dan Profesor adalah simbol formal, yang penting bukan simbolnya tapi kedalaman ilmu, luasnya wawasan, produktivitas karya dan hebatnya visi-misi hidup yang dibangun dan dijalaninya, sehingga menjadi inspirasi dan motivasi orang lain.
Semoga para guru dapat tergugah hatinya dalam mendidik murid-murid menjadi kader masa depan bangsa yang memiliki intergritas pribadi yang agung, kapasitas intelektual yang tinggi demi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar